Hidup Aruna berubah sejak perceraian itu. Ia membesarkan putri kecilnya seorang diri, menyembunyikan kenyataan pahit bahwa sang anak menderita sakit jantung bawaan. Saat biaya pengobatan tak lagi mampu ia tanggung, Aruna terpaksa mengetuk pintu masa lalunya—mantan suaminya, Raka. Namun Raka kini bukan lagi miliknya. Pria itu sudah bertunangan dan bersiap menikah. Pertemuan mereka seharusnya hanya sebatas bantuan untuk sang anak, tapi api yang pernah padam kembali menyala. Raka mengajukan syarat yang membuat Aruna terjebak dalam dilema: menyerahkan diri pada hasrat lamanya, atau melihat putrinya kehilangan kesempatan untuk hidup. Mampukah Aruna bertahan menghadapi badai cinta, gairah, dan rahasia yang selama ini ia sembunyikan?
ดูเพิ่มเติม“Nyawa putri Anda akan terancam bila operasi tidak segera dilakukan. Waktu kita tidak banyak, Nyonya Aruna. Jantungnya semakin melemah.”
Dunia seakan runtuh seketika. Suara dokter itu bergaung di telinga Aruna, menusuk jauh hingga ke relung hatinya.
Lututnya terasa goyah seakan tubuhnya tak lagi sanggup menopang beban yang menimpa. Ia berusaha menahan air mata, namun getar suaranya tak bisa ia sembunyikan.
“Dokter … berapa biaya yang dibutuhkan untuk operasi itu?” tanyanya dengan sisa keberanian yang dia miliki, meski hatinya sudah setengah hancur.
“Seratus juta, Nyonya. Begitu Anda membayar biaya administrasinya, kita akan segera lakukan operasi sekarang juga.”
Angka itu terdengar seperti palu godam yang menghantam dadanya. Seratus juta. Jumlah yang tak mungkin dia miliki. Pandangannya buram oleh genangan air mata yang kian deras.
Tabungannya nyaris habis untuk biaya obat dan rawat jalan selama ini. Semua yang dia punya, dari hasil kerja kerasnya, sudah terkuras demi mempertahankan hidup sang buah hati.
Kini, saat harapan benar-benar ada di depan mata, justru tembok besar bernama uang menghalangi langkahnya.
Usia putrinya yang baru empat tahun seakan menjadi pengingat pahit: betapa kejamnya dunia. Bocah sekecil itu harus menanggung penyakit mematikan.
Setiap kali melihat tubuh mungil itu berbaring lemah dengan selang infus menempel di tangan, hati Aruna serasa diremas. Kini, kondisinya semakin memburuk. Operasi adalah satu-satunya jalan.
Aruna menutup wajah dengan kedua tangannya. Suaranya pecah dalam tangis tertahan. Ia sangat takut kehilangan anak semata wayangnya—satu-satunya alasan dia masih bertahan di dunia ini, meski seringkali hidup memberinya luka tanpa jeda.
“Bagaimana, Nyonya? Apakah Anda akan melunasinya sekarang?” tanya dokter itu lagi, nada suaranya tenang tapi mendesak, seolah mengingatkan bahwa waktu benar-benar tidak berpihak pada mereka.
Wanita berusia tiga puluh tahun itu perlahan mengangkat wajahnya. Matanya sembab, penuh luka, namun ada cahaya kecil tekad yang masih bertahan. Ia menatap dokter itu dengan suara parau.
“Saya akan … mengusahakannya, Dokter.”
Kalimat itu lebih seperti janji pada dirinya sendiri daripada sekadar jawaban. Ia kemudian berpamitan dengan dokter, menyembunyikan getaran langkahnya yang hampir menyeret.
Malam itu, Aruna melangkah keluar dari rumah sakit dengan hati yang lebih berat daripada tubuhnya yang letih.
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang yang mengikuti langkah gontainya.
Kakinya menapak tanpa tujuan pasti, hanya dorongan naluri untuk pulang, namun pikirannya terus berkelana.
Ia menggenggam tas kecilnya erat-erat, seakan di dalamnya tersimpan harapan terakhir—padahal yang ada hanyalah dompet kosong dan beberapa lembar uang receh.
“Ke mana aku harus mencari uang sebanyak itu?” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin malam.
“Anakku … aku tidak ingin kehilangannya. Tapi, aku juga tidak punya uang sebanyak itu.”
Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar seperti doa bercampur putus asa. Pikirannya berputar, mencari celah, mencari keajaiban yang mungkin bisa menolong.
Lalu satu nama terlintas begitu saja: bosnya.
Perusahaan tempatnya bekerja baru saja berganti kepemimpinan. Semua karyawan masih meraba-raba siapa sosok pengganti yang kabarnya datang langsung dari pusat.
CEO baru itu terkenal tegas, dingin, bahkan berwibawa. Isu-isu yang beredar di kalangan rekan kerja membuatnya sedikit gentar, namun di balik rasa takut itu, tumbuh secercah harapan.
Jika ada seseorang yang mampu memberinya pinjaman sebesar itu, hanya orang dengan kekuatan sebesar sang CEO.
Aruna menghentikan langkahnya sejenak di trotoar yang masih basah. Ia mendongak ke langit yang mendung, menahan sesak yang ingin meledak.
“Semoga saja … semoga saja CEO baru itu mau meminjamkan uang padaku. Apa pun akan aku lakukan, asalkan dia mau menolongku.”
Matanya terpejam dan membiarkan air mata terakhir jatuh membasahi pipinya. Tekadnya sudah bulat.
Besok pagi, ia akan datang ke kantor. Ia akan merendahkan hati, menanggalkan gengsi, bahkan rela menukar apa pun yang diminta, asalkan anaknya bisa diselamatkan.
**
Keesokan paginya, Aruna bergegas pergi ke kantor. Dengan kemeja putih sederhana dan rambut disanggul rapi, dia mencoba menutup wajah lelahnya.
Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena cemas, tapi juga karena dia tahu dirinya akan merendahkan harga dirinya dan memohon demi anaknya.
Ketika sampai di lobi, suasana kantor terasa berbeda. Karyawan-karyawan tampak tegang, berbisik-bisik, bersiap menyambut kedatangan CEO baru dari pusat. Aruna ikut berdiri di antara kerumunan dan menunduk dengan sopan.
Lalu langkah sepatu berderap. Suara dalam, tegas, terdengar menyapa manajemen.
Dan saat Aruna mendongak … napasnya sontak tercekat saat itu juga. Terkejut bukan main setelah melihat CEO baru yang ternyata adalah mantan suaminya sendiri!
Raka.
Pria itu berdiri di sana, gagah dalam setelan jas hitam, wajahnya dingin dan berwibawa. Mantan suaminya. Lelaki yang dulu dia tinggalkan dengan luka dan rahasia yang tidak pernah dia beri tahu siapa pun—alasan dia memilih untuk berpisah dengan Raka.
“Aruna?”
Langkah Aruna terasa seperti berlari di tengah kabut tebal. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, seolah dunia menindih pundaknya.Begitu pintu ruang tunggu operasi terlihat, dia segera menghampiri sosok Maggie yang duduk gelisah di kursi panjang.“Maggie!” suara Aruna tercekat.Maggie sontak berdiri dan menoleh cepat ke arah Aruna. “Aruna … akhirnya kau datang.”Dia mengusap lengan Aruna dengan pelan. “Operasinya belum selesai. Nayla masih di dalam.”Aruna mengusap dadanya tengah mencoba meredam rasa panik yang kian menyesakkan.“Bagaimana? Apakah dokter bilang sesuatu? Apa ada harapan?” tanyanya dengan nada cemas.Maggie menggeleng lemah. “Belum ada kabar. Mereka masih berusaha sekuat tenaga. Aku hanya bisa berdoa, Aruna.”Aruna menelan ludahnya. Kakinya lemas dan akhirnya duduk di kursi tunggu.Kedua tangannya bergetar menutupi wajahnya. Air mata yang sudah kering itu kembali jatuh.“Semoga operasi anakku berjalan dengan lancar,” bisiknya lirih.Maggie memandanginya dengan tatapan c
Begitu pintu terbuka, tampak seorang wanita muda dengan gaun malam elegan berdiri di depan sana.Wajahnya cantik, tapi kini terhalang oleh amarahnya. Mata tajamnya langsung menatap Raka dengan penuh tuntutan.“Raka!” suaranya nyaring. “Kenapa kau tidak menjawab panggilanku? Sudah berkali-kali aku telepon! Apa yang kau lakukan di dalam sini?!” teriaknya penuh dengan amarah.Raka berdiri santai lalu menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu. “Aku sedang sibuk.”“Sibuk?!” Selina mendengus tak percaya.“Sibuk dengan siapa? Jangan bilang ada orang lain di dalam!” Ia mencoba mendorong pintu, namun Raka cepat-cepat menahan. Tubuhnya yang tegap menjadi penghalang sempurna.“Jangan pernah masuk ke kamarku tanpa izin,” ucapnya dengan nada dingin. “Tidak peduli siapa pun kau.”Selina terbelalak mendengar ucapan Raka. “Tidak peduli siapa pun? Aku ini tunanganmu, Raka! Tunanganmu! Apa kau sudah gila menolak aku masuk?!”Raka menajamkan tatapannya menatap sinis ke arah Selina. “Aku tidak peduli. Aku s
Raka terkekeh dengan suara beratnya. “Aku senang melihatmu memohon seperti ini,” bisiknya kemudian.Aruna menelan ludahnya. Rasanya ingin sekali mengambil alih dan menyentuh pria itu. Namun, dia tahan. Dia sudah sangat hina di hadapan Raka.Jika melakukan itu, Aruna akan semakin kehilangan harga dirinya di hadapan mantan suaminya itu.Raka menjauh dari Aruna dan justru mengambil sebatang di rokok di atas nakas.Aruna berdiri terpaku di dekat ranjang dan tubuhnya masih tegang meski kini Raka menjauh darinya.Sementara Raka bersandar pada kusen pintu balkon dengan sebatang rokok di antara jemarinya meski tak kunjung dia nyalakan.Keheningan itu terlalu panjang.Hingga akhirnya, Raka bersuara lagi. “Katakan padaku, Aruna,” ucapnya dengan nada dinginnya.“Siapa lelaki itu? Yang dulu kau sebut-sebut saat pergi dariku.”Aruna tersentak. Dadanya berdegup kencang begitu Raka membuka topik pembicaraan itu lagi.Ia menunduk dan menatap lantai marmer, tidak berani menatap Raka meski jarak mereka
“Kau … sudah menikah lagi? Tapi, kenapa kau membawaku kemari? Bagaimana perasaan istrimu kalau tahu kau membawa wanita lain ke rumah ini?”Banyak sekali pertanyaan yang Aruna lontarkan pada Raka karena panik dan cemas usai mendengar ucapan Raka tadi.“Aku belum menikah lagi,” katanya singkat.“Masuk,” katanya datar.Aruna menelan ludahnya dan berjalan memasuki rumah megah itu di belakang Raka.Begitu pintu utama terbuka, Aruna langsung terpukau melihat kemegahan rumah itu.Dulu, saat mereka masih menjadi suami-istri, rumah yang mereka tinggali memang cukup besar. Namun, rumah yang kini ditinggali Raka dua kali lipat lebih besar.Langkah kakinya bergema di lorong panjang berlantai marmer putih.Lampu gantung kristal berkilau di langit-langit, sementara dinding dihiasi lukisan-lukisan klasik yang tampak mahal.Aruna berjalan pelan mengikuti Raka yang berjalan beberapa langkah di depannya.Ia memandang sekeliling dengan hati bergetar.‘Pantas saja,’ batinnya berbisik getir. 'Ternyata per
“Tidak di sini. Aku tidak akan mengotori tempat kerjaku hanya untuk menyentuh tubuhmu lagi!”Raka mengambil kunci mobilnya di meja kerjanya dan mengancingkan jas hitamnya.“Ikut aku!” ucapnya dan keluar dari ruangan itu.Aruna mengerutkan kening dan berjalan di belakang Raka. Entah mau dibawa ke mana dirinya, Aruna tidak ingin bertanya, tapi sebenarnya penasaran.“Masuk,” titah Raka begitu mereka tiba di basement.Aruna menoleh sebentar ke arah Raka sebelum masuk ke dalam mobil sedan hitam milik pria itu.Napas panjang dia tarik sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil tanpa banyak kata.Begitu pintu tertutup, suara mesinnya bergemuruh dan membawa mereka meluncur ke jalanan yang tampak sepi.Hening.Hanya suara ban melibas aspal basah dan dentuman halus musik klasik dari radio mobil. Raka menyetir dengan tatapan lurus ke depan, seolah Aruna tak ada di kursi sampingnya.Aruna menggenggam erat pangkuannya, jari-jarinya saling mengait. Perutnya terasa mual oleh gugup. Ia ingin bicara, tapi
Aruna bergegas pergi ke bank untuk mencairkan uang yang sudah diberikan oleh Raka. Awalnya dia ingin menulis dua ratus juta, sebagian untuk biaya perawatan anaknya.Namun, dia urungkan. Aruna tetap menuliskan nominal sesuai dengan keperluannya saja.Setelah beberapa menit berlalu, uang sudah ada di tangannya. Dia bergegas kembali ke rumah sakit untuk segera membayar administrasi biaya operasi sang anak.Hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja dia sudah sampai di sana. Aruna langsung membayar secara tunai uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.“Tolong, segera atur jadwal operasi anak saya,” pinta Aruna dengan nada memohon.Pelayan rumah sakit langsung mengangguk dan segera mengurus segala berkas yang diperlukan.Aruna menunggu dengan cemas di kursi tunggu. Kedua tangannya menggenggam erat tas kecil yang kini terasa begitu berat, seolah menyimpan seluruh harapannya.Sesekali dia melirik ke arah ruang perawatan anaknya. Dari balik kaca, terlihat tubuh mungil yang masih terbaring
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น