Share

9. Let's End

✔ RATE️✔ Coment️✔️Share✔️ Happy Reading

Chapter 9

Let's End

Sekali lagi Alva tersenyum seraya menatap layar ponselnya dan meski telah berulang kali ia membaca pesan itu tetapi rasanya masih menarik untuk diulang. Sidney memang di luar prediksinya, wanita itu memiliki perhitungan yang sulit untuk dilawan dan ia yakin jika wanita itu memiliki kecerdasan yang luar biasa.

Hai, tentang rencana kita malam ini, tolong beritahu aku di mana kau berada. Aku akan tiba pukul dua belas.

Sidney Johanson.

Pesan yang dikirimkan bernada ambigu dan bagian terakhir sangat mencengangkan karena nama keluarga wanita itu adalah Johanson.

Alva pernah mendengar nama Johanson. Setidaknya salah satu perusahaan entertainment yang terkemuka dimiliki oleh Johanson Corporation. Ia menyangka Sidney adalah rekan bisnis Aliyah seperti yang lain, nyatanya anggapannya salah. Pantas saja Sidney menghindari keramaian untuk terlihat berduaan dengannya karena wanita itu jelas enggan terlibat gosip dan sikap Sidney yang meremehkannya adalah hal wajar karena mungkin di mata Sidney, seorang pemain sepak bola tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan keluarganya yang memiliki segalanya.

Namun, bukan berarti Alva menyerah setelah tahu nama keluarga Sidney, ia justru semakin merasa tertantang untuk mendapatkan pemilik bokong indah itu. Tekadnya makin bulat untuk menaklukkan wanita itu, ia menyukai pemikiran Sidney yang penuh perhitungan dan Sidney dipastikan tidak gila status.

Terakhir menjalin hubungan dengan seorang wanita yang berasal dari dunia hiburan, ia lelah harus tampil sebagai pasangan sempurna di halaman media sosial wanita itu dan ketika hubungan mereka berakhir, ia juga harus terlibat drama. Mantan kekasihnya mendramatisir keadaan hingga seolah-olah Alva adalah pria bajingan.

Sejak saat itu, ia lebih berhati-hati mengencani wanita. Tetapi, buka berarti ia trauma. Hanya saja lebih selektif memilih wanita untuk menjadi pasangannya.

Jika Sidney yang menjadi pasangannya, ia yakin mereka pasti akan cocok karena Sidney juga tidak suka tampil mencolok di media sosial dan setelah mengamati media sosial Sidney yang diatur pribadi, ia menyimpulkan jika satu-satunya anggota keluarga Johanson yang paling tidak mencolok dalam segala hal di antara saudara-saudaranya.

Sidney seolah menutup dirinya dan bersikap sok misterius. Sangat menarik.

Alva melirik jam bagian atas di layar ponselnya dan bibirnya kembali mengulas senyum. Ia melangkah mendekati pintu kamar kemudian berdiri di sana bertepatan dengan bunyi bel pintu.

Pukul 11.56 menit.

Sidney datang lebih cepat empat menit. Tetapi, Alva tidak langsung meraih gagang pintu, ia sengaja menunggu hingga Sidney sekali lagi menekan bel dan dengan gerakan lembut ia menekan hendel pintu kamar ke bawah.

Sialan, Sidney benar-benar menawan dengan rambut dikuncir gaya ekor kuda. "Kau datang lebih awal rupanya, Cinderella," ucap Alva sekedar berbasa-basi.

"Ya. Karena jika tidak, aku akan berubah wujud kembali menjadi Upik Abu." Sidney menyambut ucapan Alva dengan guyonan ringan. Sembari tersenyum manis ia kembali berucap, "kau tidak mempersilakan aku masuk?"

Alva melebarkan dan satu tangannya mempersilakan Sidney masuk kemudian menutup pintu dan berjalan di belakang Sidney, dan tanpa sadar menelan air liur saat pandangannya tertuju ke bokong Sidney yang dibalut dengan celana kain longgar.

"Bagaimana pembicaraan bisnis kalian? Apa telah selesai?" tanya Alva.

Sidney meletakkan tasnya di atas meja. "Sebenarnya belum selesai." Karena Gabe mengacaukannya. "Bagaimana makan malam kalian? Kudengar kau tadi bergabung bersama Aliyah dan adikmu."

Alva beringsut, ia meraih botol wine dan membuka penutupnya. "Ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan, aku tidak jadi bergabung bersama mereka."

Jadi, dia tidak datang? Sidney menggigit bibirnya sembari menerima cawan berisi wine dari Alva. "Oh," desahnya yang diam-diam kecewa.

Ia berpikir mungkin Alva makan malam bersama wanita lain karena di Dubai seharusnya Alva tidak memiliki urusan pekerjaan karena pria itu bukan presiden klub sepak bola. Jadi, urusan bersama wanita menjadi satu-satunya kemungkinan.

"Jadi, kau juga batal makan malam bersama mereka?" tanya Alva sembari mendentingkan cawan di tangannya pada cawan yang dipegang Sindey. 

"Ya. Sama sepertimu," ucap Sidney seraya menyambut ajakan Alva untuk menikmati wine.

Alva mengira karena ia tidak datang, kemudian Sidney meminta nomor ponselnya dari Grant atau Aliyah, rupanya untuk kedua kalinya pemikirannya salah. Dan tiba-tiba rasa canggung menjalari benaknya dan perasaan semacam itu belum pernah ia rasakan.

Alva menjilat bibirnya yang terasa manis oleh rasa wine. "Apa kau ingin makan sesuatu? Aku akan memesankan untukmu."

Tidak ada waktu untuk makan malam bersama Alva apa lagi sebelum kencan mereka, Alva boleh saja menilai Sidney yang terlihat tenang. Tetapi, rasa gugup di dalam benak Sidney nyaris membuatnya tidak mampu memegangi cawan yang berisi anggur dengan benar. Tangannya nyaris bergetar.

Sidney kembali menyesap anggur di cawannya kemudian meletakkan cawan ke atas meja dan berucap, "Aku kenyang. Dan kurasa...." Ia berdehem pelan. "Sebaiknya kita...."

Ia tidak pernah menyelesaikan ucapannya karena lengan Alva melingkar di pinggangnya hingga membuat dirinya membeku sesaat.

"Kenapa terburu-buru?" Alva merapatkan tubuh Sidney mendekat padanya.

Sepertinya jantung Sidney nyaris membentur rongga dadanya karena bekerja terlalu cepat, ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongan kemudian dengan sikap yang terlihat tenang Sidney menatap Alva. "Sejujurnya aku lumayan gugup dan agar rasa gugupku berkahir, kita harus mengakhirinya."

Alva mengunci tatapan Sidney, mencari-cari kegugupan di mata berwarna hazel itu tetapi ia tidak mendapatkannya. Wanita yang berada dalam kungkungan lengannya benar-benar istimewa, Sidney bukan hanya penuh perhitungan, bahkan mungkin Sidney juga sangat pandai berpura-pura.

"Katakan gaya apa yang paling kau sukai?"

Sialan! Haruskah aku mengatakan jika aku tidak berpengalaman? Dan bertingkah seperti gadis lugu yang rela menyerahkan kesuciannya kepada Alva karena pria itu pemain sepak bola yang sedang bersinar?

Sidney jijik membayangkan karena bisa saja Alva akan menganggapnya seperti itu.

Ia menjilat bibirnya. "Aku menyukai gaya apa saja dan aku tidak menyukai perlakuan kasar." Menurut Sidney semua wanita suka diperlakukan dengan lembut dan dirinya hanya berbicara logika sebatas yang ia tahu. "Dan aku ingin kita melakukannya dalam keadaan gelap."

Alva menyipitkan sebelah mata. "Kau menyukai suasana romantis?"

Tentu saja iya. Atau mungkin. Karena mungkin juga hampir semua wanita menyukai suasana romantis, tetapi untuk kasusnya jelas berbeda, ia ingin melakukan dalam keadaan gelap karena tidak ingin Alva melihatnya dalam keadaan payah karena tidak berpengalaman dan gugup. Sidney mengangguk pelan.

"Baiklah," ucap Alva seraya melingkarkan keduanya kaki Sidney di pinggangnya dan melangkah menuju jendela kemudian menarik tirainya. "Kurasa lebih romantis lagi jika kita bercinta sambil menyaksikan pemandangan malam di Dubai."

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan RATE.

Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.

🍒❤️

Komen (2)
goodnovel comment avatar
FayzaQila03
deg2n ......
goodnovel comment avatar
Dewi Balfas
panas panas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status