Share

Hutan Larangan Dan Ceritanya

Sekawanan serigala mengejarnya. Namun, Jaka tidak kehilangan akal dia memanjat pohon yang sangat tinggi. Namun, serigala tetap mengejarnya sampai ke atas pohon.

"Turunlah!" titah seorang gadis berjubah hitam. Serigala pun, menuruti perintahnya.

"Sekarang kamu bisa turun, kemarilah! Mereka tidak akan memakanmu!" sambungnya pada Jaka. Namun, Jaka yang masih takut itu enggan untuk turun. 

"Lihatlah! Dia sangat jinak padaku." Gadis itu mengelus sekawan serigala. Serigala-serigala sangat jinak padanya. membuat Jaka begitu kagum. Jaka pun, perlahan turun. 

"Mengapa mereka sangat jinak padamu?" Jaka tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. 

"Karena, mereka peliharaanku." 

"Padahal kucing atau anjing lebih cocok dijadikan hewan peliharaan," bisik Jaka. 

"Aku lebih suka merawat mereka. Anjing atau pun kucing tidak bisa menjagaku dari bahaya. Kemana arah tujuanmu?"

"Aku tidak punya tujuan, aku hanya sedang mencari adikku yang hilang." Cerita Jaka mengingatkan gadis itu pada bambi, rusa kesayangannya yang juga telah hilang. 

"Sampai ke hutan? Apakah mungkin?" Gadis bermata biru itu bertanya lebih lanjut. 

"Aku hanya putus asa. Jadi, mencarinya ke sini. Jika boleh kutahu, siapakah namamu gadis cantik?" Jaka mengulurkan tangannya. Serigala mendekati Jaka. mengaum menakutinya. 

"Ano, tidak apa, dia bukanlah orang yang jahat. Namaku Naona." Naona membalas uluran tangan Jaka. Sekarang mereka tampak akrab. Dan sudah mengetahui nama satu sama lain. Kuda terbang mendarat tepat dihadapan mereka merdua. Begitu mengejutkan Jaka sampai dirinya terjatuh. 

"Apakah ini mimpi?" Jaka mencoba berdiri tegak. Dia hampir kehilangan kesadarannya. 

"Sudah kubilang, jangan berteman dengan manusia! Mereka berbahaya." Sosok wanita berpakaian serba hitam itu berjalan ke arah Jaka. 

"Jangan sentuh dia Ibu! Naona mohon." Gadis itu berlutut dihadapan ibunya hanya demi pemuda yang baru saja dia temui. 

"Kamu bersikap seperti ini hanya karena dia? pemuda ini? yang baru saja kamu temui?" Sang ibu menatapnya dengan amarah. 

"Itu karena dia tidak ada kesalahan apapun. dia juga tidak menyakitiku." 

"Naiklah ke pundak migi!" titahnya pada puteri kesayangannya itu. Naona pun menaiki punggung Migi, kuda terbang mungil. Wanita itu mengayunkan tongkatnya, untuk menerbangkan Naona ke kediaman mereka, tidak peduli saat Naona memanggilnya. Ibu Jaka, pergi ke rumah saudagar kaya untuk bekerja di sana. Juga, untuk mencari kedua anaknya. 

"Mengapa kamu mendekati anakku?" wanita itu menatap Jaka sambil mengarahkan tongkatnya pada Wajah Jaka. 

"Saya tidak punya maksud apa-apa." Jaka mundur perlahan. Namun, sejauh apapun langkahnya, Jaka tidak bisa menghindarinya. Dalam mantra yang dia gunakan, berubahlah Jaka menjadi seekor ular berbisa. 

"Kamu tidak akan pernah bisa kembali ke wujud manusiamu, sampai kamu bisa mencari cinta sejatimu. Jika, diusiamu yang ke 100 tahun kamu belum mendapatkannya, kamu akan mati." Penyihir itu memberikan makananan untuk Jaka yang langsung disantapnya. 

"Satu lagi hadiah untukmu. Kamu akan kembali ke wujud manusia, hanya pada saat bulan purnama." 

Jaka kini telah menjadi ular jadi-jadian. Jiwanya manusia. Namun, wujudnya, pemikirannya, adalah ular berbisa. Tidak mungkin baginya untuk kembali ke rumah. Jaka pun, tetap berada di dalam hutan. 

"Widuri!" Ani mengetuk toilet. Namun, tidak ada jawaban. Ani meminta penjaga yang ada di rumah bordil untuk mendorong pintu. Widuri sudah tidak ada di sana, dia keluar melalui jendela. 

"Kenapa kamu harus membuatku bekerja lebih keras?" gerutu wanita tua 

"Bagus! cari Widuri sampai dia kembali lagi ke sini!" Lengkingan suaranya membangunkan para gadis-gadis yang masih tertidur pulas. 

"Baiklah madam" Bagus menaiki kuda untuk mencari Widuri. Widuri memang pergi berjalan kaki. Sehingga Bagus dapat dengan mudah melacak keberadaannya. 

Sebelum Widuri melarikan diri

Widuri pergi ke toilet dan mengunci pintu. Ia, melompat ke luar jendela. Di tengah perjalanan, dia merasa kelelahan. Sampai akhirnya dia tergeletak di jalan. 

"Berhenti!" titah seorang gadis yang memakai baju bangsawan. Dia keluar dari tandu. 

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Dian 

"Aku hampir sekarat! tolonglah aku" Widuri memegang kaki puteri bangsawan. 

"Pegawal, bawa dia ke tandu!" Puteri Dian membukakan pintu tandu. Dan mereka pun melakukan perjalanan. 

"Mengapa kau duduk di bawah seperti itu?" 

"Aku dikejar oleh orang jahat. Jadi, aku harus bersembunyi," jelas Widuri. 

"Aku akan menutup jendela. Kamu bisa duduk dengan santai" Widuri menghela napas lega saat puteri bangsawan menutup jendela. Naona menatap serius pada ibunya. Dia merasa kesal karena Jaka. 

"Kali ini Ibu mengutuk manusia menjadi apa?" Naona yang sedang bersandar pada pohon tinggi itu langsung menghampiri ibunya. 

"Sudah kuperingati kamu untuk tidak bertemu manusia. Itu adalah hukuman karena kamu menemuinya. Sengaja atau pun tidak."

"Aku hanya menolongnya dari serangan serigala." Naona beralasan. Namun, ibunya tidak bisa menerima alasan itu. 

"Kamu membela manusia tak punya hati seperti itu?" 

"Ibu dia bukan manusia yang tidak memiliki hati. Dia mempunyai nama Buk. Namanya Jaka," ucap Naona

"Kamu bahkan mengetahui namanya? ketika kamu bilang hanya menolongnya? berhentilah untuk mengasihani manusia! Siapapun itu!"

"Aku rasa Ibu yang tidak punya hati. Ibu terlalu jahat." Naona menghilang dengan kekuatannya. 

"Kamu tidak ingat kejadian dahulu? kejadian yang membuat ayahmu meninggal? itu semua karena ulah manusia." Penyihir itu bahkan meneteskan air mata. 

sembilan tahun yang lalu 

Rumah hitam, menyeramkan milik Nandios begitu sangat berantakan. Rupanya, Naona membawa teman kecil. Ibu dan ayahnya yang sedang berjaga-jaga, jika ada manusia yang akan memasuki hutan, mereka akan mengalihkan pandangnya. Mereka akan membuat para manusia yang memasuki hutan menjadi kembali ke awal mula mereka berada. 

"Mengapa kamu menyakitiku?" Naona menjerit. 

"Karena kamu anak penyihir." anak itu berlari kencang. Sementara, kedua orang tua Naona berlari untuk melihat kondisi puteri mereka. 

"Naona!" Nandios menangis ketika melihat mata Naona yang berdarah, hatinya diliputi kecemasan.

"Naona, apa yang terjadi?" sang ayah melihat cairan berbahaya yang digunakan seseorang untuk menyiram matanya. 

"Siapa yang melakukan ini pada anakku?" Melihat Naona menangis, Nandios mengamuk. Riudan berusaha untuk menenangkannya dan meminta Nandios untuk tidak balas dendam. 

"Aku tidak tahu namanya, Buk," celoteh anak polos itu, setelah matanya sembuh. Nandios begitu panik, saat manusia berbondong-bondong memasuki hutan. Ketukan pintu begitu kencang terdengar. Riudan menyuruh Nandios dan Naona pergi dari kediaman mereka. 

"Aku tidak mungkin bisa pergi tanpamu Riudan. Jangan lakukan ini!" Nandios menyentuh lengan Riudan. Pintu kediaman mereka sedikit terbuka, para manusia sudah tidak sabar untuk membunuh penyihir. 

"Pergilah demi aku dan Naona!" Riudan melepas lengan Nandios. Nandios dan Naona pun pergi, meskipun sangat berat bagi Nandios. 

"Apa yang membawa kalian kemari?" Riudan menemui para warga. 

"Kami tidak ingin ada penyihir di sini. Kamu dan keluargamu pantas untuk mati." Warga berebut untuk dapat memasuki rumah Nandios dan Riudan. 

"Temukan anak dan isterinya!" ucap salah seorang warga. 

"Apa kalian memiliki bukti?" Riudan membulat mata. 

Para warga menyeret Riudan, dan mengikatnya pada sebuah pohon. Di sanalah, mereka membunuh Riudan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status