Masuk“Hei … hei … kenapa? Kok tiba-tiba nangis?”
Jesslyn merubah posisi duduknya membelakangi pria itu. Bisa-bisanya dia menangis setelah teringat kejadian itu. Seharusnya wanita itu mengusir Christian dari rumahnya. Ini sudah malam dan Jesslyn tidak ingin para warga datang berbondong-bondong ke rumahnya dan menikahkan mereka berdua. Meskipun tidak melakukan apapun bukan berarti mereka tidak bisa di gerebek kan? Ditambah lagi status pria itu yang kadang masih membuat Jesslyn ngeri.
“Gue nggak papa, ini udah malem Lo bisa pulang.”
Menatap arloji di tangannya Christian mendengus. “Gue temenin Lo sampai tidur ya baru gue pulang.”
“Tian gue beneran nggak enak sama Hanna, gue bisa tidur sendiri setelah ini. Lebih baik lo pulang aja, gue aman di rumah ini. Jangan lupa kunci pintunya.”
Jesslyn pergi begitu saja tanpa harus menunggu jawaban Christian. Dan pria itu hanya mampu menatap punggung Jesslyn yang hilang ditelan pintu kamar wanita itu. Ada apa dengan Hanna? Mau pulang atau tidak itu bukan urusan Hanna. Christian disini tengah memperjuangkan perasaannya, bukan untuk membahas wanita lain di dalam hidupnya. Dia tunangan dengan Hanna itu karena mommy nya bukan mau Christian sendiri.
***
Pagi hari Jesslyn bangun dengan alarm yang mengganggu telinganya. Wanita itu menatap jam di ponselnya dan mendengus. Jam menunjukkan pukul enam pagi, dia harus sampai di kantor jam delapan pagi karena ada meeting. Dengan rasa malas Jesslyn pun segera membersihkan diri lebih dulu sebelum keluar kamar. Minimal dia harus wangi meskipun di rumah ini tidak ada lagi teriakan ibunya yang menggelegar setiap pagi.
Dengan turtleneck berwarna putih, dipadukan dengan blazer berwarna hitam dan juga rok pendek putih, Jesslyn sudah siap untuk pergi ke kantor. Jangan lupakan juga lipstik merah menyala yang menjadi kebanggaan wanita itu. Dimana semua orang takut olehnya dan selalu dianggap orang paling galak di kantor. Padahal yang terjadi wanita itu begitu baik jika tidak di senggol saja sih.
Terakhir, wanita itu menyemprotkan parfum kesukaannya di bagian tertentu. Seperti pergelangan tangan, belakang telinga dan juga lengan atas dekat dengan ketiak, barulah dia keluar kamar dengan terkejut. Disana, Jesslyn bisa melihat rumahnya yang sudah rapi. Tidak ada sisa piring kotor, lantai kotor atau apapun itu. Dan tak kalah terkejutnya lagi, ketika Jesslyn melihat seseorang tidur di sofa. Wanita itu memicingkan matanya untuk melihat siapa yang tidur. Tidak mungkin kan Christian tidur di sofa?
Dan benar saja, pria itu tidur dengan meringkuk, hanya dengan jas yang digunakan untuk selimut disana. Wajahnya seperti bayi yang begitu tenang dan nyaman tidur di sofa ini. Padahal Jesslyn tahu jika setelah ini pinggang Christian akan sakit, dan mungkin pria itu bahkan tidak pernah tidur di sofa seperti ini. Tapi malam itu.
“Tian bangun.” kata Jesslyn menggoyangkan tubuh Christian untuk segera bangun.
Pria itu menggeliat dalam tidurnya, membuka matanya dengan perlahan dan menatap Jesslyn yang sudah cantik disampingnya.
“Hai … pagi.” sapa Christian mengucek kedua matanya mencoba untuk menyesuaikan pandangannya. “Udah pagi ya?”
“Kenapa tidur di sofa? Kan kemarin gue minta Lo untuk pulang.”
Kalau tidak tidur di sofa menangnya Christian mau tidur dimana? Tidak mungkin kan dia tidur di kamar Jesslyn atau mungkin dikamar ibu Jesslyn. Meskipun ada kamar kosong tapi Christian lebih nyaman tidur di sofa.
Wanita itu menarik nafasnya panjang, lalu meminta Christian untuk membersihkan diri lebih dulu sebelum dia pergi ke kantor. Hanya saja Jesslyn tidak memiliki baju pria, dia tidak punya bapak setelah bapaknya berselingkuh dan menikah dengan selingkuhannya.
“Pakai ini aja nggak papa.” kata Christian pasrah.
Setelah melihat Christian masuk ke kamar Jesslyn, dan wanita itu pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Jesslyn duduk di meja makan sambil menunggu Christian. Pikirannya berkelana pada Hanna, bagaimana khawatirnya wanita itu ketika tahu calon suaminya tidak pulang dan menginap di rumah Jesslyn. Mungkin dulu masih bisa waktu mereka masih sekolah, tapi statusnya sekarang sudah beda. Rasanya Jesslyn akan berdosa jika dia akan kembali seperti dulu. Menjadi orang ketiga dan menjalin hubungan dengan Christian di belakang Hanna.
Tak lama, orang yang ditunggu pun datang. Jesslyn mencoba untuk tersenyum kecil sambil menyodorkan satu mangkuk sarapannya untuk Christian. Hanya itu yang bisa Jesslyn berikan pada Christian. Dia tidak pandai memasak, jadi jangan berharap lebih untuk hal itu.
“Ai … .” Jesslyn hanya melirik, sambil menikmati sarapannya. Sesekali memasang telinganya untuk mendengarkan ucapan Christian. “Beneran gak ada kesempatan untuk aku kembali?”
Perubahan cara bicara membuat Jesslyn menatap tajam. Dia tidak suka. Dia tidak suka di posisi seperti ini. Sebisa mungkin wanita itu memalingkan wajahnya dan mengubah arah ucapan mereka. Bahkan tidak perlu dibicarakan pun juga harusnya dia tahu jika kesempatan itu tidak pernah ada selama mereka dekat.
Menyelesaikan sarapannya dengan cepat, Jesslyn buru-buru pergi ke kantor. Baru beberapa melangkah, pria itu sudah menahan Jesslyn dengan jas yang dia pakai, untuk menutup kedua kakinya. Alis Jesslyn terangkat sebelah, menatap Christian heran sambil menatap jas coklat yang menutup kakinya hingga selutut.
“Kenapa? Ada yang salah sampai lo nutup kaki gue?” pertanyaan itu membuat Christian mengangguk.
“Rok lo terlalu pendek, gue nggak suka lihatnya.”
“Kalau gitu jangan dilihat. Lo hanya perlu buang pandangan lo dan liat apa yang menurut lo benar.”
Masalahnya Christian memikirkan banyak sekali pikiran pria yang nantinya akan menatap Jesslyn. Dia tahu betul pikiran seorang pria begitu kotor melihat wanita dengan baju seksinya. Apalagi penampilan Jesslyn hari ini benar-benar membangun kan pikiran mesum banyak pria dan Christian tidak suka hal itu.
Tapi disini ketika Jesslyn menatap Christian yang sibuk menutup kedua kakinya. Wanita itu malah lebih fokus pada leher Christian yang menambah tato kembali. Reflek Jesslyn menyentuh leher Christian dengan gerakan sensual. Kepala yang menunduk dan sedikit miring, tangan yang mencengkram leher itu lalu mengusapnya dengan lembut. Sehingga pria itu hanya mampu menutup matanya dan merasakan sensasi aneh dalam dirinya. Itu hanya usapan, bukan hal yang lebih. Dimana dia begitu brengseknya dulu sampai tidur dengan banyak wanita. Tapi kali ini usapan itu mampu membangunkan sesuatu dalam dirinya.
“Ai … .” Suaranya tertahan, seolah pria itu tengah menahan sesuatu dalam dirinya untuk meledak saat ini juga.
Tapi Jesslyn tak menyadari hal itu. Dia terus mengusap leher Christian yang menjadi titik lemahnya dengan lembut dan pelan. “Sejak kapan di leher lo ada tato ular?” pertanyaan itu lolos dari bibi Jesslyn dengan tangan yang masih diposisi yang sama.
Christian membuka matanya perlahan, tapi dirinya benar-benar menginginkan wanita itu saat ini juga.
“Sejak lo tinggalin gue beberapa bulan lalu.”
Seketika itu juga usapan di leher Christian berhenti. Mata mereka berpadu satu s
ama lain sampai akhirnya sesuatu terjadi diantara mereka.
****
Christian baru saja menjejakkan kaki di pelataran parkir kantor Sabian. Siang itu matahari terik, tapi yang lebih menyilaukan matanya justru sesuatu yang lain. Pandangan tajamnya langsung tertumbuk pada sebuah sedan putih—atau lebih tepatnya, yang seharusnya putih. Bagian kap depan mobil itu kini berwarna merah menyala, seperti sengaja disemprot pilox.Christian mengerutkan dahi, menghentikan langkahnya. Apa-apaan ini? pikirnya. Ia kenal betul mobil itu. Mobil Jesslyn. Mobil yang selalu diparkir di sudut yang sama.Dengan langkah lebar, ia masuk ke lobi, menyalami beberapa karyawan sekadar basa-basi, lalu segera menuju lantai tempat Jesslyn bekerja. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya—wanita itu sedang berdiri di depan meja kerjanya, wajahnya kaku, sorot mata penuh amarah yang ditahan.“Jess,” suara Christian rendah tapi tegas.Jesslyn menoleh, kaget. “Apa lagi? Kamu bikin kaget aja.”Christian menatapnya lekat-lekat. “Itu mobil kamu, kenapa warnanya berubah? Ada yang nyemprot mer
Malam itu rumah Jesslyn terasa lebih lengang setelah Elina dan Rhea pamit. Sisa gelak tawa mereka masih menggantung samar, tapi begitu pintu menutup, kesunyian langsung mengambil alih. Jesslyn berjalan pelan ke dapur, membereskan gelas-gelas bekas minum, sementara Christian bersandar santai di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada, menatapnya tanpa henti.“Kenapa liatin aku terus?” Jesslyn berusaha terdengar biasa, tapi nada suaranya bergetar samar.Christian terkekeh pelan, langkahnya mendekat. “Karena kamu keliatan cantik… bahkan cuma pake kaos santai gini.”Jesslyn melirik, pura-pura cuek, tapi pipinya jelas memerah. Ia buru-buru membuka bungkus mie instan, mencoba menutupi kegugupan. “Mau makan atau enggak? Jangan ganggu aku.”“Kalau bisa ganggu kamu terus, aku pilih itu,” sahut Christian, nadanya rendah, menggoda.Jesslyn mendengus. Ia memasukkan mie ke air mendidih, tapi sadar betul Christian semakin dekat. Helaan napasnya terdengar di belakang telinganya, membuatnya kaku.
Mobil Christian berhenti di depan sebuah minimarket besar. Jesslyn yang sejak tadi diam hanya bisa melirik heran. Untuk apa dia berhenti disini?“Kok mampir?” tanyanya pelan.Christian melepas sabuk pengamannya. “Kulkas kamu pasti kosong. Aku yakin Elina sama Rhea udah habisin semua cemilan kamu. Benar, kan?”Jesslyn terdiam, lalu terkekeh kecil. “Kok bisa nebak?”“Karena aku kenal mereka. Dan aku lebih kenal kamu,” balas Christian santai, lalu keluar. Ia membuka pintu untuk Jesslyn, membantunya turun. “Ayo, belanja sekalian buat bulanan.”Suasana minimarket cukup ramai sore itu. Lampu putih terang membuat lorong-lorong rak tampak panjang. Jesslyn mendorong troli, sementara Christian berjalan di sampingnya, sesekali mengambil barang tanpa izin.“Eh, buat apa kamu masukin ini?” Jesslyn menunjuk sekotak sereal rasa coklat.“Buat sarapan kamu. Aku nggak mau kamu cuma minum kopi hitam tiap pagi.”Jesslyn mendengus. “Aku biasa aja, Tian.”“Tapi aku nggak biasa lihat kamu kayak gitu, ingat
Jesslyn berjalan cepat meninggalkan koridor tempat tadi ia bicara dengan Hanna. Wajahnya berusaha tetap datar, tapi di balik tatapan dingin itu dadanya terasa penuh. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Hanna tadi seperti gema yang menolak hilang dari kepalanya.Begitu sampai di depan pintu ruang kerjanya, Jesslyn menarik napas dalam-dalam, lalu masuk. Pintu menutup perlahan, meninggalkan sunyi yang anehnya tidak membuatnya tenang.Ia menaruh map kerja di atas meja, meletakkan tas dengan sedikit keras, lalu duduk. Kursi berputar itu ia dorong hingga menghadap jendela besar yang memperlihatkan langit siang yang mendung tipis. Jemarinya meremas rok kerjanya sendiri.“Kenapa harus gue yang dengar semua itu…” gumamnya lirih.Suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh cepat. Elina masuk dengan membawa dua cangkir kopi.“Gue lihat wajah lo… nggak biasanya kayak gini,” ucap Elina sambil meletakkan kopi di meja. “Lo baru dari ruangan Sabian, ya?”Jesslyn menatap sahabatnya sejenak, lalu
Hanna melangkah dengan pasti ke lobi kantor pusat Miller Corporation. Sepatu haknya beradu dengan marmer dingin, langkah yang terdengar tenang tapi menyimpan kegelisahan. Semua mata pegawai yang lewat menoleh, sebagian memberi salam singkat, sebagian lainnya hanya berbisik. Nama Hanna sudah cukup membuat perhatian tertuju, terlebih kedatangannya yang tidak dijadwalkan. Semua orang tahu siapa Hanna saat ini. “Selamat siang, Nona Hanna,” resepsionis menyapa sopan, sedikit gugup.“Sabian ada?” tanya Hanna singkat, tanpa basa-basi.Tak butuh lama, seorang staf langsung mengantarkan Hanna ke lantai atas, menuju ruang kerja Sabian. Ruangan itu luas dengan dinding kaca menjulang, pemandangan kota terbentang di belakang meja besar berwarna hitam elegan. Sabian berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya bersedekap di belakang, seolah sudah tahu siapa tamunya.“Lama sekali lo gak datang ke sini,” ucap Sabian begitu pintu ditutup, suaranya datar tapi penuh wibawa.Hanna mengangkat dagu. “Kalau
Jesslyn masih mengusap rambutnya dengan handuk ketika melangkah ke ruang tamu. Dia setengah kaget, setengah salah tingkah melihat Christian berdiri di sana. Perasaan tadi masih duduk disana kenapa sekarang Deket banget sama dia?“Tian…” suaranya pelan, agak tercekat.Christian hanya tersenyum tipis. “Gue kangen.”Elina langsung batuk pura-pura keras. “Uhuk! Uhuk! Aduh, kayaknya tenggorokan gue kering banget.” Dia berdiri sambil menarik lengan Rhea. “Yuk, kita ke dapur, cari minum dulu.”Rhea hampir ngakak, tapi berhasil menahannya. “Iya, iya. Air putih kan sehat.” Mereka berdua pun melipir ke arah dapur, tapi jelas sengaja melambat agar bisa mendengar.Jesslyn mendengus, mencoba menutupi wajah panasnya. “Lo ini… tiba-tiba datang gitu aja.”Christian menatapnya dengan mata teduh, langkahnya maju mendekat. “Seharian nggak ada kabar dari lo. Gue pikir ada apa-apa. Telepon nggak diangkat, pesan nggak dibalas.”Jesslyn menggigit bibir, salah tingkah. “Gue sibuk, Tian. Masa harus laporan se







