"Halo."
"Halo, Mika. Apa acaranya sudah selesai?"Mika tersenyum saat mendengar suara familier yang menyapanya lembut melalui sambungan telepon selular."Ya, ini baru saja selesai dan sekarang aku sedang bersiap untuk pulang. ""Lalu bagaimana tadi? Semuanya lancar? Apa ada kendala?""Syukurlah semuanya aman, Van. Sekarang hanya bisa berdoa saja semoga besok Dazzle mendapatkan ulasan positif dari media dan publik.""That's great, Mika. Aku senang sekali mendengarnya. Aku sangat yakin Dazzle akan mendapat pujian. Kamu sudah bekerja sangat keras, dan gaun hasil rancanganmu juga sangat indah," puji Ervan sembari menghela napas berat sesudahnya."Aku menyesal sekali tidak bisa hadir di sana untuk menemani kamu. Maaf ya?"Mika tertawa kecil. "Tidak masalah, Van. Tidak usah dipikirkan. Oh iya, gimana perkembangan kasusnya? Sudah ada titik terang?"Selanjutnya Mika mendengar Ervan yang bercerita tentang kasus suap di sebuah Departemen Pemerintahan yang sedang ia tangani tuntutannya.Sebenarnya ia tidak mengerti sebagian besar hal-hal mengenai hukum, namun Mika tetap mendengarkan Ervan dengan penuh perhatian sembari sesekali menanggapinya. Ervan adalah tipe pria yang ceria, penuh semangat dan pekerja keras.Mika bertemu dengan Ervan Dewandaru di sebuah acara reuni SMU-nya, dan Ervan adalah kakak kelas Mika.Berita perceraian antara Mika dan Rafka telah menjadi hot topic yang sangat santer di kalangan almamaternya, bahkan tak sedikit yang mencibir Mika di acara reuni itu karena rumah tangganya yang hanya bertahan setahun.Ervan mendekatinya selama acara berlangsung hingga akhirnya pria itu berhasil juga mengajak Mika berbicara, meskipun awalnya wanita itu terlihat enggan.Ervan yang periang dan ramah mampu membuat Mika sedikit mengendurkan benteng dirinya yang terbentuk karena sifatnya yang introvert. Dan benteng itu pun bahkan semakin tinggi setelah perceraiannya.Mika hanya sangat bersyukur karena penyebab utama Rafka menceraikan dirinya tidak diketahui oleh wartawan dan publik, sehingga nama baiknya pun tidak hancur.Rafka hanya menggunakan 'ketidakcocokan' sebagai alasannya untuk menggugat cerai dirinya.Entahlah, Mika mengira bahwa mungkin ada campur tangan Rafka untuk meredam berita memalukan tentang mantan istrinya yang kepergok satu ranjang dengan lelaki lain tidak menjadi santapan masyarakat.Tidak, Mika tidak pernah mengira kalau Rafka melakukan itu untuk dirinya.Tapi Mika yakin bahwa alasannya adalah karena pria itu tidak ingin reputasi perusahaan e-commerce Shootingstar milik Rafka ikut terkena imbas dari berita itu.Mika masih asyik bertelepon dengan tunangannya itu sambil berjalan menuju ke bagian parkiran basement, menuju ke posisi dimana mobilnya terparkir."Van, aku sudah sampai di mobil," ucap Mika sembari membuka pintu mobilnya. "Sudah dulu ya? Nanti sesampainya di apartemen, aku telepon kamu.""Okay. Hati-hati di jalan, Mika. Aku akan tungguin telepon dari kamu.""Iya. Kamu juga jangan bekerja terus, ini sudah larut malam, Van. Istirahat ya?""Okay, Sayang. Karena calon istriku yang meminta, kalau begitu pekerjaanku akan dilanjutkan besok saja," gurau Ervan sembari terkekeh pelan, merasa senang karena mendapatkan perhatian dari Mika.Mika pun ikut tersenyum mendengarnya. Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, dan pernikahannya dengan Ervan akan dilaksanakan dalam tiga bulan. Meskipun waktunya sebentar lagi, namun semua persiapan hampir rampung sekitar 80%.Lagipula, Mika meminta pesta yang sederhana saja mengingat ini adalah pernikahan kedua bagi wanita itu meskipun yang pertama untuk Ervan.Cukup dilaksanakan di KUA, lalu syukuran kecil-kecilan di rumah Ervan dengan mengundang keluarga dan beberapa kolega terdekat saja.Syukurlah baik Ervan maupun keluarga lelaki itu mau mengerti dirinya, yang merasa tak pantas untuk menghamburkan uang calon suaminya untuk hal yang tidak terlalu perlu.Ervan adalah seorang PNS yang berprofesi sebagai Jaksa Penyidik di Kantor Kejaksaan Negeri.Dan meskipun calon suaminya itu memiliki gaji dan tunjangan kelas tertinggi, tetap saja Ervan masih harus membiayai ibu dan adiknya yang masih kuliah, terutama setelah ayahnya meninggal dunia.Selain itu Mika juga merasa malu dan rendah diri karena dirinya yang seorang janda cerai, sangat berbanding terbalik dengan Ervan yang belum pernah menikah, memiliki karir cemerlang dan juga tampan.Terkadang Mika pun tidak mengerti entah apa yang dilihat oleh Ervan pada dirinya, padahal ada begitu banyak gadis cantik yang juga menyukai calon suaminya itu.Setelah berpamitan, akhirnya Mika menyudahi panggilan telepon itu.Ia sedang sibuk memasukkan tas besar berisi beberapa contoh kain dan pernak-pernik busana ke bagian kursi penumpang depan, ketika pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sesuatu yang menempel di kaca bagian depan mobilnya.Apa itu?Mika cepat-cepat menaruh semua barangnya, lalu menutup pintu mobil. Kakinya melangkah menuju bagian depan mobil untuk memeriksa. Ternyata benda itu adalah sebuah amplop berwarna biru muda.Mika meraihnya sambil melukis kernyitan mendalam di keningnya, terutama setelah membaca sebuah tulisan rapi di bagian depan amplop biru itu."UNTUK MIKAYLA CARISSA".Meskipun merasa aneh, Mika tetap membuka amplopnya, lalu mengeluarkan secarik kertas putih dengan beberapa baris tulisan di dalamnya. Lalu membaca dalam hati."Aku telah berusaha untuk membunuh rasa cinta ini, namun dia kembali hadir lagi dan lagi. Semakin brutal, membisikkan kekal. Mimpiku adalah memilikimu, dan Dia yang berani merebutmu akan segera musnah, biru dan membeku."Jemari lentik yang memegangi kertas itu kini terlihat gemetar. Dengan jantung yang berdegup kencang, Mika kembali mengulang untuk membaca huruf demi huruf yang membentuk puisi dengan kalimat dengan makna yang membuatnya merasa tidak nyaman.Mika berharap bahwa ia salah baca, walaupun kemudian ternyata ia tidak salah sama sekali.Siapa orang ini sebenarnya?? Mika ingin mengabaikan orang iseng yang mengirimnya surat tidak jelas ini, tapi entah kenapa seketika saja ia merasa merinding.Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya dengan takut-takut. Suasana area parkir di malam hari yang sepi ini semakin membuat Mika menyesali keputusannya sebelumnya yang tidak menggunakan jasa valet parking.Ah, dasar surat kaleng sialan! Membuatnya jadi overthinking saja!Mika berusaha menepis rasa cemas yang mulai menguasai pikirannya. 'Tidak apa-apa, Mika. Jangan takut hanya karena surat tidak jelas dari orang iseng', batinnya dalam hati membisikkan kata-kata yang menguatkan hati.Namun wanita itu tidak menyadari bahwa di sudut area dari balik kegelapan, ada sosok gelap yang berdiri tak jauh dari Mika berdiri.Diam, bersembunyi dan mengamati dengan lekat. Setiap gerakan Mika tak luput dari perhatiannya yang tanpa putus hanya tertuju kepada wanita itu."Kamu masih sangat cantik, Mika..." suara yang pelan itu pun berbisik, melebur dalam tiupan angin yang berhembus perlahan memasuki area parkir mobil.Mika yang masih diam berdiri di tempatnya, tiba-tiba saja mendengar suara langkah kaki dari arah belakangnya.Sontak saja wanita itu pun menoleh, namun maniknya melebar ketika ia menyadari bahwa... tak ada siapa pun di sana."Halo? Apa ada orang di sana??" Mika berucap dengan setengah berteriak ke arah ruang kosong yang gelap minim cahaya.Namun pertanyaan Mika hanya dijawab oleh semilir angin malam yang berhembus dingin menerpa kulitnya, membuat Mika bergidik. Ia mengusap-usap lengan atasnya yang terekspos karena gaunnya yang tanpa lengan."Mungkin hanya perasaanku saja..." guman Mika pelan, setelah meyakini bahwa tak ada seorang pun di sana.Saat ia hendak berjalan ke arah pintu mobil, tiba-tiba terdengar suara deru mesin serta lampu mobil yang terarah kepadanya.Mika pun membalikkan badannya, dan mengernyit saat melihat sebuah Ferarri Stradale berwarna hitam mengkilat yang berhenti tepat di depan dan menghalangi mobilnya."Oh ya ampun~" Mika pun seketika mendesah lelah, saat melihat sosok jangkung dan atletis yang baru saja keluar dari kendaraan supercar itu."Rafka..." desis Mika pelan. Kenapa dia harus bertemu dengan mantan suami yang menyebalkan ini lagi, sih?!"Hai, Mimi." Rafka tersenyum penuh arti, dengan sengaja mengucapkan panggilan sayangnya kepada Mika dahulu kala."Ck. Aku bukan Mimi-mu lagi!" Decak Mika sambil menyipitkan mata, meskipun sesungguhnya ia tak mampu meredakan desir halus di dalam dada.Cara Rafka memanggilnya dengan suaranya yang dalam dan maskulin, telah nengingatkan Mika pada saat mereka sedang... bercinta. Sial.Rafka tertawa kecil ketika melihat wajah cantik mantan istrinya yang merona. Ia memang sengaja memanggil Mika dengan sebutan mesra yang hanya ia ucapkan di momen-momen intim mereka berdua.Pria itu melipat kedua tangan di dada, memandangi Mika. "Ini sudah sangat larut malam, kenapa kamu pulang sendirian?" Tegurnya dengan kedua alis lebatnya yang terangkat ke atas."Kemana calon suamimu itu, hm? Bagaimana bisa Ervan membiarkan calon istrinya pulang sendirian tengah malam begini??"Untuk yang kesekian kalinya Mika kembali menghela napas lelah dan menatap nanar pria yang dulu pernah menjadi suaminya itu."Maumu sebenarnya apa sih, Raf?" desis Mika kesal. "Kenapa kamu... tiba-tiba saja muncul setelah tiga tahun dan menggangguku?! Kenapa kamu tidak terus saja berada di Bern dan tidak usah kembali lagi ke Indonesia?!"Rafka menahan senyumnya melihat kemarahan di wajah Mika, hal yang memang sengaja ia ciptakan.Baru saja ia hendak menyahut hardikan Mika, mendadak pandangannya tertuju ke jemari Mika yang baru ia sadari sedang memegangi kertas putih kecil sejak tadi.Rasa ingin tahunya pun seketika muncul. Rafka berjalan beberapa langkah mendekati Mika, lalu tanpa diduga merampas kertas itu dari tangan Mika."Raf, kembalikan!" Geram Mika gusar. Itu adalah kertas berisi sebaik puisi aneh yang ia temukan di kaca mobilnya.Mika mencoba menggapai kertas itu, namun Rafka malah mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala, terlalu jauh dari jangkauan Mika."Fine! Ambil saja!" Mika yang akhirnya menyerah memutuskan untuk mengalah. Dasar Rafka kekanakkan!Wanita itu pun mengamati ekspresi penuh kemenangan Rafka, yang kemudian perlahan berubah menjadi terkejut saat membaca tulisan di dalam kertas itu."Apa ini, Mika?" Rafka mengacungkan kertas itu ke hadapannya. "Kamu dapat darimana surat kaleng ini?""Tidak penting, Raf. Abaikan saja dan--""Yang aku tanya, kamu dapat dari mana surat kaleng ini, Mikayla Carissa."Mika hanya bisa meringis, saat mendengar nada dingin penuh intimidasi yang merupakan ciri khas Rafka untuk membuat semua makhluk yang ada di depannya menjadi takluk.Pria ini memang memiliki kemampuan itu, kemampuan seorang pemimpin dengan aura CEO-nya yang terpancar begitu deras menguar dari setiap senti kulitnya.Manik sebiru kristal itu memaku wajah Mika hingga ia bahkan tak mampu untuk sekedar berpaling.Mika pun seketika membenci dirinya sendiri, ketika berulang kali ia menyadari bahwa Rafka yang masih saja memberikan efek berdebar di jantungnya.'Sadar, Mika! Jangan lupakan Ervan yang mencintaimu dengan tulus dan akan menjadi suamimu!' batin Mika memperingatkan dirinya sendiri."Surat itu kutemukan di kaca depan mobil," ucap Mika akhirnya. "Mungkin cuma orang iseng. Aku--""Masuk ke dalam mobilku."Mika mendelik mendengar nada perintah tegas itu yang jelas ditujukan kepada dirinya. Enak saja, kenapa pula ia harus masuk ke dalam mobil Rafka?? Memangnya siapa dia??Cuma seorang mantan yang menyebalkan dan rasanya ingin sekali Mika tendang agar kembali ke Bern sana!!"Mika? Tolong jangan membangkang untuk sekali ini. Masuk ke dalam mobilku. Sekarang."Dengan dagu yang terangkat ke atas dan kedua tangan berkacak pinggang, Mika menatap mantan suaminya itu dengan raut menantang."Tidak. Aku tidak ma--RAFKAAA!!" Mika menjerit keras ketika tiba-tiba saja Rafka membopong dirinya di pundak, dengan sangat mudah dan seolah bobot Mika tak ada artinya bagi lelaki itu."Turunkan akuu!!" Mika berusaha berontak ketika Rafka membawanya ke sisi samping Ferarri Stradale two-seated miliknya, tepat di depan sisi penumpang lalu menurunkan Mika di depan pintu yang telah ia buka."Masuk, Mika." Sorot mengancam ketara begitu jelas dari manik biru kristal Rafka."Atau aku akan cium kamu di sini, sekarang juga."***Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,
Perkataan dan sikap provokatif wanita itu adalah hal yang telah membuat kekacauan masif di dalam otak Ervan bagai angin ribut yang memporak-porandakan segalanya menjadi chaos. Yang ada dalam benaknya sekarang hanyalah Ruby, dan bibir berlipstik merahnya yang sensual. Dadanya yang menggiurkan. Kulitnya yang sehalus beledu. Aroma seluruh tubuhnya yang manis sekaligus menggairahkan. Suara kursi yang jatuh berdebam karena Ervan yang berdiri dengan gerakan yang sangat tiba-tiba, membuat Ruby sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian ledakan euforia pun menghampirinya, ketika pria tampan di hadapannya yang mendadak menyergap bibirnya dengan ganas dan penuh gairah. Kedua tangan Ervan terulur untuk menangkap wajah Ruby, memerangkapnya dalam dekapan telapak tangan pria itu yang lebar dan hangat. Lidah Ervan bergerilya dengan liar di dalam mulutnya, yang dibalas oleh Ruby dengan tak kalah bergelora. Ruby mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu, saat satu tangan Ervan berg
"Apa kamu sudah minum obat?" Tanya Ruby sebelum melepaskan dirinya dari pelukan erat Ervan. "Pasti belum, itu sebabnya kamu mengajukan penawaran yang menggelikan itu kan?" Ervan mendengus menahan tawanya, merasa lucu mendengar pertanyaannya yang meledek serta melihat wajah Ruby yang berjengit jijik saat ia mengucapkan kata "Pernikahan". "Kenapa, Ruby? Apa kamu tidak ingin menikah, hm?" "Bukankah aku sudah pernah bilang sejak pertama kali kita tidur bersama, Ervan? Aku bukan tipe wanita yang menyukai berada dalam suatu hubungan!" cetus Ruby tegas. "Lalu bagaimana mungkin kamu bisa mengajukan penawaran pernikahan yang menggelikan itu kepadaku?!" "Well..." Perlahan Ervan menggerakkan jemarinya dari pinggang ramping menyusuri punggung wanita itu, dan berhenti ketika kedua ibu jarinya berada tepat di bawah lekukan dada Ruby. "Kurasa prinsipmu itu harus dipikirkan kembali, Dokter. Kenapa? Apa kamu takut dikekang? Atau tidak ingin dikontrol oleh pria? Alpha-female sepertimu t
BRAAKK!!! Suara pintu yang dibuka dari arah luar itu membuat manik gelap Ervan pun sontak beralih ke sana. Seulas senyum samar pun terlukis di wajahnya, ketika melihat sosok wanita seksi yang tampak sedang kesal membuka pintu kamar rawatnya dengan cara yang bar-bar. "Kamu sudah datang? Hm... tepat waktu sekali," Ervan melirik sekilas jam mahal yang melingkari pergelangannya. Ruby melipat tangannya menyilang di dada, seraya melayangkan tatapan tajam ke arah pria yang masih tampak duduk santai di kursinya itu. Ada laptop yang terbuka di atas meja di depan Ervan, kelihatannya dia sedang bekerja. Tapi... bukankah sekarang waktu sudah hampir tengah malam?? Kenapa Ervan masih berkutat dengan pekerjaan?? Apalagi tubuhnya yang masih belum 100% pulih, seharusnya pria ini lebih banyak beristirahat alih-alih bekerja. Bagaimana pun ia masih menjadi pasien VVIP di rumah sakit ini kan?? 'Lalu kenapa pula aku harus peduli?' rutuk Ruby dalam hati. Biarkan saja jika Ervan ingin bekerja