Ask Dad for Dinner
Satu pekan berlalu, akhirnya Naina sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Ini hari terakhirnya dan dia sedang mempersiapkan kepulangannya dengan dibantu Jaydan dan Karel. Sejak insiden mengerikan pekan lalu, dua lelaki itu memang terbilang cukup sering menjenguk Naina. Ada sekitar tiga sampai empat kali, tepatnya Karel membersamai Jaydan menjenguk Karel sebanyak tiga kali, sementara satu harinya hanya Jaydan sendiri yang datang ke sana. Tentu hal itu membuat Naina senang. Jaydan sangat perhatian padanya sampai rela menyisihkan sedikit waktu untuk menemaninya di rumah sakit selama masa perawatan.
"Kamu yakin sudah baik-baik saja, Nai, itu kepala masih sakit tidak?" tanya Karel berdiri di dekat lemari es setelah mengambil minuman dingin dari tempat tersebut.
Akhirnya acara kemas-mengemas barang-barang Naina selesai juga, kini hanya tinggal menunggu keluarga gadis itu menyelesaikan proses administrasi lalu Naina sudah diizinkan keluar dari sana.
"Sudah lebih baik, Kak, tidak sesakit yang kak Karel bayangkan kok."
"Si Angel benar-benar ya, kelakuannya minus sekali. Kenapa bisa setega itu padamu?"
"Ini bukan salah kak Angel sepenuhnya, mungkin memang aku saja yang terlalu berharap bisa berteman baik dengannya."
"Bagaimana mungkin itu bukan salahnya, dia mendorongmu hanya karena kau meminta maaf soal kejadian di kantin waktu itu. Mengajaknya berteman bukan sebuah dosa kan, kalau memang Angel tidak mau menerima tawaranmu ya sudah, tidak perlu mendorongmu juga. Ini tidak masuk akal! Gadis itu memang sakit jiwa," omel Karel berapi-api.
"Sepertinya kak Angel masih marah padaku karena aku terlalu dekat dengan kak Jaydan," kata Naina hati-hati setelah itu dia lanjut berujar, "Mungkin dia berpikir antara aku dan kak Jaydan ada sesuatu makanya bersikap dingin terus padaku."
"Hhh, pada akhirnya ini menjadi kesalahanmu, Jay," sindir Karel menyudutkan.
"Kenapa aku?"
"Iya karena kau menolak cintanya makanya dia jadi nekat begitu. Harga dirinya terhina mungkin karena sudah ditolak olehmu. Coba kalau waktu itu kau terima, pasti semua ini tidak akan terjadi."
"Kau ingin aku berpacaran dengan gadis itu?"
Karel berpikir sejenak, mengarahkan pandangannya ke atas layaknya pose orang mencari jawaban atas suatu pertanyaan. Karel menampakkan ekspresi ngeri sambil geleng-geleng kepala.
"Eh, jangan, seram! Membayangkannya saja membuatku merinding. Kalau kau menjadi kekasih Angel, aku tidak akan berani dekat-dekat denganmu."
"Jangan banyak tingkah makanya," tegur Jaydan keras meski dengan sikap santai.
"Siap laksanakan pak Presiden, daripada jadian dengan Angel berhati iblis, lebih baik kau jadian saja dengan Naina. Kalian cocok kok, serius!"
Semua saja Karel sebut serius, Jaydan ditembak Angel dibilang cocok, Jaydan berpartner dengan Meliza—wakil Presma—dibilang cocok, Jaydan satu kelompok dengan Wellma—teman sekelasnya—dibilang cocok juga, dan sekarang Jaydan dekat dengan adik juniornya di BEM dibilang cocok juga. Entah apa maunya si playboy ulung itu. Jaydan tidak menanggapi serius seruan Karel, berbeda dengan Naina yang terlihat sudah berbunga-bunga mendapat godaan seperti itu.
Sudah bukan rahasia kalau Naina sebenarnya menyimpan perasaan pada seniornya itu. Teman-teman di kelasnya sudah tahu begitu pun dengan anggota BEM. Mereka bahkan sering menggoda Jaydan dan Naina saat mereka bersama. Barangkali Jaydan juga sudah tahu tapi dia tidak pernah menunjukkan respons apa pun terhadap hal itu. Dia bersikap biasa seolah godaan-godaan yang ada tidak pernah hinggap di telinganya. Tampak begitu profesional dan tidak mudah terpengaruh omongan orang, itu hebatnya Jaydan. Lantas kenapa sikap itu tidak berlaku saat Jaydan berhadapan dengan Angel? Kenapa sulit sekali mempercayai gadis itu? sampai sekarang Jaydan pun tak tahu alasannya.
***
"Kau yakin tidak akan datang ke sana malam ini, Angel? Pestanya pasti seru sekali," ungkap Michelle terlihat kecewa setelah Angel menolak ajakan perginya.
"Aku sedang tidak minat pergi ke mana-mana."
"Kenapa, apa karena insiden Naina minggu lalu? Oh, ayolah, kau tidak bersalah, kan. Sekali pun kau salah, itu tidak akan berpengaruh apa-apa padamu. Semua orang akan tetap takut padamu dan tetap menyukaimu. Buktinya walau sempat ramai di media sosial, followers-mu tidak turun, malah semakin bertambah," sahut Austin yang masih sangat berharap Angel bisa ikut bersama mereka ke salah satu acara malam.
Ketiga sahabat itu berjalan di koridor, tujuan mereka adalah lab komputer karena sebentar lagi perkuliahan akan diadakan di sana.
"Apa karena ayahmu?" tebak Michelle lagi masih penasaran.
"Oh, iya, minggu lalu ayahmu sempat dirawat, kan? Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Austin.
"Kondisi ayah sudah membaik, dia bahkan sudah mulai bekerja lagi seperti biasanya."
"Tuan Adam memang yang terhebat, pengusaha panutan kaula muda. Jaydan bodoh karena melewatkan kesempatan untuk menjadi calon menantunya."
Mendengar nama lelaki itu disebut, suasana hati Angel tiba-tiba memburuk, selentingan kabar hinggap di telinganya pagi ini. Katanya, Jaydan sedang membantu Naina di rumah sakit yang akan pulang hari ini. Selain itu, Angel juga sering mendapat kabar tentang Jaydan yang rutin mengunjungi gadis itu. Menjengkelkan sekali karena sepertinya Angel sudah kalah telak.
"Tidak usah membahas orang lain, aku menolak pergi karena murni sedang malas keluar rumah. Selesai kuliah aku mau langsung pulang, jadi kalian bersenang-senang berdua saja."
"Hhh, dasar tidak seru!" decih Michelle, Angel terkekeh saja.
Akhirnya ketiga sahabat itu tiba di lab komputer, setelah memilih tempat duduk, mereka mulai mempersiapkan alat tempur lain yang akan digunakan pada perkuliahan kali ini. Dalam proses mempersiapkan peralatan, Angel mendapat pesan singkat dari Adam.
Ayah
[Kamu pulang jam berapa, Nak?]
Angel
[Sekitar pukul lima sore, Yah, kenapa?]
Ayah
[Jadwal bertemu dengan dokter William kapan?]
Angel
[Lusa, harusnya sore ini tapi katanya dokter William ada acara di luar kota jadi tadi pagi dia menghubungiku untuk reschedule.]
Ayah
[Oh, begitu, baguslah. Jangan lupa datang, ya, kamu harus lebih sering check up.]
Angel
[Iya, Ayah, aku tidak akan lupa. Ayah masih di kantor?]
Ayah
[Iya, masih di kantor, nanti setelah dari kampus bagaimana kalau kita makan malam di luar? Sudah lama rasanya kita tidak jalan-jalan bersama.]
Angel
[Serius? Aku senang sekali kalau Ayah bisa makan malam denganku di luar.]
Ayah
[Serius, Sayang, oke kalau begitu nanti kita langsung bertemu di restoran biasa, ya?]
Angel
[Siap, Yah. Aku jadi tidak sabar ingin segera pulang.]
Ayah
[Belajar dulu yang rajin, semangat!]
Angel
[Siap, Bos! I love you.]
Ayah
[I love you too, Sayang.]
Awalnya Angel memang sedang tidak minat untuk jalan-jalan, tapi lain hal jika yang mengajaknya adalah Adam Lee. Selelah apa pun, dan semalas apa pun, semangatnya akan tiba-tiba kembali dan dia siap diajak berkeliling sejauh apa pun sang ayah mengajaknya. Di saat banyak pikiran begini, mengobrol dengan ayahnya memang obat terbaik untuk kesembuhan Angel. Gadis itu sangat menyayangi ayahnya dan berharap bisa hidup bersama pria hebat itu selama yang dia bisa. Semoga Tuhan mengabulkan pinta terbesarnya ini. Amin.
***
Sehari update berkali-kali, parah, sih!Semoga kalian bacanya gak nabung bab ya, dan tetap kasih apresiasi di setiap bab, thank youuu😘 *** Behind Her Tears Angel bergegas keluar lab komputer dengan cepat begitu kelas selesai, ia bahkan tak memedulikan panggilan Michelle dan Austin yang bertanya hendak ke mana gadis itu pergi atau mereka yang ingin Angel menunggu agar bisa keluar bersama. Tidak bisa, Angel tidak ingin terlambat satu detik pun untuk momen langka yang sulit ia dapatkan di hari-hari biasa. Gadis itu menuruni tangga dengan semangat, senyumnya sedikit terangkat meski tidak terlalu lebar. Entah mengapa dia begituexcitedtentang ajakan makan malam ini. membayangkan dirinya bisa menghabiskan waktu panjang sambil mengobrol santai denga
Satu pekan berlalu sejak pertemuan Jaydan dan Angel hari itu. Pertemuan paling membekas dari semua pertemuan yang pernah terjadi di antara keduanya. Setidaknya begitulah menurut Jaydan. Sejak hari itu, Jaydan tidak pernah melihat Angel wara-wiri di kampus. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi. Jaydan penasaran namun tidak memiliki cukup keberanian untuk menanyakan kabar Angel kepada dua teman dekatnya, Michelle dan Austin. Lelaki itu menopang dagunya sambil terus membuka lembar demi lembar buku yang dia ambil secara asal dari rak di seberang sana ketika pertama masuk ke perpustakaan. Pria itu tidak datang sendiri, dia ditemani Naina. Memang gadis itulah yang mengajak Jaydan ke sana, katanya Naina ingin minta bimbingan sang senior dalam mengerjakan salah satu tugas mata kuliah yang belum dia pahami. Memang pada dasarnya Jaydan orang baik jadi lelaki itu menyetujui permintaan Naina tanpa ragu. Sayangnya, konsentrasi Jaydan tidak terkumpul penuh di ruangan itu. Isi kep
Mendengar dua nama itu disebut sontak Jaydan menutup buku tebal di tangannya. Naina memandang itu nanar lalu fokus kembali pada apa yang akan Karel sampaikan tentang Angel. "Kenapa dia?" tanya Jaydan berusaha untuk tidak terlihat penasaran. "Hhh, ini kabar duka sebenarnya tapi gadis itu sudah terlalu kejam jadi aku bingung harus bereaksi apa." "Katakan saja apa beritanya!" desak Jaydan tidak sabar. "Hei, sabar, ini juga mau cerita. Kau ingat tidak, minggu lalu saat Angel menangis di parkiran?" Jaydan mengangguk, Naina yang tidak mengerti menatap kedua lelaki itu bergantian. "Rupanya saat itu Angel mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh pingsan di kantornya, diduga karena penyakit jantungnya kumat." "Kau dengar dari siapa kabar ini?" Jaydan ingin memastikan, dia enggan percaya jika sumbernya tidak jelas. Karel menyapu pandangan sekitar, memastikan agar tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Tadi aku ke ruang k
Jaydan memandang keluar jendela dari kamarnya yang ada di lantai dua. Hujan mengguyur Ibu Kota malam ini, tahu jika penghuni bumi memerlukan ketenangan yang lebih dari biasanya. Terutama bagi pemuda yang sedang kalut hatinya bernama Jaydan itu. Sejak mendapat kabar mengejutkan dari Karel tadi siang, tidak sekali pun bayangan Angel sirna dari pikirannya. Dia abaikan ponsel yang terus berdering menampilkan nama Naina pada layarnya. Pria itu benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Tok tok tok! Baru saja Jaydan merapal keinginan untuk tidak diganggu siapa pun nyatanya kini sudah ada orang yang berniat mematahkan doa-doanya. Pria itu beranjak dari jendela dan membuka pintu. Ternyata ayahnyalah yang datang. Jaydan tersenyum lalu mempersilakan pria yang sangat dihormatinya itu masuk. Mereka duduk berhadapan, Jaydan di bibir ranjang sementara ayahnya di kursi belajar pria itu. Jaydan sengaja menunggu sang ayah untuk membuka percakapan. Lelaki itu yakin ayahn
Dalam kecepatan sedang Lamborghini Aventador putih milik Karel membelah jalan raya. Lelaki itu mengemudikan mobil sport kesayangannya dengan santai sambil asyik bersenandung mengikuti lantunan musik yang dia mainkan di sana. Akhirnya, setelah pekan penuh tekanan yang mengharuskannya berkutat dengan soal UTS, kini Karel bisa bernapas lega meski hanya sedikit karena faktanya selesai UTS, tugas-tugas baru mengular panjang—menunggu untuk dikerjakan. Pada dasarnya pekan tenang bagi mahasiswa itu benar-benar tidak ada, mustahil mereka menemukan satu pekan saja tanpa tugas dan presentasi. Memang sudah begitu kodratnya, jadi mau tak mau Karel menerima meski berat sekali pun. Hari ini, dia dan satu sahabatnya sedang dalam perjalanan menuju rumah teman sekelas mereka untuk mengerjakan tugas kelompok. Karel tidak akan bersemangat seperti itu jika tidak ada alasan yang menguntungkan baginya. Kita tahu bahwa Karelian ini tipikal mahasiswa yang menomor sekiankan tugas, tapi untuk tugas ha
Sekitar tiga puluh menit perjalanan dari kampus akhirnya Karel dan Jaydan tiba di tempat tujuan. Sebuah rumah bergaya modern klasik yang tidak begitu besar namun cukup resik dan asri. Tampak jelas sang penghuni rajin merawatnya dengan baik. Mobil yang ditumpangi Karel memarkir di halaman depan setelah seorang penjaga kebun membukakan gerbangnya. Jaydan melepas sabuk pengaman dan bersiap turun. "Kau yakin ini rumahnya?" tanya Jaydan sambil menyapu pandangan ke sekitar. Karel mengambil ponsel dan membuka riwayatchat-nya dengan salah seorang teman untuk memastikan alamat yang dimaksud. "Benar, sesuai dengan alamat yang dikirim Hena," ujar Karel dan tak lama kemudian dua orang gadis muncul dari pintu utama sambil mengembangkan senyum senang. "Jaydan, Karel, akhirnya kalian tiba juga. Ayo, silakan masuk." Keempat orang itu pun masuk rumah dengan berbagai perasaan berbeda dari tiap-tiap orang. Ada yang terlampau senang, ada yang biasa
Menjadi musuh semesta dalam waktu singkat tidak pernah Angel sangka akan menjadi nasibnya. Ya, dia sadar sebelum kasus ayahnya merebak, sosoknya yang angkuh dan kerap berlaku semena-mena memang sudah menjadi pemantik kebencian orang-orang terhadapnya. Tapi serangan kali ini lebih dahsyat dari serangan-serangan yang pernah dia dapat sebelumnya. Komentarnya sama-sama mengerikan, kala itu Angel lebih tangguh menghadapi semua hujatan karena ada Adam di sisinya. Pria itu yang selalu mengingatkan bahwa disukai dan dibenci itu adalah hal yang lumrah dalam kehidupan. Angel ingat betul kapan dan di mana sang ayah mengatakan itu. Dilonguedepan kolam renang saat senja datang, itulah tempat dan waktu favorit mereka untuk menghabiskan waktu bersama pasca Adam selesai dengan pekerjaannya. "Kita tidak bisa mengendalikan penduduk semesta untuk senantiasa menyukai kita. Sekelas Nabi—manusia paling mulia di muka bumi—ini saja masih ada yang membenci, apalagi k
Angel kembali melanjutkan kegiatan membacanya. Tidak peduli dengan apa yang Jaydan lakukan pada Moca dan enggan menanggapi komentar lelaki itu juga. Terbesit sedikit rasa jengkel pada Moca. Bisa-bisanya kucing itu bersikap ramah pada orang yang telah membuat pemiliknya patah hati. Dasar kucing tidak setia kawan, begitu pikir Angel. Jaydan sudah duduk di samping Angel, tidak ada yang meminta atau pun melarang. Pria itu hanya berinisiatif tanpa takut akan ancaman penolakan yang mungkin dia terima. Gadis di sampingnya justru membisu seolah tidak ada siapa pun yang hadir di sana. "Kucingmu lucu, beda dengan pemiliknya." Masih belum ada tanggapan dari Angel. Tuhan seperti mengutuk perempuan itu menjadi batu. Tidak bisa berkutik atau bicara apa pun. "Siapa namanya?" tampaknya Jaydan belum ingin menyerah. Dia terus mengajukan pertanyaan meski belum tentu mendapat jawaban. "Tidak perlu menghabiskan waktu berhargamu untuk iba padaku. Pergi!" Dingin, ke