Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.
“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.
Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”
“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.
“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.
“Ah… Ibu banyak tanya. Ke kebun teh. Disana lagi ada syuting sinetron itu loh Buk…” mata lilis mengerling ke atas, “Sinetron Ikatan Sayang. Siapa tahu sutradara atau produser melirik Lilis terus diajak syuting. Nanti Lilis kan bisa jadi artis, Buk. Ah, sudah ah. Lilis pergi dulu yah.” Lilis berjalan tergesa ketika mendengar bunyi klakson sepeda motor dari pekarangan rumah.
Ada tiga orang pemuda seuisianya menunggu Lilis, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka memanggil Lilis tanpa turun dari sepeda motor untuk sekedar bersalaman atau menyapa buk Martinah yang berlari keluar mengejar anaknya.
Lilis segera naik, dibonceng oleh teman laki-lakinya dan sepeda motor pun melaju seraya menggerung menghempas teriakan Buk Martinah. “Astaghfirullah, Lilis…”
Buk Martinah mafhum, anak gadis semata wayangnya itu memang sudah dari dulu kepingin jadi artis, namun cita-citanya itu selalu ditentang oleh Pak Jajang, sebabnya khawatir dengan pergaulan bebas. Dulu, waktu masih di Jakarta, Lilis sempat lolos audisi pencarian bakat yang diselenggarakan oleh salah satu brand kecantikan. Ketika tiba-tiba Pak Jajang memutuskan pindah ke desa, kecewalah Lilis. Itulah yang menyebabkan Lilis jadi susah diatur, sering malas-malasan dan marah-marah sama orang tua.
Lilis seperti kehilangan gairah hidup. Saat teman-teman seusianya mulai melamar kerja kesana kemari, Lilis tak beminat sedikit pun. Waktunya habis di dalam kamar makan dan tiduran. Pekerjaannya cuma satu, bersolek dan bergaya di depan kamera ponselnya.
Sampai sore menjelang, Lilis belum juga pulang. Perasaan risau yang sedari pagi menggerayangi batin Buk Martinah memuncak tatkala Pak Jajang mulai bertanya-tanya.
“Sudah sore begini Lilis belum pulang, Buk?” tanya Pak Jajang sambil melangkah menghampiri buk Martinah yang sedang melayani beberapa pengunjung di warung nasi kecil miliknya.
“Kenapa tidak dilarang sih, Buk? Ibu kan tahu, Bapak tidak suka Lilis main sama teman-temannya yang tidak punya sopan santun itu,” gerutu Pak Jajang.
“Ai si Bapak… seprti tidak tahu Lilis saja,” jawab buk Martinah.
“Astaghfirullah… Gusti, Pangeran… dosa apa saya sampai punya anak bandel seperti ini. Apa karena dulu saya kerja sama pejabat yang suka terima suap,” Batin Pak Jajang masygul. Ia teringat ceramah seorang ustadz, kalau memberi makan anak dari uang haram, maka kemungkinan besar anak menjadi nakal dan susah diatur.
“Suf, tolong jemput Lilis. Suruh pulang. Bilang Bapak marah kalau dia menolak,” perintah Pak Jajang.
Yusuf yang masih mengurus kebun sepulang dari tempat kursus segera datang lengkap dengan pakaian baru yang masih melekat di badannya. “I-i-iya, Pak,” jawabnya sambil manggut-manggut.
Menggunakan sepeda motor milik Pak Jajang, Yusuf langsung melesat menuju kebun teh yang katanya sedang jadi lokasi syuting sinetron. Dada Yusuf berdebar kencang disuruh menjemput Lilis yang artinya, ia bakal membonceng gadis cantik jelita itu. Senyum sumringah merekah di wajahnya yang basah oleh keringat setelah seharian bekerja di kebun.
Dari kejauhan, Yusuf melihat satu titik keramaian. Yusuf menepikan sepeda motor setelah menerabas jalanan berbatu yang membelah hamparan kebun teh. Yusuf mengedarkan pandangan sambil berjalan ke arah kerumunan. Yusuf girang ketika melihat punggung seorang gadis yang dikenalnya. Punggung ramping yang tertutup rambut hitam nan berkilau.
Saat itu, Lilis sedang berceloteh pada teman-temannya. “Kalian lihat, aku sudah berhasil mendapat nomor manajer artis. Sepertinya dia tertarik. Sebentar lagi aku bakal jadi bintang sinetron populer melebihi si Varel, artis sombong sok ganteng itu,” Lilis mengumpat setelah sang artis menolak foto selfie dengannya.
“Neng-neng-neng Lilis!” Yusuf memanggil dari belakang seraya melambaikan tangan, namun Lilis tak mendengar.
“Dia pikir dia siapa? Nanti juga kalau aku sudah terkenal, semua laki-laki tampan akan mengejarku,” Lilis masih mengoceh.
“Yusuf maksudnya?” celetuk teman Lilis ketika melihat Yusuf datang yang kemudian ditimpali tawa terkikik teman-temannya yang lain.
“Hiiiy…” Lilis teriak histeris. “Jangan sembarangan kamu! Mana mungkin aku mau sama si Ucup Belewuk, si gagap, dekil, miskin,” dibentaknya temannya, yang kemudian terperanjat dengan perkataan Lilis.
Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh tema
Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala per
Malam itu Yusuf duduk sendiri di batu besar di pinggir sungai, tempat ia biasa nongkrong sendiri, merenungi jalan hidupnya. Awan mendung di langit sesekali melontar cahaya kilat bergemuruh. Namun Yusuf, bersikukuh menghabiskan sebatang lagi rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu asap rokok dihembuskannya perlahan sembari teringat pada sosok Lilis.Sudah enam bulan berlalu, gadis itu ternyata berubah semakin cantik dan jelita. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, tinggi semampai dimahkotai rambut hitam lebat yang tergerai panjang, memikat. Kulitnya bening bersinar dan mulus seperti gelas kaca.Yusuf takut tak bisa mengendalikan sikapnya seperti dulu, yang terlalu jelas terlihat menyukai gadis itu. Ternyata, masih tersisa rasa rendah diri di hatinya. Tentulah karena hinaan yang pernah terlontar dari bibir manis milik Lilis, anak semata wayang Pak Jajang.Yusuf harus jujur, ia gagal menghapus bayang-bayang Lilis di benaknya. Selama ini ia terus dipenuhi perasaan galau tak
Malam itu, di atas tempat tidurnya, Lilis tengkurap dengan kepala tegak menghadap layar ponsel. Bola matanya naik turun melihat slide demi slide kehidupan orang di berbagai tempat di belahan dunia. Dan seperti biasa, setelah Lilis lelah berselancar di dunia maya, Lilis akan merutuk pada dirinya sendiri bahwa betapa nahas kehidupannya.Terpenjara di sebuah desa, jauh dari pusat hiburan dan perbelanjaan membelenggu batin Lilis tiga tahun lamanya. Ada sebuntal hasrat yang tak mampu ia salurkan, dan rasanya setiap malam sebelum menutup mata, hasrat di dadanya semakin membuncah bak air bendungan yang sudah melebihi kapasitas dan bisa jebol kapan saja. Lilis tak menyadari, bahkan desa yang ia anggap sebagai penjara itu adalah surga yang dimimpikan banyak orang.Tap!Jempol Lilis berhenti mengusap layar ponsel, tertahan oleh sebuah video yang menampilkan seorang gadis cantik tengah berurai air mata. Kemudian datang seorang lelaki tampan, mengusap pipi
Trekking dimulai setelah Pak Herman memarkir mobil sport putihnya di sebuah lapangan kecil, khusus parkir wisatawan. Saat itu hari mulai terang dan aroma embun segera menyergap indera penciuman mereka.“Jadi, kamu di Indonesia untuk liburan?” tanya Lilis pada Rio. Di mobil, di sepanjang jalan menuju kawasan hutan, Lilis dan Rio banyak berbincang. Rio yang supel membuat mereka cepat akrab.“Ya, hanya satu bulan aku di Indonesia. Selanjutnya aku harus pergi lagi ke London,” jawab Rio sembari melakukan gerakan-gerakan stretching.“Wow… bagaimana rasanya tinggal di kota besar itu? Pasti menyenangkan sekali,” ucap Lilis.“Ya. Menyenangkan bisa main ke beberapa spot wisata favorit dunia dan berjumpa banyak orang dari berbagai macam latar belakang. But, sometimes I feel bad, saat banyak sekali tugas kuliah dan… saat kangen suasana kampung seperti ini,” tutur Rio ser
Good Morning, Loulia!Kau belum bangun?Lilis meraih ponselnya segera setelah ia membuka mata. Sebuah pesan masuk, pukul 07.00, dua jam yang lalu. Lilis mengerutkan kening demi membaca pesan tersebut saat kelopak matanya masih dipenuhi serpihan benda putih.“Rio?” gumam Lilis. Lilis bergegas bangkit dari tidurnya ketika mengetahui pesan itu dari pemuda yang ia kenal kemarin.Ya. Kemarin hari yang sangat melelahkan… dan badanku masih terasa sakit.Lilis menarik bantal ke atas pangkuannya. Ia kini bersandar di tepi tempat tidur. Kemudian dimulailah ritual harian Lilis, yaitu berselancar di dunia maya, mengintip kemajuan orang lain saat dirinya masih nyaman rebahan.No. I thought yesterday was awesome. Bagaimana aku bisa pergi dari surga seindah itu, dan… bidadari secantik kamu.Rio cepat membalas pesan.“Ish.” Alis Lilis terangkat sebelah. Ternyata kuli
“Hiiiy... Ucup belewuk!” teriak Lilis histeris. Segera diraihnya handuk yang tersimpan di atas batu. “Sedang apa kau di situ?” Lilis tergesa menutupi tubuhnya.“A-a-anu, aku tadi…” Tiba-tiba gagap Yusuf kumat lagi. Belum selesai ia menjawab Lilis kembali meneriakinya.“Jangan bilang sedari tadi kau mengintip! Hiy, dasar cabul!” cerca Lilis.“Ti-ti-tidak, aku hendak membetulkan selang air,” sergah Yusuf terbata.“Mengapa masih berdiri di situ? Cepat pergi!” usir Lilis sambil menampar air.“I-i-iya.” Yusuf segera berbalik dengan gemetar di sekujur tubuh. Baru selangkah, Yusuf kembali memutar tubuhnya. “Tapi kau tidak apa-apa sendirian?”“Apa?” Teriak Lilis tak percaya Yusuf bertanya seperti itu.“Kau tidak tahu?” tanya Yusuf dan Lilis semakin tak mengerti. “Di jam-jam segini, si Ikok sering muncul di sekit
Jantung Yusuf berdegup dalam tempo yang rapat, ramai seolah ada pesta di ruang hati. Mereka menari, menyalakan kembang api dan berkelakar ke sana-sini. Gadis pujaannya, mengembuskan angin segar pada jiwa yang semula gersang kering kerontang. Meski Yusuf tak tahu perasaan gadis itu, tapi dirinya teramat bahagia mengetahui Lilis tak lagi risih berdekatan dengannya.Dua jam Lilis menguntit Yusuf seperti ekor kucing. Kemana Yusuf berpindah, ia pun akan turut sambil mulutnya tak henti berceracau. Cocok sekali dengan karakter Yusuf yang kebanyakan diam, sehingga Lilis seakan punya tempat baru untuk meluapkan segala hal. Lilis bicara tentang jenuhnya hidup di desa, keinginannya jalan-jalan ke kota besar di dunia, mimpi menjadi artis terkenal, dan… apa tadi? casting? Kepala Yusuf berdenging mendengar kata asing itu.“Casting? Ke Jakarta?” tanya Yusuf mengulang ucapan Lilis.“Ya. Sudah lama aku menantikan kesempatan ini.”