Home / Romansa / Belenggu Gairah sang Presdir / BAB 5: BAYANGAN MASA LALU

Share

BAB 5: BAYANGAN MASA LALU

Author: Arinvenca
last update Last Updated: 2025-08-25 10:25:03

“Jangan harap kau bisa jadi orang sukses kalau terus malas-malasan seperti ini, Aruna! Bersihkan seluruh rumah dan siapkan makanan! Dasar anak pembawa sial, kalau saja ibumu tidak menikah dengan Indrawan, mungkin nasibnya tidak akan sial seperti ini!”

Suara bentakan itu menggema di kepalanya, menusuk jauh ke dalam dada. Aruna terlonjak dari tidurnya dengan napas yang terengah, dan keringat dingin membasahi pelipis. Aruna mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk memastikan bibinya tidak ada di sini, tapi kata-kata terlalu nyata, seakan baru saja dilontarkan ke telinganya.

Ia baru menyadari kalau Dika sudah tidak ada di sampingnya, hanya menyisakan sunyi dan sepi. Hari pertamanya sebagai Nyonya Prasetya seharusnya diisi dengan penyesuaian, dengan mencoba mencari celah untuk bernapas di dalam sangkar emas.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang terburu-buru memecah kesunyian yang tebal, disusul oleh bisikan cemas para pelayan dari lantai bawah. Jantung Aruna berdegup lebih kencang. Firasat buruk merayap, menghimpit dadanya. Ia tidak terbiasa dengan kegaduhan sekecil apa pun di rumah Dika.

"Nyonya Aruna, maaf mengganggu waktu istirahat Anda," suara Bibi Sumi, kepala pelayan, terdengar samar dari ambang pintu kamarnya. Wanita tua itu terlihat pucat, tangan keriputnya saling meremas.

Aruna menoleh, menatapnya dengan tatapan bertanya. "Ada apa, Bi? Apa terjadi sesuatu?"

Bibi Sumi menelan ludah, air muka ketakutan begitu jelas. "Ada... ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda, Nyonya."

"Tamu?" Alis Aruna terangkat. Siapa yang akan mengunjunginya di tempat terpencil ini, terlebih pada pagi buta? "Siapa?"

"Ia... ia tidak mau menyebutkan nama, Nyonya. Tapi ia memaksa. Tuan Dika juga pergi entah ke mana," nada Bibi Sumi terdengar kian putus asa.

Aruna berdiri, rasa penasaran bercampur cemas melilitnya. "Baiklah, saya akan menemuinya."

Ia menuruni tangga besar itu, setiap anak tangga terasa kian berat. Langkahnya menggema di lorong marmer yang dingin. Saat ia mendekati ruang tamu utama, sosok seorang wanita paruh baya terlihat berdiri membelakangi pintu masuk, memandangi lukisan abstrak yang terpajang di dinding. Rambutnya disanggul rapi, dan sehelai syal sutra melilit lehernya, memancarkan aura kemewahan yang ganjil. Sebuah parfum yang kuat, terlalu kuat, menguar di udara. Aroma melati yang memabukkan, menusuk indra penciumannya, dan tiba-tiba, sebuah ingatan kuno seperti petir menyambar benaknya.

Aruna terkesiap. Wajah itu... syal itu... dan aroma melati yang pahit. Memori dari masa lalu yang terkubur dalam-dalam kini mencuat ke permukaan, seolah takdir menertawakannya. Ia pernah melihat wanita ini. Bertahun-tahun lalu, ia masih sangat kecil, mungkin berusia delapan atau sembilan tahun. Wanita itu datang ke rumah lamanya, digandeng oleh ayahnya.

Aruna tidak tahu nama wanita itu, tapi yang pasti setelah kunjungan wanita misterius itu, badai besar melanda rumahnya, di mana Ayah dan Ibunya bertengkar hebat, suara piring pecah dan tangis sang Ibu masih terngiang jelas. Lalu, tak lama kemudian, ia dititipkan ke rumah bibinya, tempat neraka kecilnya dimulai. Dari situ Aruna bisa menyimpulkan bahwa wanita ini adalah simpanan ayahnya, dan wanita itu, Kirana.

"Maaf, Anda ada perlu apa?" Bibir Aruna bergetar.

Wanita itu berbalik. Wajahnya, meski kini berhiaskan kerutan usia, tetap menyimpan garis-garis kecantikan yang tajam. Sorot matanya memancarkan campuran kesedihan, penyesalan, dan mungkin, sedikit perhitungan.

"Aruna..." suara Kirana terdengar serak, "Kau sudah tumbuh dewasa." Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya.

Aruna membalas tatapan itu, mencoba mencari tahu apa gerangan yang membawa wanita masa lalu ini kembali ke kehidupannya yang sudah hancur.

"Kenapa Anda bisa tahu nama saya? Dan bagaimana Anda bisa berada di sini?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, Aruna berusaha bersikap senetral mungkin serta melupakan fakta bahwa ia mengenal wanita itu.

"Aruna, jangan berpura-pura lagi, kamu pasti mengenalkanku kan? Aku... aku dan juga ayahmu..." Kirana terdiam, menatap Aruna dengan mata berkaca-kaca. "Ayahmu, ia mencarimu."

Pernyataan itu seperti sebuah tamparan keras. Dada Aruna sesak. Ayahnya? Setelah semua yang terjadi? Setelah meninggalkannya begitu saja?

“Cukup! Aku memang masih mengingatmu,” suara Aruna meninggi. “Apa alasan ayah mencariku setelah bertahun-tahun ia meninggalkanku?" ia menahan gejolak emosi yang mengamuk di dalam. "Apa kau datang bersamanya?"

"Tidak, dia tidak datang bersamaku. Aku... aku hanya ingin menyampaikan pesannya, dia sangat menyesal, Aruna, kembalilah," Kirana melangkah maju, tangannya terulur.

Aruna mundur selangkah, menolak sentuhan yang terasa mengkhianati. "Menyesal? Setelah apa yang dia lakukan padaku? Pada ibuku? Itu sangat menyiksaku selama bertahun-tahun? Penyesalan macam apa itu?" Air matanya mulai mengalir, membasahi pipi.

"Aruna, dengarkan aku. Ayahmu membenciku setelah kematian ibumu. Dia... dia meninggalkanmu, hanya kamu satu-satunya cara agar aku bisa bertemu dengan ayahmu lagi," Kirana memohon, namun tatapannya tidak ada rasa bersalah.

"Apa urusannya denganku? Kau hanya wanita simpanan, ayahku bahkan rela menghancurkan masa depan anak kandungnya sendiri demi wanita lain!" Aruna berteriak, amarahnya meluap.

Suara Aruna mulai melemah. “Dan sekarang kau datang kemari demi kepentinganmu sendiri?”

Tepat saat itu, Dika muncul di ujung koridor, rahangnya mengeras. Langkahnya mantap dan tegas, memancarkan aura dominasi. Ia mengamati situasi dengan tatapan tajam, bola matanya yang gelap seolah mampu menembus setiap kebohongan.

"Kirana," suara Dika berat, dingin, tanpa emosi, "apa yang kau lakukan di rumahku?"

Kirana terkesiap, menoleh ke arah Dika. Wajahnya kini berubah pucat pasi.

"Dika... aku ha-"

"Aku bertanya, apa yang kau lakukan di sini?" Dika mengulang, nadanya lebih rendah, tetapi penuh ancaman. "Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mendekati mereka, tidak mendekati siapa pun yang terkait denganku atau Aruna."

"Aku hanya ingin berbicara dengan Aruna. Ayahnya... dia mencarinya." Kirana mencoba beralasan lagi, suaranya gemetar.

Dika tertawa sinis, suara yang membuat bulu kuduk Aruna merinding. "Ayahnya? Kau pikir aku sebodoh itu? Kau pikir aku tidak tahu apa niatmu sebenarnya?" Ia maju mendekat, jarak antara mereka menipis. "Aku tahu segalanya, Kirana. Termasuk kenapa kau tiba-tiba muncul sekarang. Kau pasti tahu bahwa Aruna kini adalah istriku, bukan?"

Kirana menunduk, tak berani menatap mata Dika. "Aku... aku tidak bermaksud buruk."

"Tidak bermaksud buruk?" Dika mencibir. "Kedatanganmu sudah cukup buruk. Kau tahu apa konsekuensinya jika kau melanggar perintahku." Matanya menyorot tajam, seolah bisa membakar. "Aku tidak ingin ada orang dari masa lalu yang kotor mengusik kedamaian di rumahku. Terlebih lagi, mengusik Aruna."

Dika menoleh ke arah Aruna, yang masih terpaku, memproses semua yang terjadi. Ada kilatan protektif yang aneh di mata Dika, bercampur dengan kemarahan yang membara.

"Bi Sumi!" Dika memanggil dengan suara tegas. Kepala pelayan itu segera muncul. "Antarkan tamu ini keluar, dan pastikan ia tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di kediaman Prasetya."

“Dika, tolong... kita ini masih keluarga" Kirana mencoba memohon, air mata mulai menggenang di matanya.

"Jangan buang-buang waktu saya, Kirana," potong Dika dingin. "Kau tahu aku tidak pernah main-main dengan ancamanku."

Bibi Sumi dengan cepat menghampiri Kirana, memintanya untuk mengikuti ke pintu. Kirana melirik Aruna sekali lagi, tatapan memohon, namun Aruna hanya bisa memalingkan muka. Perasaan sakit, marah, dan kebingungan bercampur aduk dalam dirinya. Dika tahu? Dika tahu siapa Kirana, siapa ayahnya, dan mungkin seluruh cerita di baliknya? Bagaimana bisa? Dan apa yang kirana tadi ucapkan “masih keluarga” apa maksud semua ini?

Setelah Kirana dan Bibi Sumi menghilang di balik pintu, Dika berbalik menghadap Aruna. Wajahnya masih keras, namun ada sedikit kelembutan yang terselip di sudut matanya saat ia menatap Aruna.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya kini lebih lembut.

Aruna menggelengkan kepala, air mata kembali membanjir. "Apa itu benar? Kau tahu semuanya? Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?"

Dika menghela napas, mengusap wajahnya dengan kasar. Ia berjalan mendekati Aruna, mengulurkan tangannya untuk memegang bahunya, namun Aruna menghindar.

"Aku tidak ingin kau terluka lagi," kata Dika, nadanya tulus. "Masa lalu mereka adalah racun. Aku hanya ingin melindungimu dari semua itu."

"Melindungiku? Atau menyembunyikan kebenaran dariku?" Aruna menatapnya tajam. "Apa hubunganmu dengan Kirana? Mengapa ia sampai bisa datang ke sini? Dan apa lagi yang kau sembunyikan dariku?"

"Ayahmu... dan Kirana, mereka sekarang bekerja sama," Dika melanjutkan, suaranya rendah dan penuh perhitungan, "ayahmu tidak benar-benar menyesal dan ingin meminta maaf, melainkan untuk merebut sesuatu. Sesuatu yang sangat berharga, yang kini ada dalam genggamanku, dan yang menurutnya adalah hak miliknya. Sesuatu yang membuat dia sanggup melakukan apa saja, bahkan mengorbankan anaknya sendiri."

Sebuah bisikan mematikan menggantung di udara, membuat Aruna membeku. Ia tidak hanya terjebak dalam sangkar emas ini, tetapi kini ia juga terjerat dalam jaring laba-laba rahasia gelap masa lalu ayahnya, yang entah bagaimana, kini terhubung erat dengan Dika dan segala yang dimilikinya. Sebuah rahasia yang, jika terungkap, mungkin akan meruntuhkan seluruh dunia yang kini Dika bangun di sekelilingnya, dan menyeret Aruna ke dalam jurang yang lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. Sebuah kebenaran yang jauh lebih menakutkan, kini telah menunggu untuk diungkap.

“Dan Kirana? Dia masih keluargamu?” tanya Aruna dengan lirih seakan sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 15: Dia Datang Kembali

    "Akhirnya kita bertemu kembali, Dika Prasetya," ujar seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Dika di lorong rumah sakit, suaranya halus seperti sutra, tetapi dengan nada baja. "Kau tidak bisa lari dari tanggung jawabmu selamanya, apa kau melupakan kesepakatan kita?" Dika tidak bergeming, rahangnya terkatup rapat, dan matanya tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan. "Aku sudah memberitahumu, Sabila. Kita sudah selesai, dan kesepakatan itu sudah berakhir." "Oh, ayolah, Dika," wanita yang bernama Sabila itu melangkah mendekat, memendekkan jarak fisik di antara mereka dengan gerakan yang lancar dan menggoda. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh kerah jas Dika. "Kita memiliki sejarah, kita memiliki kesepahaman. Terkait kesepakatan itu? Ah sudahlah, lupakan saja, sekarang yang aku pedulikan adalah kau. Kita bisa membangun kembali semuanya, kau dan aku. Kau tahu kita adalah pasangan yang sempurna." Dika menepis tangan Sabila dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, tetapi tegas. Nada su

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 14: Kehidupan Abadi?

    “Tuan Dika! Nona Aruna kejangnya makin parah!” Suara panik Dokter Budi mengoyak lamunan Dika.Ia tersentak, tatapannya beralih dari ponsel ke Aruna. Gadis itu kini menggeliat tak terkendali di atas ranjang, tubuhnya melengkung, matanya terpejam erat, dan napasnya tersengal-sengal. Keringat membanjiri pelipisnya, membasahi rambut hitamnya yang lepek. Tangan-tangan perawat berusaha menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh, sementara Bi Sumi terisak di sudut ruangan, memanjatkan doa-doa.Dika menepis ponselnya, menatap Dokter Budi dengan mata menyala. “Apa yang terjadi? Kenapa dia begini?” Suaranya serak, penuh ketakutan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.“Suhu tubuhnya tidak juga turun, Tuan. Bahkan makin naik. Kejangnya akibat demam tinggi yang tidak terkontrol,” jelas Dokter Budi, tangannya dengan cekatan menyuntikkan sesuatu ke selang infus. “Kami sudah memberikan obat penurun panas dan penenang, tapi respons tubuhnya sangat lambat.”“Lakukan sesuatu! Jangan biarkan ia begini!”

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 13: Ambang Kematian

    —seperti suara retakan di dasar kolam kaca yang rapuh, lalu sebuah hentakan. Tubuh Aruna jatuh lunglai ke depan, kepalanya terantuk meja samping ranjang dengan suara tumpul yang memilukan. “Nona Aruna!” pekik Bi Sumi, berlari mendekat dengan wajah pucat pasi. Ia melihat darah yang mengalir dari sudut bibir Aruna, dan matanya langsung berkaca-kaca. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?” “Panggil dokter! Cepat, Bi! Panggil mereka!” perintah Dika, suaranya serak karena ketakutan. Ia mendekatkan telinganya ke dada Aruna, mencoba mendengar detak jantung yang terasa sangat lemah. “Dia… dia tidak bernapas.” Bi Sumi tidak menunggu dua kali. Ia segera berlari ke luar kamar, berteriak memanggil tim medis yang memang sudah disiagakan di apartemen. Dalam hitungan detik, Dokter Budi dan dua perawat bergegas masuk, membawa peralatan darurat. “Cepat! Pasien kolaps!” Dokter Budi berseru, wajahnya tegang. Ia segera menyuruh Dika minggir, lalu dengan sigap memeriksa Aruna. Alat pendengar ditempelkan ke

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 12: Lingkungan Baru

    “Aruna!” pekik Dika, suaranya parau. Kepanikan yang selama ini ia coba tutupi akhirnya pecah. Ia memeluk tubuh ringkih Aruna lebih erat, gemetar, merasakan detak jantungnya sendiri berpacu gila-gilaan. Pintu rumah sakit terbuka dengan tiba-tiba, dan perawat serta seorang dokter sudah siap dengan brankar.“Cepat! Pasien pendarahan!” perintah dokter yang mendampingi mereka dari mansion, suaranya tegang.Dika melepaskan Aruna dengan hati-hati, menyerahkannya kepada para tenaga medis. Ia melihat selang-selang infus segera dipasang, monitor-monitor dihidupkan, dan Aruna digulirkan masuk ke lorong yang dingin. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, dan noda darah yang kini memenuhi bantal brankar adalah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.“Dika, bagaimana Aruna?” Widya, yang menyusul kemudian bersama Bi Sumi dan Bima, bertanya, suaranya bergetar. Ia meraih lengan putranya, merasakan dingin yang menjalar dari tubuh Dika.Dika hanya bisa menggeleng. “Dia… dia muntah darah l

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 11: Takut Kehilangan

    …Dika merasakan sentuhan di tangan Aruna dan saat ia mendongak, matanya melebar melihat cairan kental berwarna merah kehitaman menyembur dari bibirnya, mengotori bantal putih. Alarm detak jantung itu kini berteriak lebih nyaring, seolah meratapi pemandangan mengerikan di depan mereka.“Dika!” Bi Sumi menjerit tertahan, kedua tangannya menutup mulut, matanya terbelalak penuh horor. Bima, yang baru saja menerima panggilan telepon, segera menjatuhkan ponselnya, beralih pada Aruna dengan ekspresi tak percaya.“Panggil dokter lain, Bima! Sekarang!” perintah Dika, suaranya menggelegar, penuh otoritas yang tak terbantahkan, memecah kepanikan. Ia meraih Aruna, berusaha mengangkat tubuh gadis itu agar tidak tersedak, namun kekuatannya terasa tak berdaya menghadapi tubuh yang kini bergetar hebat. “Dia butuh rumah sakit!”Bima mengangguk cepat, tangannya bergerak sigap mengambil kembali ponselnya. “Sudah dalam perjalanan, Tuan. Tapi sepertinya dokter pertama kita akan tiba lebih dulu. Saya sudah

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 10: Sedikit Khawatir

    Jika saja ia punya waktu sedikit lebih lama…Aruna merasakan denyutan di pelipisnya semakin kuat, seolah ada palu godam menghantam otaknya. Kata "Larasati.docx" berputar-putar dalam kepalanya yang panas, bercampur dengan wajah Indrawan yang dingin dan tatapan Dika yang menusuk. Suara Bi Sumi yang lembut tadi sudah tidak terdengar, hanya meninggalkan keheningan yang mencekam, diselingi desah napasnya yang berat dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah sensasi menggigil yang aneh menjalari tubuhnya, meski keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.Beberapa jam berlalu seperti kabut. Ketika ia membuka mata lagi, ruangan kamar terasa asing. Langit-langit putih, tirai sutra yang berkibar samar ditiup pendingin ruangan, semuanya tampak mengambang dalam pandangannya yang kabur. Ia tahu Dika ada di sana, di suatu tempat di rumah ini, namun pria itu tidak pernah menampakkan diri. Kebekuan Dika terasa begitu nyata, bahkan menembus selimut tebal yang menutupi tubuhnya. “Dia peduli dengan cara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status