Masuk
Dia harus bertindak profesional. Itu yang ada di pikiran Jesslyn sekarang. Wanita itu menarik nafasnya panjang, lalu meraih map biru dan memeluknya sebelum dia harus masuk ke dalam apartemen mewah di ibukota. Sabian baru saja menelponnya dan meminta Jesslyn untuk datang ke apartemen untuk mengantarkan dokumen penting. Karena Sabian tidak bisa datang untuk rapat, dia digantikan oleh orang lain. Dan materi penting dalam rapat ada ditangan Jesslyn.
Memasuki lift dan menekan tombol angka dalam lift. Jantung Jesslyn berdebar kencang, seperti sesuatu akan terjadi dengannya. Kehidupannya akhir-akhir ini cukup berantakan, dan sempat membuat Jesslyn pusing dengan hal itu. Dia mencoba untuk menghibur dirinya dengan belanja banyak barang tapi nyatanya tak mampu membuat moodnya kembali membaik. Dia kacau …. Tapi dia harus bertahan demi hidup. Dia bukan orang kaya yang resign kerja bisa hidup enak. Tapi dia harus banting tulang untuk mencukupi semua kebutuhannya.
Berdiri di depan pintu dengan nomor cantik, Jesslyn pun mengetuk pintu apartemen ini dengan sesopan mungkin. Satu ketukan, dua ketukan tidak ada jawaban. Jesslyn mencoba untuk mengetuk yang terakhir kalinya, jika tidak keluar juga dia akan menelepon Sabian dan meminta pemilik apartemen ini turun menemui Jesslyn. Dia tidak mungkin berdiri di depan pintu layaknya orang bodoh, kerjaan dia juga tidak hanya berdiri disini tapi juga ada yang lain.
Ketukan tiga tidak ada jawaban. Wanita itu membalik tubuhnya dan hendak pergi. Tapi ucapan seseorang membuat langkah kaki Jesslyn terhenti. Tubuh yang menegang, dan seolah untuk berbalik menatap siapa orang itu tak mampu.
“Maaf, ada perlu apa ya?” Tanya orang itu. Suaranya begitu deep dan membuat tubuh Jesslyn merinding seketika.
Menarik nafasnya panjang, dan menghembuskannya perlahan. Jesslyn membalik badannya dan melihat Christian yang berdiri diambang pintu dengan terkejut. Tak lama seorang wanita berdiri di belakang pria itu dengan senyum yang mengembang sambil menyapa Jesslyn.
“Hai Jes … ayo masuk, setelah acara tunangan aku sama Christian kenapa nggak pernah keliatan lagi sih.”
Jesslyn hanya diam, dia menatap tangannya yang ditarik paksa oleh Hanna untuk masuk ke apartemennya. Jesslyn ingin menolak tapi dia juga tidak enak dengan Hanna yang sudah menyambutnya dengan hangat.
“Aku sibuk kerja.” Jawab Jesslyn seadanya.
“Terus kamu kesini kenapa?”
Jesslyn memamerkan map biru yang dia bawa. Dia pergi kesini karena Sabian yang tidak bisa mengantar map ini untuk Christian. Dan menurut Sabian map ini begitu penting, sehingga Jesslyn harus mengantar kesini. Tapi tahu jika tempat ini adalah tempat tinggal Christian dan juga Hanna. Jika saja Jesslyn tahu, mungkin dia akan menolak atau mungkin meminta Rhea atau mungkin Elina untuk mengantar map ini.
Disini Hanna terlihat bahagia, dia tak henti-hentinya bercerita tentang pertunangannya dengan Christian yang berjalan dengan lancar. Sesekali melirik Christian yang diam saja di hadapan Jesslyn. Pria itu cukup ketara menatap Jesslyn terus-terus. Bahkan untuk berkedip saja tidak mau. Hanna yang tidak sadar dengan hal itu malah meninggalkan Jesslyn dengan Christian berdua. Wanita itu akan membeli sedikit cemilan dan juga minum untuk mereka dibawa. Masa iya tamu datang kesini tidak diberi apapun? Meskipun Jesslyn menolak dan ingin segera pergi, tapi Hanna melarang Jesslyn pergi begitu saja dengan perut kosong.
Setelah kepergian Hanna, Christian langsung mendekati Jesslyn duduk di hadapan wanita itu dengan tatapan sayu. Detik berikutnya dia pun memeluk tubuh Jesslyn dengan erat dan menangis. Wanita itu sudah menahannya untuk tidak ikut menangis tapi yang terjadi …
“Tian lepasin gak? Gue nggak mau Hanna salah paham sama kita.” kata Jesslyn setenang mungkin, meskipun jantungnya bereaksi berbeda begitu juga dengan tubuhnya. Hanya membeli minum tidak harus membutuhkan waktu satu atau lima jam ke depan kan?
“Apa peduli gue, kalau dia tau bagus dong. Gue nggak perlu lagi pura-pura di depan dia kalau kita nggak kenal.”
Jesslyn menarik nafasnya panjang, melepas pelukan itu dan mendorong tubuh Christian untuk menjauh. Tapi yang terjadi, pria itu seolah marah dengan sikap Jesslyn dan mendorong tubuh wanita itu hingga terlentang diatas sofa. Sorot matanya begitu tajam, dia marah, Jesslyn tahu hal itu. Tapi untuk sekarang tidak ada yang bisa Jesslyn lakukan selain berontak
“Jangan gila!! Lo itu tunangan temen gue.”
Peduli setan dengan hal itu, Christian malah melahap habis bibir Jesslyn dan menindih tubuh mungil itu di bawahnya. Tak memberinya space apapun, bahkan untuk bernafas saja tidak. Christian benar-benar menghukum wanita itu yang terus menolaknya sedangkan yang terjadi Jesslyn cukup sakit hati dengan sikap Christian yang tidak bisa tegas dengan keputusannya. Seharusnya dia bahagia dengan Hanna kenapa juga dia masih mengganggu Jesslyn dalam hal ini?
Jesslyn berontak, sesekali mendorong tubuh pria itu untuk menjauh darinya. Tapi yang terjadi Christian malam semakin menindihnya dan membuat wanita itu sesak napas. Menaikkan satu tangannya yang bebas untuk membuat tubuh Jesslyn menggeliat di bawah Kungkungan pria itu.
Sekuat tenaga Jesslyn pun berontak, sampai akhirnya dia bisa melepaskan diri dari pria itu. Merapikan penampilannya wanita itu bangkit dari duduknya, mengatur nafasnya sambil mengusap bibirnya yang basah karena ulah Christian.
“Gue kesini atas permintaan Sabian. Kalau gue tahu tempat ini milik Lo, guepastiin gue nggak akan mau datang kesini hanya untuk nganterin map. Permisi.”
Dengan cepat Jesslyn meninggalkan tempat ini, baru juga beberapa langkah dan memegang knop pintu apartemen ini. Pintu terbuka dengan lebarnya, menunjukkan Hanna yang datang dengan membawa banyak belanjaan. Wanita itu cukup terkejut melihat Jesslyn yang buru-buru pergi. Tapi yang ada, Jesslyn nyelonong pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Dia tidak peduli jika setelah ini Hanna menganggap jika Jesslyn tahu tidak tau diri.
“Apa ada? Kenapa dia pergi dengan keadaan marah, Tian?” Tanya Hanna heran.
Christian tak menjawab, dia pergi begini saja dan masuk ke kamarnya mengganti bajunya yang baru dan pergi meeting. Sejujurnya hal ini dia lakukan untuk bisa bertemu dengan Jesslyn, beberapa hari lalu wanita itu sempat mengundurkan diri. Tapi Sabian menolak karena permintaan Christian. Dia sudah kecintaan dengan Jesslyn, tapi ibunya malah meminta menikah dengan Hanna. Wanita yang hanya menemani Christian selama di luar negeri saja. Entah apa yang Hanna lakukan sehingga ibunya begitu percaya dengan apa yang Hanna katakan.
Mengendarai mobilnya dengan cepat, Christian memilih di salah satu restoran dekat dengan apartemennya. Matanya menatap Jesslyn yang ternyata ada disini juga bersama dengan pria lain. Christian yang tidak terima pun menghampiri mereka dan mengetuk meja mereka sebanyak dua kali.
“Jadi … ini yang Lo lakuin di belakang Gue, Jesslyn Gretta?” ucapnya penuh dengan penekanan, dan membuat wanita itu menelan salivanya dengan kesulitan.
Christian baru saja menjejakkan kaki di pelataran parkir kantor Sabian. Siang itu matahari terik, tapi yang lebih menyilaukan matanya justru sesuatu yang lain. Pandangan tajamnya langsung tertumbuk pada sebuah sedan putih—atau lebih tepatnya, yang seharusnya putih. Bagian kap depan mobil itu kini berwarna merah menyala, seperti sengaja disemprot pilox.Christian mengerutkan dahi, menghentikan langkahnya. Apa-apaan ini? pikirnya. Ia kenal betul mobil itu. Mobil Jesslyn. Mobil yang selalu diparkir di sudut yang sama.Dengan langkah lebar, ia masuk ke lobi, menyalami beberapa karyawan sekadar basa-basi, lalu segera menuju lantai tempat Jesslyn bekerja. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya—wanita itu sedang berdiri di depan meja kerjanya, wajahnya kaku, sorot mata penuh amarah yang ditahan.“Jess,” suara Christian rendah tapi tegas.Jesslyn menoleh, kaget. “Apa lagi? Kamu bikin kaget aja.”Christian menatapnya lekat-lekat. “Itu mobil kamu, kenapa warnanya berubah? Ada yang nyemprot mer
Malam itu rumah Jesslyn terasa lebih lengang setelah Elina dan Rhea pamit. Sisa gelak tawa mereka masih menggantung samar, tapi begitu pintu menutup, kesunyian langsung mengambil alih. Jesslyn berjalan pelan ke dapur, membereskan gelas-gelas bekas minum, sementara Christian bersandar santai di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada, menatapnya tanpa henti.“Kenapa liatin aku terus?” Jesslyn berusaha terdengar biasa, tapi nada suaranya bergetar samar.Christian terkekeh pelan, langkahnya mendekat. “Karena kamu keliatan cantik… bahkan cuma pake kaos santai gini.”Jesslyn melirik, pura-pura cuek, tapi pipinya jelas memerah. Ia buru-buru membuka bungkus mie instan, mencoba menutupi kegugupan. “Mau makan atau enggak? Jangan ganggu aku.”“Kalau bisa ganggu kamu terus, aku pilih itu,” sahut Christian, nadanya rendah, menggoda.Jesslyn mendengus. Ia memasukkan mie ke air mendidih, tapi sadar betul Christian semakin dekat. Helaan napasnya terdengar di belakang telinganya, membuatnya kaku.
Mobil Christian berhenti di depan sebuah minimarket besar. Jesslyn yang sejak tadi diam hanya bisa melirik heran. Untuk apa dia berhenti disini?“Kok mampir?” tanyanya pelan.Christian melepas sabuk pengamannya. “Kulkas kamu pasti kosong. Aku yakin Elina sama Rhea udah habisin semua cemilan kamu. Benar, kan?”Jesslyn terdiam, lalu terkekeh kecil. “Kok bisa nebak?”“Karena aku kenal mereka. Dan aku lebih kenal kamu,” balas Christian santai, lalu keluar. Ia membuka pintu untuk Jesslyn, membantunya turun. “Ayo, belanja sekalian buat bulanan.”Suasana minimarket cukup ramai sore itu. Lampu putih terang membuat lorong-lorong rak tampak panjang. Jesslyn mendorong troli, sementara Christian berjalan di sampingnya, sesekali mengambil barang tanpa izin.“Eh, buat apa kamu masukin ini?” Jesslyn menunjuk sekotak sereal rasa coklat.“Buat sarapan kamu. Aku nggak mau kamu cuma minum kopi hitam tiap pagi.”Jesslyn mendengus. “Aku biasa aja, Tian.”“Tapi aku nggak biasa lihat kamu kayak gitu, ingat
Jesslyn berjalan cepat meninggalkan koridor tempat tadi ia bicara dengan Hanna. Wajahnya berusaha tetap datar, tapi di balik tatapan dingin itu dadanya terasa penuh. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Hanna tadi seperti gema yang menolak hilang dari kepalanya.Begitu sampai di depan pintu ruang kerjanya, Jesslyn menarik napas dalam-dalam, lalu masuk. Pintu menutup perlahan, meninggalkan sunyi yang anehnya tidak membuatnya tenang.Ia menaruh map kerja di atas meja, meletakkan tas dengan sedikit keras, lalu duduk. Kursi berputar itu ia dorong hingga menghadap jendela besar yang memperlihatkan langit siang yang mendung tipis. Jemarinya meremas rok kerjanya sendiri.“Kenapa harus gue yang dengar semua itu…” gumamnya lirih.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh cepat. Elina masuk dengan membawa dua cangkir kopi.“Gue lihat wajah lo… nggak biasanya kayak gini,” ucap Elina sambil meletakkan kopi di meja. “Lo baru dari ruangan Sabian, ya?”Jesslyn menatap sahabatnya sejenak, lalu
Hanna melangkah dengan pasti ke lobi kantor pusat Miller Corporation. Sepatu haknya beradu dengan marmer dingin, langkah yang terdengar tenang tapi menyimpan kegelisahan. Semua mata pegawai yang lewat menoleh, sebagian memberi salam singkat, sebagian lainnya hanya berbisik. Nama Hanna sudah cukup membuat perhatian tertuju, terlebih kedatangannya yang tidak dijadwalkan. Semua orang tahu siapa Hanna saat ini. “Selamat siang, Nona Hanna,” resepsionis menyapa sopan, sedikit gugup.“Sabian ada?” tanya Hanna singkat, tanpa basa-basi.Tak butuh lama, seorang staf langsung mengantarkan Hanna ke lantai atas, menuju ruang kerja Sabian. Ruangan itu luas dengan dinding kaca menjulang, pemandangan kota terbentang di belakang meja besar berwarna hitam elegan. Sabian berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersedekap di belakang, seolah sudah tahu siapa tamunya.“Lama sekali lo gak datang ke sini,” ucap Sabian begitu pintu ditutup, suaranya datar tapi penuh wibawa.Hanna mengangkat dagu. “Kalau
Jesslyn masih mengusap rambutnya dengan handuk ketika melangkah ke ruang tamu. Dia setengah kaget, setengah salah tingkah melihat Christian berdiri di sana. Perasaan tadi masih duduk disana kenapa sekarang Deket banget sama dia?“Tian…” suaranya pelan, agak tercekat.Christian hanya tersenyum tipis. “Gue kangen.”Elina langsung batuk pura-pura keras. “Uhuk! Uhuk! Aduh, kayaknya tenggorokan gue kering banget.” Dia berdiri sambil menarik lengan Rhea. “Yuk, kita ke dapur, cari minum dulu.”Rhea hampir ngakak, tapi berhasil menahannya. “Iya, iya. Air putih kan sehat.” Mereka berdua pun melipir ke arah dapur, tapi jelas sengaja melambat agar bisa mendengar.Jesslyn mendengus, mencoba menutupi wajah panasnya. “Lo ini… tiba-tiba datang gitu aja.”Christian menatapnya dengan mata teduh, langkahnya maju mendekat. “Seharian nggak ada kabar dari lo. Gue pikir ada apa-apa. Telepon nggak diangkat, pesan nggak dibalas.”Jesslyn menggigit bibir, salah tingkah. “Gue sibuk, Tian. Masa harus laporan se







