Musik keras menghentak-hentak gendang telinga Angel. Satu jam lamanya dia menenggelamkan diri dalam keramaian kelab malam bersama kedua temannya. Austin dan Michelle tengah asyik berdansa dengan pria yang baru saja mereka temui di tempat itu. Meliuk-liukkan badan mengikuti irama musik sambil sesekali berpagutan bibir dan bermesraan tak kenal malu. Hal semacam itu memang sudah lumrah terjadi di tempat ini. Michelle dan Austin bahkan sering one night stand dengan pria yang sama sekali tidak mereka kenal. Hanya bersenang-senang satu malam tanpa memedulikan kehormatan dan juga martabatnya sebagai perempuan baik-baik yang sudah hilang entah sejak kapan. Pastinya, jauh sebelum Angel mengenal mereka, kedua wanita itu memang sudah menjalani kehidupan seperti ini.
Untungnya, meski mereka berteman baik tapi Angel tidak pernah tertarik untuk mengikuti gaya hidup kedua temannya dalam urusan percintaan. Cukup menjadi perempuan kejam saja sudah membuatnya bahagia. Rasanya Angel tidak perlu menjajakkan diri pada sembarang pria. Menurutnya itu sangat merugikan dan juga tidak berkelas. Bukan maksud gadis itu menyindir kedua teman baiknya. Hanya saja prinsip itu yang selalu ia pegang teguh hingga sekarang.
Tiga botol sudah minuman keras habis ditegaknya. Angel merasa perutnya sudah terisi penuh oleh cairan alkohol itu namun entah mengapa pikirannya tak kunjung terpengaruh. Dia tidak mabuk sama sekali. Niatnya datang ke sini adalah untuk minum-minuman sampai dia mabuk berat dan melupakan kejadian menyakitkan tadi siang di kampus. Kebersamaan Jaydan dengan Naina, bagaimana cara pria itu menjaga harga diri Naina dan melukai harga dirinya. Kata-kata menyakitkan itu, ah ... jantung Angel seolah diremas sangat kuat oleh tangan raksasa jika kembali memutar kejadian itu.
Dia kembali menegak minumannya hingga tetes terakhir. Pandangan Angel kosong, merenungkan semua ucapan Jaydan yang mengatakan bahwa orang sepertinya tidak akan pernah bisa bahagia.
"Pria jahat! Kau pikir kau siapa, hah? Beraninya menyumpahiku seperti itu. Bukan hanya menolak cintaku tapi kau juga sudah merendahkan harga diriku. Aku benar-benar membencimu, Jaydan!"
Angel menyandarkan kepalanya pada kepala sofa beludru itu, dia memiringkan tubuhnya ke kanan lalu memejam. Air mata mengalir sesekali, kedua pundak Angel bergetar menandakan betapa keras gadis itu menahan isakan. Melihat kondisi Angel yang sedang rapuh, seorang pria berinisiatif mendekati gadis itu namun urung ketika tiga orang pria berbadan tegap menghadang langkahnya. Pria itu memberikan cengiran konyol lalu mundur teratur. Niatnya ingin memanfaatkan keadaan terpaksa gagal karena dipatahkan oleh pengamanan pengawal Angel yang selalu siap sedia menjaga nonanya.
Ketika Angel hendak mengambil botol keempat, tiba-tiba tangan kepala pengawalnya mencegat. Angel memandang bengis pengawal itu dan memintanya untuk melepaskan tangan Angel.
"Hentikan, Nona, Anda harus pulang sekarang."
"Tidak mau! Aku mau berpesta sampai pagi dan kau tidak berhak melarangku!"
"Tolong turuti perintah kami kali ini saja, Nona. Anda benar-benar harus segera pulang. Tuan..." pengawal itu berhenti menjelaskan membuat Angel menoleh dan menatapnya penuh intimidasi.
"Apa yang terjadi pada ayahku?"
***
"Penyakit jantung tuan Adam semakin mwmburuk. Dia tidak bisa mendengar kabar-kabar mengejutkan karena itu akan berpengaruh pada kesehatan jantungnya. Mulai sekarang, Nona juga harus mengawasi tuan Adam. Jaga pola makan, jangan terlalu stres, dan pastikan beliau mengkonsumsi obat yang sudah diresepkan."
"Tapi Ayah saya bisa sembuh, kan, Dok?"
"Tentu saja, asal tuan Adam rutin melakukan pengobatan dan menghindari larangan-larangan yang sudah saya sebutkan tadi."
Keesokan harinya, Angel terus berjalan di koridor kelas teknik komunikasi sambil terus memikirkan interaksi daruratnya kemarin malam dengan dokter yang memeriksa kondisi ayahnya. Angel tidak pernah menyangka di balik sikap tangguh dan keras sang ayah, ternyata dia menyimpan rapat-rapat tentang rahasia penyakitnya. Angel merasa sangat tolol karena bisa-bisanya dia luput tentang informasi sepenting ini. Padahal selama ini, gadis itu selalu berusaha mencurahkan isi hati dan juga perhatiannya pada sang ayah. Sesibuk-sibuknya Adam, Angel akan berusaha mencuri waktu berharga pria itu untuk dihabiskan bersamanya. Katakanlah di momen makan siang, makan malam, atau momen-momen tak terduga lain yang sengaja Angel ciptakan hanya demi memiliki quality time bersama sang ayah. Tapi kenapa, kenapa dia masih bisa melewatkan rahasia sepenting itu tentang ayahnya.
"Bodoh!"
"Aw!" pekik seseorang meringis keras padahal bukan orang itu yang Angel tabrak.
Angel meluruskan pandangan dan menangkap sosok yang baru saja tak sengaja dia tabrak. Kim Jaydan. Ah, manusia ini lagi. Pria itu mematung dingin di hadapan Angel namun tak gadis itu pedulikan. Angel memutuskan untuk melanjutkan langkahnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Lihatlah dia, kemarin meraung-raung seperti singa ngamuk sekarang tatapannya kosong seperti mayat hidup. Dasar, Nenek Sihir!" rutuk Karel kemudian pria itu pun menepuk-nepuk baju Jaydan.
"Kau tidak apa-apa?" pungkas Karel merasakan keanehan karena temannya itu mendadak jadi patung. Padahal sebelumnya mereka tengah asyik mendiskusikan mengenai konsep tugas kelompok yang akan dikerjakan.
"Iya, sampai di mana tadi?"
"Angel seperti mayat hidup."
"Bukan itu, konsep tugas kelompok kita," koreksi Jaydan menanggapi Karel yang salah paham.
"Oh, jadi begini...."
Sebelum beranjak Jaydan tampak ingin menoleh ke belakang sebentar namun urung karena Karel langsungm menariknya untuk segera menyamai langkahnya.
"Bum, menurutmu Angel kenapa, ya?" tanya Karel yang sudah duduk di bangkunya dan membuat Jaydan terheran-heran karena tetiba membahas mengenai Angel.
"Mana kutahu, tanya saja pada orangnya."
"Malas gila, yang ada nanti aku diterkam hidup-hidup lagi." Karel bergidik ngeri membayangkan hal itu jika benar-benar terjadi padanya.
"Dia tidak suka pria cerewet sepertimu," balas Jaydan sambil membuka buku tebal bertuliskan "Psikologi Komunikasi".
"Iya, karena dia sukanya pria batu dan irit bicara sepertimu. Omong-omong aku masih penasaran tentang alasanmu menolaknya. Kau tahu, hari di mana kau menolak Angel jadi momen bersejarah di kampus ini. Khususnya bagi para penggemar dan pejuang cinta Angel. Mereka berjuang mati-matian hanya demi menarik perhatiannya dan kau dengan seenak jidat malah menolak gadis paling cantik dan populer di kampus ini. Kau gila atau bagaimana?"
"Mm, aku gila, itu alasannya."
"Ayolah, Bum, katakan yang sejujurnya. Apa alasanmu menolak seorang Lee Angel? Kalau dipikir-pikir, jika kau jadian dengan Angel, kalian pasti akan menjadi pasangan paling serasi di daratan Athasian. Secara kalian sama-sama kaya, sama-sama pintar, dan sama-sama kejam."
"Maksudmu?" delik tajam Jaydan menciptakan simbol perdamaian yang Karel tawarkan melalui jari tangannya yang berbentuk V.
"Intinya kalian sangat serasi jika dilihat dari penampilan luar. Kau serius, tidak menyimpan perasaan apa pun padanya?"
"Untuk saat ini tidak."
"Woaa... woaa... woa... pengakuan yang luar biasa mengejutkan. Berarti ada kemungkinan suatu hari nanti kau menyukainya?"
"Siapa yang tahu."
"Aku tahu kau akan mengatakan ini, manusia diplomatis sepertimu memang tidak bisa memberikan ketegasan yang pasti. Selalu main di jalur aman."
"Ocehanmu semakin membingungkan," ejek Jaydan yang mengartikan agar Karel segera berhenti mengoceh. Jaydan tidak bisa fokus membaca buku.
"Kesimpulannya adalah, lebih baik kau tidak jatuh hati pada Angel nanti karena itu hanya akan melukaimu."
"Kenapa?"
"Kau pikir Angel masih mau menerima pria yang hampir mengatainya murahan, hah?"
Jaydan tampak memikirkan hal itu, saking dalamnya merenung dia bahkan terus membuka halaman bukunya secara acak tanpa membacanya sama sekali.
"Harus kuakui kemarin kau benar-benar sudah di luar batas. Oke, niatmu baik karena ingin membela Naina dari hinaan Angel. Tapi caramu salah, Bum, kau malah balik menghina dan menghardiknya dengan doa-doa kejammu. Dia pasti sangat sakit hati."
"Dia pantas mendapatkannya," gumam Jaydan pelan dan tidak yakin.
Bersambung
Sejujurnya Jaydan bukan tidak menyesal sama sekali atas perkataan kasarnya kemarin. Dia ingin meminta maaf pada Angel namun bingung bagaimana memulainya. Terlebih gadis itu selalu menunjukkan sikap dingin dan tidak bersahabat ketika berpapasan dengan Jaydan. Sekarang pria itu dengan polosnya menyusuri setiap sudut kampus yang mungkin didatangi Angel hanya karena hasutan Karel yang memintanya untuk segera minta maaf. Awalnya pria ceria nan cerewet itu memang berjanji menemaninya menemui Angel meski dengan sedikit paksaan. Sayangnya, Karel tiba-tiba dipanggil ke ruang dekan dan itu membuat pria jangkung itu bersorak senang. Dia lebih memilih menghadap dekankillerdibandingkan menyaksikan amukan Angel. Alhasil di sinilah Jaydan sekarang, dia harus keluar jauh dari area kelasnya di lantai dua untuk berkeliling d
Ask Dad for Dinner Satu pekan berlalu, akhirnya Naina sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Ini hari terakhirnya dan dia sedang mempersiapkan kepulangannya dengan dibantu Jaydan dan Karel. Sejak insiden mengerikan pekan lalu, dua lelaki itu memang terbilang cukup sering menjenguk Naina. Ada sekitar tiga sampai empat kali, tepatnya Karel membersamai Jaydan menjenguk Karel sebanyak tiga kali, sementara satu harinya hanya Jaydan sendiri yang datang ke sana. Tentu hal itu membuat Naina senang. Jaydan sangat perhatian padanya sampai rela menyisihkan sedikit waktu untuk menemaninya di rumah sakit selama masa perawatan. "Kamu yakin sudah baik-baik saja, Nai, itu kepala masih sakit tidak?" tanya Karel berdiri di dekat lemari es setelah mengambil minuman dingin dari tempat tersebut.
Sehari update berkali-kali, parah, sih!Semoga kalian bacanya gak nabung bab ya, dan tetap kasih apresiasi di setiap bab, thank youuu😘 *** Behind Her Tears Angel bergegas keluar lab komputer dengan cepat begitu kelas selesai, ia bahkan tak memedulikan panggilan Michelle dan Austin yang bertanya hendak ke mana gadis itu pergi atau mereka yang ingin Angel menunggu agar bisa keluar bersama. Tidak bisa, Angel tidak ingin terlambat satu detik pun untuk momen langka yang sulit ia dapatkan di hari-hari biasa. Gadis itu menuruni tangga dengan semangat, senyumnya sedikit terangkat meski tidak terlalu lebar. Entah mengapa dia begituexcitedtentang ajakan makan malam ini. membayangkan dirinya bisa menghabiskan waktu panjang sambil mengobrol santai denga
Satu pekan berlalu sejak pertemuan Jaydan dan Angel hari itu. Pertemuan paling membekas dari semua pertemuan yang pernah terjadi di antara keduanya. Setidaknya begitulah menurut Jaydan. Sejak hari itu, Jaydan tidak pernah melihat Angel wara-wiri di kampus. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi. Jaydan penasaran namun tidak memiliki cukup keberanian untuk menanyakan kabar Angel kepada dua teman dekatnya, Michelle dan Austin. Lelaki itu menopang dagunya sambil terus membuka lembar demi lembar buku yang dia ambil secara asal dari rak di seberang sana ketika pertama masuk ke perpustakaan. Pria itu tidak datang sendiri, dia ditemani Naina. Memang gadis itulah yang mengajak Jaydan ke sana, katanya Naina ingin minta bimbingan sang senior dalam mengerjakan salah satu tugas mata kuliah yang belum dia pahami. Memang pada dasarnya Jaydan orang baik jadi lelaki itu menyetujui permintaan Naina tanpa ragu. Sayangnya, konsentrasi Jaydan tidak terkumpul penuh di ruangan itu. Isi kep
Mendengar dua nama itu disebut sontak Jaydan menutup buku tebal di tangannya. Naina memandang itu nanar lalu fokus kembali pada apa yang akan Karel sampaikan tentang Angel. "Kenapa dia?" tanya Jaydan berusaha untuk tidak terlihat penasaran. "Hhh, ini kabar duka sebenarnya tapi gadis itu sudah terlalu kejam jadi aku bingung harus bereaksi apa." "Katakan saja apa beritanya!" desak Jaydan tidak sabar. "Hei, sabar, ini juga mau cerita. Kau ingat tidak, minggu lalu saat Angel menangis di parkiran?" Jaydan mengangguk, Naina yang tidak mengerti menatap kedua lelaki itu bergantian. "Rupanya saat itu Angel mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh pingsan di kantornya, diduga karena penyakit jantungnya kumat." "Kau dengar dari siapa kabar ini?" Jaydan ingin memastikan, dia enggan percaya jika sumbernya tidak jelas. Karel menyapu pandangan sekitar, memastikan agar tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Tadi aku ke ruang k
Jaydan memandang keluar jendela dari kamarnya yang ada di lantai dua. Hujan mengguyur Ibu Kota malam ini, tahu jika penghuni bumi memerlukan ketenangan yang lebih dari biasanya. Terutama bagi pemuda yang sedang kalut hatinya bernama Jaydan itu. Sejak mendapat kabar mengejutkan dari Karel tadi siang, tidak sekali pun bayangan Angel sirna dari pikirannya. Dia abaikan ponsel yang terus berdering menampilkan nama Naina pada layarnya. Pria itu benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tok tok tok! Baru saja Jaydan merapal keinginan untuk tidak diganggu siapa pun nyatanya kini sudah ada orang yang berniat mematahkan doa-doanya. Pria itu beranjak dari jendela dan membuka pintu. Ternyata ayahnyalah yang datang. Jaydan tersenyum lalu mempersilakan pria yang sangat dihormatinya itu masuk. Mereka duduk berhadapan, Jaydan di bibir ranjang sementara ayahnya di kursi belajar pria itu. Jaydan sengaja menunggu sang ayah untuk membuka percakapan. Lelaki itu yakin ayahn
Dalam kecepatan sedang Lamborghini Aventador putih milik Karel membelah jalan raya. Lelaki itu mengemudikan mobil sport kesayangannya dengan santai sambil asyik bersenandung mengikuti lantunan musik yang dia mainkan di sana. Akhirnya, setelah pekan penuh tekanan yang mengharuskannya berkutat dengan soal UTS, kini Karel bisa bernapas lega meski hanya sedikit karena faktanya selesai UTS, tugas-tugas baru mengular panjang—menunggu untuk dikerjakan. Pada dasarnya pekan tenang bagi mahasiswa itu benar-benar tidak ada, mustahil mereka menemukan satu pekan saja tanpa tugas dan presentasi. Memang sudah begitu kodratnya, jadi mau tak mau Karel menerima meski berat sekali pun. Hari ini, dia dan satu sahabatnya sedang dalam perjalanan menuju rumah teman sekelas mereka untuk mengerjakan tugas kelompok. Karel tidak akan bersemangat seperti itu jika tidak ada alasan yang menguntungkan baginya. Kita tahu bahwa Karelian ini tipikal mahasiswa yang menomor sekiankan tugas, tapi untuk tugas ha
Sekitar tiga puluh menit perjalanan dari kampus akhirnya Karel dan Jaydan tiba di tempat tujuan. Sebuah rumah bergaya modern klasik yang tidak begitu besar namun cukup resik dan asri. Tampak jelas sang penghuni rajin merawatnya dengan baik. Mobil yang ditumpangi Karel memarkir di halaman depan setelah seorang penjaga kebun membukakan gerbangnya. Jaydan melepas sabuk pengaman dan bersiap turun. "Kau yakin ini rumahnya?" tanya Jaydan sambil menyapu pandangan ke sekitar. Karel mengambil ponsel dan membuka riwayatchat-nya dengan salah seorang teman untuk memastikan alamat yang dimaksud. "Benar, sesuai dengan alamat yang dikirim Hena," ujar Karel dan tak lama kemudian dua orang gadis muncul dari pintu utama sambil mengembangkan senyum senang. "Jaydan, Karel, akhirnya kalian tiba juga. Ayo, silakan masuk." Keempat orang itu pun masuk rumah dengan berbagai perasaan berbeda dari tiap-tiap orang. Ada yang terlampau senang, ada yang biasa