Share

02. Terpesona

Alexa menyandarkan tubuhnya pada railing dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. Gadis itu nampak sedang berbincang dengan Chika yang tidak henti-hentinya mengoceh dan memuji ketampanan Kafka yang sekarang sedang bermain badminton di lapangan lantai dasar.

“Coba deh lo liat, kurangnya apa coba dia? Ganteng, tinggi, pinter basket, rajin, bertanggung jawab, paket komplit banget,” seru Chika sembari terus memperhatikan Kafka yang sedang melakukan pukulan.

“Hilih, lo muji dia kek lo ga punya laki aja,” Alexa memutar bola matanya malas, ia kemudian memutar tubuhnya masih dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Netranya menatap ke bawah hingga siluet Kafka terlihat jelas di sana.

Senyum Alexa memudar kala melihat Kafka menyeka keringat di pelipisnya. Entah kenapa kadar ketampanan laki-laki itu bertambah berkali-kali lipat. “Ya emang ganteng sih,” senyum tipis terukir di kedua sudut bibir Alexa hingga menampilkan kedua lesung pipinya.

“Pesona Kafka kek ngajak ke pelaminan gitu nggak sih? Mancing-mancing minta disayang,” gumam Lexa pelan yang masih bisa tertangkap jelas di indera pendengaran Chika.

“Gue dukung kalau lo suka sama dia,” cetus Chika membuat atesi Alexa beralih untuk menatapnya.

“Nggak apaan sih, sembarangan aja lo! Gue cuma bercanda!” tandasnya.

“Yaelah, nggak usah malu-malu mengakui juga kali. Lagian dia tampan seperti cowok yang lo idamkan,” Chika melirik Alexa yang tampak menutupi wajah bahagianya dengan komuk datarnya. Jika dilihat dari nada bicaranya, Alexa seperti seseorang yang sedang kasmaran tapi mencoba untuk menyembunyikan.

“Gue nggak kenal sama dia, kenal hanya sebatas nama. Nggak mungkin juga gue bisa langsung ada rasa sama dia!” tegas Alexa.

“Tapi lo suka kan sama Kafka?” goda Chika sontak membuat rona merah menjalari pipi Alexa. Gadis itu mengulum bibirnya ke dalam berusaha untuk menahan senyumnya agar tidak keluar. Entah kenapa hatinya berdebar senang.

“Ya gue suka!”

“Nah, ngaku juga kalau suka,” tukas Chika sebelum Alexa menyelesaikan kata-katanya.

“Tapi kan suka belum tentu cinta. Suka itu sifatnya universal, dan cinta itu hanya kepada orang yang spesial,” kelitnya.

“Iya, tapi rasa suka adalah awal menuju cinta. Udahlah nggak usah berkelit lagi, nikmati saja prosesnya!”

Alexa berdecak sebal. Kenapa dirinya seperti dibuat mati kutu dengan perkataan Chika. Seharusnya kalau memang tidak ada rasa, Alexa bisa mengelaknya. Tapi, Alexa malah semakin ingin membahas tentangnya.

“Udahlah, gue mau masuk ke kelas!” Alexa menurunkan kedua tangannya yang terlipat di depan dada. Gadis itu berbalik lantas berlalu menuju kelasnya meninggalkan Chika yang tersenyum menatap punggung Alexa.

***

“Break!” instruksi Kafka kepada teman-teman satu timnya. Lelaki itu membawa raket miliknya menepi bersamanya, mendudukkan dirinya pada undakan yang berada di tepi lapangan.

“Kayaknya kita perlu ngobrol sama Pak Andi untuk menambah jam latihan sebelum lomba Minggu depan deh, Ka,” ujar Arkan yang baru saja mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Kafka.

“Gue juga udah pertimbangin soal ini sih. Nanti biar gue coba ngomong sama Pak Andi,” balas Kafka. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Kafka tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya membuat Arkan turun melakukan hal yang sama.

“Mau kemana?” tanya Arkan.

“Kantin,” Kafka melenggang meninggalkan area lapangan. Lion yang melihat temannya berlalu pun bertanya. “Woy mau kemana?”

“Kantin!”

“Nitip air mineral,” teriak Lion yang dibalas acungan jempol oleh Kafka. Lelaki itu terus melangkahkan kakinya menuju pintu keluar lapangan.

***

“Mas, seperti biasa ya, red velvet 1,” ujar Alexa kepada penjual minuman di kantinnya.

“Oke, siap neng cantik!” Mas Banyu—lelaki yang menjual dengan merk BaBoba itu segera membuat pesanan yang Alexa minta sementara gadis itu menunggu sembari memainkan ponselnya.

Terlalu fokus dengan ponselnya, Alexa sampai tidak menyadari kalau Kafka—lelaki yang akhir-akhir ini menjadi topik gosip bersama dengan teman-temannya memasuki kantin yang sama, melintas di belakangnya menuju lemari pendingin untuk mengambil air mineral dan langsung meneguknya detik itu juga. Tidak lupa pula Kafka mengambil air mineral untuk Lion dan juga Arkan lantas bergegas untuk membayarnya.

“Ini, neng red velvetnya,” Mas Banyu menyerahkan minuman berwarna merah kecoklatan itu kepada Alexa yang langsung diterima gadis itu dengan senyum mengembang.

“Bentar ya, Mas,” Alexa merogoh saku seragam yang dikenakannya namun ia tidak menemukan uang miliknya. Alexa kemudian mengecek ponselnya barangkali ia menyimpan uang di dalam softcase hpnya tetapi ternyata tidak ada.

“Lah, kok ilang,” ujar Alexa. Gadis itu mulai merasa panik apalagi saat melihat keseliling tidak ada orang yang dikenalnya untuk membantu membayar minuman miliknya kecuali Kafka yang sedang membayar air mineral yang digenggamnya.

“Mas Banyu, tunggu bentar, ya,” ujar Alexa. Gadis itu kemudian melangkah perlahan menghampiri Kafka yang baru selesai membayar.

“Kafka,” cicit Alexa namun masih bisa terdengar oleh Kafka. Lelaki bernetra kelam itu menatap Alexa dengan sebelah alis terangkat membuat Alexa dilanda gugup seketika. Jantung gadis itu tiba-tiba berirama, nyalinya untuk meminta tolong lenyap seketika.

“Kenapa?” suara dingin nan datar itu menyentak telinga Alexa membuat gadis itu semakin gugup dan memiliki untuk meremas minuman yang dibawanya.

Dengan susah payah Alexa menelan salivanya. “Yok bisa yok, cuma minta tolong doang kan, anjir gue kenapa sih ya Tuhan,” gerutu Alexa dalam hati.

“Alexa....”

Deg

Jantung Alexa seperti ingin melompat dari tempatnya saat Kafka menyebutkan namanya. Bisa dikatakan ini adalah kali pertama Alexa berinteraksi secara langsung dengan Kafka. Hati Alexa berdesir senang, senyum tipis terkembang. Perlahan, Alexa mengangkat wajahnya menatap Kafka yang masih setia dengan posisinya.

“Boleh minta tolong nggak? Gue lupa bawa uang dan gue udah terlanjur pesan minuman,” ujar Alexa dengan suara pelan.

Kafka mengalihkan perhatiannya menatap minuman yang Alexa bawa. Kafka kemudian berlalu melewati Alexa dan menghentikan langkahnya tepat di depan stand Banyu. “Minuman dia aku yang bayar ya, Mas,” ujar Kafka sembari mengulurkan uang sepuluh ribu kepada Banyu.

“Oke, Mas Kafka, terima kasih,” seru Banyu sembari menerima uang yang Kafka berikan.

Kafka kemudian memutar lehernya menatap Alexa yang masih bergeming di tempatnya. “Udah,” ujarnya.

“Makasih ya, Ka. Nanti sepulang sekolah uangnya gue ganti,” ujar Alexa sembari menepiskan senyum tipisnya.

Kafka mengangguk lantaran tersenyum membuat mata Alexa membola. Gadis itu terpana dengan senyum Kafka. “Anjir, manis banget senyumnya,” jerit Alexa dalam hati.

“Anggap aja itu traktiran,” ujar Kafka lantas berlalu meninggalkan Alexa yang masih tersepona dengan senyuman manisnya.

“Ya ampun, meleyot banget gue,” monolog Alexa membuat Mas Banyu yang mendengar itu lantas mengeluarkan godaannya. “Cie-cie Neng Lexa naksir sama Mas Kafka?”

“Ha? Nggak-nggak!” Alexa menggeleng cepat. Gadis itu segera memasang wajah datarnya untuk menutupi perasaan bahagia yang sekarang sedang dirasakannya. Jantungnya berdebar hebat dan Alexa salah tingkah.

“Kalau suka nggak apa-apa kali, Neng. Mas Kafka juga ganteng, kok.”

“Ish, apaan sih Mas Banyu, udah lah Lexa mau balik ke kelas dulu,” ujarnya kemudian berlalu meninggalkan kantin menuju kelasnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status