Si gagap, dekil, miskin. Yusuf latah, ia langsung mencium aroma tubuhnya saat mendengar Lilis menyebutnya belewuk. Bagi Yusuf, belewuk adalah sebutan yang berlebihan dan menghina. Bukankah ‘belewuk’ adalah julukan untuk sesuatu yang kotor, jijik dan bau. Mendengarnya bahu Yusuf terkulai lemas.
Sebegitu bencikah ia padaku? Ini di depan umum. Tak bisakah ia sedikit menjaga harga diriku. Biar begini, aku juga lelaki, batin Yusuf menjerit.
Ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Lilis. Namun, sore itu semua kata-kata Lilis tentangnya, ia garis bawahi.
Sementara, Lilis juga terhenyak oleh ucapannya sendiri. Ia tak menyangka laki-laki itu ada di belakangnya setelah temannya memberi tahu dengan tatapan resah.
Lilis memang tidak suka pada Yusuf, terlebih ketika ia sering mendapati Yusuf mencuri-curi pandang padanya yang membuat Lilis merasa risih. Lalu, karena gelagat Yusuf yang amat kentara, maka Lilis sering dibercanda-i oleh teman-temannya itu, sehingga bertambahlah rasa benci di hati Lilis. Belum lagi bapaknya, yang sering membanding-bandingkan ia dengan lelaki yang dianggapnya tak lebih baik darinya. Namun di atas semua itu, Lilis tak menyangka kalau ia akan mengeluarkan perkataan buruk yang didengar langsung oleh Yusuf.
Sesaat kemudian Lilis merasa bersalah, namun watak angkuhnya menahan ia untuk segera meminta maaf. Lilis malah menampakkan wajah kesal ketika Yusuf memintanya pulang.
Hari itu, perasaan Yusuf campur aduk. Keceriaan di wajahnya seakan hilang entah kemana. Selama ini dia menikmati bekerja di kebun Pak Jajang karena Lilis meskipun sebenarnya, ia tidak pernah berharap memiliki Lilis. Yusuf pun sadar betul akan keadaan dirinya. Ia merasa cukup dengan hanya memiliki Lilis sebatas mimpi dan hayalan. Tetapi mendengar perkataan Lilis tadi, dada Yusuf terasa sesak.
Ia belum tahu, ternyata Lilis menilai dirinya sebagai orang rendahan yang tak pantas dipandang.
Sementara Lilis terus diserang perasaan gugup dan tidak enak kerena sepanjang perjalanan menuju pulang, Yusuf hanya diam. Sikap Yusuf kini berubah jadi datar.
Ego kelelakiannya baru saja diusik, dan Yusuf tersinggung.
Menjelang Maghrib, surya menggelanting di tepi barat langit Desa Cihejo. Warna jingga berpendar di awan bersanding dengan gagahnya Gunung Salak. Sebagian sinarnya menembus ranting pepohonan di kanan dan kiri jalan setapak, jalan menuju rumah Yusuf.
Gontai Yusuf melangkah bagai diserang penyakit kurang darah. Di telinganya terus berdenging kata-kata Lilis tentangnya sewaktu di lokasi syuting. Gagap, dekil, miskin, belewuk, sebutan itu seakan menegaskan siapa dirinya, yaitu laki-laki kurang beruntung yang kerap dipandang sebelah mata oleh orang-orang.
“Yah, memang aku yang bodoh, berani-beraninya suka sama Lilis, gadis cantik si kembang desa,” batin Yusuf mengutuk dirinya sendiri.
Lalu selepas itu gamanglah hati Yusuf. Ia tak tahu bagaimana caranya melewati hari-hari, sebab satu-satunya sumber energi hingga ia semangat bekerja di kebun Pak Jajang adalah Lilis. Kenyataanya, gadis itu baru saja mematahkan pohon asmara di hati Yusuf yang sudah tumbuh tiga tahun lamanya.
Adzan Maghrib berkumandang. Bukannya berbelok ke masjid, Yusuf mengekspresikan kekecewaannya dengan berlari menuju sungai. Ia berenang, menyelam lalu memukul-mukul air sembari terus berteriak seorang diri, seolah ia ingin membagi kesedihannya pada langit malam.
Yusuf berenang ke arah jatuhnya air Curug Bidadari, salah satu curug terindah yang dialiri sungai itu. Disebut bidadari karena di air terjun itu pernah muncul pelangi, dan oleh warga setempat pelangi dipercaya sebagai jembatan para bidadari yang akan mandi di air terjun.
Bagi Yusuf, bidadari itu adalah Lilis. Maka, Yusuf sering membayangkan Lilis muncul dari sana menyibak tirai air seraya memanggilnya. Lalu ia dan gadis itu main basah-basahan.
Cpyash! Cpyash!
Cipratan air menampar wajah Yusuf hingga ia terkesiap. Lalu gemuruh suara air yang jatuh seolah berteriak padanya, “Sadar, Yusuf! Hey! Sadar! Gadis itu tak ada disini dan tak akan pernah bersamamu disini!”
Ngiiiik….Ngiiiik….Ngiiik….
Kini suara tonggeret amat nyaring menertawainya.
“Haaaaaa huwaaaaaaa!”
Yusuf berteriak sekencang-kencangnya.
Malam itu ia berjanji tidak akan memikirkan Lilis lagi.
“Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w
Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam
Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale
Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld
“Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i
Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang