Baru kali ini Vander merasa dirinya sangat cemas juga tak sabar dengan pacu jantung tak menentu dalam satu waktu. Sudah lama rasanya dirinya tak menggebu seperti sekarang. Kali ini, sudah dipastikan bulir keringat sebesar jagung keluar dari pelipisnya. Apalagi laju kendaraan yang membawanya sangat kencang membelah kota. Tak menyangka bahwa pria paruh baya di sampingnyalah yang membawa salah satu mobil klasik tercepat di dunia itu.
Dari kejauhan bisa dirinya lihat jembatan Brooklyn berdiri megah. Rasanya sudah lama dia tak menginjakkan kaki sekedar berdiri terpaku seperti yang biasa dilakukan. Bangunan kuno itu masih baik-baik saja tanpanya. Tidak sama sepertinya yang selalu kacau dari hari ke hari. Apakah dia bisa menjadi sekuat Brooklyn? Setegar Washington yang menembus batasnya?
Melintasi jembatan panjang itu, kenangan Vander muncul akan Chloe yang dulu bersamanya di dalam mobil. Rasanya Va
Merangkak pelan di atas ranjang miliknya, Vander bersusah payah agar tak membangunkan Chloe yang sedang tertidur lelap.Demi Tuhan, Vander sangat merindukan sosok yang berada dalam dekapannya kini. Bahkan dia tak henti-henti menciumi wangi rambut dari kepala Chloe, jari jemarinya, semuanya. Vander sangat teramat merindukan gadis nakalnya yang biasanya sangat ceria.Mendengar kabar bila Chloe kembali tertekan karena ulahnya, dan juga sang ayah yang tak mengizinkannya keluar serta selalu di bawah dalam pengawasan, hati Vander pilu. Apalagi usaha Chloe yang kembali ingin menemuinya hingga nekat kabur dengan bantuan psikiaternya –dokter Elena– membuat Vander luluh dan merasa bersalah, karena tiada membandingi dengan usaha sang kekasih yang terlampau luar biasa."Lulu, maafkan aku untuk semuanya. Maafkan aku ...." Tangis Vander pecah dengan deka
Rasa tak nyaman tiba-tiba mengganggu tidur Vander. Seperti sesuatu yang basah dan lembap di ranjangnya kini. Seluruh tubuhnya merasa dingin dan agak risih. Sehingga dengan susah dia perlahan membuka kedua kelopak matanya. Mencoba menahan kantuk agar tak kembali terlelap. Hanya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.Gelap.Ya memang biasanya kamar miliknya selalu gelap saat tidur. Sepertinya masih larut malam. Lalu ingatan soal Chloe menyeruak di pikirannya. Tentang yang baru saja terjadi dan dia lakukan bersama gadis cantik itu. Semuanya."Chloe?"Vander meraba samping ranjangnya. Kosong. Hanya kelembapan yang dia rasakan di selimut putih tebal itu."Chloe?" Dengan suara parau khas bangun tidurnya Vander memanggil sekali lagi, tetapi tak ada yang menyahut. Sangat h
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat Vander akhirnya turun untuk mengecek mobil miliknya yang akan diperlombakan nanti di Las Vegas. Sudah lama dia tak menjamah mobil antik itu, dan keadaan kendaraan tersebut masih sama saat dia meninggalkannya. Hanya saja kaki-kakinya sudah berubah. Sepertinya Polo atau Robert sudah mengganti sesuai permintaannya. Dimana velg celong antik sudah terpasang bersamaan dengan roda.Soal para montir-montir berbakat itu, mereka semua telah pulang lebih awal. Termasuk ayahnya yang telah balik ke rumah. Meninggalkan Vander dan Chloe yang masih mengamankan diri disana berdua."Wow, ini bukankah .... " Chloe datang dari arah belakang Vander berjalan menuju kap mesin mobil. "Paul?"Mata Vander menyipit tatkala melihat kaos baju hitam kebesaran yang dkenakan Chloe. Itu miliknya."Ya," jawab Vander me
"Oh, sh*t!"Vander mengumpat kecil disaat motor yang dia kendarai akhirnya bergerak pelan dan kemudian berhenti bersamaan mobil lainnya yang terjebak macet di antara gedung-gedung Times Square.Seperti biasanya, Manhattan selalu seperti ini di jam-jam pulang kantor. Sangat mengesalkan.Vander melirik layar besar di sampingnya. Papan iklan itu menunjukkan waktu kini pukul delapan malam lewat. Memasuki akhir senja di New York. Tampak langit sudah mulai menggelap, tetapi ada yang berbeda sepertinya hari ini.Banyak orang yang melongokkan kepalanya menghadap ke depan— ke arah barat dimana matahari akan tenggelam.Vander mengikuti arah pandang orang-orang ke seberang jalan. Melihat ke arah matahari yang tampak segaris dengan jalan. Sangat indah.
Sudah musimnya. Ketika daun-daun mulai meninggalkan rantingnya, terbawa angin dan akhirnya kembali ke tanah. Ya, setinggi apapun kita di dunia ini, pada akhirnya semua akan kembali ke awal. Ke titik mula temu itu. Ke bagian terdasar di mana kita memijak. Itu sudah hukum alam. Tak bisa diganggu gugat.Namun, apakah nasib seorang Vander juga ditentukan oleh alam? Tidak. Dia berhak memilih. Berhak memperjuangkan, dan berhak menang. Kekalahan bukanlah akhir dari semua. Walau terjatuh bisa menimbulkan trauma, tetapi itu bukanlah hal lemah, melainkan sebuah proses untuk menemukan arti dari sebuah kata bahagia."Hey, son, sudah sejam kau di luar. Masuklah."Vander hanya diam di kursi taman yang di dudukinya. Sudah lama ia duduk di halaman belakang rumahnya. Termenung seorang diri sambil melihat langit sore. Tanpa Chloe
"Hey, buddy .... what are you doin' here?"Darah Vander berdesir tatkala sebuah suara menginterupsi tindakannya yang sedari tadi diam - diam mengintai. Sebuah tangan yang menepuknya itu kemudian meremas kuat bahunya, hingga tubuhnya berbalik menghadap sang pemilik suara."Oh, no!" pekik Billy dari pelantang suara yang mereka pakai."It's okay, kids. Keep calm," sahut Dangelo sembari memerhatikan sekitar. Semua tampak aman, "pria itu bukan ancaman."Sedangkan Vander jantungnya sudah mencelos. Ia kira orang yang menciduknya itu salah satu pengawal ayah Chloe, tapi ternyata ...."God! L! Kau rupanya," desis Vander sambil memerhatikan situasi. Tak menyangka teman lamanya itu berada di tempat yang sama."Astaga, Van
Vander dan Louis kembali memasuki aula besar tempat di adakannya pesta. Mata elang Vander mulai menyisir satu per satu pengunjung disana. Namun, tak ada satupun wajah yang dicarinya. Membuat langkahnya panik dengan wajah yang mulai mengeras."Dad? Billy? Andres? Apa kalian mendengarku?" tanyanya sambil memegang alat bantu di telinganya, "seseorang jawab aku! Kalian dimana?!" desisnya saat tak ada juga yang membalas panggilnnya."Shit! Ada yang tak beres," beri tahu Vander pada Louis, "ayah dan kedua temanku menghilang. Terakhir Billy menelfonku saat di kamar tadi. Dan setelahnya .... ""Damn! Kau tak sendiri? Paman Dan juga ikut? Are you kidding me?!""Kau kira aku bodoh tak ada rencana. Rentan bila aku hanya sendiri. Soal ayahku ..., dia sangat keras kepala ingin ikut. Beginilah jadinya! Sia
Andres tak henti - hentinya tertawa sambil memberikan guyonan dan ledekannya pada semua penumpang dengan menirukan gaya bicara seorang Mark yang mati kutu tadi saat di kapal. Billy pun ikut menimpali. Keduanya benar-benar memekakkan telinga bila bersama. Sedangkan Vander sambil menyetir mobilnya ke arah dimana Chloe berada, terlaku fokus dengan jalanan hingga tak sadar sebuah panggilan tertuju padanya tak ia indahkan.Terlalu banyak tanda tanya dibenaknya walaupun sang ayah sudah menjelaskan segalanya. Termasuk pasukan yang dipanggil sang ayah khusus demi misi mereka. Vander tidak tahu mengenai rencana yang satu itu. Itu adalah 'Plan B'sang ayah bila terjadi sesuatu yang darurat.Saat Dangelo, Andres dan Billy tertangkap. Semua alat komunikasi dan harta benda milik mereka disita. Termasuk alat pelantang yang mereka pakai. Alasan mengapa Vander tak dapat mendengar sama sekali saat merek