"Dasar diktator. Tukang paksa. Ancaman kamu norak, Raf!"
Meskipun pelan, namun sebenarnya Rafka dapat mendengar semua rentetan gerutuan mantan istrinya yang sangat jelas ditujukan kepada dirinya, namun ia pun memutuskan untuk mengabaikannya.Sangat wajar sebenarnya jika Mika kesal, karena Rafka yang telah mengancam akan menciumnya jika Mika tidak menurut."Ya, memang norak. Tapi berhasil, kan?" Cetus Rafka sembari menyeringai samar."Terpaksa." Mika menyahut sambil membuang muka ke arah jalanan, mencoba mengusir sisa-sisa desiran halus yang sejak tadi tak jua sirna dari dadanya, karena perkataan mantan suami menyebalkan ini.'Argh, kenapa pula jantungku jadi berdebar tak tahu malu mendengar ancaman itu??'Ia sadar bahwa ia tak seharusnya masih menyimpan nama Arrafka Adhyatama jauh di dalam sana.Rafka sudah membuang dirinya, itulah kenyataan yang terus menerus Mika tanamkan di dalam dirinya, mencoba membangun benteng ego yang seharusnya hadir.Namun tidak, Mika yang begitu bodoh di masa lalu justru semakin mempertontonkan dirinya yang telah bernilai sangat rendah di mata Rafka.Mika pernah memohon, berlutut bahkan bersujud di depan Rafka demi meminta kepercayaan dari pria itu bahwa dirinya tidak pernah berselingkuh.Bahkan batu karang yang paling kokoh sekali pun akan menyerah pada gelombang air, namun tampaknya tak demikian halnya dengan Rafka.Pria itu tak bergeming, tetap pada keputusannya. Tak peduli sekuat apa Mika berusaha untuk membujuknya.Wanita bersurai panjang itu menghela napas dan menghembuskannya dalam sebuah desahan pelan, seolah ingin membuang kenangan pahit yang kini selalu terulang di dalam benaknya sejak bertemu kembali dengan Rafka.Sulit, bagaimana ia bisa melupakan jika orang yang sama kini justru berada di dekatnya?Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil Ferarri Rafka, yang tengah membelah jalanan Jakarta di malam hari yang tak pernah sepi.Pikiran Rafka lagi dan lagi tertuju kepada surat kaleng yang diterima oleh Mika, dan pria itu pun tanpa sadar telah mencengkram setir mobilnya erat-erat saking geramnya.Sial. Tidak seharusnya ia sepeduli ini kepada Mika!Entah sudah berapa ratus malam ia terus mengutuk wanita ini hingga akhirnya terlelap dalam istirahatnya.Entah berapa miliar detik ia mengucapkan kalimat penuh dendam yang telah mengakar hingga jauh ke dalam setiap sudut hatinya.Damned!!Setiap kali memori itu kembali berputar di kepalanya, Rafka merasa seperti ingin membanting sesuatu hingga hancur tak bersisa.Happy ever after like a fairy tale?Rafka bahkan sempat mempercayai kalimat naif itu saat melamar Mika untuk menjadi istrinya, pendamping hidupnya, teman sejati hingga menua.Apakah jatuh cinta pada pandangan pertama itu nyata adanya?Ya, Rafka bahkan juga sempat mempercayai hal konyol itu saat untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Mika yang sangat jelita di matanya.Ia sempat percaya dengan cinta, bahkan percaya dengan hidup bahagia untuk selamanya.Karena ia mengira dengan menjadi suami dari Mikayla Carissa yang cantik, berbakat dan lembut, maka kebahagiaan pun akan selalu mengisi setiap detik dalam usianya.Mika sangat sempurna, dan Rafka pun sangat dalam mencintainya.Hingga akhirnya malam yang terkutuk itu pun terjadi.Ia memergoki istri yang sangat ia cintai dengan sepenuh hati, tengah berada di atas ranjang dengan lelaki lain!"BRENGSEK!!"DDUGG!! DDUGGG!!!Mika pun sontak memekik kaget, saat tak ada angin dan tak ada hujan tiba-tiba saja Rafka berteriak memaki dan memukuli setirnya dengan keras menggunakan salah satu tangannya.Lelaki itu seperti orang yang sedang tak sadar, mengumpat tak jelas lalu kembali menghantam setir Ferarri-nya dengan membabi-buta hingga membuat Mika ketakutan dan menutup telinganya."Stop, Raf. Stooopp..."Meskipun Mika menjerit, tapi Rafka seolah tuli. Ya Tuhan. Kenapa Rafka tiba-tiba mengamuk begini??Apa gara-gara tadi dia menggerutu dan itu membuat Rafka marah?Kalau begini, Mika jadi teringat dengan kejadian 3 tahun yang lalu. Saat ia dijebak dan Rafka malah memergokinya bersama lelaki lain, lalu salah paham pun terjadi.Mika mulai menangis, ia semakin takut jika mantan suaminya itu akan melakukan kekerasan.Meskipun hal itu tidak pernah sekali pun terjadi, namun sorot sedingin es dari manik biru kristal itu kadang membuat Mika membatu.Isakan lirih Mika seketika membuat Rafka tersadar. Pria itu pun berhenti memukuli setir mobilnya sendiri seperti orang kesetanan, dan membuat tangannya terluka dan berdarah.Rafka melirik mantan istrinya yang kini beringsut takut menjauhinya di pintu, sambil menutupi telinga dengan kedua tangan.Namun tangisan Mika semakin membuat Rafka murka.Ia benci, jijik, muak dengan wanita pengkhianat ini!!Tiba-tiba Rafka membanting setirnya ke arah kiri, hingga mobilnya pun seketika berbelok tajam dan membuat Mika terkejut karena pergerakannya yang sangat mendadak.Lalu dengan sama tiba-tibanya pula, mobil itu pun berhenti.Karena tadi Mika bukan hanya menutup telinga tapi juga matanya, maka ia tidak menyadari ke mana sebenarnya arah mobil Rafka menuju.Dan ia pun sangat terkejut saat menyadari bahwa...Rafka ternyata benar-benar mengantarnya ke gedung apartemen milik Mika.Padahal semula dengan kemarahan yang semengerikan itu, Mika mengira Rafka akan menaruh dirinya di lokasi antah berantah dan meninggalkannya di sana sendirian."T-terima kasih," ucap Mika lega, dan diam-diam mengapresiasi pilihan tepat suaminya meski disuarakan dengan gugup.Hening. Tak ada suara yang menyahutnya sama sekali, tapi Mika terlalu takut untuk melirik ke arah pria yang diam tak bergeming di sampingnya.Lalu ketika pintu mobil terbuka secara otomatis, wanita itu pun cepat-cepat turun sebelum Rafka berubah pikiran dan malah menendangnya ke jalanan raya yang dipenuhi padatnya kendaraan.Mika segera berlari masuk ke dalam lobby, tak lagi berkenan dan peduli untuk menoleh ke belakangnya. Dimana Ferarri itu berada.Sungguh, Rafka yang seperti ini bahkan seribu kali jauh lebih mengerikan daripada orang iseng yang mengirimnya surat kaleng!Mika masih ingat bagaimana kelam dan pekatnya manik biru kristal itu saat memukuli lelaki yang telah menjebaknya di malam itu hingga hampir tewas.Rafka bahkan membanting tubuhnya ke atas meja kaca hingga hancur berantakan, lalu melemparnya hingga membentur dinding dengan sangat keras.Mengerikan. Rafka yang itu, sangat mengerikan.Hari yang sudah larut malam membuat situasi di gedung apartemen cukup lengang. Langkah kaki bersepatu heels itu menapak cepat untuk memasuki lift, takut jika pria yang sedang murka itu akan mengejarnya.Bisa saja Mika berteriak meminta tolong kepada Security yang sedang berjaga, namun untuk tipe introvert seperti Mika lebih suka jika tidak menarik banyak perhatian.Tapi tadi sepertinya Rafka tidak turun dari mobilnya, jadi Mika agak merasa lega.Ya ampun.Padahal seharusnya malam ini adalah malam sempurna yang telah ia tunggu kedatangannya, karena untuk pertama kali brand Dazzle miliknya dikenal lebih luas lagi.Dan Mika malah mendapatkan teror dari surat kaleng serta bertemu dengan mantan sakit jiwa!Mika menghela napas lega ketika lift yang ia tuju pun terbuka, lalu tanpa membuang waktu lagi wanita itu cepat-cepat masuk ke dalamnya.Begitu berada di dalam lift, Mika memencet tombol close seperti kesetanan. Berharap pintu ganda dari material besi itu segera menutup sebelum...Mika membelalak dan menutup mulutnya, saat sebuah telapak tangan menyembul dari balik pintu yang sedikit lagi menutup,Tidak. Tolong jangan biarkan itu adalah Rafka yang menyusulnya!Namun manik bening wanita itu pun seketika berkaca-kaca karena takut, ketika melihat sosok yang baru masuk ke dalam lift.Rafka."Apa kamu tidak ingin mengundangku masuk ke dalam apartemenmu, Mimi?"Mika menelan ludahnya yang terasa berat, saat melihat senyum Rafka yang tak terbaca."M-maaf, aku tidak bisa, Raf. Kurasa... kurasa itu bukanlah hal yang pantas." Mika berusaha menjawab dengan nada datar, namun tetap saja tak bisa menyembunyikan gelagapannya.Rafka mengangkat satu alis coklat gelapnya yang lebat dengan gestur bertanya, namun sesungguhnya ingin mencela."Oh? Tidak pantas kenapa, Mika? Karena kamu adalah tunangan dari pria lain, hm?" desisnya dengan suara berat, bersiap untuk melakukan pukulan telak."Bukannya kamu bahkan pernah menjadi seorang istri, tapi malah membiarkan pria lain menaiki ranjangmu kan?"Kalimat itu membuat Mika menggeleng pelan dengan air mata yang mulai bergulir jatuh melintasi pipinya.Cukup.Ia sungguh sudah tidak mampu lagi mendapatkan penghinaan bertubi-tubi seperti yang ia terima 3 tahun yang lalu.Semua kebencian serta raut jijik Rafka yang ditujukan kepadanya, semua sumpah serapah dan makian yang sesungguhnya tak layak ia terima, karena dibalik itu semua sesungguhnya Mika memang tidak tahu apa-apa."Sebenarnya apa maumu, Raf?" bisik Mika dengan manik hitamnya yang telah berkilau oleh air mata putus asa.Ia pun kini hanya bisa menyesali sekali karena tadi tidak meminta tolong kepada security untuk menemaninya ke lantai dimana unitnya berada.Dasar Mika bodoh!!"Aku ingin kamu hancur, Mika. Hancur yang sehancur-hancurnya," jawab Rafka dengan seringai tipis namun licik yang mewarnai wajah tampannya."Tapi aku memang sudah hancur, Raf," sahut Mika lirih. "Aku hancur tepat di saat kamu telah memutuskan untuk bercerai."Dengusan tajam bernada meremehkan seketika menguar dari bibir Rafka."Lalu 3 tahun kemudian kamu telah mendapatkan calon suami baru. Haha. Jadi yang begitu kamu bilang 'hancur'?! Kamu sama sekali tidak mengerti, Mika. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya hancur yang sesungguhnya!!"BRAAAK!!Mika menjerit lalu menutup wajahnya saat Rafka tiba-tiba saja memukul dinding lift di belakangnya, hanya berjarak beberapa senti dari sisi samping kanan kepala wanita itu.Pria itu seolah sudah tak lagi bisa merasakan sakit di tangannya yang sebelumnya telah terluka karena memukuli setir."Mati rasa. Itu, adalah hancur yang sesungguhnya, Mika. Rasa sakit karena hancur itu telah sirna, bahkan jika kamu memotong tanganku, kakiku dan membelah tubuhku. Kamu menjadi mati rasa."Mika merasa tak sanggup lagi menopang tubuh dengan kedua kakinya yang gemetar tak terkendali, di bawah naungan tatapan Rafka yang jauh lebih tajam dari belati.Ia sangat shock. Melihat darah yang membasahi tangan Rafka, melihat besarnya kemurkaan di raut wajahnya, serta betapa semua ini membuat Mika gemetar.Seolah dirinya telah kembali terlontar ke dalam masa-masa paling kelam di dalam hidupnya.Ia telah berjuang untuk tetap survive dari perceraian mendadak yang seketika membuat seluruh dunianya porak-poranda.Tudingan demi tudingan tak berdasar yang kerap kali ia terima, ledekan dan cemoohan dari orang-orang yang lebih percaya kepada Rafka dibandingkan dirinya.Mika bahkan ingat saat seluruh keluarga besar Rafka yang turut membencinya dan segera menjauh serta pura-pura tak mengenalnya pasca perceraian."Kenapa diam, hm?"Percuma saja. Baik dulu maupun sekarang, Rafka masihlah pribadi yang sama yang tak akan pernah mempercayainya, meskipun yang Mika katakan adalah sebuah kebenaran bukan kebohongan."Jawab, Mika."Tatapan tajam Rafka seolah memaku kepala Mika di dinding, membuat wanita itu merasa bagaikan seonggok sampah di hadapan bangunan megah.Lalu masihkan ia dianggap pantas untuk menjawab?"Fine," desis Rafka geram melihat kebungkaman Mika. "Mulutmu memang hanya ditakdirkan untuk satu hal, Mika. Yaitu untuk dianiaya dengan beringas."Mika merasakan sepuluh jemari kokoh bercampur aroma darah tiba-tiba mencengkram sisi kiri dan kanan wajahnya.Lalu sedetik kemudian, bibir Rafka pun datang menyergap, menekan dan memagut bibirnya dengan keras dan menuntut.***Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,