Share

Garis Baru

***

Aku masih teringat dengan perpisahaan waktu itu, ketika Sara pergi ke Jakarta untuk meniti karir, teman semasa kecilku yang pergi dengan raut sayu. Aku penasaran, bagaimana keadaannya di Jakarta sana? Apa dia sudah dapat pekerjaan artis yang sedari dulu ia inginkan?

“Rafael,” sapa seorang wanita.

Wanita itu menepuk pelan bahuku membuat kepalaku langsung berbalik membalas sapaannya. Wanita itu tak lain adalah Siska, siswi jurusan IPA kelas 2 yang kukenal. Ia teman semasa SMP-ku yang kebetulan masuk SMA ini bersama.

“Ada apa?” tanyaku datar.

“Apa kamu sedang sibuk?”

Seorang siswa laki-laki yang tengah berdiri dengan bertumpu pada tiang lorong, memandangi lapangan di bawah yang penuh dengan siswa yang sedang berolahraga. Tentu saja, aku tidak sibuk sama sekali, terkecuali jika aku pengamat sepakbola, itu beda cerita.

Aku menggelengkan kepala dan ia kembali melanjutkan bicara, “Aku ingin meminta pertolonganmu, ada beberapa hal yang perlu kuurus di sekre pramuka dan itu berkaitan dengan angkat mengangkat barang.”

“Jadi barang baru sudah datang?” tanyaku, Siska mengangguk dengan senyuman, matanya berbinar ketika aku berhasil menebak apa yang gadis itu maksud.

Aku menghela napas pelan, segera kulangkahkan kaki ini melewati beberapa lorong tercepat untuk sampai di sekre pramuka. Begitu juga dengan Siska yang berjalan tepat di sampingku, tampak riang dan senang ketika kita berdua menyusuri lorong bersama.

“Apa kamu tidak akan kesibukan sepulang sekolah nanti?” tanya Siska memecah keheningan di antara kami.

“Tidak ada, lagi pula kita akan ujian. Jadi, tugas dan pr sudah tidak diberikan guru,” balasku, ia terperangah dan kemudian tersenyum kecil, ia tidak tahu kalau masa-masa sekarang adalah masa tenang sebelum ujian.

“Aku hanya ingin mengajakmu untuk mampir ke salah satu kafe. Kita tidak datang berdua, aku mengajak Reno dan Silvi. Itu pun jika kamu mau ikut,” ucap Siska.

Benar, aku sudah menduga.

Sikap dan perilaku Siska belakangan ini membuatku curiga, aku bukanlah tipe lelaki menyedihkan yang tidak tahu kode yang wanita berikan. Aku mengetahui hampir gerak-gerik wanita ketika tengah jatuh cinta kepada pria, salah satunya adalah berpura-pura mengajak keluar dengan alasan menemani dia, alasan klasik yang ternyata sangat ampuh ketika momen PDKT.

Tapi, aku sama sekali tidak menyukainya. Aku hanya menyimpan rasa untuk Sara seorang, itu pun tidak mungkin bisa kuutarakan jika Sara sudah menjadi artis terkenal. Boro-boro untuk mengungkapkan, bertemu dengannya saja pasti akan menyulitkan.

“Bagaimana?”

Setidaknya aku bisa bersenang-senang sedikit sebelum ujian.

“Baiklah, aku akan ikut,” ucapku singkat.

Siska tersenyum dan melompat kegirangan, ia pasti tidak menduga kalau aku akan ikut semudah yang ia pikirkan. Wajahnya memerah ketika aku memperhatikan tingkahnya yang semakin aneh, bahkan siswa lain juga berpendapat demikian.

***

Bel pulang terdengar. Kurapikan buku dan beberapa alat tulis ke dalam tas, mereka langsung keluar ruangan layaknya sedang berlomba untuk keluar paling awal. Seketika aku teringat dengan momen ketika Sekolah Dasar, siapa yang duduk paling rapi, pasti pulang paling awal.

Terkejut, aku melihat Siska sudah menungguku di pintu keluar ruang kelas. Beberapa siswa lain berciutan menggoda aku dengan Siska, mereka mengatakan aku dengannya pasangan serasi, aku siswa tercerdas, sedangkan dia siswi teraktif.

“Eh? Kita tidak, yah? Bukan tidak, sih, tapi belum,” ucap Siska yang justru memperkeruh keadaan, sontak saja ucapannya membuat siswa lain berspekulasi liar tentang aku yang menjalin hubungan mesra dengan Siska.

“Di mana Reno dan Silvi?” tanyaku.

“Sepertinya mereka sudah duluan, sebaiknya kita bergegas sebelum mereka mulai marah-marah,” pinta Siska, aku mengangguk.

Letak kafe ternyata dekat dengan SMA kita, kurang lebih berjarak 500 meter dari gerbang masuk. Jadi aku tidak perlu naik angkutan umum begitu juga dengan Siska yang tak perlu naik motor.

Suasana kafe yang cozy dan santai membuat hatiku cukup nyaman berada di sana lama-lama. Reno dan Silvi, mereka adalah pasangan hit yang banyak dibicarakan siswa-siswa di sekolah. Bukan karena ketampanan mereka, tapi isu yang beredar sebelum mereka berpacaran.

“Bukankan isu di sekolah mengatakan kalau Silvi hamil?” tanyaku kepada Siska, aku melihat gadis SMA itu berpakaian seragam lengkap tanpa tonjolan di perutnya. Itu menandakan kalau isu yang berkembang adalah hoax.

“Itu hanya isu bohong, kasian dia sampai tertekan selama dua minggu akibat isu tersebut,” ungkap Siska. Ia kemudian mengajakku untuk duduk di salah satu meja kosong yang bersebelahan dengan Reno dan Silvi.

Aku selalu menyisihkan uang jajan yang kudapat dari kedua orang tuaku untuk situasi darurat. Ini termasuk situasi darurat karena berbeda dengan rencana awal yang kususun. Terpaksa aku harus menggunakan tabungan tersebut dan menggantinya lain hari.

Kami memesan menu makanan dan minuman yang berbeda, selagi menunggu, Siska mengajakku untuk foto-foto. Aku bukannya ingin difoto, kata kedua orang tuaku, aku pria tampan sedunia, tapi karena tak biasa, jadi aku menolak apa yang Siska minta.

“Yah sayang sekali, kalau begitu aku minta tanganmu saja,” pinta Siska, semakin membuatku bingung.

Aku julurkan tangan kanan kepadanya dan ia segera membalik tangan itu, hingga posisinya telapak tangan yang berada di atas. Sungguh tak terduga, ia meletakan tangannya di atas telapak tangan, seolah-olah tengah bergenggaman. Selepas itu, ia memfotonya dan mengabadikannya menjadi I*******m Stories.

“Setidaknya kalau wajahmu malu-malu, tanganmu tidak,” ungkap Siska sembari menggoda dan menjulurkan lidahnya.

“Siska, aku ingin bertanya padamu,” ucapku.

Gadis itu segera menghentikan kegiatannya dan langsung menatapku dalam-dalam, wajahnya begitu serius membalas tatapanku yang menajam kearahnya.

“Apa kamu—”

“Lihat! Sara, idola Kota Bandung tampil.”

Ucapanku tersela dengan kasar, segerombolan pria yang tengah asik menonton konser Sara dari ponsel mereka masing-masing membuat pikiranku yang tadi sudah tersusun, buyar seketika.

Benar, aku tidak boleh bermain-main lagi, perasaan dan hati ini akan kutujukan pada Sara, bukan kepada orang lain lagi, bahkan Siska sekali pun.

“Apa yang ingin kamu tanyakan, Rafael?” tanya Siska, ia berdecak lidah ketika momen penting teralihkan oleh teriakan laki-laki tadi.

“Tidak ada, lupakan saja,” ucapku singkat.

Makanan dan minuman yang kami pesan datang, segera kucicipi makanan itu tanpa tersisa, begitu juga dengan minuman dingin yang menyegarkan kerongkonganku yang kering. Tak terasa, Reno dan Silvi sudah pergi meninggalkan aku dan Siska yang masih berbincang hangat.

“Ada sesuatu juga yang ingin kuberitahu padamu, Rafael.”

Makan sore selesai. Justru kini Siska yang bertanya kepadaku, aku sudah tidak peduli dengan apa yang akan ia katakan, mau dia suka padaku atau tidak, itu bukanlah urusanku. Namun, aku tidak akan bilang seperti itu padanya, itu terlalu kejam.

“Aku … memiliki teman yang menyukaimu, Rafael,” ucapnya terbata-bata, membuatku terperangah kaget.

“Hah?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status