MasukDika menoleh ke arahnya, mata abu-abunya memancarkan alarm yang jelas, sebuah peringatan akan bahaya yang mendekat. Aruna merasakan udara di sekeliling mereka menipis, ketegangan melilitnya seperti rantai es.
“Apa katamu?” Dika bertanya, suaranya kini dingin, penuh otoritas. “Ulangi lagi, siapa yang ditemukan? Di mana?” Dari sisi Dika, samar-samar Aruna bisa mendengar suara Bima yang panik, seperti desisan angin di tengah badai. Dika mengatupkan rahangnya erat, otot di pelipisnya menonjol. Sorot matanya yang abu-abu menajam, menembus kekosongan di depannya seolah dia bisa melihat kejadian yang diceritakan Bima. “Ditemukan di dekat gudang lama, Tuan,” suara Bima terdengar lebih jelas kini, meski masih seperti bisikan yang penuh ketakutan. “Ini… ini mayat, Tuan. Identitasnya belum jelas, tapi ada tanda-tanda… kekerasan.” Jantung Aruna mencelos. Mayat? Kekerasan? Kata-kata itu berputar di benaknya, melahirkan bayangan-bayangan kelam yang tak terlukiskan. Ia menatap Dika, mencari penjelasan, namun pria itu seolah terhisap ke dalam dunianya sendiri yang penuh bahaya. “Mayat?” Dika mengulang, suaranya rendah dan tajam, seperti desing pisau. “Dekat gudang lama? Itu daerah terpencil, Bima. Siapa yang akan tahu tempat itu selain… orang-orang tertentu?” Ia berhenti, seolah menyaring setiap kata. “Apa ada indikasi lain? Barang bukti?” “Ada sebuah… dompet wanita, Tuan. Terjatuh tak jauh dari sana. Kami sedang memprosesnya. Dan… menurut saksi mata, ada mobil hitam yang terlihat mencurigakan di sekitar lokasi beberapa hari terakhir.” Dika menghela napas kasar, tatapannya kini dipenuhi kemarahan yang tertahan. “Dompet wanita? Mobil hitam? Periksa CCTV di sepanjang jalan menuju ke sana. Dapatkan plat nomornya. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Dan pastikan lokasi steril, Bima. Jangan sampai ada yang tahu. Jangan sampai ada informasi yang bocor ke media. Ini perintah mutlak. Jangan sampai ada yang menyentuh bukti apa pun sebelum tim forensik tiba.” “Baik, Tuan,” Bima menjawab, nadanya kini lebih tenang namun tetap tegang. “Saya sudah menghubungi tim. Mereka sedang dalam perjalanan. Saya juga sudah mengunci area.” “Bagus. Aku akan segera ke sana. Kirimkan lokasinya ke ponselku. Dan aku butuh laporan lengkap. Siapa pun itu, cari tahu motifnya. Ini bukan kebetulan.” Dika mengakhiri panggilan dengan gerakan tegas, seolah memutus benang yang menghubungkannya dengan kekacauan di luar sana. Ruangan itu kembali diselimuti keheningan yang mencekam, kali ini diisi dengan detak jantung Aruna yang berpacu tak keruan. Dika menoleh ke arahnya, mata abu-abunya bertemu dengan mata cokelat Aruna. Ekspresinya kini adalah campuran antara kegelisahan dan sebuah tekad dingin. “Aku harus pergi, sekarang juga,” ucap Dika, suaranya berat, tak ada ruang untuk bantahan. Ia melangkah mendekat, memegang bahu Aruna erat, tatapannya menusuk. “Dengarkan aku baik-baik, Aruna. Jangan pernah keluar sendirian dari mansion ini. Jangan sekali-kali. Jangan pergi ke mana pun tanpa pengawalan. Ini bukan permintaan, Aruna. Ini perintah.” Aruna ingin bertanya, ingin memohon penjelasan, tapi Dika seolah sudah membaca pikirannya. “Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang. Ini sangat penting. Aku janji akan menceritakan semuanya saat aku kembali. Tapi untuk saat ini, tetap di sini, tetap aman. Aku akan meminta Bi Sumi untuk menjagamu.” Tanpa menunggu jawaban, Dika berbalik dan bergegas pergi. Suara langkah kakinya bergema di lantai marmer, lalu menghilang di balik pintu besar. Aruna hanya bisa berdiri terpaku, membiarkan keheningan mengisinya. Kata-kata Dika, "mayat", "kekerasan", "dompet wanita", bergaung di telinganya. Apakah ini berhubungan dengan apa yang baru saja Dika ceritakan? Apakah Kirana? Atau ada orang lain? Otaknya terasa lumpuh, tak mampu menyusun kepingan teka-teki yang semakin rumit. Beberapa menit kemudian, Bi Sumi masuk ke dalam ruangan dengan wajah khawatir. “Nona Aruna, apa Anda baik-baik saja? Tuan Dika terlihat sangat terburu-buru.” Aruna hanya mengangguk pelan, bibirnya terasa beku. Ia tak bisa menceritakan apa pun pada Bi Sumi. Bagaimana bisa ia menjelaskan bahwa suaminya baru saja pergi untuk memeriksa sebuah mayat, dan ia dilarang keluar karena ada bahaya yang mengintai? Ia meraih ponselnya, mencoba mengalihkan pikiran dari kengerian yang baru saja ia dengar. Jemarinya bergerak gelisah di layar, membuka aplikasi berita, mencari tahu apakah ada laporan tentang penemuan mayat di sekitar lokasi yang Dika sebut. Belum ada. Berarti ini masih sangat baru, atau sudah sengaja ditutup-tutupi. Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Jantung Aruna berdebar lebih kencang, firasat buruk merayap di dadanya. Ia membuka pesan itu, dan seketika darahnya berdesir dingin, membeku di seluruh tubuhnya. Pesan itu berbunyi: “Berhenti mencari, atau kau akan berakhir seperti ibumu.” Ponsel di tangannya terasa berat, nyaris jatuh. Matanya menelusuri ulang deretan huruf itu, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah baca. Namun, setiap kata terpahat jelas di benaknya, menusuk dengan ketakutan yang mendalam. Seperti ibunya? Ancaman itu bukan lagi sekadar ancaman kosong. Ini adalah peringatan yang mematikan, terhubung langsung dengan tragedi masa lalunya. Siapa? Siapa yang mengirim pesan ini? Bagaimana ia tahu Aruna "mencari"? Apakah semua yang ia lakukan selama ini, setiap pertanyaan yang ia ajukan, setiap percakapan dengan Dika, telah diawasi? Rasa dingin yang menusuk tulang kini bukan hanya dari udara, tapi dari kesadaran bahwa ia mungkin tidak sendirian di tengah semua ini, meski Dika sudah pergi. Pikiran Aruna berputar, kalut dan terombang-ambing. Ia teringat kata-kata Dika yang baru saja pergi: "Aku menikahimu untuk melindungimu, Aruna." Tapi dengan ancaman ini, dan larangan Dika untuk keluar, apakah Dika benar-benar melindunginya? Atau justru mengawasinya? Apakah pernikahannya ini adalah sebuah sangkar emas, tempat Dika bisa mengontrol setiap gerakannya, memastikan ia tidak melangkah terlalu jauh dan mengungkap kebenaran yang tak diinginkan? Dika tahu segalanya, lebih dari yang dia katakan. Dia mengakui itu. "Ada seseorang yang terlibat jauh lebih dalam daripada Kirana. Seseorang yang sangat dekat dengan kita. Seseorang yang bahkan…" Kata-kata terakhir Dika sebelum telepon Bima menginterupsi kembali terngiang. Seseorang yang sangat dekat? Siapa? Kembali ke pesan di ponselnya. Ancaman itu terasa begitu nyata, begitu personal. Terhubung langsung dengan kematian ibunya. Jika ia berhenti mencari, kebenaran tentang ibunya mungkin akan terkubur selamanya. Tapi jika ia terus maju, akankah ia berakhir seperti Naya, ibunya? Aruna menatap layar ponselnya lagi, jari-jarinya gemetar. Ia harus tahu siapa pengirimnya. Ia harus membalas. Ia harus menunjukkan bahwa ia tidak takut. Atau paling tidak, ia harus berpura-pura tidak takut. Ini adalah permainan, dan ia tidak akan menjadi pion yang pasrah. Dengan tekad yang membakar, Aruna menarik napas dalam-dalam. Jemarinya mulai mengetik, mencoba menyusun balasan yang akan menunjukkan keberanian, memancing pengirimnya keluar dari persembunyian. Ia butuh jawaban. "Siapa kau?" Aruna mengetik, menahan napas. "Apa yang kau inginkan dari—" Tiba-tiba, ponselnya berdering nyaring, memotong kata-katanya. Nomor tak dikenal lagi. Bukan pesan, melainkan panggilan. Jantung Aruna berdebar gila-gilaan, dan matanya melebar saat ia melihat layar ponsel. Di sana, tertulis nama yang tak pernah ia duga akan melihatnya, nama yang seharusnya sudah lama menghilang dari hidupnya, nama yang kini terasa seperti..."Akhirnya kita bertemu kembali, Dika Prasetya," ujar seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Dika di lorong rumah sakit, suaranya halus seperti sutra, tetapi dengan nada baja. "Kau tidak bisa lari dari tanggung jawabmu selamanya, apa kau melupakan kesepakatan kita?" Dika tidak bergeming, rahangnya terkatup rapat, dan matanya tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan. "Aku sudah memberitahumu, Sabila. Kita sudah selesai, dan kesepakatan itu sudah berakhir." "Oh, ayolah, Dika," wanita yang bernama Sabila itu melangkah mendekat, memendekkan jarak fisik di antara mereka dengan gerakan yang lancar dan menggoda. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh kerah jas Dika. "Kita memiliki sejarah, kita memiliki kesepahaman. Terkait kesepakatan itu? Ah sudahlah, lupakan saja, sekarang yang aku pedulikan adalah kau. Kita bisa membangun kembali semuanya, kau dan aku. Kau tahu kita adalah pasangan yang sempurna." Dika menepis tangan Sabila dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, tetapi tegas. Nada su
“Tuan Dika! Nona Aruna kejangnya makin parah!” Suara panik Dokter Budi mengoyak lamunan Dika.Ia tersentak, tatapannya beralih dari ponsel ke Aruna. Gadis itu kini menggeliat tak terkendali di atas ranjang, tubuhnya melengkung, matanya terpejam erat, dan napasnya tersengal-sengal. Keringat membanjiri pelipisnya, membasahi rambut hitamnya yang lepek. Tangan-tangan perawat berusaha menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh, sementara Bi Sumi terisak di sudut ruangan, memanjatkan doa-doa.Dika menepis ponselnya, menatap Dokter Budi dengan mata menyala. “Apa yang terjadi? Kenapa dia begini?” Suaranya serak, penuh ketakutan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.“Suhu tubuhnya tidak juga turun, Tuan. Bahkan makin naik. Kejangnya akibat demam tinggi yang tidak terkontrol,” jelas Dokter Budi, tangannya dengan cekatan menyuntikkan sesuatu ke selang infus. “Kami sudah memberikan obat penurun panas dan penenang, tapi respons tubuhnya sangat lambat.”“Lakukan sesuatu! Jangan biarkan ia begini!”
—seperti suara retakan di dasar kolam kaca yang rapuh, lalu sebuah hentakan. Tubuh Aruna jatuh lunglai ke depan, kepalanya terantuk meja samping ranjang dengan suara tumpul yang memilukan. “Nona Aruna!” pekik Bi Sumi, berlari mendekat dengan wajah pucat pasi. Ia melihat darah yang mengalir dari sudut bibir Aruna, dan matanya langsung berkaca-kaca. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?” “Panggil dokter! Cepat, Bi! Panggil mereka!” perintah Dika, suaranya serak karena ketakutan. Ia mendekatkan telinganya ke dada Aruna, mencoba mendengar detak jantung yang terasa sangat lemah. “Dia… dia tidak bernapas.” Bi Sumi tidak menunggu dua kali. Ia segera berlari ke luar kamar, berteriak memanggil tim medis yang memang sudah disiagakan di apartemen. Dalam hitungan detik, Dokter Budi dan dua perawat bergegas masuk, membawa peralatan darurat. “Cepat! Pasien kolaps!” Dokter Budi berseru, wajahnya tegang. Ia segera menyuruh Dika minggir, lalu dengan sigap memeriksa Aruna. Alat pendengar ditempelkan ke
“Aruna!” pekik Dika, suaranya parau. Kepanikan yang selama ini ia coba tutupi akhirnya pecah. Ia memeluk tubuh ringkih Aruna lebih erat, gemetar, merasakan detak jantungnya sendiri berpacu gila-gilaan. Pintu rumah sakit terbuka dengan tiba-tiba, dan perawat serta seorang dokter sudah siap dengan brankar.“Cepat! Pasien pendarahan!” perintah dokter yang mendampingi mereka dari mansion, suaranya tegang.Dika melepaskan Aruna dengan hati-hati, menyerahkannya kepada para tenaga medis. Ia melihat selang-selang infus segera dipasang, monitor-monitor dihidupkan, dan Aruna digulirkan masuk ke lorong yang dingin. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, dan noda darah yang kini memenuhi bantal brankar adalah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.“Dika, bagaimana Aruna?” Widya, yang menyusul kemudian bersama Bi Sumi dan Bima, bertanya, suaranya bergetar. Ia meraih lengan putranya, merasakan dingin yang menjalar dari tubuh Dika.Dika hanya bisa menggeleng. “Dia… dia muntah darah l
…Dika merasakan sentuhan di tangan Aruna dan saat ia mendongak, matanya melebar melihat cairan kental berwarna merah kehitaman menyembur dari bibirnya, mengotori bantal putih. Alarm detak jantung itu kini berteriak lebih nyaring, seolah meratapi pemandangan mengerikan di depan mereka.“Dika!” Bi Sumi menjerit tertahan, kedua tangannya menutup mulut, matanya terbelalak penuh horor. Bima, yang baru saja menerima panggilan telepon, segera menjatuhkan ponselnya, beralih pada Aruna dengan ekspresi tak percaya.“Panggil dokter lain, Bima! Sekarang!” perintah Dika, suaranya menggelegar, penuh otoritas yang tak terbantahkan, memecah kepanikan. Ia meraih Aruna, berusaha mengangkat tubuh gadis itu agar tidak tersedak, namun kekuatannya terasa tak berdaya menghadapi tubuh yang kini bergetar hebat. “Dia butuh rumah sakit!”Bima mengangguk cepat, tangannya bergerak sigap mengambil kembali ponselnya. “Sudah dalam perjalanan, Tuan. Tapi sepertinya dokter pertama kita akan tiba lebih dulu. Saya sudah
Jika saja ia punya waktu sedikit lebih lama…Aruna merasakan denyutan di pelipisnya semakin kuat, seolah ada palu godam menghantam otaknya. Kata "Larasati.docx" berputar-putar dalam kepalanya yang panas, bercampur dengan wajah Indrawan yang dingin dan tatapan Dika yang menusuk. Suara Bi Sumi yang lembut tadi sudah tidak terdengar, hanya meninggalkan keheningan yang mencekam, diselingi desah napasnya yang berat dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah sensasi menggigil yang aneh menjalari tubuhnya, meski keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.Beberapa jam berlalu seperti kabut. Ketika ia membuka mata lagi, ruangan kamar terasa asing. Langit-langit putih, tirai sutra yang berkibar samar ditiup pendingin ruangan, semuanya tampak mengambang dalam pandangannya yang kabur. Ia tahu Dika ada di sana, di suatu tempat di rumah ini, namun pria itu tidak pernah menampakkan diri. Kebekuan Dika terasa begitu nyata, bahkan menembus selimut tebal yang menutupi tubuhnya. “Dia peduli dengan cara







