Share

2

Author: Mala Anggi
last update Last Updated: 2022-01-17 09:48:20

Di depan monitor, duduk Deon bersilang kaki sambil mengelus-elus dagunya yang kasar bekas cukuran. Deon mengamati setiap lekuk tubuh milik gadis cantik bernama Loulia itu dari layar monitor hasil tangkapan kamera yang telah ia setting sebelumnya. Tubuh itu ibarat buah yang masak di pohon, yang segar dan sedang ranum-ranumnya, begitu menggoda untuk segera dipetik.

Sleptch… Deon menelan air liur. Sebetulnya ia kuasa menyalurkan hasratnya segera, tetapi ia mendambakan sebuah permainan demi mencapai kesenangan dan kepuasan yang lebih.

“Loulia sayang, menarilah untukku…” pinta Deon pada gadis itu.

“Ahihi…” Loulia tertawa kecil. Ia beringsut dari tempat duduknya di tepi kasur. Tak segera memenuhi permintaan Deon, ia malah kembali menarik selimutnya yang jatuh ke lantai. “Tidak mau ah,” ucap Loulia seraya menggelengkan kepala.

“Tak usah malu. Untuk kekasihmu, kau akan memberikan segalanya, kan?”

“Ehemm…” Loulia mengangguk, “Tapi… setelah kita menikah.”

“Uhuk! Uhuk!” Sampai terbatuk Deon mendengar jawaban Loulia. Bisa-bisanya ia menjawab seperti itu, bentaknya dalam hati. Tak habis pikir Deon, padahal sebelumnya ia yakin obat bius yang ia masukkan ke dalam minuman Loulia telah bekerja cukup baik.

Rupanya, nasehat orangtua Loulia -yang mewanti-wanti dirinya untuk selalu menjaga ‘kehormatan’ sekaligus harta berharga milik perempuan itu- tertanam kuat pada apa yang disebut alam bawah sadar. Nasehat itu kerap diterimanya sejak Loulia mendapatkan haid pertama dan kian berdenging di telinga bagai sekelompok tawon terbang saat ia menginjak usia ‘sweet seventeen’.

Lalu, merengutlah Loulia melihat perubahan raut wajah Deon. “Kenapa? Bukankah Aa ingin menikah denganku?” Dalam pandangan Loulia, laki-laki di hadapannya itu masih Yusuf, pemuda yang beberapa waktu lalu telah melelehkan hatinya setelah menyatakan akan menikahinya.

Deon mulai muak mendengar ocehan Loulia, tetapi buru-buru ia tepis ekspresi kekesalan di wajahnya. “Ya, justru karena aku calon suamimu, tak mengapa kita bersenang-senang malam ini. Toh, secepatnya kau akan segera kunikahi. Lagipula…” Deon menggantung kalimatnya, dengan nada melembut ia lanjut berbicara, “Aku hanya ingin melihatmu menari. Ya, hanya itu. Kutahu kau pandai menari.”

“Sungguh?” Tersipu Loulia mendengar Deon memujinya.

“Ya, dan aku akan senang melihatnya,” jawab Deon. Dari ponselnya Deon memutar sebuah lagu. Lalu berdentinglah suara gitar dipetik. Deon ikut bernyanyi, mengikuti suara lemut nan merdu Ed Sheeran di lagunya yang berjudul ‘Perfect’.

I found a love for me

Darling, just dive right in and follow my lead

Well, I found a girl, beautiful and sweet

Oh, I never knew were the someone waiting for me

Deon tersenyum melihat Loulia mulai menjetikkan jari dan mulai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan. “Come on babe,” Deon menyeru dari balik monitor dan Loulia pun mulai tak ragu menggerakkan tubuhnya. Loulia berdiri sambil pundaknya berayun, kedua tangannya pun turun naik dengan gemulai. Kakinya melangkah kecil ke kanan dan ke kiri. Loulia tampak menikmati irama musik yang romantis. Ia melupakan selimut yang tadi menutupi tubuhnya.

“Angkat rambutmu ke atas Loulia, lalu belai lehermu dengan tanganmu yang sebelah, lanjutkan sampai belahan dada, sampai ke bawah” Deon semangat memberi arahan. “Sekarang sebaliknya, menungging lalu belai tubuhmu itu dari kaki sampai kepala. Lakukan dengan gemulai namun bertenaga.”

Loulia pun mengikuti arahan Deon.

“Ya, bagus. Sekarang remas dadamu dengan lembut. Berikan tatapan bergairah penuh cinta untukku, Yusuf, kekasihmu.” Deon senang bukan main tatkala melihat gadis itu sangat pandai menari, bahkan melebihi ekspektasinya. Gadis itu berputar, melompat, kayang, menendang maupun menampar angin. Sesuatu dari dalam tubuh Deon kini semakin bergelora.

Lalu, tiba-tiba…

Gruduk! Brak! Suara pintu didobrak.

Seseorang muncul dari balik pintu dan langsung menyerang Deon. “Bangsat kau!” teriaknya dengan wajah merah penuh amarah. Ia melayangkan tinju segera saat Deon masih tersentak kaget.

Hiyaaa! Ciat! Sat! Set! Ha!

Perkelahian pun terjadi. Semampunya Deon menghalau serangan demi serangan dari seorang pemuda yang tengah tersulut emosinya. Deon seperti tak diberi kesempatan untuk bernapas. Ia diterjang pukulan membabi buta. Lalu hanya dengan sekali hantaman kursi kayu, robohlah pertahanan Deon. Ia tersungkur ke lantai dengan darah mengucur dari lubang hidungnya.

“Ayo lari!” Pemuda itu menarik lengan Loulia yang terpaku di sudut kamar.

Keluar kamar, Loulia dan pemuda itu dihadang oleh beberapa lelaki berpakaian hitam yang tampak lemas seperti habis dihajar.

Huwaaa! Das! Des! Plak! Ciyaat! Bak! Buk!

Pemuda itu mampu melewati mereka. Lalu, tanpa menyia-nyiakan waktu, ia segera membawa lari Loulia.

Deon keluar dari kamar dan geram begitu melihat para anak buahnya terkapar di lantai. “Brengsek! Cepat kejar mereka!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   61

    “Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   60

    Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   59

    Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   58

    Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   57

    “Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   56

    Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status