Jantung Yusuf berdegup dalam tempo yang rapat, ramai seolah ada pesta di ruang hati. Mereka menari, menyalakan kembang api dan berkelakar ke sana-sini. Gadis pujaannya, mengembuskan angin segar pada jiwa yang semula gersang kering kerontang. Meski Yusuf tak tahu perasaan gadis itu, tapi dirinya teramat bahagia mengetahui Lilis tak lagi risih berdekatan dengannya.
Dua jam Lilis menguntit Yusuf seperti ekor kucing. Kemana Yusuf berpindah, ia pun akan turut sambil mulutnya tak henti berceracau. Cocok sekali dengan karakter Yusuf yang kebanyakan diam, sehingga Lilis seakan punya tempat baru untuk meluapkan segala hal. Lilis bicara tentang jenuhnya hidup di desa, keinginannya jalan-jalan ke kota besar di dunia, mimpi menjadi artis terkenal, dan… apa tadi? casting? Kepala Yusuf berdenging mendengar kata asing itu.
“Casting? Ke Jakarta?” tanya Yusuf mengulang ucapan Lilis.
“Ya. Sudah lama aku menantikan kesempatan ini.”
Tiga tahun lebih bekerja sebagai tukang kebun, Yusuf paham bahkan daun kering pun akan jatuh sendiri ke tanah. Tangkai-tangkai stroberi yang tua dan layu harus dipangkas demi siklus pertumbuhan yang sehat. Begitu pula manusia, Tuhan mengganti manusia yang tua dengan yang muda. Karena itulah peradaban demi peradaban tercipta.Yusuf menatap nanar pada dua bola mata milik neneknya. Yusuf tak sanggup meski sekadar membayangkan. Yusuf tak ingin neneknya pergi. Nenek yang selama ini merawatnya saat ia kehilangan ibu bapak sedari kecil. Selain neneknya, Yusuf tak punya siapa-siapa. Di usianya yang ke dua puluh dua, Yusuf juga merasa masih jauh dari memiliki seorang istri, pendamping atau teman hidup.“Ni, sebaiknya Nini tidak usah bekerja lagi. Nini sudah sepuh. Nini istirahat wae di bumi keun usup nu gawe,” tutur Yusuf pada neneknya yang tengah terbaring di atas dipan kayu di ruang tamu.Ni Cicah menarik napas hendak membuka suara tetapi ter
Kelopak mata Lilis mendanau sebab terharu oleh pemandangan memukau di hadapannya. Sungguh ia tak menyangka, di belakang rumah Yusuf yang sederhana, terdapat keindahan bernilai tinggi melebihi apa yang ada di sekitar rumahnya.Sebenarnya di sana hanyalah kebun singkong dan pepaya, lalu apa yang membuat Lilis takjub? Ternyata, di sebelah pagar kebun singkong Lilis mendapati banyak tanaman stroberi, ditata di atas rak bambu yang memanjang dan bertingkat tiga. Tanaman stroberi itu berbuah lebat, sedang merah-merahnya.“Ini bukan stroberi biasa. Cantik sekali…” gumam Lilis.Tak lama Yusuf datang sambil memanggul dua ember berisi air sambil bertelanjang dada.Lilis terpesona, tetapi buru-buru ia tepis pandangannya dari tubuh pemuda itu. “Bagaimana?” Lilis langsung melempar Yusuf dengan pertanyaan saat ia sudah mendekat.Yusuf meletakkan ember lalu satu persatu menumpahkan airnya ke dalam gentong plastik besar di depan
Jejak langkah Lilis tercetak di tanah becek bekas hujan. Kakinya yang ramping nan mulus tak acuh saat cipratan lumpur menodai. Sesekali Lilis berjalan terseok sebab jalanan licin atau saat melewati lumpur yang cukup dalam semata kaki. Lilis marah. Sebab itu ia bernafsu menerabas jalan pulang menuju rumahnya.Lilis mendongak ke langit. Awan mendung… semendung hatinya sekarang, sesuram masa depannya setelah tahu Yusuf menolak permintaanya. Padahal menurut Lilis, Yusuf satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu.“Argh…!” bentak Lilis pada ranting pohon jambu yang menghalangi jalannya. Sebenarnya Lilis ingin menjerit sekencang-kencangnya, tetapi ia masih punya rasa malu.Beberapa kali Lilis berpapasan dengan pekerja kebun teh yang pulang bekerja. Tanpa bertegur sapa dengan mereka, Lilis malah menampakkan wajah masam bercampur kesal yang membuatnya harus mendengar selentingan tak menyenangkan.“Ih, tingali anak Pak J
“They say that time’s supposed to heal yeah…but she ain’t done much healing.”Eh?Lilis tercekat napasnya mendengar potongan kalimat berbahasa Inggris yang baru saja meluncur dari bibir Yusuf. “Aa bilang apa barusan?”Yusuf melirik gadis cantik yang duduk di sampingnya, bersandar pada bantalan kursi bus angkutan antar kota, Bogor-Jakarta. “Tidak… itu hanyalah penggalan lirik lagu dari Adele yang berjudul Hello.”Lilis terdiam, bingung.“Tak usah heran. Di kelas kursus bahasa Inggris, kami diharuskan mendengar banyak lagu berbahasa Inggris,” ujar Yusuf.“Maksudku, kenapa tiba-tiba Aa Yusuf mengucapkan itu?”“Ya. Orang sering bilang bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Namun itu tak berlaku bagi Iceu. Bahkan mungkin bagi sebagian besar orang di dunia,” terang Yusuf.Lilis tertegun.“Kacang
Secantik bungaSeindah kenanganSepahit perpisahanPercayakah bahwa tak perlu filosofi untuk tahu sesuatu berarti“It’s so beautifull,” gumam Yusuf. Di sebuah toko bunga pinggir jalan Yusuf berdiri terpana pada rangkaian bunga yang terpajang di sana. Bunga yang terdiri dari dua puluh tangkai bunga mawar warna merah dan tiga kuntum bunga casablanca itu tampak mencolok dalam pandangan Yusuf.“Tangan ajaib siapa yang sudah menyulap kembang wahangan (sungai) jadi secantik ini,” Yusuf berdecak kagum. Kembang wahangan yang dimaksudnya adalah bunga daisy kuning, terselip di ruang kosong pada rangkaian bunga itu. Saking kagumnya, mata Yusuf sampai berkaca-kaca.Sepuluh menit yang lalu, Lilis memintanya menunggu di pinggir jalan sementara Lilis membeli minuman ke sebuah mini market. Ketika melihat jajaran buket bunga di toko itu, Yusuf merasa sayang jika hanya memandangnya dar
Isi pesan singkat dari Alena melemaskan syaraf-syaraf otot Lilis.“Orchid Gold Village, Jalan Merpati No.30, RT 04 RW 02, Jakarta Timur?” nada pertanyaan di akhir kalimatnya itu bukan karena ia tak tahu alamat, sebab dengan adanya peta dan taksi online, mencari alamat tidak sesulit jaman dulu. Nada itu semata untuk mengekspresikan kekecewaannya. Artinya, ia dipaksa bersabar satu hari lagi.Masalahnya, Lilis hanya diijinkan satu hari di Kota Jakarta. Bapaknya berpesan, malam bahkan sore Lilis dan Yusuf harus sudah tiba kembali di rumah. Dan kecemasannya itu semakin diperjelas oleh Yusuf.“Kita harus pulang,” ucap Yusuf sambil merapikan kotak nasi, bekal makan siang dari Ibu Lilis.“Yah, aku tahu,” jawab Lilis lesu.“Lalu, apa yang Neng pikirkan?” tanya Yusuf. Sejak di dalam bus, Yusuf kini sering menyapa Lilis dengan sebutan ‘Neng’ dan menyebut dirinya sendiri ‘Aa’.
Seutas senyum di bibirnya mendadak berubah menjadi seringai mengerikan. Matanya melotot, tangannya bergetar. Gelas berisi jus tomat jatuh dari genggamannya. Cairan merah dengan segera membasahi lantai, serpihan kaca terpelanting dan berserakan.Alena, baru saja mendapat kabar. Devano Arza –rekannya sesama bintang film- malam itu diciduk polisi atas kasus penyalahgunaan narkoba. Penangkapannya hanya berselang tiga hari setelah Zain Deff, seorang aktor juga ditangkap polisi atas kasus yang sama.Pukul dua dini hari. Saat itu Alena tengah rehat di kamar apartemennya setelah aktifitas syuting yang sangat melelahkan. Sebelum membersihkan diri, ia ingin menikmati segelas jus tomat sambil mengecek isi kotak ajaibnya yang belum sempat tersentuh. Lalu berita itu muncul, menjadi trending topik di berbagai media sosial. Berita itu menghebohkan jagat hiburan tanah air sebab sang aktor tertangkap di tengah karirnya yang sedang melejit naik daun.Alena gusar, terancam o
Loulia menatap wajahnya di hadapan cermin setengah badan di atas wastafel. Ia berdiri lama di situ, di toilet kamar tamu milik keluarga Rio Wijayanto. Lalu ia mulai melakukan gerakan senam wajah, dan mengatur napas. “Jadi ini… alasan loe ninggalin gue. Tega kamu Jod, tega!” Loulia membentak, marah dengan wajah memerah. “Buk… minta Buk…” Sejenak kemudian wajah Loulia berganti pilu. “Hahahaha… Kupastikan wanita itu tewas setelah menenggak kopi beracun.” Loulia terbahak dengan sorot mata tajam mengerikan. “Aku… juga mencintaimu, A. Setiap malam, hanya wajah Aa Yusuf yang.... Eh?” Loulia tercekat begitu menyebut nama pemuda itu. Loulia buru-buru menyeka wajahnya dengan air. Loulia berjalan tergesa ke luar toilet. Ia segera memburu remot AC kamar, mendadak tubuhnya menggigil kedinginan. Diraihnya selimut di atas kasur. Loulia salah tingkah, padahal barusan itu ia hanya latihan. “Dia sedang apa yah? Apakah sudah tidur?” Loulia resah.