Di depan monitor, duduk Deon bersilang kaki sambil mengelus-elus dagunya yang kasar bekas cukuran. Deon mengamati setiap lekuk tubuh milik gadis cantik bernama Loulia itu dari layar monitor hasil tangkapan kamera yang telah ia setting sebelumnya. Tubuh itu ibarat buah yang masak di pohon, yang segar dan sedang ranum-ranumnya, begitu menggoda untuk segera dipetik.
Sleptch… Deon menelan air liur. Sebetulnya ia kuasa menyalurkan hasratnya segera, tetapi ia mendambakan sebuah permainan demi mencapai kesenangan dan kepuasan yang lebih.
“Loulia sayang, menarilah untukku…” pinta Deon pada gadis itu.
“Ahihi…” Loulia tertawa kecil. Ia beringsut dari tempat duduknya di tepi kasur. Tak segera memenuhi permintaan Deon, ia malah kembali menarik selimutnya yang jatuh ke lantai. “Tidak mau ah,” ucap Loulia seraya menggelengkan kepala.
“Tak usah malu. Untuk kekasihmu, kau akan memberikan segalanya, kan?”
“Ehemm…” Loulia mengangguk, “Tapi… setelah kita menikah.”
“Uhuk! Uhuk!” Sampai terbatuk Deon mendengar jawaban Loulia. Bisa-bisanya ia menjawab seperti itu, bentaknya dalam hati. Tak habis pikir Deon, padahal sebelumnya ia yakin obat bius yang ia masukkan ke dalam minuman Loulia telah bekerja cukup baik.
Rupanya, nasehat orangtua Loulia -yang mewanti-wanti dirinya untuk selalu menjaga ‘kehormatan’ sekaligus harta berharga milik perempuan itu- tertanam kuat pada apa yang disebut alam bawah sadar. Nasehat itu kerap diterimanya sejak Loulia mendapatkan haid pertama dan kian berdenging di telinga bagai sekelompok tawon terbang saat ia menginjak usia ‘sweet seventeen’.
Lalu, merengutlah Loulia melihat perubahan raut wajah Deon. “Kenapa? Bukankah Aa ingin menikah denganku?” Dalam pandangan Loulia, laki-laki di hadapannya itu masih Yusuf, pemuda yang beberapa waktu lalu telah melelehkan hatinya setelah menyatakan akan menikahinya.
Deon mulai muak mendengar ocehan Loulia, tetapi buru-buru ia tepis ekspresi kekesalan di wajahnya. “Ya, justru karena aku calon suamimu, tak mengapa kita bersenang-senang malam ini. Toh, secepatnya kau akan segera kunikahi. Lagipula…” Deon menggantung kalimatnya, dengan nada melembut ia lanjut berbicara, “Aku hanya ingin melihatmu menari. Ya, hanya itu. Kutahu kau pandai menari.”
“Sungguh?” Tersipu Loulia mendengar Deon memujinya.
“Ya, dan aku akan senang melihatnya,” jawab Deon. Dari ponselnya Deon memutar sebuah lagu. Lalu berdentinglah suara gitar dipetik. Deon ikut bernyanyi, mengikuti suara lemut nan merdu Ed Sheeran di lagunya yang berjudul ‘Perfect’.
I found a love for me
Darling, just dive right in and follow my lead
Well, I found a girl, beautiful and sweet
Oh, I never knew were the someone waiting for me
Deon tersenyum melihat Loulia mulai menjetikkan jari dan mulai menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan. “Come on babe,” Deon menyeru dari balik monitor dan Loulia pun mulai tak ragu menggerakkan tubuhnya. Loulia berdiri sambil pundaknya berayun, kedua tangannya pun turun naik dengan gemulai. Kakinya melangkah kecil ke kanan dan ke kiri. Loulia tampak menikmati irama musik yang romantis. Ia melupakan selimut yang tadi menutupi tubuhnya.
“Angkat rambutmu ke atas Loulia, lalu belai lehermu dengan tanganmu yang sebelah, lanjutkan sampai belahan dada, sampai ke bawah” Deon semangat memberi arahan. “Sekarang sebaliknya, menungging lalu belai tubuhmu itu dari kaki sampai kepala. Lakukan dengan gemulai namun bertenaga.”
Loulia pun mengikuti arahan Deon.
“Ya, bagus. Sekarang remas dadamu dengan lembut. Berikan tatapan bergairah penuh cinta untukku, Yusuf, kekasihmu.” Deon senang bukan main tatkala melihat gadis itu sangat pandai menari, bahkan melebihi ekspektasinya. Gadis itu berputar, melompat, kayang, menendang maupun menampar angin. Sesuatu dari dalam tubuh Deon kini semakin bergelora.
Lalu, tiba-tiba…
Gruduk! Brak! Suara pintu didobrak.
Seseorang muncul dari balik pintu dan langsung menyerang Deon. “Bangsat kau!” teriaknya dengan wajah merah penuh amarah. Ia melayangkan tinju segera saat Deon masih tersentak kaget.
Hiyaaa! Ciat! Sat! Set! Ha!
Perkelahian pun terjadi. Semampunya Deon menghalau serangan demi serangan dari seorang pemuda yang tengah tersulut emosinya. Deon seperti tak diberi kesempatan untuk bernapas. Ia diterjang pukulan membabi buta. Lalu hanya dengan sekali hantaman kursi kayu, robohlah pertahanan Deon. Ia tersungkur ke lantai dengan darah mengucur dari lubang hidungnya.
“Ayo lari!” Pemuda itu menarik lengan Loulia yang terpaku di sudut kamar.
Keluar kamar, Loulia dan pemuda itu dihadang oleh beberapa lelaki berpakaian hitam yang tampak lemas seperti habis dihajar.
Huwaaa! Das! Des! Plak! Ciyaat! Bak! Buk!
Pemuda itu mampu melewati mereka. Lalu, tanpa menyia-nyiakan waktu, ia segera membawa lari Loulia.
Deon keluar dari kamar dan geram begitu melihat para anak buahnya terkapar di lantai. “Brengsek! Cepat kejar mereka!”
Bola mata Loulia melotot mau keluar. Ia meronta dengan segenap tenaga yang tersisa, melawan dekapan pemuda bertubuh lebih besar darinya dari belakang. Pemuda itu barusan membawanya berlari tanpa alasan yang jelas. Setelah Loulia lemas, sosok misterius itu perlahan melepaskan tangannya yang membekap Loulia.Loulia menghela napas berkali-kali. Ingatannya masih segar bahwa tadi itu ia sedang asyik menari di hadapan kekasihnya. Lalu, tiba-tiba pemuda ini mengacaukannya, menghajar kekasihnya juga para laki-laki berpakaian hitam.Klak!Pintu terbuka! Dengan gerakan cepat pemuda di belakangnya itu menekan kepala Loulia, memaksa gadis itu mengikuti gerakannya merunduk dan berjalan merangkak ke barisan lemari paling belakang.“He he he he he he…” Di ambang pintu Deon tertawa terkekeh sendiri. “Biarlah mereka di sini, mati perlahan karena kedinginan, he he he he…”Suara itu membuat gentar Loulia namun sekaligus men
Beberapa bulan sebelumnya…Di bawah sinar mentari yang merangkak naik, wajah Yusuf semakin mengkilap sebab minyak di kulit. Lalu, tercoreng wajah itu oleh butiran tanah saat Yusuf mengusap peluh di pelipisnya. Tudung kepala yang terbuat dari anyaman bambu ia jadikan kipas. Sejenak matanya terpejam demi menikmati hempasan angin sejuk yang ia ciptakan.Yusuf kemudian senyum-senyum sendiri sembari menyiram tanaman stroberi yang mulai berbuah. Warna buah stroberi mengingatkannya pada bibir Lilis yang kemerahan lagi segar. Yusuf membayangkan bibir itu bisa ia gigit seperti buah-buah stroberi.Ah, pasti rasanya legit. Yusuf nyengir saat satu gigitan buah stroberi masuk ke mulutnya. Ia menjulurkan lidah. Rasa kecut buah stroberi menimbulkan efek kejut sesaat, membuyarkan lamunannya.Lilis, gadis cantik nan manis anak semata wayang Pak Jajang -pemilik kebun stroberi- sungguh memikat hati Yusuf, seorang pemuda yang dikenal lugu lagi gagap dal
“Lilis!” panggil Buk Martinah, ibunya Lilis. Itu adalah panggilan ketiga yang tidak juga mendapat respon sekalipun Buk Martinah berteriak kencang dari arah dapur. Urat-urat leher Buk Martinah sampai muncul saking kuatnya berteriak, beradu dengan suara dandang di atas kompor.Lilis bukannya tidak mendengar, tetapi sudah tabiatnya malas menyahut panggilan orangtua sebab, Lilis tahu betul kalau ibunya memanggil pastilah mau menyuruh sesuatu. Alih-alih menjawab panggilan ibunya, Lilis malah asyik berjoged di depan layar ponsel.Lilis mendekatkan wajahnya ke layar ponsel sambil menyibak rambut dan mengerlingkan mata. Lilis menggerak-gerakan mulutnya, kadang terbuka, kadang manyun, kadang nyengir, kadang tersenyum manis, kadang judes dan cemberut.Lilis kemudian bergerak mundur. Ia menarik hotpant ketatnya dan mengangkat buah dadanya ke atas sampai menyembul keluar memperlihatkan belahannya dari balik tanktop kuning bertali tipis. Lilis l
Ketegangan dari dalam rumah Pak Jajang rupanya merambat ke dada Yusuf yang berdegup-degup terbawa suasana. Pak Jajang yang dikenal berwibawa dan cukup dipandang di desanya itu rupanya masih bisa kena hardik anaknya sendiri.Lalu keluarlah Pak Jajang dari dalam rumah dengan wajah merah karena marah. Dan saat pria berusia empat puluh tahun itu menatap Yusuf, ia membatin. Bagaimana jika anaknya yang liar dijodohkan saja dengan pemuda rajin dan baik itu. Pemuda itu juga tidak jelek, hanya miskin dan kurang merawat badan. Jika terus aku bimbing, insyaallah ia menjadi pemuda yang pandai mengelola kebun ini. Dengan begitu aku punya pewaris usaha yang jujur lagi dapat diandalkan.“Yusuf, boleh kemari sebentar?” panggil Pak Jajang.Yusuf menoleh. “I-i-ya, Pak.” Yusuf menghampiri Pak Jajang sembari sedikit menundukkan kepalanya.“Bapak mau tanya, waktu itu kamu pernah cerita… kamu putus sekolah pas SMP, betul?”
Di kamar neneknya, ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Yusuf berpose di hadapan cermin dengan tempelan lakban coklat yang memanjang di bagian tengah. Cermin yang terselip di kerangka rumah berbilik bambu itu tak lebih besar dari satu halaman buku tulis tetapi cukup membuat Yusuf terpana oleh bayangannya sendiri.Yusuf lupa terakhir kali bercermin. Selama ini ia memang menganggap hal itu tidaklah penting. Maka, ketika melihat rahang yang melebar dan lekuk wajah yang tegas Yusuf hampir tak percaya apakah seseorang di dalam cermin itu benar-benar dirinya.Yusuf melipat kerah kemeja flanel bermotif kotak warna hijau dan hitam yang ia beli di toko pinggir jalan, sepulangnya bekerja di kebun Pak Jajang. Terlihat kaos putih di bagian tengah, di antara belahan kemeja yang sengaja tidak dikancingkan.“Wih, kasep euy!” tutur Yusuf sambil mesem-mesem.Lengan kemeja dilipatnya sampai setengah siku. Lalu Yusuf memasukan kedua telapak ta
Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.“Ah… Ibu banyak tany
Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh tema
Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala per