Home / Romansa / Belenggu Hasrat CEO / 3. Teka-Teki GA

Share

3. Teka-Teki GA

Author: Siska Cahaya
last update Last Updated: 2024-12-05 09:34:38

"Masyaallah, tentu boleh, Sayaaang," jawab Malini tersenyum.

"Aku mandi dulu. Umma tunggu aku," kata Hafsah.

Malini mengangguk dan Hafsah menuju ke kamarnya. Gadis itu mandi dan mencoba menghanyutkan masalahnya bersama air yang turun dari tubuhnya. Usai mandi Hafsah kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian di sana. Mata indah itu tertegun melihat satu set gamis lengkap dengan cadarnya. Tangannya gemetar menyentuh baju dalam yang telah beberapa kali Malini meminta Hafsah memakainya.

"Sebagai perempuan kita wajib menutup aurat. Semakin tertutup aurat kita semakin mahal dan berakhlak pribadi seorang perempuan. Malu jika sudah berjilbab masih melakukan dosa. Malu sama jilbab jika masih tak beribadah padahal Allah sudah amat baik memberikan kesehatan dan kecantikan pada kita. Berlian harus ditutup agar tak terlihat murahan."

Ucapan Malini seketika melintas di benaknya. Sering kali dia meminta Hafsah menutup aurat demi keselamatan dirinya. Keselamatan dari pandangan lelaki dan api neraka. Namun, kala itu Hafsah merasa belum siap. Dia hanya tersenyum.

Kini, dia merasa hina dan berdosa karena telah menginjakkan kaki di tempat haram itu. Perlahan dia mengambil gamis lalu memakainya. Perempuan itu mematut diri di cermin besar menatap dirinya yang tertutup secara sempurna. Bahkan jilbab instan itu tampak cantik membingkai wajahnya yang ayu. Merasa cantik, Hafsah meraih cadar dan memakainya. Sejenak dia lupa akan kesedihannya. Dia menikmati penampilan terbarunya seraya berputar-putar di depan cermin.

Malini yang cemas akan Hafsah yang tak kunjung keluar menyusul ke kamar. Perempuan itu tertegun menatap Hafsah yang sedang membetulkan cadarnya.

"Masyaallah masyaallah masyaallah!" Puji Malini mempercepat langkah lalu memutar tubuh Hafsah yang langsung menunduk malu.

"Umma aku malu," rengeknya manja.

"Berlian secantik ini kenapa malu? Hm?" tanya Malini mengusap kepala yang sudah tertutup jilbab itu.

"Cocok gak?" tanyanya lagi merasa takut ditertawakan.

Malini mengangkat dua jempolnya lalu mencium kening Hafsah.

"Harus selalu seperti ini agar kamu bahagia. Percayalah Hafsah ... jika hati kamu ikhlas dalam menjalani cobaan ini maka kamu akan naik level. Berdoalah minta sama Allah. Apa pun itu minta sama yang menciptakan kamu maka tiada yang tidak mungkin bagi-NYA," jelas Malini tersenyum senang.

Hafsah mengangguk lalu menuju mushalla kecil di dalam rumah Malini. Keduanya salat subuh lalu mengaji. Malini terus memberikan pencerahan dan dukungan agar Hafsah tak patah semangat dalam berjuang. Apalagi saat ini, gadis itu tampak semakin cantik dengan cadarnya.

***

"Bagaimana gadis itu?" tanya Maher menatap anak buahnya.

"Dia di kantor polisi, Tuan," jawabnya menunduk.

"Hanya itu?" Maher menatap tajam. 

Lelaki di hadapannya mengangguk sambil menunduk membuat Maher geram melayangkan pukulan hingga mereka terjungkal tanpa perlawanan. 

"Cari tahu asal usul gadis itu! Cari tahu segalanya tentang dia!" titahnya dengan rahang mengeras dan napas memburu.

Tanpa menunggu perintah selanjutnya mereka gegas keluar dari rumah mewah Maher dan berpencar mencari tahu siapa gadis yang telah berhasil membuat tuan mereka kalang kabut hingga nekat meloncat dari lantai lima tanpa perlindungan.

Maher mengusap kasar wajah lalu memukul angin dengan kesal. Dilemparnya kemeja dan sepatu ke sembarang arah untuk mengurangi rasa kesal dan kecewanya.

"Bagaimanapun aku harus menemukan gadis itu dan membuat perhitungan dengannya. Sial! Sial sekali dia membangunkan sesuatu yang tak seharusnya tapi tak bisa lelap setelah itu!" ujarnya seorang diri lalu menjatuhkan tubuh ke sofa di ruang tengah rumahnya.

Pikirannya melayang dengan mata terpejam. Bayangan gadis yang seperti tak biasa itu menganggu ketenangannya. Gadis yang seperti mempunyai sesuatu hal yang berbeda dari gadis lain. Sangat istimewa. 

Sementara gadis yang tengah di cari sedang mendapatkan pujian dan pelukan dari Malini. Aryan yang baru saja bangun tertegun menatap perempuan yang tampak berbeda dari semalam. 

"Hafsah?" Aryan menyentuh dada merasakan sesuatu di sana.

"Alhamdulillah Hafsah menutup auratnya. Doakan dia Istiqomah dan selalu berada dalam lindungan orang yang baik," kata Malini menatap Aryan yang tak bisa berkata-kata.

"Umma, aku mau pulang ke apartemen saja. Siang ini aku ada pekerjaan jadi harus ada persiapan," jelas Hafsah.

"Aku antar," ujar Aryan gugup dan Malini mengangguk.

Hafsah diantar pulang oleh Aryan tanpa bicara sepatah kata pun. Mendadak Aryan hilang kewarasan dan konsentrasi saat bersama Hafsah yang baru. Hafsah pun merasa terjaga dan terpelihara dengan pakaian barunya.

"Aryan, terima kasih telah mengantarkan aku," ujarnya saat mereka tiba.

Aryan mengangguk tersenyum. Matanya gugup menatap Hafsah tapi lirikannya tak lepas dari gadis itu.

"Kamu cantik, Hafsah!" balas Aryan.

Hafsah mengangguk lalu turun dari mobil. Setelah itu gegas menuju apartemennya dan memperlihatkan kartu pengenal pada pihak apartemen.

Setelah itu masuk ke apartemen lalu menuju kamarnya. Dia teringat ibunya dan sangat merinduakannya. Hafsah tak patah semangat, sebagai seorang anak tentu saja dia tak bisa membenci Hayati. Meski sudah tahu jawabannya dia tetap menelepon Hayati dengan jantung berdebar 

"Kenapa? Apa lagi yang akan kamu ceritakan dari perjalanan hidupmu yang tidak penting," jawab Hayati tanpa menyapa sang anak saat panggilan telepon tersambung.

"Mama aku rindu," jelas Hafsah menahan tangis.

"Tapi aku sangat membencimu! Kamu anak yang tidak pernah aku harapkan lahir dari lelaki yang bukan suamiku! Kamu tahu itu, Hafsah? Kamu anak pembawa sial dalam keluargaku!" ucap Hayati tanpa ragu.

Air mata itu selalu lolos saat hatinya di banting oleh sang ibu. Dia ingin membantahnya tapi mulai terngiang nasihat Malini padanya. akhirnya dia hanya menarik napas sambil istighfar.

"Maafkan aku, Mama. Aku telah hadir tanpa persetujuan Mama. Aku ada di antara Mama dan papa sebab kekhilafan itu. Maafkan aku telah jadi penyebab kehancuran hubungan Mama dan papa. Tapi sebelum itu katakan padaku siapa ayahku jika suamimu bukanlah ayahku." Hafsah meremas bantal dengan kuat.

Hayati tertegun mendengar pertanyaan dari putrinya. Bayangan itu kembali membuat darahnya mendidih hingga meremas file di hadapannya.

"Mama?" panggil Hafsah lebih lemah.

"Dia pengusaha kaya asal Kalimantan. Sekarang aku gak tahu dia di mana dan bagaimana. Carilah pengusaha berinisial GA. Kamu akan tahu bahwa kamu benar-benar tidak berguna dan hanya jadi benalu di Martadinata saja," jelas Hayati lalu mematikan telepon.

"GA? Teka teki apa ini? Ya Allah," isak Hafsah menangis tersedu membayangkan kehidupannya yang pahit.

Hafsah membuka laptop dan mencari nama pengusaha asal Kalimantan dengan inisial GA. Tangannya lincah menari kesana kemari mencari nama yang diinginkan. Hingga jemari itu terhenti pada sosok nama Gilang Andari.

"Mungkinkah?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Hasrat CEO    80. akhir sebuah keputusan

    Adnan terjaga karena dering ponsel yang begitu nyaring di sisinya. Lelaki itu masih di apartemen lama milik Maher, dia bangkit dan menatap layar dengan mengusap mata, mengusap dan berjalan ke jendela menyibak tirai, membiarkan cahaya masuk menyinari kamarnya."Ada apa?" tanyanya menatap langit biru."Perempuan itu kabur, Boss!" ungkap anak buahnya."Apa!" Adnan terperanjat dan berpaling dengan cepat, "bagaimana bisa!" "Tiba-tiba ada asap setelah itu kami semua pingsan. Saya memeriksa botol yang dilempar ternyata asap bius, Boss. Perempuan itu kabur saat kami pingsan," jelasnya."Cari Lavina! Temukan dia atau sesuatu yang buruk akan terjadi!" Adnan mengusap wajah dengan kasar."Baik, Boss!"Adnan duduk dengan cemas tapi otaknya terus berpikir. Lavina bukan gadis lemah seperti yang Maher pikirkan. Lavina bukan gadis lima tahun lalu yang begitu mengharapkan dan siap mati untuknya. Sekarang ada seseorang yang membantunya untuk balas dendam."Bagaimana cara memberitahu, Tuan. Apa kutelep

  • Belenggu Hasrat CEO    79. Cinta Yang Hilang

    "Maher," rengek Hafsah mendadak mendayukan suaranya."Ah, merduanya suara itu menyebut namaku." Maher menyentuh dada dan memejamkan mata sambil tersenyum membuat Hafsah tersipu malu."Mandilah!" titah Hafsah sambil menyodorkan handuk baru ke hadapan suaminya.Maher menarik pergelangan tangan Hafsah hingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki tinggi putih itu. Hafsah terkesiap dan langsung memeluk Maher karena takut jatuh membuat Hafsah memejamkan mata. "Maher." Hafsah berusaha melepaskan dekapan suaminya tapi Maher tetap mempertahannya."Aku selalu menggenggam angin saat Hanan memelukmu. Berharap waktu cepat berlalu dan tiba di mana aku dan kamu halal. Kini ... aku akan selalu memelukmu. Tidak akan kubiarkan Hanan memelukmu," katanya dengan tegas."Dia kakakku," kekeh Hafsah membuat Maher mengangkat wajahnya."Aku tahu," katanya tersenyum, "tapi aku akan balas dendam padanya. Tenang saja aku sudah mengundang Hanan dan oma untuk makan siang. Sekalian perkenalan rumah baru kita.""Ma

  • Belenggu Hasrat CEO    78. Kekaguman Maher

    Suara desir angin dari balkon bertiup samar hingga menggoyangkan tirai. Menyebarkan wangi dari aroma lilin yang berkelip manja di sudut ruangan."Malam ini ... aku Rajanya," bisik Maher, suaranya terdengar rendah tapi cukup menggema di ruangan yang hanya ada mereka saja.Hafsah merasakan jemari Maher menyentuh pundaknya. Menariknya dalam kehangatan yang belum pernah dirasakan selama ini. Hafsah menahan napas saat Maher mengikis jarak antara mereka. Hafsah hanya bisa diam, tidak bisa melawan"Aku membelenggumu dengan cinta dan kesetiaan, Hafsah. Malam ini dan seterusnya aku dan kamu menjadi kita. Aku akan menjadi pelindung dan penjagamu, Istriku. Aku akan selalu menjadi garda terdepan dalam hidupmu," bisiknya seperti mantra yang mengalun indah sekaligus membunuh keberanian Hafsah untuk menatap suaminya.Hafsah menunduk dan membeku saat bayangan Maher tertangkap di mata indahnya. Napasnya berembus di permukaan kulit membuat bulu kuduknya berdiri. Hafsah ingin lari saja tapi kakinya sepe

  • Belenggu Hasrat CEO    77. Gadis malam itu

    Langkah kaki Maher mendekat menyongsong Hafsah yang masih menatap dalam diam. Hafsah menoleh dan langsung panik saat melihat Maher berdiri di depannya dengan sorot mata penuh kelembutan dan cinta. Menatap tersenyum.Hafsah menunduk dengan meremas jemarinya. Dia merasa gugup saat tangan besar itu menarik jemarinya yang lentik. Hafsah menoleh ke samping saat Maher menariknya lebih ketengah. Menampakkan Hafsah seutuhnya di antara cahaya lilin yang berkelip tertiup angin.Maher menatap Hafsah dengan mata menyipit. Dadanya berdegup lebih kencang dan kakinya gemetar. "Hafsah, kamu?" Maher menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu mengangkat dagu istrinya agar lebih tegap lagi."Aku tidak percaya ini, Hafsah?" ujar Maher mengitari Hafsah dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikannya.Tampilan Hafsah mirip dengan malam itu. Malam di mana dia berani duduk dipangkuan Maher dengan rambut panjang dan dress yang lebih pendek meski yang dipakai saat ini lebih pendek da

  • Belenggu Hasrat CEO    76. Sebuah Hubungan Yang Halal

    Aryan mengumpat kesal karena panggilannya diabaikan. Aryan masuk ke dalam mobil dan menatap layar ponsel yang masih menampilkan notifikasi panggilan telepon yang diabaikan oleh Maher. Tak patah semangat, dia kembali menekan nomor Maher dengan cemas tapi juga kesal.Aryan merasa kesal dan kecewa. Dia tidak mengerti mengapa Maher mengabaikan panggilan telepon darinya. Apakah dia tidak ingin berbicara dengan aku? Apakah dia tidak peduli dengan perasaanku?Aryan memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada lelaki yang tengah tersenyum bahagia menyambut kedatangan Hafsah pasca dirinya usai mengucapkan ijab kabul. Aryan berharap dia akan membalas dan menjelaskan mengapa dia mengabaikan panggilannya.Tapi Adnan hanya diam menyimpan ponsel di saku jasnya."Tidak apa-apa, Oma. Aku hanya ingin tahu mengapa kamu tidak menjawab panggilanku," tulisnya lalu mengirimkan pesan kepada Maher.Tapi hingga beberapa jam kemudian, lelaki yang dipanggil Oma atau Om Maher itu masih belum membalas pesan darin

  • Belenggu Hasrat CEO    75. kenapa harus Maher

    Hafsah mengangguk dengan menggigit bibirnya. Bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi malam ini. Maher melepaskan jarum pengait di kerudung Hafsah. Satu persatu dengan pelan tangan itu menarik jarum dan meletakkan ditempat khusus di meja rias yang telah dipenuhi bedak milik Hafsah.Azan ashar berkumandang membuat Hafsah secara reflek menghentikan pergerakan tangan Maher."Kita salat dulu," katanya menatap suaminya."Sendiri-sendiri dulu ya. Aku merasa belum pas takut salah," jelas Maher."Pelan-pelan kita belajar bareng. Gak papa kita coba," ajak Hafsah meyakinkan suaminya yang mengangguk juga pada akhirnya."Tapi mukenaku," bisik Hafsah menyadari dia tidak datang dengan membawa satu barang apa pun.Maher mengusap pipi itu untuk pertama kalinya membuat Hafsah membeku merasakan sesuatu dalam dirinya mengalir lebih cepat. Lelaki itu melangkah menuju walk-in closet. Tak lama dia kembali dengan mukena putih di tangannya."Ini," katanya menyodorkan kehadapan Hafsah, "pakailah!

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status