Share

03. Jas Lab

Di dalam sebuah kamar dengan pencahayaan yang tidak terlalu terang Kafka terlihat sedang mengsibukan diri dengan tugas-tugas sekolahnya. Lelaki itu terlihat fokus dalam menulis jawaban-jawaban yang bersarang di otaknya.

Seorang wanita paruh baya mengetuk pintu kamar Kafka lantaran berjalan perlahan menghampiri putra satu-satunya. “Lagi belajar, ya?” katanya bertanya sembari menepiskan senyum teduhnya. Kedua tangannya bertengger pada bahu Kafka sementara netranya menatap lembar kerja putranya.

Kafka sejenak menghentikan aktivitasnya, memutar lehernya menatap sang ibu dengan senyum terukir sempurna. “Iya, besok dikumpulkan.”

Aluna mengangguk, tangannya tergerak untuk mengusap lembut bahu sang putra. “Jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja. Sekarang ini, kamu adalah seorang pelajar yang tugasnya belajar. Kamu pasti belum makan, kan?” tutur lembut Luna kepada putranya. Ia bertanya bukan semata-mata formalitas. Ia bertanya karena selain mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya, ia juga tahu kalau Kafka baru pulang kerja kemudian mengsibukan diri dengan tugas sekolahnya.

“Ibu nggak usah khawatir, Kafka nggak apa-apa kok sekolah sambil kerja. Lagian, pekerjaan Kafka juga tidak mempengaruhi sekolah,” Kafka bangkit dari kursi yang didudukinya, menatap lembut manik teduh sang bunda. “Kafka sekarang lapar nih, ibu temani Kafka makan, ya?” pintanya.

Luna mengangguk lantas tersenyum. “Ya udah ayo,” Luna membalikkan badannya berlalu meninggalkan kamar Kafka. Sementara Kafka sejenak menatap punggung sang ibunda dengan tatapan mengiba. “Suatu saat Kafka pasti bisa menjadi orang sukses, ibu tunggu saja Kafka pasti akan menjadi pribadi yang bisa diandalkan,” gumamnya dalam hati.

***

“Oke beres,” Alexa tersenyum cerah menatap tas sekolahnya yang sudah tersimpan dengan rapi di atas meja belajar. Gadis itu baru selesai menjadwal buku pelajaran dan kini saatnya ia merebahkan dirinya lantas menyelami alam mimpinya.

Terlebih dahulu Alexa membersihkan diri tak lupa ia memakai scincare pada wajahnya sebelum akhirnya merebahkan dirinya sembari memainkan ponselnya untuk menjemput rasa kantuknya.

Alexa membuka I*******m miliknya hingga akhirnya sebuah nama terbesit di otaknya. “Jadi penasaran gue sama posntingan di I*******mnya,” gumam Alexa. Gadis itu kemudian mengklik pada kolom pencarian lantas menuliskan nama Kafka di sana. “Nah, langsung ketemu,” cetus Alexa senang.

Gadis itu segera membuka profil Kafka dan ternyata tidak diprivat membuat dirinya semakin mudah untuk menstalker akun lelaki itu. Kafka termasuk ke dalam orang yang tidak terlalu suka mempublikasikan tentang dirinya dan aktivitasnya. Buktinya, akun Instagramnya hanya berisikan dua foto saja. Fotonya sendiri dan fotonya bersama dengan teman-teman satu tim badmintonya.

Alexa akhirnya memutuskan untuk membuka postingan Kafka yang berisikan fotonya dia sendiri. Lelaki itu terlihat sedang duduk di tengah lapangan dengan balutan jersey warna merah tanpa lengan. Kedua sikunya bertumpu pada lutut serta tatapan mata yang memandang ke arah sudut kanan depan. Senyum Alexa tiba-tiba mengembang. Hatinya berdesir aneh, seperti ada sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah ada.

“Kok gue jadi gini, sih?” gumam Alexa sembari memeluk ponselnya. Senyum lebar masih menghiasi wajah cantiknya bersama dengan netra yang menatap langit-langit kamarnya. “Gue seriusan naksir sama Kafka?” menolongnya. “Yakali, kan? Nggak mungkin lah ya cuma gara-gara gospin dia jadi suka!” Alexa terus berbicara pada dirinya sendiri. Menyangkal kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya fakta namun dia tidak menyadarinya.

“Lama-lama sih gue baper beneran kalau terus-terusan mikirin dia, stalkerin sosmednya,” imbuhnya sembari mematikan ponselnya. Alexa menyimpan benda pipih itu pada nakas samping tempat tidurnya. Ia lantaran menarik selimut hingga menutupi dadanya kemudian memilih untuk memejamkan mata.

***

Alexa terus menggerakkan kakinya gelisah dengan jari-jemari yang terus memilin dasi yang dikenakannya. “Aduh, gimana dong? Gue benar-benar nggak ingat kalau hari ini ada tugas praktikum yang mengharuskan memasuki lab,” ujarnya kepada teman-temannya.

“Pinjem kelas sebelah kan bisa,” seru Rania yang sekarang mendudukan diri tepat di depannya.

“Siapa? Gue nggak ada kenal anak kelas sebelah kecuali Arkan. Tapi kan jasnya si Arkan dipakai sama Chika,” serunya. Alexa benar-benar dilanda kepanikan sekarang. Pasalnya, guru yang mengampu mapel kimia itu killernya tidak ketulungan. Jika tidak mengikuti praktek maka nilai ulangan harian akan dihilangkan belum lagi tugas tambahan yang harus dikerjakan sebagai gantinya. Alexa juga tidak bisa memasuki lap tanpa menggunakan jas khususnya.

“Makannya lain kali lebih teliti lagi. Sekarang lo chat tuh si Chika tanyain lagi ngebucin di mana!” titah Naura.

“Lah buat apa? Ogah kalau gue jadi nyamuknya mereka!” tolak Lexa.

Mendengar itu Naura segera menonyor kepala Alexa menggunakan jari telunjuknya. “Minta tolong sama Arkan buat pinjemin jas ke temannya!” seru Naura geram.

“Oh, oke-oke,” Alexa segera mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Chika guna menayangkan di mana keberadaan gadis itu. Usai mengirimkan pesan dan terbaca, tidak butuh waktu lama balasan pesan dari Chika pun memasuki ponselnya.

“Udah?” tanya Naura.

“Udah, gue ke Chika sama Arkan dulu, mau ikut nggak?”

“Males,” tolak Naura, Rania dan Alisa secara bersama.

“Ya udah,” Alexa pun bangkit dari tempat duduknya dan bergegas menuju taman depan di mana Chika dan Arkan sedang mengumbar ke uwuan. Tidak butuh waktu lama, Alexa pun tiba dihadapan kedua pasangan bucin yang membuat matanya tersakiti setiap kali melihatnya. Bukan karena Alexa cemburu tapi karena Alexa jomblo sehingga tidak bisa melakukan uwu-uwu.

“Yaelah, kalian berdua nganggep gue setan banget sih,” sebal Alexa. Ia menatap jengah Chika dan Arkan yang masih sempat-sempatnya suap-suapan kentang goreng di hadapannya.

“Jangan jangan jangan iri jangan iri dengki,” seru Chika bernada.

Alexa merotasi bola matanya malas. “Ya udah ayo tolongin gue,” ujarnya.

“Tunggu aja di sini, bentar lagi juga datang tuh jas sama pemiliknya,” seru Akran dengan nada tetap tenang. Arkan memang selalu tenang, ia satu-satunya teman Kafka yang selalu sabar.

“Nih jas yang lo minta,” suara seseorang yang sangat familiar membuat Alexa segera memutar tubuhnya ke belakang. Di dapatinya Kafka yang sekarang menatapnya dengan sebuah jas di tangannya.

“Tuh, Alexa yang katanya mau pinjam,” seru Akran sembari menatap Alexa yang hanya diam.

“Oh, ini,” Kafka kembali membuka suara sementara Alexa sudah menahan malu luar biasa. Jantungnya lagi-lagi berdebar kencang. Dengan ragu, Alexa menerima jas yang Kafka ulurkan. “Terima kasih,” cicitnya pelan.

“Sama-sama, jagain ya,” ujar Kafka sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Alexa bersama dengan couple bucin di belakangnya.

Alexa mengukir senyum tipis menatap kepergian Kafka, gadis itu kemudian menatap jas yang berada di genggamnya. “Pasti gue jaga, kok,” menolongnya pelan.

“Ekhem,” dehem Chika membuat senyum Alexa memudar seketika. Gadis itu kembali memutar tubuhnya menghadap temannya.

“Awas, baper!” peringatannya. Alexa mendnegus. “Gak akan!” tegasnya kemudian berlalu meninggalkan Chika bersama dengan Arkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status