Share

Hati dan Perasaan

Entah apa dia salah bicara atau bagaimana, ia justru mengatakan ada temannya yang menyukaiku. Kukira sikapnya yang aneh dan salah tingkah itu karena dia yang jatuh cinta padaku. Ah, maafkan diriku yang terlalu percaya diri ini.

“Oh begitu, yah?” tanyaku, tentu saja pengakuan secara tidak langsung seseorang yang dikatakan teman Siska membuatku canggung.

“Apa yang akan kamu lakukan, Rafael?”

“Entahlah, aku juga tidak pandai dalam urusan seperti ini. Menurutmu, apa yang perlu kulakukan?” tanyaku dengan nada datar, kuraih gelas berukuran sedang dan menyeruputnya pelan melalui sendok putih yang tertancap di atas tumpukan keju parut tersebut.

“Bagaimana jika kamu menjawabnya dengan perasaan yang sedang kamu rasakan sekarang?” tanya Siska, wajahnya menunduk dan matanya sayu menatapku, perlahan ketika kubalas tatapan itu, ia terus menunduk dan memejam.

Ah, moment ini sama saja dengan pengungkapan rasa yang kumiliki padanya. Minimal ia bisa tahu hasil yang keluar ketika aku menjawab “tembakan” dari teman siska.

“Apa kamu benar-benar ingin mengetahuinya?”

Siska mengangguk singkat, kedua pupilnya membesar dan menatapku penuh keseriusan. Kuperhatikan, kedua tangannya tidak bisa diam dan keringat perlahan muncul dari atas kepalanya. Ia pasti sangat gugup dengan jantung berdebar menanti jawaban yang terlontar dariku.

Aku akan menjawabnya, itu pun jika ia ingin mendengar sesuatu yang menyakitkan.

“Sudah lama aku memendam rasa ini. Rasa yang tersimpan menanti untuk diungkapkan,” ucapku, aku satukan kedua telapak tangan dan menatapnya dalam-dalam.

“Ia gadis yang dekat denganku, bahkan orang bilang kami sedekat nadir. Namun, ada batas penghalang besar yang menghantamku dengan keras hingga terpuruk.”

Siska masih menyimak seluruh penjelasan yang aku utarakan, bahkan matanya kuhitung hanya beberapa kali berkedip, seolah-olah enggan melewatkan momen penting saat ini.

“Aku menyukainya, bahkan hanya dengan senyumannya saja aku bisa tergeletak lemas dihadapannya,” ucapku, terus memuji keindahan dan rasa suka diriku padanya. Dia yang kini jauh berada di luar jangkauanku.

“Jadi siapa itu, Rafael?” tanya Siska.

“Aku menyukai Sara,” ucapku singkat.

Siska sontak menghela napas dan terperangah kaget, posisi duduknya yang semula condong ke arah depan kini berubah tegak dan menatapku penuh dengan keanehan. Aku sama sekali tidak terintimidasi dengan sikap Siska, justru aku mengatakan apa yang ada di relung hatiku padanya.

“Sara? Siapa? Artis itu maksudmu?” tanya Siska.

Aku mengangguk.

“Whaha!”

Reaksi yang wajar darinya, mendengar sesuatu yang bisa dibilang “halu” bagi sebagian orang. Mereka tentu tidak tahu jejak pertemananku dengan Sara, dan aku tidak menyalahkan sikap mereka yang seperti itu.

“Ahaha! Maafkan aku, aku tertawa cukup keras,” ucap Siska, menyeka air matanya yang jatuh saking lawaknya apa yang coba kuungkapkan.

“Tidak apa, itu reaksi yang wajar menurutku,” ujarku.

“Wajar?”

“Aku dengannya adalah teman semasa kecil, aku dan dia sering bermain di—”

“WHAHA!”

Aku terdiam, ku nikmati kembali minuman dingin yang terabaikan beberapa menit berkat pembicaraan panjang dengan Siska. Tawanya yang kini lebih panjang dari sebelumnya, dan ia sesekali mengerang sakit di perutnya.

“Yaampun, kumohon hentikan. Selanjutnya apa lagi? Reinkarnasi romeo dan juliet? Whaha!” ledek Siska, ucapannya kini membuatku cukup kesal karena ia tidak percaya dengan apa yang kukatakan.

“Tidak, hanya sebatas teman masa kecil.” Atmosfir yang berada di meja itu semakin tak baik, aku mulai beranjak dari tempat dudukku dan mulai berjalan meninggalkan Siska untuk membayar makananku di kasir.

“Tunggu, Rafael.”

Siska langsung bangkit setelah aku membayar seluruh makanan dan minumanku, ia memegang tanganku dan meminta maaf atas perkataan yang sepatutnya tidak ia ucapkan.

“Aku minta maaf, bukan maksudku untuk mengejekmu dan menghina tentang—”

“Aku mengerti kenapa kamu bersikap seperti itu, Sara sudah menjadi artis terkenal dan aku bukan siapa-siapa. Bukankah wajar jika kamu menganggapku hanya berkhayal?” tanyaku menyela ucapannya yang terkesan lemah lembut dan penuh rasa bersalah.

“Iya sih, tapi kan aku tidak tahu kalau kamu dengannya itu … memang benar-benar…,” lirih Siska, ucapannya terhenti ketika hendak mengatakan kata terakhir dari kalimat tersebut.

“Ah, sering kali aku berpikir. Apa dia juga masih mengingatku di sana? Apa rasa ini akan terbalaskan padanya juga? Apa … apa semua yang kulakukan ini benar-benar untuknya?” tanyaku, membuka pintu sambil menatap langit kota yang mulai menguning di sore hari.

Siska menemaniku di samping, ia menatap langit yang sama sambil menggenggam tanganku perlahan. Aku terkejut, tangannya begitu halus dan besar. Ia hanya tersenyum ketika aku menatapnya.

“Dia pasti akan tetap mengingatmu, terlebih kamu adalah orang spesial baginya, kan?” tanya Siska.

Sebuah senyum palsu, senyum yang dipaksakan muncul dari wajah Siska mendapati hatinya mungkin tertolak berkat perkataanku. Matanya mulai berbinar dan perlahan dari sudut matanya, aku bisa melihat air mata suci jatuh dan langsung diseka oleh Siska.

“Siska….”

“Gimana?” tanya Siska, ia tersenyum sembari memejamkan mata, benar, itulah cara dia menutupi kesakitan dalam hatinya yang mungkin seperti teriris pisau tajam nan bertubi-tubi.

Aku terdiam untuk sementara, kami beradu pandang selama lima menit sebelum momen kita diganggu oleh kedatangan angkutan kota yang mengarah ke rumahku.

“Tidak ada. Aku akan pulang,” pamitku.

Siska mengangguk, ia melambaikan tangan pelan sembari berjalan menjauhi mobil tersebut. Aku duduk di paling belakang, dekat dengan kaca mobil yang tembus pandang ke arah belakang angkot. Aku bisa melihat Siska kembali berjalan masuk ke sekolah untuk mengambil motornya.

Dalam heningnya mobil itu, aku terus memikirkan apa jawabanku untuk Siska adalah yang terbaik. Memberitahu kalau aku adalah teman masa kecil Sara, begitu juga dengan perasaanku. Aku yakin dia memiliki hati yang kuat, hati yang tangguh untuk menerima kenyataan tersebut.

Angkutan kota itu berhenti tepat di depan rumahku, kumelangkah keluar dan terlihat Kak Margaret yang tampak sudah pulang dari kampusnya, mengendarai mobil hatchback berwarna putih dan masuk ke halaman garasi rumah.

Jika Sara masih berada di rumah itu, ia mungkin akan menyapa kakaknya tersebut begitu juga denganku saat ini. Namun, wajahnya kini hanya ada di balik kotak elektronik yang dipanggil televisi, tampil wara wiri menghibur para penggemar dengan suara merdunya.

Ah, aku melupakan sesuatu. Kedua orang tuaku sedang pergi ke luar kota untuk menghadiri acara keluarga. Mereka berangkat menggunakan mobil pribadi milik ayah, dan bisa ditebak mereka akan pulang esok hari ketika aku masih terlelap tidur di hari Minggu.

Ibu menitipkan pesan di depan kulkas yang tertancap bersamaan dengan magnet berbentuk kartun Spongebob. Pesan itu mengatakan kalau aku bisa memakan makanan di dalam kulkas dengan terlebih dahulu dihangatkan.

“Ah. Sup, yah?” Kuraih plastik yang berisi air sup dan beberapa daging sapi dan mulai menuangkannya di atas panci.

Terasa sangat sunyi, aku bahkan belum mengganti pakaianku. Kuaduk perlahan panci tersebut hingga air sup itu mulai mendidih. Entah kenapa, aku merasakan ada yang aneh di belakang punggungku ini, sesuatu terasa seperti hawa dingin yang menyeruak masuk ke rongga tubuhku.

Sungguh tak terduga.

Aku lupa menutup pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status