Sehari update berkali-kali, parah, sih!
Semoga kalian bacanya gak nabung bab ya, dan tetap kasih apresiasi di setiap bab, thank youuu😘***
Behind Her Tears
Angel bergegas keluar lab komputer dengan cepat begitu kelas selesai, ia bahkan tak memedulikan panggilan Michelle dan Austin yang bertanya hendak ke mana gadis itu pergi atau mereka yang ingin Angel menunggu agar bisa keluar bersama. Tidak bisa, Angel tidak ingin terlambat satu detik pun untuk momen langka yang sulit ia dapatkan di hari-hari biasa. Gadis itu menuruni tangga dengan semangat, senyumnya sedikit terangkat meski tidak terlalu lebar. Entah mengapa dia begitu excited tentang ajakan makan malam ini. membayangkan dirinya bisa menghabiskan waktu panjang sambil mengobrol santai dengan sang ayah saja sudah membuat Angel senang. Susana hatinya mendadak cerah, secerah pelangi yang hadir setelah hujan deras berakhir.
Nethern University tercatat sebagai salah satu kampus yang memiliki wilayah terluas di Athasian, anehnya, hampir setiap Angel berada di sana dia selalu tidak sengaja dipertemukan dengan Jaydan di mana dan ke mana pun ia akan pergi. Seperti sekarang misalnya, saat Angel hendak mengambil mobilnya ia berpapasan dengan Jaydan yang juga baru keluar dari sebuah mobil sport warna putih. Lelaki itu turun lebih dulu, lalu disusul Karel setelah berhasil memarkir mobilnya dengan aman. Mereka berada di satu jalur yang sama, tidak ada kesempatan untuk saling menjauhkan diri dan Angel memilih untuk abai seperti biasanya.
"Naina sudah keluar dari rumah sakit," kata Jaydan membuat Angel seketika berhenti, gadis itu juga tidak tahu kenapa, padahal akan lebih baik jika dia konsisten mengabaikan Jaydan hingga akhir.
"Bum, ayolah jangan cari masalah. Yuk, ke sekre saja!" ajak Karel khawatir terjadi peperangan kesekian kalinya di antara kedua orang itu.
Jaydan tak mengindahkan ajakan Karel seakan kekhawatiran kawan baiknya itu hanya sebuah angin yang melintas sepintas. Tak berjejak sama sekali.
"Kau bicara padaku?"
"Tidak ada orang lagi di sini selain dirimu."
"Kau anggap temanmu tikus got?" balas Angel sarkastis.
Karel tersinggung ingin membidas malaikat berhati iblis itu namun tak punya cukup keberanian untuk melakukannya.
"Jangan macam-macam, Jay!" akhirnya Karel hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada Jaydan, lelaki jangkung berlesung pipi dan mata bulat meninju lengan atas Jaydan.
"Naina akan senang jika kau meminta maaf padanya langsung, dia dan keluarganya masih berbesar hati memberimu kesempatan."
Angel mengekeh tak percaya, ia melangkah tegas ke hadapan Jaydan lalu berdiri di hadapan lelaki itu sambil mengamati ekspresi kaku Presiden mahasiswa itu. Tangan gadis itu melipat di atas perutnya, memandang remeh Jaydan dengan segala pikiran naifnya.
"Kenapa aku harus menemui mereka dan minta maaf?"
"Rupanya kau belum sadar juga."
"Kau yang belum sadar, orang sombong, kau!" Angel menekan kuat dada Jaydan dengan telunjuknya.
"Jika kau memang sangat ingin membahagiakan kekasihmu maka bahagiakanlah dia dengan caramu sendiri. Jangan usik orang lain dan memintanya mengemis maaf atas kesalahan yang tidak pernah dia lakukan."
"Kau pelakunya, pengakuan itu datang dari dirimu sendiri."
"Ck ck ck, kenapa lelaki sebodoh dirimu bisa terpilih menjadi Presiden mahasiswa. Heh, Galah!" ejek Angel pada Jaydan lalu memAustinl Karel dengan panggilan aneh.
"Aku?" tanya Karel menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, kau Galah idiot, aku rasa kau lebih cocok jadi presiden mahasiswa dibandingkan temanmu yang sok dermawan ini. Mau kubantu mengudetanya?"
Tawaran menarik, Karel nyaris tergiur, tapi dia cukup mawas diri tidak memiliki rasa tanggung jawab sebesar itu untuk bertukar posisi dengan Jaydan sebagai presiden mahasiswa.
"Tidak terima kasih, aku masih ingin hidup bebas."
"Sama idiotnya ternyata," gumam Angel, lidahnya lancar sekali dalam mengumpat orang, bebas hambatan seperti jalan tol.
"Aku sama sekali tidak tertarik mendengar umpatan kasarmu, yang perlu kau lakukan hanya meminta maaf pada Naina, itu saja."
"Sampai mati aku tidak akan sudi meminta maaf padanya. Secinta itu kau padanya sampai bisa dibodohi separah ini? Dia terlalu pintar atau memang otakmu saja yang rusak? Idiot!"
"Otakmu tidak lebih sehat karena pernah jatuh cinta pada orang idiot sepertiku."
Jaydan mulai menyerang pada ranah yang sangat sensitif, ekspresi Angel tidak bisa sesantai tadi. Dia paling tidak suka jika momen memalukan itu terus diungkit apalagi oleh orang yang paling berdosa atas momen itu. Orang yang sudah membuat Angel mengalami patah hati untuk yang pertama kalinya.
"Kau menyesal menolakku?" serang Angel membuat Jaydan mengernyit.
"Menyesal?" cicit Jaydan heran, Karel masih menyimak dengan waswas.
"Ya, kau sering membahas tentang kejadian bodoh itu, kau ingin aku kembali mengajakmu berkencan? Maaf, aku tidak tertarik lagi padamu sekarang. Di mataku, kau hanya sampah mengerikan yang terlalu mengganggu kenyamananku sampai rasanya aku ingin membuangmu ke jurang."
"Jika aku sampah, maka dirimu lebih buruk dari itu," ujar Jaydan dingin, terlalu menusuk sampai lidah Angel kelu tak sanggup membalasnya.
Gadis itu melayangkan tatapan marah, kecewa, sakit, dan dendam kepada laki-laki di hadapannya yang justru memandang Angel datar. Tanpa ekspresi dan itu terasa lebih menyakitkan dari perih yang Angel terima selama ini. Di tengah perdebatan sengit itu, ponsel Angel tiba-tiba berdering, dia menerima panggilan dari nomor tidak dikenal dan mendengarkan seseorang menjelaskan sesuatu di seberang sana. Ponsel warna emas itu meluncur dan menghantam aspal dengan cukup keras. Tangan Angel tetiba kehilangan tenaga untuk menggenggam barang yang tak seberapa berat itu. maniknya yang sempat memutus kontak dengan mata Jaydan kini menaut manik hitam lelaki itu lagi. Lebih dalam dan semakin dalam sampai muncul lapisan bening berkalang sendu.
Sorot tajam Jaydan melemah, tidak lagi sekuat sebelumnya saat sang lawan menunjukkan keanehan yang tidak bisa ia baca alasannya. Jaydan melihat kesedihan yang begitu besar di mata Angel. lelaki itu tertarik pada puncak kekagetannya saat tiba-tiba saja gadis yang dikenal sebagai Evil Queen itu meneteskan air mata, awalnya jarang namun lambat laun air kesedihan itu mengalir deras bagai arus air sungai yang tak bertepi. Tatapan mata berairnya sudah kosong, Angel mengambil langkah mundur sampai akhirnya dia berbalik—lari secepat mungkin memasuki mobilnya dan mobil itu melesat dengan cepat meninggalkan Jaydan dan Karel yang masih mematung kaget dan bingung.
"Astagaaa ... itu anak kenapa sebenarnya? Kau lihat tadi kan, Jay? Dia menangis, seorang Angel Lee menangis. Wah, harusnya tadi aku rekam, berita ini pasti akan jadi gosip hangat di grup angkatan."
Ketika Karel mengoceh, Jaydan masih bertahan dengan posisi patungnya. Mata tajam pria itu masih menaut ke arah jalan yang sudah menelan mobil Angel sampai tak terlihat.
"Jay, hei, Jay, hei Jaydan!"
Jaydan tersentak, melempar tatapan nyalang pada Karel dan laki-laki itu langsung buang muka sambil bersiul santai. Pikiran laki-laki itu masih sibuk menerka kiranya hal buruk apa yang terjadi sampai Angel menangis dan mengendarai mobil kesetanan seperti itu. Jaydan menghela napas berat, dia berniat meninggalkan tempat itu sampai pada akhirnya kakinya menginjak sesuatu. Itu ponsel Angel yang tak sempat gadis itu ambil, Jaydan memungutnya lantas ia masukkan ke dalam tasnya.
Apa dia baik-baik saja? Ada apa di balik air mata itu? Kenapa ... kenapa rasanya sungguh menyakitkan.
Satu pekan berlalu sejak pertemuan Jaydan dan Angel hari itu. Pertemuan paling membekas dari semua pertemuan yang pernah terjadi di antara keduanya. Setidaknya begitulah menurut Jaydan. Sejak hari itu, Jaydan tidak pernah melihat Angel wara-wiri di kampus. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi. Jaydan penasaran namun tidak memiliki cukup keberanian untuk menanyakan kabar Angel kepada dua teman dekatnya, Michelle dan Austin. Lelaki itu menopang dagunya sambil terus membuka lembar demi lembar buku yang dia ambil secara asal dari rak di seberang sana ketika pertama masuk ke perpustakaan. Pria itu tidak datang sendiri, dia ditemani Naina. Memang gadis itulah yang mengajak Jaydan ke sana, katanya Naina ingin minta bimbingan sang senior dalam mengerjakan salah satu tugas mata kuliah yang belum dia pahami. Memang pada dasarnya Jaydan orang baik jadi lelaki itu menyetujui permintaan Naina tanpa ragu. Sayangnya, konsentrasi Jaydan tidak terkumpul penuh di ruangan itu. Isi kep
Mendengar dua nama itu disebut sontak Jaydan menutup buku tebal di tangannya. Naina memandang itu nanar lalu fokus kembali pada apa yang akan Karel sampaikan tentang Angel. "Kenapa dia?" tanya Jaydan berusaha untuk tidak terlihat penasaran. "Hhh, ini kabar duka sebenarnya tapi gadis itu sudah terlalu kejam jadi aku bingung harus bereaksi apa." "Katakan saja apa beritanya!" desak Jaydan tidak sabar. "Hei, sabar, ini juga mau cerita. Kau ingat tidak, minggu lalu saat Angel menangis di parkiran?" Jaydan mengangguk, Naina yang tidak mengerti menatap kedua lelaki itu bergantian. "Rupanya saat itu Angel mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh pingsan di kantornya, diduga karena penyakit jantungnya kumat." "Kau dengar dari siapa kabar ini?" Jaydan ingin memastikan, dia enggan percaya jika sumbernya tidak jelas. Karel menyapu pandangan sekitar, memastikan agar tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Tadi aku ke ruang k
Jaydan memandang keluar jendela dari kamarnya yang ada di lantai dua. Hujan mengguyur Ibu Kota malam ini, tahu jika penghuni bumi memerlukan ketenangan yang lebih dari biasanya. Terutama bagi pemuda yang sedang kalut hatinya bernama Jaydan itu. Sejak mendapat kabar mengejutkan dari Karel tadi siang, tidak sekali pun bayangan Angel sirna dari pikirannya. Dia abaikan ponsel yang terus berdering menampilkan nama Naina pada layarnya. Pria itu benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tok tok tok! Baru saja Jaydan merapal keinginan untuk tidak diganggu siapa pun nyatanya kini sudah ada orang yang berniat mematahkan doa-doanya. Pria itu beranjak dari jendela dan membuka pintu. Ternyata ayahnyalah yang datang. Jaydan tersenyum lalu mempersilakan pria yang sangat dihormatinya itu masuk. Mereka duduk berhadapan, Jaydan di bibir ranjang sementara ayahnya di kursi belajar pria itu. Jaydan sengaja menunggu sang ayah untuk membuka percakapan. Lelaki itu yakin ayahn
Dalam kecepatan sedang Lamborghini Aventador putih milik Karel membelah jalan raya. Lelaki itu mengemudikan mobil sport kesayangannya dengan santai sambil asyik bersenandung mengikuti lantunan musik yang dia mainkan di sana. Akhirnya, setelah pekan penuh tekanan yang mengharuskannya berkutat dengan soal UTS, kini Karel bisa bernapas lega meski hanya sedikit karena faktanya selesai UTS, tugas-tugas baru mengular panjang—menunggu untuk dikerjakan. Pada dasarnya pekan tenang bagi mahasiswa itu benar-benar tidak ada, mustahil mereka menemukan satu pekan saja tanpa tugas dan presentasi. Memang sudah begitu kodratnya, jadi mau tak mau Karel menerima meski berat sekali pun. Hari ini, dia dan satu sahabatnya sedang dalam perjalanan menuju rumah teman sekelas mereka untuk mengerjakan tugas kelompok. Karel tidak akan bersemangat seperti itu jika tidak ada alasan yang menguntungkan baginya. Kita tahu bahwa Karelian ini tipikal mahasiswa yang menomor sekiankan tugas, tapi untuk tugas ha
Sekitar tiga puluh menit perjalanan dari kampus akhirnya Karel dan Jaydan tiba di tempat tujuan. Sebuah rumah bergaya modern klasik yang tidak begitu besar namun cukup resik dan asri. Tampak jelas sang penghuni rajin merawatnya dengan baik. Mobil yang ditumpangi Karel memarkir di halaman depan setelah seorang penjaga kebun membukakan gerbangnya. Jaydan melepas sabuk pengaman dan bersiap turun. "Kau yakin ini rumahnya?" tanya Jaydan sambil menyapu pandangan ke sekitar. Karel mengambil ponsel dan membuka riwayatchat-nya dengan salah seorang teman untuk memastikan alamat yang dimaksud. "Benar, sesuai dengan alamat yang dikirim Hena," ujar Karel dan tak lama kemudian dua orang gadis muncul dari pintu utama sambil mengembangkan senyum senang. "Jaydan, Karel, akhirnya kalian tiba juga. Ayo, silakan masuk." Keempat orang itu pun masuk rumah dengan berbagai perasaan berbeda dari tiap-tiap orang. Ada yang terlampau senang, ada yang biasa
Menjadi musuh semesta dalam waktu singkat tidak pernah Angel sangka akan menjadi nasibnya. Ya, dia sadar sebelum kasus ayahnya merebak, sosoknya yang angkuh dan kerap berlaku semena-mena memang sudah menjadi pemantik kebencian orang-orang terhadapnya. Tapi serangan kali ini lebih dahsyat dari serangan-serangan yang pernah dia dapat sebelumnya. Komentarnya sama-sama mengerikan, kala itu Angel lebih tangguh menghadapi semua hujatan karena ada Adam di sisinya. Pria itu yang selalu mengingatkan bahwa disukai dan dibenci itu adalah hal yang lumrah dalam kehidupan. Angel ingat betul kapan dan di mana sang ayah mengatakan itu. Dilonguedepan kolam renang saat senja datang, itulah tempat dan waktu favorit mereka untuk menghabiskan waktu bersama pasca Adam selesai dengan pekerjaannya. "Kita tidak bisa mengendalikan penduduk semesta untuk senantiasa menyukai kita. Sekelas Nabi—manusia paling mulia di muka bumi—ini saja masih ada yang membenci, apalagi k
Angel kembali melanjutkan kegiatan membacanya. Tidak peduli dengan apa yang Jaydan lakukan pada Moca dan enggan menanggapi komentar lelaki itu juga. Terbesit sedikit rasa jengkel pada Moca. Bisa-bisanya kucing itu bersikap ramah pada orang yang telah membuat pemiliknya patah hati. Dasar kucing tidak setia kawan, begitu pikir Angel. Jaydan sudah duduk di samping Angel, tidak ada yang meminta atau pun melarang. Pria itu hanya berinisiatif tanpa takut akan ancaman penolakan yang mungkin dia terima. Gadis di sampingnya justru membisu seolah tidak ada siapa pun yang hadir di sana. "Kucingmu lucu, beda dengan pemiliknya." Masih belum ada tanggapan dari Angel. Tuhan seperti mengutuk perempuan itu menjadi batu. Tidak bisa berkutik atau bicara apa pun. "Siapa namanya?" tampaknya Jaydan belum ingin menyerah. Dia terus mengajukan pertanyaan meski belum tentu mendapat jawaban. "Tidak perlu menghabiskan waktu berhargamu untuk iba padaku. Pergi!" Dingin, ke
"Semua ucapanmu mungkin benar, aku juga tidak bermaksud menyepelekan kesedihanmu. Dan ya, aku bukan siapa-siapa bagimu, hanya sekadar teman satu kampus yang ingin mengingatkan bahwa kau masih punya kesempatan besar untuk memutar roda kehidupan. Kau bisa berusaha, entah perlahan atau langsung berlari untuk mencapai puncaknya. Asal kau mau memulai maka semua itu akan tercapai suatu saat nanti. Kuliah tidak akan menjamin kesuksesanmu, tapi setidaknya itu bisa menjadi langkah awal untukmu memulai semuanya dari nol. Tidak ada kata terlambat bagi mereka yang berusaha dengan giat." "Bisa berhenti tidak? Aku lelah mendengar omong kosongmu." "Aku sama sekali tidak—" Angel berdiri, dia mengambil alih Moca dari pangkuan Jaydan yang masih duduk di ayunan. Lelaki itu menatap manik Angel dalam. "Aku mengerti, Jaydan, sangat mengerti. Semua hal yang kumiliki selama ini memang tidak pernah benar-benar menjad milikku. Harta, sahabat, penggemar, popularitas, semuanya s