Hanna bersyukur karena tiga hari yang lalu kala ia memberitahu Adit tentang kabar kehamilannya, Adit terlihat tenang dan lebih banyak tersenyum. Bahkan kali ini Adit berniat mengajaknya untuk memeriksakan kandungannya. Entah kenapa dengan sikap Adit yang seperti ini, Hanna yakin jika sebentar lagi ia harus menelepon orangtuanya dan meminta restu untuk menikah dengan Adit. Hanna tahu jika orangtuanya akan kecewa dengan pilihan yang ia ambil bahkan mungkin merasa gagal mendidiknya dengan baik. Karena itu Hanna berniat untuk mencoba hidup mandiri tanpa bantuan finansial dari kedua orangtuanya kala ia sudah menikah dengan Adit. Hanna yakin mereka akan mampu menghidupi keluarga kecil ini asalkan kedua orangtua mereka tidak banyak menuntut dan berekspektasi tinggi pada mereka berdua.
Kala kelasnya hari ini selesai, Hanna segera mencari Aditya dan tanpa banyak membuang waktu, Aditya segera mengajak Hanna untuk menuju ke tempat di mana ia sudah membuat janji yang tidak diketahui oleh Hanna. Sepanjang perjalanan Hanna hanya bisa mengernyitkan keningnya karena Aditya lebih banyak diam. Ketika akhirnya Hanna sampai di sebuah tempat yanng lebih cocok disebut sebagai klinik daripada rumah sakit, Hanna sadar akan suatu hal. Kemugkinan besar Adit memintanya untuk menggugurkan kandungannya. Ketakutan itu tiba-tiba sudah menyelimuti diri Hanna namun ia harus tenang dan memikirkan caranya untuk kabur tanpa disadari oleh Adit.
"Katanya kita mau ke rumah sakit?" tanya Hanna begitu Aditya mematikan mesin mobil.
"Rumah sakit antrinya lama, jadi kita ke sini aja."
"Kok aku rada gimana gitu ya, Dit sama tempatnya. Enggak nyaman aja aku lihatnya."
Hanna melihat wajah Adit yang tampak memiliki beban berat hingga akhirnya Adit memegang tangannya.
"Han, kamu tahu 'kan kalo aku cinta sama kamu?"
Hanna menganggukkan kepalanya pelan sambil menatap wajah laki-laki yang merupakan cinta pertamanya ini.
"Karena aku cinta sama kamu, aku enggak mau membuat hidup kamu susah apalagi menderita. Salah satu hal yang bisa membuat hidup kita menderita adalah memiliki anak ketika kita belum siap mental dan materi. Karena itu lebih baik kita men-delete masalah kita ini sebelum terlambat."
satu detik...
dua detik...
tiga detik...
Hanna diam mematung di kursi penumpang depan mobil. Memikirkan bahwa Adit merasa bahagia seperti dirinya karena akan memiliki anak tiga hari yang lalu kini pupus sudah. Senyum yang Adit berikan nyatanya membuat Hanna merasa dibohongi. Oh, tidak... bukan dibohongi, ia saja yang terlalu bodoh menjadi seorang wanita yang rela menyerahkan mahkotanya dan terlalu mempercayai gombalan Adit selama ini.
Rasanya Hanna ingin marah pada dirinya sendiri karena jauh-jauh ia menempuh pendidikan dari keluarganya agar ia memiliki kebebasan sedikit seperti orang lain tapi yang ada akhirnya ia merasa bersalah. Andai bisa kembali ke masa di mana pertama kali ia bertemu dengan Aditya, Hanna pasti akan dengan senang hati memilih untuk tidak mengenalnya. Ia kira Adit adalah anugerah di hidupnya namun nyatanya Adit adalah musibah besar yang baru ia sadari beberapa menit ini.
Aditya yang menyadari jika Hanna terlihat sangat shock dengan informasi ini hanya bisa memgang tangan pacarnya itu lebih erat lagi. Ia harus meyakinkan Hanna tentang langkah ini adalah demi kebaikan mereka berdua. Tidak mungkin ia dan Hanna akan bisa merawat anak ini tanpa bantuan finansial dari orangtua mereka saat ini. Apalagi mereka baru memasuki tahun kedua berkuliah di sini. Masih ada beberapa tahun lagi hingga mereka menyelesaikan pendidikan, bekerja dan barulah mereka bisa menikah lalu memiliki anak. Rencana ini sudah terpatri di dalam hati dan kepala Adit. Ia akan berusaha mewujudkannya meskipun ia tahu jika pilihannya kali ini akan membuat konflik besar dengan Hanna.
"Aku tahu anak itu anugerah tapi kalo dia datang saat ini di hubungan kita, dia menjadi musibah. Kita baru 19 tahun, Han dan masa depan kita masih panjang. Nanti setelah kita men-delete si trouble maker ini, kita bisa kembali ke kehidupan normal kita. Ke depannya aku juga janji kalo aku akan pakai pengaman setiap kali kita berhubungan agar kamu enggak jebol lagi."
Hati Hanna rasanya diiris-iris kala mendengar perkataan Adit ini.
"Dit?" panggil Hanna pelan dan hampir seperti orang bergumam.
"Ya?"
"Apa kamu yakin dengan semua ini?"
"Yakin. Selama tiga hari aku mencari tempat aborsi yang memilki reputasi bagus dan sebisa mungkin minim resiko. Akhirnya aku nemuin tempat ini. Sekarang kita keluar, ya?" Ajak Adit kepada Hanna.
Kini Hanna segera membuka pintu mobil dan keluar mengikuti apa yang Adit lakukan. Begitu Hanna sudah berada di luar, Hanna segera berjalan mendekati Adit. Mereka masuk bersama ke dalam klinik. Saat Adit melakukan registrasi, Hanna meminta ijin untuk ke toilet. Sayangnya bukan menuju ke arah toilet, Hanna justru menuju ke arah pintu keluar. Begitu ia berhasil keluar dari klinik aborsi ini, Hanna segera mencari taxi. Untung saja ia segera mendapatkannya. Ia meminta supir taxi itu mengantarkannya ke apartemennya. Di tengah perjalanan, sebuah panggilan masuk ke dalam handphone Hanna. Tidak perlu bertanya siapa yang melakukan panggilan ini, tentu saja Adit yang merasa bahwa ia terlalu lama berada di dalam kamar mandi. Hanna mencoba mengabaikannya dan justru mengirim sebuah pesan kepada Adit.
Hanna : Aku masih di kamar mandi. Kamu tunggu aja nanti aku samperin ke sana kalo sudah selesai.
Setelah mengirimkan pesan itu, Hanna segera mematikan handphonenya. Ia tak memiliki banyak waktu saat ini. Begitu sampai di apartemennya, Hanna segera berlari ke arah lift. Ia hanya bisa berdoa bahwa Adit tidak akan menyusulnya saat ini. Ia perlu berkemas dan meninggalkan tempat ini secepatnya. Saat sampai di dalam unit apartemennya, Yang Hanna lakukan adalah membuka koper dan memasukkan beberapa pakaiannya. Selesai itu, ia segera mengemasi dokumen-dokumen penting miliknya. Sekitar lima belas menit Hanna berkemas-kemas kini dirinya segera keluar dari apartemen dan mencari taxi.
Di tengah-tengah ia merasa kecewa dengan sikap Adit Hanna tahu bahwa ia harus menemukan sebuah tempat perlindungan untuk dirinya. Mengingat ia tidak memiliki keluarga di sini, akhinya hotel menjadi pilihan Hanna untuk tinggal sementara sambil ia mencari tiket penerbangan untuk pulang ke Jakarta.
***
Sejak beberapa hari yang lalu, Adit sudah uring-uringan di dalam apartemennya karena Hanna pergi meninggalkan dirinya begitu saja. Handphone Hanna yang tidak aktif dan apartemennya yang kosong ketika Adit masuk ke dalam, cukup menjadi sebuah jawaban bahwa Hanna telah berbohong kepada dirinya. Rasa marah dan kecewa benar-benar Adit rasakan saat ini. Terlebih tidak ada satupun teman Hanna yang tahu keberadaan wanita itu saat ia mencoba menelepon dan menyambangi teman-teman Hanna di kampus.
Damn it!
Rasa frustasi yang Adit rasakan benar-benar telah sampai di puncaknya. Ia harus memastikan bahwa darah dagingnya yang ada di dalam rahim Hanna itu benar-benar sudah lenyap untuk selama-lamanya. Jangan sampai suatu saat nanti ada seorang anak yang mencari dirinya lalu meminta pertanggung jawaban karena telah menelantarkannya. Ah, tidak... jika sampai hal terjadi, sama saja artinya dengan menghancurkan nama baik keluarga dan terlebih masa depannya.Sebuah pesan yang masuk ke handphone Adit membuat Adit segera membukanya. Nama Hanna muncul di sana. Sumber utama kegelisahannya selama beberapa hari ini akhirnya mengabari dirinya. Segera saja Adit membukanya.
Hanna : Aku sudah menghapus masalah kita. Mulai sekarang kamu bisa hidup dengan tenang.
Adit cukup terkejut saat membacanya, namun begitu ia mencoba menelepon Hanna, nomer perempuan itu sudah tidak aktif lagi. Meskipun masih memiliki rasa kesal, namun Adit berusaha untuk mengontrol dirinya. Informasi dari Hanna ini cukup melegakan bagi dirinya meskipun ia tidak mendapatkan foto janinnya yang telah diaborsi oleh Hanna.
***
Perjalanan malam ini harus dilalui Adit dan Raga lebih lama dari waktu seharusnya karena sudah tiga kali ini Adit mengajak Raga berhenti di minimarket sekedar untuk menumpang ke kamar mandi. Raga kira awalnya Adit hanya sekedar ingin buang air kecil, namun saat yang ketiga kali dan wajah Adit tampak pucat, Raga menyadari satu hal. Ada yang tidak beres pada diri Adit."Om Adit sakit?" tanya Raga kala melihat Adit kembali memasang sabuk pengamannya.Kali ini Adit mencoba tersenyum dan menyembunyikan rasa sakit perutnya yang benar-benar sudah tidak bisa ia tahan sejak mulai melajukan mobil ke arah rumah sepulang dari warung pecel lele. "Enggak, Papa baik-baik aja.""Beneran?" tanya Raga mencoba memastikan kembali.
Setelah memasuki mobil, Adit mencoba mengatur dirinya kembali agar bisa tenang dan mencoba menyingkirkan semua prasangka-prasangka yang mulai menggelayuti dirinya sejak ia bertemu dengan Puspa. Adit berusaha untuk berpikiran positif dan ia tidak boleh cemburu kepada Dana. Tapi kenapa itu sulit sekali ia lakukan? baikah, ia sudah berusaha sekuat tenaga melakukan hal itu sesuai permintaan Hanna, tapi kenyataannya Puspa masih berhubungan baik dengan Dana bahkan mencarikan tempat tinggal yang tersembunyi dari keluarga. Dan Adit yakin kedatangan Puspa ke tempat ini ada sangkut pautnya dengan Raga.Adit mencoba duduk dengan tegak di dalam mobilnya dan pelan-pelan ia menarik napas dalam-dalam lalu ia embuskan perlahan. Beberapa kali Adit melakukan ini hingga ia merasa jauh lebih tenang. Setelah merasa tenang, ia segera mengirimkan pesan untuk Raga.
Group Lapak DosaAdit : Sabtu pagi besok gue mau ajakin kalian ke Bali dua hari. Free semuanya, gue yang tanggung. Ketemu di tempat biasa bagi yang mau.Gavriel : Lo kalo bikin jadwal liburan bisa enggak sih kagak dadakan begini? Gue sudah terlanjur janji pergi ke Solo. Ada acara sama orangtuanya Gadis.Elang : Sumpah... gue heran banget sama lo, Gav. Pacar lo justru menikmati masa jandanya buat keliling dunia, tapi lo di sini jagain emak bapaknya. Apa enggak takut lo kalo Gadis di sana cari terong yang lebih gede dari punya lo?Gavriel : Jodoh itu cerminan diri. Gue yakin kalo gue setia, dia pasti juga seti
Setelah Adit pergi mengantarkan Raga ke sekolah, Hanna segera menuju ke arah kamar mandi yang ada di kamarnya. Ia harus bersiap-siap secepat yang ia bisa dan pergi dari rumah ini sebelum Adit sampai di sini kembali. Sekitar setengah jam waktu yang Hanna butuhkan hingga akhirnya ia keluar dari kamarnya dan turun ke lantai satu rumahnya. Niat hati ingin langsung ngacir ke garasi rumah, namun saat melihat meja makannya yang masih berantakan, tangan Hanna gatal ingin membereskannya. Ia tidak biasa meninggalkan rumahnya dalam keadaan kotor seperti ini. Karena ia tidak mau pulang ke rumah dalam keadaan rumahnya yang sangat tidak nyaman dipandang apalagi di tempati. Kini Hanna berjalan menuju ke ruang makan dan ia taruh tas kerjanya di kursi. Ia lepaskan blazer warna hitam yang ia kenakan dan menyampirkannya pada sandaran kursi. Tanpa membuang banyak waktu, Hanna segera menuju ke arah dapur dan ia mencuci semua piring serta gelas
Raga menatap Adit yang baru saja selesai menyantap sarapannya dengan wajah penuh keheranan. Karena sepertinya tadi pagi Mamanya terlihat baik-baik saja tetapi saat ini Hanna mengatakan ia tidak enak badan sehingga tidak bisa ikut sarapan. Hanna juga mengatakan kepada Raga untuk meminta diantar oleh Adit ke sekolah pagi ini karena ia tidak bisa mengantarnya. "Kenapa lihatin Papa begitu?""Enggak, cuma penasaran aja. Kenapa Mama enggak mau ikut sarapan dan minta aku diantar om Adit? Padahal selama ini Mama selalu sarapan bareng dan antar aku ke sekolah kalo enggak ada meeting pagi di kantor.""Marah kali Mama sama Papa, jadinya enggak mau turun buat sarapan bareng kita.""Mama bukan tipikal orang yang baperan, Om. Kalo enggak sampai kebangetannya sikap orang itu, Mama enggak mungkin menghindar."
Pradnya : Okay, gue mau bantuin lo besok Sabtu. Gue akan ketemu sama Aiman. Kedua mata Hanna langsung membelalak lebar pagi hari ini karena Tuhan mengabulkan doanya secepat ini. Segera saja ia berdiri dan turun dari atas ranjang. Tanpa banyak mengulur waktu lagi, Hanna segera keluar dari kamarnya dan ia menuju ke kamar Raga untuk memberitahukan rencana liburan dadakan mereka ke Bali hari Sabtu besok. Sayangnya saat membuka kamar Raga, ternyata anaknya itu sudah bangun dan tidak ada di dalam kamarnya. Hanna segera menutup pintu itu dan menuruni tangga untuk mencari Raga di tempat gym pribadinya. Baru juga ia melewati ruang makan, langkah kakinya terhenti karena menemukan sosok tamu yang tidak ia harapkan ada di tempat ini. "Kamu ngapain pagi-pagi buta ke sini?" tanya Hanna kepada Adit yang kini seda