MasukJesslyn menarik nafasnya panjang, hari ini cukup melelahkan. Dalam bayangan wanita itu sesampainya di rumah dia akan merendam diri di bathtub dengan aroma rose, bahkan Jesslyn juga membayangkan malam ini dia akan tutur dengan nyaman sepanjang malam. Atau mungkin menonton film Drakor kesukannya hingga pagi menjelang. Peduli setan jika paginya dia harus pergi ke kantor dengan keadaan yang berantakan.
Sayangnya, bayangan tinggal bayangan. Harapan tinggal harapan. Sesampainya di rumah Jesslyn dikejutkan dengan aroma masakan dari arah dapur. Ruangan yang bersih dan wangi, aroma ini aroma rose. Aroma kesukaan Jesslyn sejak dulu. Dan siapa yang sudah berani masuk ke rumahnya sekarang? Mengingat ibunya harus pulang ke Jogja saat mendapat kabar nenek jatuh sakit.
Buru-buru pergi ke dapur dan melihat siapa yang memasak, langkah kaki Jesslyn terhenti ketika melihat punggung pria yang begitu dia kenal. Mau apa dia kesini? Dan bagaimana caranya dia masuk ke rumah ini?
“Christian … .” panggil Jesslyn lirih.
Pria itu menoleh, tersenyum lebar sambil memamerkan masakannya yang sudah jadi. Dia meminta Jesslyn untuk membersihkan lebih dulu, dia susah memasak banyak menu yang dimana pria itu tahu jika wanita itu pulang dalam keadaan lelah.
“Mandi dulu ya, habis ini kita makan malam bersama.” ucap Christian.
Jesslyn menggeleng. “Lo ngapain disini? Dan … gimana cara Lo masuk ke rumah gue, Tian?”
“Ai gue akan jawab nanti setelah lo habis mandi.”
Hanya begitu saja Jesslyn menurut, dia masuk ke kamarnya dan membersihkan diri. Dia ingin tahu apa yang terjadi dan bagaimana bisa dia masuk ke rumahnya. Jelas kuncinya Jesslyn yang bawa, dan wanita itu yakin dia tidak memberikan kunci rumahnya pada Christian meskipun dia dulu sering menjemputnya untuk pergi ke kantor bersama.
Dengan kaos oblong berwarna hitam, legging hitam Jesslyn dengan cepat menghampiri Christian di dapur. Pria itu benar-benar menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Menatapnya dengan rapi dan juga ada aroma rose. Makan malam ini begitu romantis jika di film, dan sekarang Jesslyn mengalaminya.
Dulu, wanita itu pernah bilang pada Christian jika dia ingin makan malam romantis selama hidupnya. Ada banyak taburan kelopak mawar diatas meja, lilin menyala dengan aroma rose, ditambah lagi dengan makanan kesukaan Jesslyn yaitu spaghetti dan juga steak setengah datang. Dan malam ini pria itu mewujudkan apa yang Jesslyn inginkan. Semua yang dia harapkan dulu terwujud dengan orang yang dulu pernah dia inginkan dalam hidupnya.
Memalingkan wajahnya dan hendak pergi, Christian menarik tangan Jesslyn untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Dan wanita itu baru sadar jika pria itu masih menggunakan kemeja kantornya, sedangkan dirinya hanya menggunakan kaos. Ibaratnya seperti bos yang sedang makan malam dengan babunya.
“Jelasin.” ucap Jesslyn.
“Apanya?”
“Tian lo tau gue bukan orang yang ngomong harus mengulang dua kali.”
Disini Christian mengangguk, dia tahu betul bagaimana Jesslyn. Dia bukan orang yang suka mengulang ucapannya, tapi disini perlu Christian jelaskan jika dia sudah berjanji pada ibu Jesslyn untuk merawat wanita itu. Ibu Jesslyn memberikan satu kunci rumah ini pada Christian jika ibunya lebih lega, lebih percaya jika pria itu yang merawatnya. Makanya bagaimana bisa Christian masuk ke rumah ini, itu juga berkat ibu Jesslyn sendiri bukan yang lain.
Disini Jesslyn hanya diam saja, sepercaya itu ya ternyata ibunya pada Christian, sampai-sampai dia pergi saja harus ada orang yang menjaga Jesslyn sampai aman. Tanpa ibunya sadari orang yang diminta menjaganya adalah orang yang menyakitinya lebih dalam dari sebelumnya.
Dia berhasil melepas gelang itu tapi dia tidak berhasil melepas bayangan pria itu dalam hidupnya.
Untuk sekarang Jesslyn tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk bertengkar dengan Christian. Semakin dia menolak, semakin dia meminta pria itu untuk pergi dalam hidupnya. Dia akan semakin nekat untuk terus mendekati Jesslyn.
“Kita makan, gue udah laper banget.” ucap Jesslyn, ketika Christian membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu.
***
Sekolah mengumumkan jika kelas delapan wajib untuk mengikuti camping dalam tiga hari dua malam. Jika bisa memilih dia hanya ingin tidur seharian di rumah bermain ponsel atau melakukan hal yang lebih bermanfaat dari camping. Tapi yang terjadi, kegiatan ini wajib diikuti oleh seluruh warga kelas delapan. Entah peraturan dari mana tapi Jesslyn sangat tidak suka hal itu.
Membawa ransel besar, wanita itu berangkat ke sekolah menaiki sebuah bus besar menuju hutan dimana dia melakukan camping. Jesslyn menatap banyak anak termasuk Christian yang hanya tersenyum menatap Jesslyn. Sejujurnya hal begini yang membuat Jesslyn malas, tapi entah karena apa bisa-bisanya Christian tersenyum sumringah disana. Apa mungkin dia merencanakan sesuatu untuk Jesslyn yang akan membuat wanita itu ketakutan dan menangis? Atau mungkin berteriak kencang di tengah hutan? JIka sampai hal itu terjadi, Jesslyn tak akan memaafkan Christian sedikitpun.
Semua anak mendirikan tenda masing-masing, begitu juga dengan Christian yang dengan sigap membantu tenda Jesslyn. Pria itu tampak bersemangat sekali dan membuat Jesslyn merinding.
“Abi lo kayaknya seneng banget diminta camping.” ucap Jesslyn penasaran.
Christian menoleh dan tersenyum. “Lo kan tau gue suka jelajah.”
“Oh ya … tapi kan ini hutan bukan gunung.”
Terkekeh kecil, Christian pun mengusap kepala Jesslyn dengan lembut. “Lo pikir gunung nggak ada hutannya kah? Disana malah lebih ngeri dan lebih parah dari hutan ini, Ai.”
Jesslyn bergidik ngeri, dia pun mengangguk kecil dan membantu Christian untuk menyelesaikan mendirikan tenda wanita itu. Lalu, merebahkan dirinya di dalam tenda dan menatap langit-langit tenda dengan kesal. Rasanya engap, Jesslyn harus tidur berdampingan dengan banyak orang. Di tenda ini tidak hanya Jesslyn saja tapi juga dengan beberapa anak yang mungkin tidak akan bisa membuat Jesslyn tidur dengan nyenyak.
“Abi … ,” Jesslyn menoleh, menatap Christian yang juga tiduran di sampingnya. “Gimana kalau gue nggak bisa tidur?”
Merubah posisi tidurnya dengan satu tangan yang menyangga kepalanya dan juga badan yang dibuat miring, Christian pun mengusap pipi wanita itu dengan lembut. “Tenda gue nggak jauh dari lo, kalau lo nggak bisa tidur lo tinggal ke tenda gue panggil nama gue. Gue akan temenin lo sampai lo tidur.”
“Tapi gue nggak bisa tidur kalau nggak meluk guling.” Jesslyn sedikit merengek, dia pun menatap Christian dengan mata yang hampir menangis. Dia susah tidur jika tidak ada guling, dan Jesslyn bukan orang yang bisa tidur di sembarang tempat.
Christian tahu hal itu, dia tahu betul bagaimana Jesslyn selama ini. Itu sebabnya dia mendirikan tenda tak jauh dari tenda Jesslyn, karena dia hal itu akan terjadi pada dirinya dan juga Jesslyn.
“Gue akan temenin lo, gue akan peluk lo, dan gue akan pastiin lo akan aman dan baik-baik saja selama ada gue. Apapun yang lo lakuin gue mohon sama lo selalu ngelibatin gue.”
Jesslyn menatap Christian heran. “Kenapa begitu?”
“Karena lo adalah satu-satunya tujuan gue untuk bertahan.”
****
Christian baru saja menjejakkan kaki di pelataran parkir kantor Sabian. Siang itu matahari terik, tapi yang lebih menyilaukan matanya justru sesuatu yang lain. Pandangan tajamnya langsung tertumbuk pada sebuah sedan putih—atau lebih tepatnya, yang seharusnya putih. Bagian kap depan mobil itu kini berwarna merah menyala, seperti sengaja disemprot pilox.Christian mengerutkan dahi, menghentikan langkahnya. Apa-apaan ini? pikirnya. Ia kenal betul mobil itu. Mobil Jesslyn. Mobil yang selalu diparkir di sudut yang sama.Dengan langkah lebar, ia masuk ke lobi, menyalami beberapa karyawan sekadar basa-basi, lalu segera menuju lantai tempat Jesslyn bekerja. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya—wanita itu sedang berdiri di depan meja kerjanya, wajahnya kaku, sorot mata penuh amarah yang ditahan.“Jess,” suara Christian rendah tapi tegas.Jesslyn menoleh, kaget. “Apa lagi? Kamu bikin kaget aja.”Christian menatapnya lekat-lekat. “Itu mobil kamu, kenapa warnanya berubah? Ada yang nyemprot mer
Malam itu rumah Jesslyn terasa lebih lengang setelah Elina dan Rhea pamit. Sisa gelak tawa mereka masih menggantung samar, tapi begitu pintu menutup, kesunyian langsung mengambil alih. Jesslyn berjalan pelan ke dapur, membereskan gelas-gelas bekas minum, sementara Christian bersandar santai di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada, menatapnya tanpa henti.“Kenapa liatin aku terus?” Jesslyn berusaha terdengar biasa, tapi nada suaranya bergetar samar.Christian terkekeh pelan, langkahnya mendekat. “Karena kamu keliatan cantik… bahkan cuma pake kaos santai gini.”Jesslyn melirik, pura-pura cuek, tapi pipinya jelas memerah. Ia buru-buru membuka bungkus mie instan, mencoba menutupi kegugupan. “Mau makan atau enggak? Jangan ganggu aku.”“Kalau bisa ganggu kamu terus, aku pilih itu,” sahut Christian, nadanya rendah, menggoda.Jesslyn mendengus. Ia memasukkan mie ke air mendidih, tapi sadar betul Christian semakin dekat. Helaan napasnya terdengar di belakang telinganya, membuatnya kaku.
Mobil Christian berhenti di depan sebuah minimarket besar. Jesslyn yang sejak tadi diam hanya bisa melirik heran. Untuk apa dia berhenti disini?“Kok mampir?” tanyanya pelan.Christian melepas sabuk pengamannya. “Kulkas kamu pasti kosong. Aku yakin Elina sama Rhea udah habisin semua cemilan kamu. Benar, kan?”Jesslyn terdiam, lalu terkekeh kecil. “Kok bisa nebak?”“Karena aku kenal mereka. Dan aku lebih kenal kamu,” balas Christian santai, lalu keluar. Ia membuka pintu untuk Jesslyn, membantunya turun. “Ayo, belanja sekalian buat bulanan.”Suasana minimarket cukup ramai sore itu. Lampu putih terang membuat lorong-lorong rak tampak panjang. Jesslyn mendorong troli, sementara Christian berjalan di sampingnya, sesekali mengambil barang tanpa izin.“Eh, buat apa kamu masukin ini?” Jesslyn menunjuk sekotak sereal rasa coklat.“Buat sarapan kamu. Aku nggak mau kamu cuma minum kopi hitam tiap pagi.”Jesslyn mendengus. “Aku biasa aja, Tian.”“Tapi aku nggak biasa lihat kamu kayak gitu, ingat
Jesslyn berjalan cepat meninggalkan koridor tempat tadi ia bicara dengan Hanna. Wajahnya berusaha tetap datar, tapi di balik tatapan dingin itu dadanya terasa penuh. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Hanna tadi seperti gema yang menolak hilang dari kepalanya.Begitu sampai di depan pintu ruang kerjanya, Jesslyn menarik napas dalam-dalam, lalu masuk. Pintu menutup perlahan, meninggalkan sunyi yang anehnya tidak membuatnya tenang.Ia menaruh map kerja di atas meja, meletakkan tas dengan sedikit keras, lalu duduk. Kursi berputar itu ia dorong hingga menghadap jendela besar yang memperlihatkan langit siang yang mendung tipis. Jemarinya meremas rok kerjanya sendiri.“Kenapa harus gue yang dengar semua itu…” gumamnya lirih.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh cepat. Elina masuk dengan membawa dua cangkir kopi.“Gue lihat wajah lo… nggak biasanya kayak gini,” ucap Elina sambil meletakkan kopi di meja. “Lo baru dari ruangan Sabian, ya?”Jesslyn menatap sahabatnya sejenak, lalu
Hanna melangkah dengan pasti ke lobi kantor pusat Miller Corporation. Sepatu haknya beradu dengan marmer dingin, langkah yang terdengar tenang tapi menyimpan kegelisahan. Semua mata pegawai yang lewat menoleh, sebagian memberi salam singkat, sebagian lainnya hanya berbisik. Nama Hanna sudah cukup membuat perhatian tertuju, terlebih kedatangannya yang tidak dijadwalkan. Semua orang tahu siapa Hanna saat ini. “Selamat siang, Nona Hanna,” resepsionis menyapa sopan, sedikit gugup.“Sabian ada?” tanya Hanna singkat, tanpa basa-basi.Tak butuh lama, seorang staf langsung mengantarkan Hanna ke lantai atas, menuju ruang kerja Sabian. Ruangan itu luas dengan dinding kaca menjulang, pemandangan kota terbentang di belakang meja besar berwarna hitam elegan. Sabian berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersedekap di belakang, seolah sudah tahu siapa tamunya.“Lama sekali lo gak datang ke sini,” ucap Sabian begitu pintu ditutup, suaranya datar tapi penuh wibawa.Hanna mengangkat dagu. “Kalau
Jesslyn masih mengusap rambutnya dengan handuk ketika melangkah ke ruang tamu. Dia setengah kaget, setengah salah tingkah melihat Christian berdiri di sana. Perasaan tadi masih duduk disana kenapa sekarang Deket banget sama dia?“Tian…” suaranya pelan, agak tercekat.Christian hanya tersenyum tipis. “Gue kangen.”Elina langsung batuk pura-pura keras. “Uhuk! Uhuk! Aduh, kayaknya tenggorokan gue kering banget.” Dia berdiri sambil menarik lengan Rhea. “Yuk, kita ke dapur, cari minum dulu.”Rhea hampir ngakak, tapi berhasil menahannya. “Iya, iya. Air putih kan sehat.” Mereka berdua pun melipir ke arah dapur, tapi jelas sengaja melambat agar bisa mendengar.Jesslyn mendengus, mencoba menutupi wajah panasnya. “Lo ini… tiba-tiba datang gitu aja.”Christian menatapnya dengan mata teduh, langkahnya maju mendekat. “Seharian nggak ada kabar dari lo. Gue pikir ada apa-apa. Telepon nggak diangkat, pesan nggak dibalas.”Jesslyn menggigit bibir, salah tingkah. “Gue sibuk, Tian. Masa harus laporan se







