Share

4 || Penasaran

(Naya)

Setelah berendam cukup lama, aku segera menyelesaikan ritual mandi dan keluar. Gea yang sudah menungguku sejak tadi tengah berselancar dengan ponselnya.

"Mana baju aku?" tanyaku seraya mengeringkan rambut.

"Tuh di paper bag!" jawab Gea tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Aku menghela pelan, mengeluarkan pakaian yang dibeli Gea. Pakaian semalam aku berencana membuangnya saja. Beberapa saat lalu sebelum Gea datang aku hampir seperti orang tidak waras. Pikiran menakutkan yang sempat bersemayam membuatku frustasi. Untunglah aku menyadari itu bukan darah seperti yang aku takutkan, melainkan dari sayatan luka di bagian paha sebelah kanan. Sialnya, aku juga tidak mengingat dari mana asal luka ini.

Aku terus memutar otak mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatanku terekam jelas saat aku dan Gea berada di club malam itu. Setelahnya, samar-samar aku mengingat kejadian yang terpotong-potong.

Lalu, aku teringat ada sosok pria yang sempat merangkulku, walau mabuk berat, aku masih ingat jelas mendengar dia mengatakan aku pacarnya. Setelah itu, aku tidak mengingat apa pun lagi.

Gea melepas ponsel dan menarik tanganku duduk di sampingnya. 

"Cepetan cerita. Aku pengen tau!" pintanya dengan mimik serius.

Aku menghela sejenak sebelum memulai bercerita.

"Saat kamu pergi ke toilet, aku mendadak ingin muntah. Lalu aku menuju keluar gitu. Entah apa lagi yang terjadi, tiba-tiba ada seorang pria yang ngaku aku pacarnya. Setelah itu, aku nggak ingat sama sekali," jelasku sambil mencoba menerawang lagi.

Gea berdecak. "Aku tadi syok denger kamu bilang diperkosa. Gara-gara itu aku buru-buru cabut dari rumah sampai salah pakai sendal!"

Aku tertawa melihat wajah kesal Gea. Aku menegakkan bahu, kembali melanjutkan, "Tapi yang bikin aku penasaran, pria yang bawa aku ke sini. Dia baik banget sampai pilih kamar VVIP buat aku."

Gea memperbaiki posisi duduknya. "Mungkin aja dia pria tajir yang kebetulan datang ke club itu? Atau jangan sampai dia malah manfaatin kamu, apalagi pas kamu bangun udah nggak pakai baju!"

Perkataan Gea membuatku meringis takut. Untuk yang satu itu aku sendiri lupa. Ah, bagaimana kalau yang Gea katakan itu benar?!

Aku menggelengkan kepala menghalau pikiran kotor itu. 

"Nggak mungkin, kalau aja itu benar aku pasti udah diapa-apain. Buktinya, aku nggak kenapa-napa!" kataku mengangguk yakin.

Gea masih berpikir. Dia menjentikkan jari. Terkaan apalagi yang akan dia lontarkan. Aku sedikit was-was.

"Bener! Kita nggak boleh mikir macam-macam. Syukur-syukur dia nolongin kamu. Tentunya kamu harus ingat siapa pria itu dan berterima kasih." Gea berujar dengan menggebu-gebu.

"Kalau gitu, kita turun aja dan coba nanya ke resepsionis. Siapa tau mereka bisa ngasih informasi," kataku menutup pembicaraan kami.

Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal aku dan Gea turun menunju lantai satu. 

Kami mendekat ke meja resepsionis. Sejak turun dan berpapasan dengan pelayan hotel, mereka tampak mencuri pandang padaku. Mungkin karena profesiku atau ada hal lainnya aku tidak bisa menebak. Kali ini salah seorang resepsionis tampak terkejut melihatku ketika kami sudah berdiri di hadapannya. 

"Ada apa?" tanyaku memastikan.

"Eh, nggak ada apa-apa. Kamu Mbak Naya 'kan?" tanyanya ramah. Teman di sebelah wanita itu ikut menoleh ke arahku. Dia melempar senyum lalu mengambil cardlock yang aku serahkan.

"Berapa semua?" tanyaku hendak membayar.

"Udah dibayar semalam, Mbak!" jawab wanita itu sopan.

Aku dan Gea saling melempar pandangan. Aku sedikit mendekat dan bertanya dengan pelan, takut nanti ada  salah paham. Apalagi beberapa pengunjung yang berlalu lalang terus melihat ke arahku. 

"Atas nama siapa? Soalnya aku belum sempat berterima kasih!" Aku sedikit memelankan suaraku. Semoga wanita itu tidak berpikir yang macam-macam.

"Dia mengatasnamakan Mbak Naya. Semalam Mbak Naya digendong sama dia. Katanya, dia hanya orang yang kebetulan nolongin Mbak karena pingsan."

"Aku digendong ke sini?" tanyaku kaget. 

"Ya ampun, Nay, kamu digendong sama dia. Aku yakin, dia pasti sudah sakit punggung." Gea berbisik dengan terkekeh pelan.

Aku menyikut lengan Gea, mendengus kesal padanya.

"Sayang sekali, nggak ada info tentang pria baik itu. Makasih, ya." Aku menarik tangan Gea dan berbalik pergi.

Sepanjang tapak kaki, aku terus mencoba mengingat lagi tentang pria itu.

"Kamu beruntung tau nggak ada yang nolongin. Dan sebaiknya jangan minum lagi apalagi sendirian, takutnya nggak seberuntung kejadian semalam." Gea berujar bijak membuatku mempertimbangkan perkataan Gea.

"Apa aku lihat cctv aja, ya?!" Aku mengalihkan topik, masih penasaran tentang pria itu.

Tiba-tiba, indra penciumanku mengendus aroma parfum yang begitu segar. Alisku berkerut samar saat melihat seorang pria yang memandang ke arahku. Ternyata bau parfum itu berasal darinya. Aku membuang muka, kembali bersikap acuh. 

Langkahku tertahan saat tanganku hendak menggapai gagang pintu mobil Gea. Bayangan kejadian semalam terlintas di kepalaku. Aku memegang gagang pintu dan menimbulkan suara alarm. Semalam aku tidak membawa mobil dan mengira mobil orang lain adalah milikku. Seorang pria datang merangkulku tapi wajahnya terlihat samar, aku tidak bisa menerka dengan jelas. Lalu, aku memuntahkan isi perutku di pakaian pria itu. Setelah mengingat hal itu, aku sontak menutup kedua mulutku dengan tangan. Ya ampun, apa yang sudah kulakukan?!

Aku menoleh ke belakang. Aku menyadari aroma parfum pria tadi sama persis dengan pria yang menolongku semalam! Aku kembali menggeleng, kalau pun itu dia pasti ketika berpapasan dia sudah menyapaku. Gea yang sejak tadi berdiri di ambang pintu hanya menatap bingung padaku. Aku menunjukkan senyum kikuk lalu mengempas diri pada kursi mobil.

"Kamu baik-baik aja 'kan, Nay?" tanya Gea memastikan. 

Aku hanya mengangguk. Gea melajukan mobilnya keluar dari pelataran hotel bintang lima itu.

***

Hari ini aku ada janji bertemu dengan salah satu perancang busana yang kenal baik denganku, Wira namanya. Dia memintaku menjadi model untuk peluncuran pakaian terbarunya. Aku meminta Gea menurunkan aku di depan jalan. 

Aku melihat punggung seseorang yang duduk bersama Wira. Mungkin dia fotografer yang dibicarakan Wira. Aku mengangkat kedua bahu dan segera menghampiri mereka.

Wira menyambutku seraya memperkenalkanku pada pria itu.

"Ini dia, model pilihan aku!"

Aku mengulas senyum lalu mengulurkan tanganku.

"Hai, aku Naya!" 

Aku sedikit terkejut melihat pria di hadapanku. Bukankah dia yang tadi berpapasan di hotel?! Aku menatapnya dengan diam, dia lebih dulu mengalihkan pandangan. Sepertinya pria itu terlihat agak kaku. Entahlah .... Bukan urusanku.

"Dylan!"

Pria itu menyebut namanya. 

Aku melepas tanganku dan menarik kursi duduk di sebelah Dylan. Rasanya sedikit canggung saat melihat gerak-gerik Dylan yang aneh. Aku hanya mengulas senyum lalu memesan kopi, kebetulan belum sempat sarapan di hotel tadi. 

"Wira pasti nggak salah pilih, kayaknya kamu profesional. Apa boleh aku lihat hasil potret kamu?"

Rasa penasaran terbesit saat aku melihat kamera di atas pangkuan Dylan dan meminta Dylan menunjukkan hasil potretnya. 

"Oh, boleh-boleh." Dylan menyanggupi permintaanku. 

"Fotoin aku aja!" ucapanku terlontar begitu saja saat aku menahan pergerakan Dylan.

Dylan tampak terkejut mendengar perkataanku. Sejurus kemudian, dia mengarahkan kamera dan memotretku. Aku mencoba menunjukkan pose terbaik. Setelah beberapa jepretan diambil, aku langsung bertanya karena penasaran.

"Gimana hasilnya?" 

Dylan memberikan kameranya. Aku dan Wira dibuat takjub melihat hasil potret Dylan. Pantas saja Wira begitu memujinya. Baru awal saja sebagus itu, hasil akhir pasti luar biasa.

"Kamu emang profesional. Pantes aja Wira begitu memuji kamu saat nawarin aku jadi model." Aku memuji, masih dengan melihat beberapa hasil potret lainnya.

"Aku emang nggak salah pilih. Jadi gimana? Deal?!" 

"Deal!"

Aku hanya tersenyum mendengar kesepakatan mereka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status