Share

8

Pagi itu, tak seperti biasa Lilis sudah bangun bahkan sudah rapi dan wangi. Dua jam Lilis berdandan demi menonton syuting sinetron di kebun teh yang tak jauh dari rumahnya.

“Hai! Ketemu lagi sama aku, Loulia Barsha,” riang Lilis menyapa orang-orang di dalam ponsel yang disebutnya ‘sahabat online’. “Hari ini aku mau ketemu sama idola aku… tebak siapa? Emh…pokoknya dia ganteng banget, cool… Ah, jadi nggak sabar. Hihihi,” ucap Lilis.

Saat Lilis keluar kamar, Buk Martinah yang sedang sibuk beberes rumah menegur, “Wah, anak perawan ibu sudah cantik. Senangnya ibu ada yang bantuin masak di dapur.”

“Ish, siapa yang mau masak? Lilis mau pergi yah. Mau ketemu artis,” jawab Lilis sambil memilah sandal di rak sepatu.

“Loh, mau kemana? Mau ngapain? Sudah bilang belum sama Bapak?” tanya buk Martinah setengah berteriak.

“Ah… Ibu banyak tanya. Ke kebun teh. Disana lagi ada syuting sinetron itu loh Buk…” mata lilis mengerling ke atas, “Sinetron Ikatan Sayang. Siapa tahu sutradara atau produser melirik Lilis terus diajak syuting. Nanti Lilis kan bisa jadi artis, Buk. Ah, sudah ah. Lilis pergi dulu yah.” Lilis berjalan tergesa ketika mendengar bunyi klakson sepeda motor dari pekarangan rumah.

Ada tiga orang pemuda seuisianya menunggu Lilis, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka memanggil Lilis tanpa turun dari sepeda motor untuk sekedar bersalaman atau menyapa buk Martinah yang berlari keluar mengejar anaknya.

Lilis segera naik, dibonceng oleh teman laki-lakinya dan sepeda motor pun melaju seraya menggerung menghempas teriakan Buk Martinah. “Astaghfirullah, Lilis…”

Buk Martinah mafhum, anak gadis semata wayangnya itu memang sudah dari dulu kepingin jadi artis, namun cita-citanya itu selalu ditentang oleh Pak Jajang, sebabnya khawatir dengan pergaulan bebas. Dulu, waktu masih di Jakarta, Lilis sempat lolos audisi pencarian bakat yang diselenggarakan oleh salah satu brand kecantikan. Ketika tiba-tiba Pak Jajang memutuskan pindah ke desa, kecewalah Lilis. Itulah yang menyebabkan Lilis jadi susah diatur, sering malas-malasan dan marah-marah sama orang tua.

Lilis seperti kehilangan gairah hidup. Saat teman-teman seusianya mulai melamar kerja kesana kemari, Lilis tak beminat sedikit pun. Waktunya habis di dalam kamar makan dan tiduran. Pekerjaannya cuma satu, bersolek dan bergaya di depan kamera ponselnya.

Sampai sore menjelang, Lilis belum juga pulang. Perasaan risau yang sedari pagi menggerayangi batin Buk Martinah memuncak tatkala Pak Jajang mulai bertanya-tanya.

“Sudah sore begini Lilis belum pulang, Buk?” tanya Pak Jajang sambil melangkah menghampiri buk Martinah yang sedang melayani beberapa pengunjung di warung nasi kecil miliknya.

“Kenapa tidak dilarang sih, Buk? Ibu kan tahu, Bapak tidak suka Lilis main sama teman-temannya yang tidak punya sopan santun itu,” gerutu Pak Jajang.

“Ai si Bapak… seprti tidak tahu Lilis saja,” jawab buk Martinah.

“Astaghfirullah… Gusti, Pangeran… dosa apa saya sampai punya anak bandel seperti ini. Apa karena dulu saya kerja sama pejabat yang suka terima suap,” Batin Pak Jajang masygul. Ia teringat ceramah seorang ustadz, kalau memberi makan anak dari uang haram, maka kemungkinan besar anak menjadi nakal dan susah diatur.

“Suf, tolong jemput Lilis. Suruh pulang. Bilang Bapak marah kalau dia menolak,” perintah Pak Jajang.

Yusuf yang masih mengurus kebun sepulang dari tempat kursus segera datang lengkap dengan pakaian baru yang masih melekat di badannya. “I-i-iya, Pak,” jawabnya sambil manggut-manggut.

Menggunakan sepeda motor milik Pak Jajang, Yusuf langsung melesat menuju kebun teh yang katanya sedang jadi lokasi syuting sinetron. Dada Yusuf berdebar kencang disuruh menjemput Lilis yang artinya, ia bakal membonceng gadis cantik jelita itu. Senyum sumringah merekah di wajahnya yang basah oleh keringat setelah seharian bekerja di kebun.

Dari kejauhan, Yusuf melihat satu titik keramaian. Yusuf menepikan sepeda motor setelah menerabas jalanan berbatu yang membelah hamparan kebun teh. Yusuf mengedarkan pandangan sambil berjalan ke arah kerumunan. Yusuf girang ketika melihat punggung seorang gadis yang dikenalnya. Punggung ramping yang tertutup rambut hitam nan berkilau.

Saat itu, Lilis sedang berceloteh pada teman-temannya. “Kalian lihat, aku sudah berhasil mendapat nomor manajer artis. Sepertinya dia tertarik. Sebentar lagi aku bakal jadi bintang sinetron populer melebihi si Varel, artis sombong sok ganteng itu,” Lilis mengumpat setelah sang artis menolak foto selfie dengannya.

Neng-neng-neng Lilis!” Yusuf memanggil dari belakang seraya melambaikan tangan, namun Lilis tak mendengar.

“Dia pikir dia siapa? Nanti juga kalau aku sudah terkenal, semua laki-laki tampan akan mengejarku,” Lilis masih mengoceh.

“Yusuf maksudnya?” celetuk teman Lilis ketika melihat Yusuf datang yang kemudian ditimpali tawa terkikik teman-temannya yang lain.

“Hiiiy…” Lilis teriak histeris. “Jangan sembarangan kamu! Mana mungkin aku mau sama si Ucup Belewuk, si gagap, dekil, miskin,” dibentaknya temannya, yang kemudian terperanjat dengan perkataan Lilis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status