Home / Romansa / Belenggu Gairah sang Presdir / Bab 6: Benang Masa Lalu

Share

Bab 6: Benang Masa Lalu

Author: Arinvenca
last update Last Updated: 2025-09-25 19:42:16

“Dia… dia adik ayahku,” Dika akhirnya berujar, suaranya berat, setiap kata seperti beban yang dilemparkan ke atas batu. “Bibi Kirana.”

Pengakuan itu menghantam Aruna seperti gelombang pasang, melumpuhkannya dalam kebekuan yang dingin. Bibi Kirana? Ibu Dika, Mama Widya, dan ayah Dika, Arga… Kirana adalah adik Arga. Itu berarti Kirana memiliki hubungan darah dengan keluarga Dika, yang pada gilirannya menghubungkan Dika langsung dengan Kirana, wanita yang pernah menjadi simpanan ayahnya. Dunia Aruna terasa berputar, fondasinya bergetar hebat. Rasa mual melanda, seolah ia baru saja menelan racun kebenaran yang pahit.

“Apa… apa maksudmu?” Aruna tergagap, pikirannya kalut, mencoba menyusun potongan-potongan puzzle yang baru saja dilemparkan ke depannya. “Bagaimana mungkin? Kalau dia bibimu, berarti dia… dia…” Aruna tak sanggup melanjutkan, mulutnya terasa kering.

Dika melangkah mendekat, kali ini Aruna tidak menghindar. Ada penyesalan yang mendalam di mata tajam pria itu, sebuah kerapuhan yang jarang ia tunjukkan. Dika meraih tangan Aruna yang dingin, menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan kehangatan di tengah badai emosi.

“Aku tahu ini sulit untukmu, Aruna,” ucap Dika, suaranya kini lebih lembut, namun tetap mengandung nada tegas. “Dengarkan aku baik-baik, ada banyak hal yang tidak kau tahu.”

Aruna menatapnya, mendesak dengan tatapan yang penuh tuntutan. “Ceritakan semuanya, sekarang!”

Dika mengangguk, sorot matanya kembali tajam, seolah sedang mengambil keputusan besar. “Malam ibumu meninggal… Aku ada di dekat sana. Aku mengantarkan sesuatu dari ibuku, Mama Widya, untuk Bibi Kirana. Mereka punya janji bertemu, Bibi Kirana… dia meminta ibuku mengantarkan beberapa dokumen penting yang mungkin bisa membantu Kirana untuk kabur dari ancaman ayahmu.”

Aruna tersentak, menahan napas. “Dokumen apa? Ancaman apa?”

Dika melanjutkan, suaranya bergetar tipis. “Aku tidak tahu detail dokumen itu, ibuku hanya bilang itu penting. Aku mengantarkan, tapi aku tidak masuk ke dalam rumah. Aku menunggu di mobil. Setelahnya, aku melihat Bibi Kirana keluar dari rumahmu. Dia terburu-buru, wajahnya pucat. Beberapa saat kemudian… terjadi ledakan."

Kengerian merayap di kulit Aruna, ledakan. Malam itu, jadi Dika melihat Kirana di sana? Tepat sebelum ibunya meninggal?

“Ledakan itu… yang menewaskan ibuku?” Aruna berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.

Dika mengangguk perlahan. “Aku tidak tahu itu akan berujung tragedi, aku bersumpah. Yang aku lihat hanya Bibi Kirana yang pergi, setelah kejadian itu… keluargaku menerima ancaman. Ancaman agar kami diam, agar tidak mengungkapkan apa yang kami tahu.”

“Ancaman dari siapa?” Aruna mendesak, cengkeramannya pada tangan Dika menguat.

“Ayahmu, Indrawan,” jawab Dika tanpa ragu, namun ada keengganan yang jelas dalam nada suaranya. “Dia punya koneksi, koneksi gelap. Ibuku, Mama Widya, memutus kontak dengan keluargamu setelah itu. Bukan karena tidak peduli, Aruna, tapi untuk melindungiku. Untuk melindungi keluargaku, dia takut akan ada lebih banyak korban.”

Aruna merasakan darahnya berdesir dingin. Ayahnya? Mengancam keluarga Dika? Ini jauh lebih rumit, lebih kelam, dari yang pernah ia bayangkan. Rasa sakit yang tajam menusuk dadanya, seperti pisau yang mengoyak. Ibunya… Apakah ia benar-benar korban dari permainan kotor yang jauh lebih besar?

“Jadi… Kirana terlibat dalam kematian ibuku?” tanya Aruna, suaranya dipenuhi amarah yang baru. “Dan ayahmu, pamanku, bibiku, semua orang yang kau sebut keluargamu itu, mereka tahu tentang ini dan diam saja?”

“Bibi Kirana terlibat, ya. Tapi bukan sebagai pelaku utama,” koreksi Dika, menatap Aruna lurus. “Dia juga korban, korban dari ambisi ayahmu. Ayahku… dia tidak tahu banyak, dan ibuku yang mencoba menjaga semua ini agar tidak terbongkar, untuk melindungi semua orang. Dia pikir dengan menjauhkan kita, tragedi tidak akan terulang.”

Aruna menarik tangannya dari genggaman Dika. Kebenaran ini terasa terlalu berat, terlalu penuh lubang. Mengapa Kirana terburu-buru? Dokumen apa yang begitu penting? Dan bagaimana bisa Kirana menjadi korban sekaligus pihak yang dicurigai? Otaknya mencoba menyusun kembali garis waktu, namun semua terasa kabur. Ia merasa seperti ada kepingan puzzle yang hilang, sebuah celah besar dalam cerita Dika.

“Aku tidak percaya,” Aruna menggelengkan kepala, air matanya kini mengalir deras, bukan karena kesedihan, melainkan karena kebingungan dan kemarahan. “Ada yang tidak lengkap dari ceritamu, Dika. Aku tahu itu, kenapa baru sekarang kau memberitahuku? Kenapa kau menikahiku?”

Dika menghela napas, pandangannya meredup. “Aku menikahimu untuk melindungimu, Aruna. Aku janji akan menceritakan semuanya, tapi tidak sekarang, akan ada saatnya.”

“Saatnya? Apa ada waktu yang lebih tepat dari ini? Aku berhak tahu!” Aruna berteriak, suaranya bergetar. “Ibuku meninggal! Dan ini semua ada hubungannya dengan Kirana, bibimu, dan ayahku. Kau tahu, Dika. Kau tahu lebih banyak dari yang kau katakan. Aku bisa merasakannya.”

Dika terdiam, matanya menatap jauh ke depan, seolah melihat bayangan masa lalu yang menghantuinya. “Aku memang tahu lebih banyak,” akunya pelan, nadanya rendah. “Dan ada seseorang yang terlibat jauh lebih dalam daripada Kirana. Seseorang yang sangat dekat dengan kita. Seseorang yang bahkan…”

Tiba-tiba, sebuah suara dering ponsel memecah ketegangan yang pekat di ruangan itu. Dika mengalihkan pandangannya, sejenak ekspresinya berubah menjadi waspada. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku. Matanya menyipit saat melihat nama di layar.

“Ini Bima,” ucapnya, tatapannya kini kembali tajam, penuh perhitungan. “Dia jarang menelepon di jam seperti ini kecuali ada sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang gawat.”

Dika mengangkat panggilan itu, dan Aruna bisa mendengar samar-samar suara Bima yang terdengar mendesak, penuh kepanikan, dari ujung sana. Wajah Dika mengeras, rahangnya mengatup rapat.

“Apa katamu?” Dika bertanya, suaranya kini dingin, penuh otoritas. “Ulangi lagi, siapa yang ditemukan? Di mana?”

Aruna memperhatikan setiap perubahan di wajah Dika, jantungnya berdebar kencang. Ia bisa merasakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Kebenaran yang baru saja setengah terungkap kini terancam oleh kengerian baru. Dika menoleh ke arahnya, mata abu-abunya memancarkan alarm yang jelas, sebuah peringatan akan bahaya yang mendekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 15: Dia Datang Kembali

    "Akhirnya kita bertemu kembali, Dika Prasetya," ujar seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Dika di lorong rumah sakit, suaranya halus seperti sutra, tetapi dengan nada baja. "Kau tidak bisa lari dari tanggung jawabmu selamanya, apa kau melupakan kesepakatan kita?" Dika tidak bergeming, rahangnya terkatup rapat, dan matanya tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan. "Aku sudah memberitahumu, Sabila. Kita sudah selesai, dan kesepakatan itu sudah berakhir." "Oh, ayolah, Dika," wanita yang bernama Sabila itu melangkah mendekat, memendekkan jarak fisik di antara mereka dengan gerakan yang lancar dan menggoda. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh kerah jas Dika. "Kita memiliki sejarah, kita memiliki kesepahaman. Terkait kesepakatan itu? Ah sudahlah, lupakan saja, sekarang yang aku pedulikan adalah kau. Kita bisa membangun kembali semuanya, kau dan aku. Kau tahu kita adalah pasangan yang sempurna." Dika menepis tangan Sabila dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, tetapi tegas. Nada su

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 14: Kehidupan Abadi?

    “Tuan Dika! Nona Aruna kejangnya makin parah!” Suara panik Dokter Budi mengoyak lamunan Dika.Ia tersentak, tatapannya beralih dari ponsel ke Aruna. Gadis itu kini menggeliat tak terkendali di atas ranjang, tubuhnya melengkung, matanya terpejam erat, dan napasnya tersengal-sengal. Keringat membanjiri pelipisnya, membasahi rambut hitamnya yang lepek. Tangan-tangan perawat berusaha menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh, sementara Bi Sumi terisak di sudut ruangan, memanjatkan doa-doa.Dika menepis ponselnya, menatap Dokter Budi dengan mata menyala. “Apa yang terjadi? Kenapa dia begini?” Suaranya serak, penuh ketakutan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.“Suhu tubuhnya tidak juga turun, Tuan. Bahkan makin naik. Kejangnya akibat demam tinggi yang tidak terkontrol,” jelas Dokter Budi, tangannya dengan cekatan menyuntikkan sesuatu ke selang infus. “Kami sudah memberikan obat penurun panas dan penenang, tapi respons tubuhnya sangat lambat.”“Lakukan sesuatu! Jangan biarkan ia begini!”

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 13: Ambang Kematian

    —seperti suara retakan di dasar kolam kaca yang rapuh, lalu sebuah hentakan. Tubuh Aruna jatuh lunglai ke depan, kepalanya terantuk meja samping ranjang dengan suara tumpul yang memilukan. “Nona Aruna!” pekik Bi Sumi, berlari mendekat dengan wajah pucat pasi. Ia melihat darah yang mengalir dari sudut bibir Aruna, dan matanya langsung berkaca-kaca. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?” “Panggil dokter! Cepat, Bi! Panggil mereka!” perintah Dika, suaranya serak karena ketakutan. Ia mendekatkan telinganya ke dada Aruna, mencoba mendengar detak jantung yang terasa sangat lemah. “Dia… dia tidak bernapas.” Bi Sumi tidak menunggu dua kali. Ia segera berlari ke luar kamar, berteriak memanggil tim medis yang memang sudah disiagakan di apartemen. Dalam hitungan detik, Dokter Budi dan dua perawat bergegas masuk, membawa peralatan darurat. “Cepat! Pasien kolaps!” Dokter Budi berseru, wajahnya tegang. Ia segera menyuruh Dika minggir, lalu dengan sigap memeriksa Aruna. Alat pendengar ditempelkan ke

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 12: Lingkungan Baru

    “Aruna!” pekik Dika, suaranya parau. Kepanikan yang selama ini ia coba tutupi akhirnya pecah. Ia memeluk tubuh ringkih Aruna lebih erat, gemetar, merasakan detak jantungnya sendiri berpacu gila-gilaan. Pintu rumah sakit terbuka dengan tiba-tiba, dan perawat serta seorang dokter sudah siap dengan brankar.“Cepat! Pasien pendarahan!” perintah dokter yang mendampingi mereka dari mansion, suaranya tegang.Dika melepaskan Aruna dengan hati-hati, menyerahkannya kepada para tenaga medis. Ia melihat selang-selang infus segera dipasang, monitor-monitor dihidupkan, dan Aruna digulirkan masuk ke lorong yang dingin. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, dan noda darah yang kini memenuhi bantal brankar adalah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.“Dika, bagaimana Aruna?” Widya, yang menyusul kemudian bersama Bi Sumi dan Bima, bertanya, suaranya bergetar. Ia meraih lengan putranya, merasakan dingin yang menjalar dari tubuh Dika.Dika hanya bisa menggeleng. “Dia… dia muntah darah l

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 11: Takut Kehilangan

    …Dika merasakan sentuhan di tangan Aruna dan saat ia mendongak, matanya melebar melihat cairan kental berwarna merah kehitaman menyembur dari bibirnya, mengotori bantal putih. Alarm detak jantung itu kini berteriak lebih nyaring, seolah meratapi pemandangan mengerikan di depan mereka.“Dika!” Bi Sumi menjerit tertahan, kedua tangannya menutup mulut, matanya terbelalak penuh horor. Bima, yang baru saja menerima panggilan telepon, segera menjatuhkan ponselnya, beralih pada Aruna dengan ekspresi tak percaya.“Panggil dokter lain, Bima! Sekarang!” perintah Dika, suaranya menggelegar, penuh otoritas yang tak terbantahkan, memecah kepanikan. Ia meraih Aruna, berusaha mengangkat tubuh gadis itu agar tidak tersedak, namun kekuatannya terasa tak berdaya menghadapi tubuh yang kini bergetar hebat. “Dia butuh rumah sakit!”Bima mengangguk cepat, tangannya bergerak sigap mengambil kembali ponselnya. “Sudah dalam perjalanan, Tuan. Tapi sepertinya dokter pertama kita akan tiba lebih dulu. Saya sudah

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 10: Sedikit Khawatir

    Jika saja ia punya waktu sedikit lebih lama…Aruna merasakan denyutan di pelipisnya semakin kuat, seolah ada palu godam menghantam otaknya. Kata "Larasati.docx" berputar-putar dalam kepalanya yang panas, bercampur dengan wajah Indrawan yang dingin dan tatapan Dika yang menusuk. Suara Bi Sumi yang lembut tadi sudah tidak terdengar, hanya meninggalkan keheningan yang mencekam, diselingi desah napasnya yang berat dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah sensasi menggigil yang aneh menjalari tubuhnya, meski keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.Beberapa jam berlalu seperti kabut. Ketika ia membuka mata lagi, ruangan kamar terasa asing. Langit-langit putih, tirai sutra yang berkibar samar ditiup pendingin ruangan, semuanya tampak mengambang dalam pandangannya yang kabur. Ia tahu Dika ada di sana, di suatu tempat di rumah ini, namun pria itu tidak pernah menampakkan diri. Kebekuan Dika terasa begitu nyata, bahkan menembus selimut tebal yang menutupi tubuhnya. “Dia peduli dengan cara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status