[Cari siapa pemilik nomor ini segera. Lalu tangkap dan interogasi dia!]***Usai mengirimkan pesan berupa sederet kalimat perintah kepada bawahannya, Rafka masih belum menaruh kembali alat komunikasi milik Mika.Pria itu masih terdiam, dengan manik biru kristalnya yang mengamati dengan lekat ponsel yang sedang berada di dalam genggamannya. Berulang kali ia membaca pesan ancaman untuk Mika, yang kemungkinan besar telah membuktikan bahwa si pengirim adalah orang yang sama dengan pelaku penusukan Ervan Dewandaru. Lalu kenapa Mika malah merahasiakan semua ini? Seharusnya tadi Mika bisa melaporkannya saat mereka sedang berada di kantor polisi!Rafka juga membaca kembali beberapa pesan sebelumnya yang masuk di ponsel Mika, dan ternyata beddebah yang mengancam mantan istrinya itu juga pernah mengirim satu pesan ancaman sebelumnya. Dengan waktu di pagi hari tadi, setelah ia pergi dari apartemen Mika, dan sebelum peristiwa Ervan terjadi. Hal ini tak pelak membuat pikiran Rafka pun teringa
"Mungkin Mika sedang di jalan, Van." Yuna tersenyum ke arah calon adik iparnya yang bebaring di atas brankar rumah sakit.Meskipun senyum menghias wajahnya, wanita yang juga adalah kakak tiri Mika itu sesungguhnya sejak tadi tak hentinya mengutuk adiknya yang tak menjawab telepon dan pesan darinya.Ia baru mengetahui tentang peristiwa naas yang menimpa Ervan setelah pria itu sendirilah yang meneleponnya, karena mencari keberadaan Mika yang mendadak hilang entah kemana.Ervan pun hanya diam tak menjawab. Pikirannya penuh dan kalut hanya memikirkan Mika, setelah mendengar berita bahwa calon istrinya itu dibawa ke kantor polisi. "Sedang di jalan? Jalan mana, Yuna? Jalan ke hotel bersama mantan suaminya?" Semprot Tante Irna sewot. "Ma. Sudah." Ervan menegur ibunya yang sejak tadi tak hentinya bersikap ketus kepada Yuna sejak wanita itu tiba bersama suami dan kedua putrinya yang masih kecil.Topan, suami Yuna, tidak ikut masuk ke dalam kamar rawat Ervan karena bersama anak-anak di bawah
"Kami tidak rujuk, kak." Yuna kembali menatap tajam adiknya selepas Mika mengucapkam kalimatnya. "Jadi kamu ditiduri Rafka tanpa ada kejelasan apa pun pada hubungan kalian, begitu?!" ia berdecih dengan nada mengejek. "Kak Yuna..." "Diam, Mika. Jangan buat aku ingin menampar wajahmu lagi!!" Yuna mendengus kesal melihat adiknya yang selalu saja lemah jika menyangkut segala sesuatu tentang Rafka. Sejak dulu, Mika memang terlalu mencintai Rafka dengan buta. Dan sejak awal, Yuna sudah tidak menyukai Rafka yang angkuh, arogan dan membuat adiknya itu menjauhi Yuna. Berbeda dengan Ervan yang justru banyak membantu keuangan keluarga Yuna, Rafka seolah 'cuek' dan melarang Mika untuk mengiriminya uang. Seringkali dulu Mika sembunyi-sembunyi untuk mentransfer sejumlah uang untuk Yuna, tanpa sepengetahuan Rafka.Lalu tiba-tiba 3 tahun kemudian lelaki brengsek itu membuang Mika begitu saja, tanpa sepeser pun uang di sakunya. Jika Yuna tidak menampung Mika, maka adiknya itu pasti sudah menjadi
Mika terus berlari sejauh kakinya dapat berlari, menjauh dari segala hal yang membuatnya hatinya sakit, serta dari semua orang yang terus saja menyalahkan dirinya. Rafka, Kak Yuna, Tante Irna...Hanya satu orang yang tidak menyalahkannya. Satu orang yang justru dengan mudah memaafkan segala kesalahannya, padahal jelas-jelas Mika telah menghancurkan kepercayaan pria itu dan mencoreng wajahnya dengan berselingkuh di belakangnya.Begitu mudahnya Ervan memberinya maaf, namun sayangnya itu tak semudah Mika yang tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri karena mengkhianati seseorang sebaik Ervan. Pikiran Mika saat ini begitu kalut dan kacau balau, jiwanya pun terguncang hebat bagai kapal yang berusaha bertahan di tengah badai dahsyat.Ia bahkan tak mempedulikan teriakan keras Yuna yang memanggil namanya, juga mengabaikan tatapan penuh kebencian dari Tante Irna yang seolah mengutuk setiap langkah kakinya.Mika tak sanggup. Ia sungguh tak sanggup lagi menanggung perasaan bersalah yang te
"Dimana Mika?"Ruby menatap pria bersurai coklat yang menatapnya tajam, namun ada seberkas cemas yang terlihat dari sorot yang terpancar pada bola mata biru kristal milik Rafka."Dia ada di kamarnya," sahut Ruby, yang lalu menahan lengan Rafka yang hendak berlalu begitu saja begitu mendengar jawaban."Tunggu, Raf. Kita harus bicara dulu sebelum kamu bertemu dengan Mika.""Nanti saja, Ruby. Aku ke kamar dulu." Rafka bermaksud melepas tangan Ruby yang mencengkram lengannya, namun pria itu pun mengernyit heran saat merasakan cengkeraman tangan sahabatnya itu yang malah semakin erat,"Tidak. Kita harus bicara, Raf! Sekarang!" Sergah wanita itu bersikeras dengan nada yang tidak ingin dibantah lagi dan ekspresi Ruby yang serius."Baiklah," ucap Rafka sembari menghela napas pelan. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat bertemu dengan Mika, setelah mendengar berita dari Ruby yang menemukannya berada cukup jauh dari rumah sakit, dan bertemu kembali dengan pria brengsekk yang ternyata sudah keluar dar
"Bagaimana kondisi Mika?" Ruby bertanya kepada Rafka yang baru saja terlihat keluar dari pintu kamarnya. "Dia sedang tidur," sahut pria itu pelan, seolah mengisyaratkan agar Ruby lebih memelankan suaranya. "Oh, syukurlah." Wanita bersurai seleher itu pun sedikit heran melihat bagaimana Mika begitu mudahnya tertidur, setelah ia melihat sendiri kondisi mantan istri Rafka itu sebelumnya.Sebagai seorang psikiater, Ruby tentu tahu seberapa cemas dan terganggunya kondisi kejiwaan Mika. Ruby pun semula ingin membantunya untuk menenangkan diri. Ia bahkan hendak bermaksud memberikan sesi singkat hipnoterapi untuk relaksasi, namun Mika dengan tegas menolaknya.Mika terlihat enggan untuk dibantu, dan Ruby pun tak bisa berbuat banyak jika tidak ada keinginan dari pasien penderita itu sendiri yang ingin mendapatkan pertolongan.Ruby memberikan isyarat kepada Rafka untuk mengikutinya menuju ke arah ruang santai. Sebenarnya ia agak penasaran dengan apa yang terjadi di dalam sana."Okay, now spil
"Bisa nggak sih, kita berangkat sekarang??" Pertanyaan bernada dipenuhi gerutuan itu membuat dua insan yang sedang bercumbu pun seketika menghentikan aktivitasnya.Atau mungkin, sang wanita saja yang berusaha untuk berhenti dengan menarik bibirnya, namun sayangnya sang pria tak ingin membiarkan benda lezat yang sedang ia pagut berlalu begitu saja."Jangan pedulikan Ruby," bisik Rafka di atas bibir Mika yang basah dan lembab karena ciumannya. "Dia cuma iri." "Raf... sudah." Mika menaruh telunjuknya di bibir Rafka sambil menggeleng pelan. "Kamu dan Ruby mau memang mau pergi kan?" Rafka mendesah kesal dan beranjak duduk dari posisinya yang semula telungkup di atas tubuh Mika di sofa. Ia dan Ruby memang hendak pergi bersama untuk menyelidiki tentang pembebasan Dio yang lebih cepat dari masa tahanannya. Sembari menunggu Ruby yang tadi masih memberi sesi konsultasi dengan salah satu pasiennya melalui telepon, Rafka pun menggunakan kesempatan itu untuk merebahkan tubuh Mika di atas sofa
Sepasang insan manusia itu terlihat asyik berbincang di dalam mobil, terkadang membicarakan hal-hal random dan terkadang membicarakan kehidupan mereka selama tiga tahun terakhir.Terkadang juga gelak tawa dan canda ikut mewarnai udara di sekitar mereka, menghangatkan sepasang hati yang kini tengah penuh oleh bahagia.Dengan jemari yang saling bertaut erat, sesekali si wanita pun merebahkan kepalanya dengan manja di bahu kokoh sang pria yang sedang menyetir. Yang kemudian dibalas dengan kecupan singkat namun manis dialamatkan ke jemari lentik yang berada di dalam genggamannya."Hari ini kamu nggak kerja?" Suara lembut yang bertanya berpadu dengan sentuhan di kancing kemejanya, membuat sang pria kembali tersenyum. Menikmati bagaimana wanitanya bersikap manis dan menggemaskan."Aku masih cuti," sahutnya sambil mengecup surai hitam berkilat itu. "Oh ya? Sampai kapan?""Entahlah, aku masih belum ingin kembali bekerja di kantor. Rasanya membosanka. Mungkin aku mengajukan resign dan melamar