PLAK
Satu buah tamparan yang sangat keras berhasil Wendy layangkan di pipi mulus putranya. Emosinya kini sudah berada pada puncaknya. Setelah mendengar informasi tentang keributan yang terjadi di kantor Dareen, Wendy bergegas menemui putranya.
Dan disinilah mereka sekarang, di ruangan Daeen yang kedap suara bersama Wenda dan juga Dara. Keadaan mereka tampak kacau, tak ada satupun dari mereka berempat yang baik-baik saja. Terutama Dareen. Dareen masih tampak linglung, dia belum sepenuhnya menerima jika yang baru saja terjadi adalah sebuah kenyataan bukan mimpi apalagi halusinasi.
Dareen masih tidak bergeming dari tempatnya. Tamparan keras sang ibu tidak seberapa dengan rasa sakit yang kini menghimpit dadanya. Rasanya, hatinya seperti di remas. Bagaimana tidak, pertemuannya dengan seseorang yang dicarinya selama 15 tahun terakhir jutru berlangsung dengan cukup tragis.
Wenda juga sama, sekujur tubuhnya masih lemas tak bertenaga. Tidak dia sangka kalau hari ini akan tiba, hari yang paling diantisipasi olehnya. Ingin rasanya dia menangis dan meraung sejadi-jadinya namun keberadaan Dara di sampingnya membuat Wenda harus mati-matian agar tidak terlihat lemah.
Dara sejak tadi hanya diam saja, dia memilih untuk menududukkan dirinya diujung sofa dengan menekuk kedua lututnya. Tatapannya begitu kosong, terlihat sekali jika dia masih syok.
"Kau! Aku tidak pernah mengajarimu untuk menjadi anak yang brengsek Dareen Tucker! " Teriak Wendy dengan emosi yang masih menggebu-gebu. Matanya terlihat memerah akibat menahan tangis yang hampir saja pecah.
"Dulu kau hampir saja merusak persahabatan ku dengan Jessica. Dan sekarang? Sekarang apalagi DAREEN! Kau benar-benar brengsek sialan! Kenapa kau menyakiti mereka hah?! " Maki Wendy sambil memukul-mukul dada putranya.
"I-ibu. Maafkan aku. " Dareen menjatuhkan kedua lututnya dan memohon ampun.
"Bangun brengsek. Bukan padaku kau seharusnya memohon maaf. " Wendy menyingkirkan tangan Dareen yang berusaha menyentuhnya.
"A-aku tidak tahu jika itu adalah Anna. " Dareen sedikit membela dirinya.
Wendy memutar bola matanya tajam. "Kau benar-benar ingat membuatku muda mati Dareen. " Murka, itulah yang Wendy rasakan sekarang. "Bagaimana bisa kau menyakiti Anna dan juga Khesa, padahal yang mereka katakan adalah benar. " Kembali Wendy menaikkan suaranya.
"A-aku----. " Dareen berniat menanggapi ucapan ibunya, namun Wendy sudah lebih dulu memotong. "Lagi-lagi kau membela mereka dengan buta dan mengulang kesalahan yang sama. "
"Dara anakku ibu. Aku tidak bisa mendengarnya di hina seperti itu, dia tidak tahu apa-apa. Terlebih aku sudah katakan jika aku tidak tahu itu Anna. " Dareen kali ini berani membela diri lebih terang-terangan.
"Lagi, lagi, dan lagi kau membelanya mati-matian. " Wendy menunjuk Dara. "Kau membelanya, tapi kau menyakiti Esa. Kau bahkan melayangkan tinju mu padanya. Padahal mereka sama-sama anakmu. " Teriak Wendy yang sudah berada di ujung kesabarannya.
"A-apa maksud ibu dengan Khesa itu anakku? " Tanya Dareen terbata dan begitu terkejut. Begitupun dengan Wenda dan Dara.
"Kau masih belum juga sadar hah? Kau tidak menangkap apa yang Anna katakan? Kau tidak dungu Dareen. Jelas sekali kalau Anna sudah mengungkap siapa Esa sebenarnya "
"Esa anakku? " Tanya Dareen pada dirinya sendiri seperti orang bodoh.
"Ya, dia anakmu. Anak yang tidak pernah kau ketahui keberadaannya. Anak yang harus hidup tanpa seorang ayah. Anak yang sejak dalam kandungan sudah dikucilkan karena perbuatan mu. Anak yang tidak punya kesempatan untuk memiliki teman karena dosa yang dilakukan ayahnya. Anak yang masih bisa tersenyum seberapapun kehidupan menyakitinya. Anak yang dibesarkan oleh kasih sayang dan perjuangan ibunya, anak yang sangat dicintai ibunya. Dan sekarang kau menyakitinya! " Tangis Wendy pecah. Setiap kali dia mengingat dan membayangkan kehidupan Anna dan Esa hatinya perih, mantan menantu dan cucunya selama ini sudah melalui masa-masa yang sangat sulit. Terlebih orang yang menyebabkannya adalah putranya sendiri.
"Dan kau! Kau disini hidup dengan nyaman. Memanjakan putrimu yang satunya lagi dengan kasih sayang dan harta yang lebih dari berkecukupan. "
"I-ibu." Lirih Dareen. Isakan tangis mulai terdengar dari bibirnya.
"Sekarang kau sudah jelas Dareen Tucker? Sudah puas hah? Dan sekarang kau tidak lagi punya kesempatan. Anna sudah mengatakan bahwa hari ini kau sudah mati. " Wendy kemudian melangkah mendekati Wenda dan Dara.
"Kau! " Tunjuk Wendy kepada mereka berdua. "Sekarang kau tahu kenapa aku tidak pernah bisa memberimu kasih sayang. Semua karena ibumu. Ibu dan ayahmu adalah seorang pendosa dan kau terlahir karena kesalahan mereka. " Wendy berteriak marah kepada Dara.
"Cukup! " Teriak Wenda. "Aku dan Dareen memang salah, tapi jangan pernah menyalahkan Dara, dia tidak tahu apa-apa. " Entah mendapat keberanian dari mana Wenda berani berteriak kepada Wendy.
"Jika saja kau tahu diri, semua tidak akan terjadi. Sudah jelas hubungan kalian salah, tapi kau masih saja berada diantara mereka. Seharusnya kau tinggal bersama suami dan anakmu dengan nyaman. Bukan malah kembali dan mencoba menempati posisi di samping Dareen dan Dara. " Wendy bertambah geram karena perlawanan Wenda.
"Karena aku ibunya. Aku berhak berada di sampingnya dan melindunginya. " Wenda memeluk Dara yang sedang menangis tersedu.
"Aku juga seorang ibu, sialan. Aku ibu dari Dareen, dan aku tahu kebahagian putraku hanya ada bersama istri dan anaknya. Dan kau! Kau hadir merusak semuanya, kau merampas hak Anna dan juga Khesa. "
"Cukup! Sekarang kalian semua keluar dari ruangan ku! " Bentak Dareen sambil bangkit dari posisinya dan membanting pintu ruang khusus di dalam ruang kerjanya.
Wendy, Wenda dan Dara seketika terdiam.
✿✿✿✿✿
"H-hai. " Sapa seorang bocah bongsor yang sedang duduk di samping Esa.
"Hai juga Do. " Jawab Esa ramah.
"Emm, Esa maaf baru menyapamu sekarang. " Elfredo atau yang biasa dipanggil Edo itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Esa terkekeh pelan. "Iya, kau sombong sekali. Kita berada di kelompok yang sama tapi baru kali ini kita berbicara. "
"Itu karena aku tidak tahu harus berkata apa. " Edo tersenyum menampakkan gigi putihnya yang rapi.
"Ck, kau ini lucu sekali. " Esa mencubit pipi Edo gemas. Meskipun mereka berada di grade yang sama, nyatanya Edo setahun lebih muda darinya.
"Aku baru tahu jika kita bersaudara. "
Esa pun mengangguk. "Aku juga. Ternyata paman Edwin sepupuan dengan mama. " Mereka sekarang tengah berada di kamar Edo, lebih tepatnya di studio musik pribadi milik anak itu.
Esa tidak pernah tahu, jika Edo yang dia kenal sebelas-duabelas cueknya seperti Jenny, nyatanya anak itu sangat ramah dan seorang yang jenius musik pantas saja dia masuk kelas percepatan.
Berbeda dengan Esa dan Edo yang sedang mengakrabkan diri, Edwin dan Hana justru masih dilanda kekhawatiran akibat Anna yang masih belum juga sadarkan diri.
"Bagaimana ini kak, aku takut kak Anna kenapa-kenapa. " Hana mengigit kuku jarinya sambil terus berjalan bolak-balik mengitari tempat tidur yang digunakan oleh Anna.
"Han, tenanglah. Anna akan baik-baik saja, dia hanya syok. " Edwin juga sama. Dia begitu khawatir, hanya saja dia tidak menunjukannya seperti Hana. Edwin juga sudah menghubungi kedua orang tua Anna, mengatakan bahwa Anna dan Esa ada di rumahnya namun tidak mengatakan keadaan sesungguhnya dan apa yang sudah terjadi.
Anna menggeliat pelan. Perlahan dia membuka matanya dan berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Ketika manik matanya terbuka dengan sempurna, kening Anna mengernyit mendapati pemandangan asing yang menyambutnya. "Aku dimana? " Tanyanya dengan suara parau.
"Kak! " Teriak Hana spontan dari tempat duduknya begitu mendengar suara Anna.
"Anna, kau sudah sadar? " Tanya Edwin dengan lega.
Anna mengangguk lemah. "Aku dimana kak Edwin? "
"Kau ada si rumah kami kak." Jawab Hana dengan senyum lega melihat Anna telah sadar.
Anna menatap Hana dengan dalam, dia baru sadar jika lelaki itu sejak tadi bersamanya. "Astaga Hana? Itu benar kau? " Anna menutup mulutnya tak percaya.
"Iya kak, ini aku Hana " Hana mengangguk dan segera memeluk Anna. "Kemana saja kau kak. Hiks, aku rindu. Kau jahat sekali. " Cerca Hana dengan tangisan yang sudah membanjiri pipinya.
"Aku juga merindukanmu han. Maaf kak berhenti menghubungimu. " Anna menyesal karena telah membuat sahabat kecil kesayangannya menangis.
Hana mengurai pelukan mereka. "Tidak apa-apa kak, selama kaka baik-baik saja aku sudah senang. "
"Kau masih Hana-ku yang paling baik. " Anna menghapus air mata Hana yang terus mengalir.
"Kak, dimana Esa? " Tanya Anna begitu menyadari ia tidak melihat anaknya.
"Esa ada di kamar Edo. " Jawab Edwin yang mengerti ada nada kekhawatiran dalam pertanyaan Anna.
"Edo anakku kak. Mereka ada di kelas yang sama, jadi tidak perlu khawatir. " Jelas Hana menjawab raut kebingungan Anna.
"A-apa Esa baik-baik saja? "
"Dia baik Na. Esa baru saja selesai makan bersama Edo. Dan sekarang mereka sedang bermain musik di kamar. " Edwin mengusap kepala Anna dengan sayang.
"Sekarang kakak makan dulu ya? Aku takut kak Anna kenapa-kenapa. " Hana menggenggam tangan Anna khawatir.
Anna menggeleng pelan. "Aku tidak lapar Han. " Tolak nya dengan halus.
"Semuanya akan baik-baik saja Anna. Mulai sekarang, aku dan Anna akan melindungi kalian. Kau dan Esa akan menjadi tanggung jawabku mulai sekarang. " Edwin membawa Anna kedalam pelukannya. "Maaf karena begitu terlambat menemukan kalian. "
Hana tersenyum melihat interaksi kedua saudara tersebut. Inilah yang membuat Hana dulu jatuh cinta pada Edwin. Edwin sangat lembut dan penuh kasih sayang, meskipun sifat receh dan lawaknya terlalu dominan.
"Kakak, harus makan ya sekarang. Kak Anna harus tetap sehat dan kuat untuk menghadapi mereka. Mulai sekarang kita akan bertarung. " Hana tertawa canggung begitu mengatakan hal-hal yang sedikit berlebihan. Tapi Anna justru tersenyum senang dan mengangguk setuju.
✿✿✿✿✿
Raiden menghela nafas berkali-kali, sejak membawa Wenda pulang. Istrinya itu tidak hanya berdiam diri di pojok ruangan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia tidak menangis, tidak juga melakukan apapun. Hanya duduk diam dengan pandangan kosong.
"Papa, mama kenapa? " Tanya Jinu yang sejak tadi memperhatikan ibunya.
"Mama sedang ada masalah. Jinu masuk kamar ya, nanti papa panggil untuk makan malam. " Raiden mengecup puncak kepala anaknya dengan lembut.
"Baiklah. " Jinu pun pergi meninggalkan ayahnya. Usia Jinu saat ini adalah 13 tahun, dia terpaut 2 tahun dengan Dara tapi dia sangat dewasa dan pengertian sama seperti ayahnya. Dia tidak pernah keberatan saat ibunya lebih banyak menghabiskan waktu dengan kakak tirinya. Dia juga tidak pernah mengeluh jika sang ibu terus menerus membanggakan Dara dihadapannya.
Selain Anna, ada Raiden yang sebenarnya juga merupakan korban. Namun dia terlalu baik dan pengertian. Dia menikahi Wenda saat kondisi Wenda tengah hamil anaknya Dareen. Keluarga Dareen yang menolak Wenda dengan keras membuat Raiden iba dan tetap melanjutkan pernikahan mereka, padahal saat itu hatinya juga tengah terluka. Bagaimana mungkin tidak, dua minggu sebelum menjelang pernikahan dia justru mendapati calon istrinya tengah mengandung anak orang lain.
Raiden mendampingi Wenda selama masa kehamilan, dia juga tidak keberatan saat sesekali Dareen berkunjung dan menghabiskan waktu bersama istrinya. Bukan berarti dia tidak sakit hati, hanya saja dia berusaha mengerti posisi Dareen yang ingin bertanggung jawab terhadap anaknya. Karena satu hal yang dia tahu, Dareen tidak pernah mencintai Wenda. Sampai tiba saat dimana Wenda melahirkan dan menyerahkan anaknya kepada Dareen. Saat itulah Raiden baru memiliki Wenda sepenuhnya dan mengahdirkan Jinu di dunia.
"Sudah saatnya kalian menyelesaikan semuanya. " Ucap Raiden dengan tatapan yang tak lepas dari Wenda.
"A-aku tidak tahu harus bagaimana Rai. " Jawab Wenda pelan.
"Temui dia. Kalian perlu bicara. Anna sudah terlalu lama menderita. Mungkin penjelasan kalian akan sedikit mengurangi beban di hatinya, walaupun mendapatkan maaf darinya adalah hal yang mustahil. " Raiden memberikan saran kepada Wenda. "Terlebih setelah apa yang terjadi kemarin. Kurasa kalian sudah menutup pintu maaf darinya. "
"Dia pasti sangat membenciku. " Gumam Wenda.
"Tentu saja. Dan itu wajar. "
"Rai---. " Ucapan Wenda lemah.
"Sudahlah, aku harus membuat makanan. Jinu pasti sudah kelaparan. " Kemudian Raiden meninggalkan Wenda yang kembali terisak. Bukannya tidak mau menenangkan, tapi Raiden memberi kesempatan kepada Wenda untuk merenung.
*
**- T B C -
With Love : Nhana
Brenda membolak-balikan kertas yang ada di tangannya untuk membaca secara berulang kali informasi yang tertulis diatasnya. Sudah hampir satu jam Brenda bertahan dengan posisi tersebut dan mengabaikan lawan bicaranya yang duduk bersebrangan dengannya di sofa. Kerutan di kening Brenda tidak hilang sama sekali sejak pertama ia membaca kertas tersebut sampai akhirnya sebuah desahan keras terdengar. "Oke, cukup! Aku rasa aku tidak akan pernah mengerti meski aku baca sampai kertas ini robek sekalipun." Brenda menjatuhkan tubuhnya dan memijat keningnya yang mulai pusing. "Lalu apa yang akan dr. lakukan sekarang?" tanya lawan bicara Brenda yang masih duduk anteng dan memaklumi rasa frustasi yang di perlihatkan oleh seniornya itu.
Wenda menatap punggung Raiden yang sedang membuat sarapan. Tatapan matanya begitu fokus seolah ada sesuatu yang menarik dari punggung lebar milik suami nya itu. Ekspresi Wenda pun berubah-ubah, terkadang dia terlihat bahagia, namun sesaat kemudian berubah menjadi kecewa, sedih, dingin bahkan tidak terbaca sama sekali. Sudah 2 minggu Wenda dan Raiden kembali tinggal bersama. Kondisi kejiwaan Wenda juga mulai stabil, setidaknya dirinya tidak pernah lagi mencoba untuk bunuh diri. Tapi walaupun begitu hubungan mereka tidak membaik seperti yang diharapakan karena Raiden tidak pernah benar-benar menganggap keberadaan Wenda meski mereka tinggal bersama. "Makanlah," ujar Raiden dingin saat menyodorkan sepiring sandwich dihadapan Wenda. Wenda
Dona menatap lekat sebuah album foto yang dia temukan di ruang baca milik keluarga Tucker. Tatapannya begitu fokus saat lembar demi lembar dia buka secara perlahan. Namun semakin lama, semakin banyak lembaran yang terbuka, ekspresi wajahnya justru semakin tidak terbaca. Ada kerutan di keningnya yang menandakan sebuah kebingungan. "Kak Dareen?" gumamnya penuh tanya. "Tapi kenapa fotonya di simpan di akhir, tidak berurutan seperti yang sebelumnya?" Dona mengambil salah satu foto yang tersimpan di bagian akhir album. Album foto yang sedang Dona lihat adalah album yang berisi foto-foto masa kecil Dareen. Mulai dari foto bayi hingga foto saat Dareen memasuki sekolah dasar. Semua tersusun dengan rapi dan berurutan di dalam album tersebut. Tapi ada satu foto ya
Edwin membolak-balik berkas-berkas yang akan dia gunakan untuk menuntut Wenda. Sudah berhari-hari dirinya disibukkan dengan hal yang sama, tapi tidak sedikitpun dia merasa lelah atau putus asa. Wenda memang masih dalam perawatan medis akibat depresi berat, tapi Edwin akan tetap memastikan perempuan tersebut masuk kedalam penjara dan menerima semua balasan dari perbuatannya. "Hah, aku benar-benar tidak mengerti," desah Edwin pelan. "Kali ini apa?" tanya Hanna yang setia mendampingi suaminya di ruang kerja. "Zayn Boseman dan Richard Clay.""Bukankah sudah jelas kenapa mereka saling serang, lalu bagian mana yang membuatmu ma
Dona keluar dari rumah sakit dengan wajah lelah. Sudah beberapa hari ini dia memiliki banyak jadwal operasi. Selain itu, dirinya juga disibukkan dengan pemikiran tentang Jesfer, Jeffrey dan kabar Jeno yang masih abu-abu.Hari ini Dona meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena ingin mencari informasi tentang keberadaan Ten, sahabatnya dan satu-satunya orang yang ingin dia mintai penjelasan.Sebelum pergi menuju tempat parkiran mobil, Dona memilih untuk membeli minuman kaleng dan meneguk nya dengan kasar di bangku yang tidak jauh dari parkiran.Dona mendesah kasar begitu cairan tersebut melewati tenggorokannya. "Aku benar-benar bisa gila," desisnya pelan sambil meremat kaleng yang tidak berdosa tersebut hingga tidak berbentuk lagi dan membuangnya asal."Kenapa mereka mempermainkan ku? Siapa yang harus aku percaya sekarang?!" tanyanya pada dirinya sendiri."Maaf tante, ini sampahnya," seor
Ten berlari bagai orang kesetanan. Semua mata para penjaga rumahnya menatap bingung kearah majikannya yang tiba-tiba saja masuk rumah dengan terus berteriak."Mark!" panggil Ten dengan panik."Mark!" lagi Ten memanggil nama putranya.Para maid yang sedang bekerja pun segera menuju sumber suara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi."Dimana Mark?" tanya Ten masih dengan nada panik."Mohon maaf nyonya, tuan muda Mark tidak berada di rumah," jawab salah satu Maid yang menunduk takut."What? Lalu dimana Mark? Siapa yang mengijinkan dia keluar?"emosi Ten seketika naik."Maaf nyonya, sepertinya tuan besar Track yang mengijinkan.""Ten, ada apa?" Track keluar dari ruang kerjanya dan menghampiri Ten yang tengah menatap para maid nya dengan tajam."Mana anakku?" desis Ten tajam.