Sepasang manik hijau tengah mematri cairan kuning pekat di dalam gelas kristal. Tampak rahangnya mengencang ketika dalam kepalanya terngiang ucapan seorang dokter.
‘Jika dihitung dari tanggal HPHT, sepertinya usia kehamilan Anda, enam minggu. Namun, untuk lebih memastikannya, Tuan dan Nyonya bisa segera ke dokter kandungan. Mereka bisa melakukan tes USG untuk memastikan usia kandungan dengan akurat.’
Decihan halus samar terdengar keluar dari bibir pria beradarah Archer itu. Ia kembali menegak minuman dalam gelasnya.
TAK
Dentuman gelas kristal yang mendarat kasar di atas meja menggema hingga ke seantero bar exlusive di Milan ini.
Suasana yang cukup hening membuat Kenedict terbawa dalam khayalan tak berujung. Hembusan napas kasar terus menggema di depan wajahnya.
“Hei!” Kenedict berseru sambil mengangkat selokinya.
Seorang bartender memutar pandangannya kepada Kenedict di saat tangannya masih sibuk mencampur koktail milik pelangg
REVIEW dulu yuk :)
Ilona tidak mengerti lagi apa yang harus ia lakukan selain menangis. Seakan-akan takdir kembali melemparnya ke dalam kubangan kepedihan tak berujung.Cahaya yang masuk lewat celah gordeng sanggup memberitahu jika hari telah berganti dan malam kabut telah pergi, akan tetapi lukanya masih begitu terasa.Ilona membuka matanya yang baru terpejam selama beberapa menit. Ia memandang sisi kanan ranjang yang tampak begitu rapi, menandakan jika calon suaminya tak pulang semalam.Selapis bening cairan putih kembali terbentuk membuat matanya perih. Ilona menghela napas dan kembali ia merasakan kesesakan di dada ketika gadis itu mengembuskan napas panjang.TOK TOK TOKIlona mengerutkan kening. Kepalanya kembali terasa pening ketika ia mencoba untuk bangkit. Hembusan napas panjang menggiring gadis itu untuk berdiri dari ranjang lantas berjalan menghampiri pintu.Sempat jantungnya berdetak meningkat saat memikirkan wajah seorang pria yang tak pul
Ilona mengerutkan dahi ketika mendengar dering telepon. Wanita itu menyibakan selimut yang menutupi tubuhnya. Ia duduk di tepi ranjang lantas tangannya meraih gagang telepon yang terletak di atas nakas. Ilona tak bersuara menanti si penelepon mengeluarkan suaranya. “Tidurmu nyenyak?” Wanita muda itu kembali mengerutkan dahi. Suara serak di seberang sambungan telepon tampak sedikit familiar. Kekehan sinis dari si penelpon membuyarkan lamunan Ilona yang masih mengira-ngira siapa sekiranya orang itu. “Ayolah. Aku tahu kau sedang menangisi kehamilanmu. Ups!” “Siapa kau, hah?!” desis Ilona yang akhirnya mengundang gelak tawa dari seberang sambungan telepon. “Akhirnya kau bersuara juga. Kupikir kau sudah bisu karena Kenedict meninggalkanmu. Sudah kubilang dia tidak sebaik yang kau pikirkan. You just a dork, Baby girl.” Ilona mendesah panjang. “Dasar kurang kerjaan,” gumam Ilona. Gadis itu bersiap me
“Ilona!”Ilona tersentak. Refleks, gadis itu menutup matanya. Kenedict akhirnya berhasil meraih tangan gadis itu sebelum ia melangkah lebih jauh.“Lepas!” bentak Ilona. Buliran air bening tiada henti menetes dari pelupuk matanya.Kenedict berdecak kesal. Lewat sudut matanya, Kenedict melihat tatapan orang-orang di sekelilingnya yang mulai memandang mereka dengan tatapan sinis. Kent mendengkus. Ia kembali memberikan tatapan keras pada Ilona lantas menarik tangan gadis itu dengan kasar.“Ikut denganku,” desis pria itu.“Lepaskan aku!” jerit Ilona.Gadis itu memberontak. Ia mengayunkan tangannya yang berada di dalam tawanan tangan kekar Kenedict. Namun, Kent tak peduli. Ia terus menyeret Ilona lantas membawanya ke dalam kamar.Dari kejauhan, Ilona melihat seorang gadis yang sedang berdiri di dekat kamar tempat di mana ia memergoki kekasihnya. Deru napas Ilona bahkan menggema hingga ke bawah
Langit tampak mendung mengeluarkan gemuruh riuh disusul awan hitam yang kini mulai menumpahkan cairan ke bumi. Seketika langit Milan pun berubah. Seakan-akan ikut merasakan kepedihan yang kini dialami oleh seorang gadis yang tengah menapaki trotoar sambil memegang coat panjang yang menjadi satu-satunya pelindung tubuhnya sekarang. Ia masih tersedu-sedu. Seakan menghiraukan tatapan orang-orang yang berpapasan dengannya. “Are you okay?” Gadis itu hanya bisa menundukan kepala ketika segelintir orang tampak menghawatirkan keadaannya. Tidak. Dia sedang tidak baik-baik saja. Tidak bisakah mereka melihatnya? Tak cukupkah raut wajahnya menggambarkan betapa kondisinya saat ini sedang tidak baik-baik saja? Tidak ada yang baik-baik saja ketika calon suamimu menyuruhmu pergi dan mencari lelaki lain yang bisa menerima kondismu saat ini. Dada Ilona seperti disayat. Mencelos perasaan perih yang kian menyesak. ‘Ohya? Kalau begitu
Sambil menahan getaran di tubuhnya, Ilona berusaha untuk bangkit. Matanya membesar memandangi pria di hadapannya. “K-kau?” Ilona menggagap. “Yah, aku. Apa kabarmu, Ilona?” Pria itu menutup kalimat dengan senyum kotaknya yang khas. Ilona tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bergeming, Menyaksikan pria di depannya tengah menyingkap over coat di tubuhnya. Kedua tangan Ilona masih memeluk tubuhnya yang makin menggigil kedinginan. Ia menunduk saja ketika pria di depannya menyampirkan over coat tersebut ke tubuh Ilona berharap gadis itu akan mendapatkan kehangatan. Selain tubuh, kini wajah Ilona juga bergetar. Bibir ranum kini berubah pucat. Ikut bergetar menahan dingin yang kian membekukan tubuh. “Ayo, kuantar kau kembali pada Mr. Kent,” ucap pria itu. Ilona langsung melayangkan pandangan nyalang kepada pria tersebut. Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak,” lirih Ilona dengan bibir yang bergetar. Gadis itu menyembunyikan w
“Apakah kau menemukannya?”Massimo menggelengkan kepala lalu menunduk pias. “Tidak,” gumamnya.“Argh, sial!” geram Kent. Pria itu mengusap belakang kepalanya dengan frustasi.Mereka telah berkeliling di seputaran penginapan, bahkan Kenedict telah pergi ke pusat kota. Namun, baik Kenedict maupun Massimo, tak ada satu pun yang sanggup menemukan Ilona.“Di mana kau, hah?” gumam Kenedict.Napas yang berembus dari hidungnya terdengar berat hingga menggema membuat dadanya naik turun. Khawatir, takut juga merasa begitu bersalah. Marah, apa lagi.“ARRGGHHH!”Sekali lagi Kenedict berteriak sembari menyatukan tangan di belakang kepala dan menengadahkan wajahnya ke langit-langit. Ia kembali menggeram lantas menjatuhkan tatapan. Rahangnya mengencang dengan kepalan tangan yang mulai terbentuk.“Hubungi polisi setempat. Katakan kita telah kehilangan Ilona selama dua puluh empa
Kedua mata Ilona tak dapat terpejam. Sepanjang malam matanya terbuka. Kini menyaksikan pergerakkan langit yang mulai berubah warna. Sepasang manik cokelat itu tengah mematri sang mentari yang perlahan mulai menampakan diri. Memberitahu jika malam pahitnya telah berakhir.Seolah-olah hendak meminta agar ia kini berhenti menangis. Sudah. Semuanya telah berakhir. Matanya benar-benar sembab dan bekas tanda air bening itu tak bisa hilang. Terlalu kentara di kedua pipinya yang pucat.Tak terasa, semalam pun telah berlalu dan Ilona hanya terduduk di atas ranjang tanpa bisa memejamkan matanya.Air mata tiada henti berderai. Hatinya terus mengeluh ngilu. Nyeri dan kini sesak. Lebih daripada itu, batinnya ikut tersiksa. Bahkan napasnya kini tersendat.Semilir angin yang masuk lewat celah jendela yang tak tertutup lantas menyambar wajah gadis itu membuatnya bergeming. Ia pun menyeka sisa-sisa air mata.Beralih meremas sisi ranjang dengan kedua tangan, Ilona p
Ilona mengerjapkan matanya berulang kali. Ia meringis, merasakan pening yang tiba-tiba menyambar kepalanya. Setelah kelopak matanya terbuka lebar, ia pun memutuskan untuk berdiri, akan tetapi ketika ia hampir terduduk mendadak kepalanya berkedut makin nyeri. Ilona harus memegang kepala dengan kedua tangannya. “Kau tidak apa-apa?” tanya Dante. Sambil menutup matanya, Ilona mencoba untuk menggoyangkan kepala. Gadis itu masih berusaha mengumpulkan kesadarannya. Terdengar embusan napas panjang dari Dante. Sambil memegang kedua pundak Ilona, Dante mendongakan wajah menatap ibunya kini. “Dokter Anna sedang dalam perjalanan kemari,” kata Mariah. Akhirnya Ilona bisa membuka matanya lagi. Wajah gadis itu terlihat pucat. Bibirnya pun tampak begitu kering. Ilona kembali meringis. Masih memegang kepalanya, gadis itu berusaha lagi untuk membuka kedua mata. Ditatapnya ibu Dante saat ini. “Maaf merepotkanmu, Mariah,” kata Ilona.