Share

Harapan

“Hampir ketahuan.”

“Kamu yang terlalu parno.”

Yuda mengabaikan ucapan Windy, bergegas mengambil air di kulkas dan meneguknya dengan tergesa. Ia butuh sesuatu untuk membasahi tenggorokannya yang mengering. Meskipun terlihat biasa saja, namun Yuda tidak kalah tegang dengan Windy saat keluarga Narendra menanyakan Renata.

Windy menyusul suaminya ke dapur. Terlihat Yuda sedang duduk di meja makan dengan menelungkupkan kepala di atas meja. Bahunya baik turun dengan nafas tersengal-sengal. 

“Sudahlah, Pa. Tenangkan pikiranmu, lagipula—” Windy menghentikan ucapannya saat sebuah seruan terlebih dahulu terdengar. 

“Ivana pulang!” 

Ivana mengernyit heran melihat rumah yang tampak sepi. Padahal, ia melihat mobil papanya ada di garasi. Bukankah berarti mereka sudah pulang? Pikirnya. Ia melangkah gontai menuju kamar, namun langkahnya terhenti ketika melihat kedua orang tuanya duduk di meja makan membelakangi tempat Ivana berdiri. 

“Ma,” panggil Ivana sambil memegang bahu Windy. 

Windy menoleh dengan mengulas senyum di bibir. “Tugasnya sudah selesai?”

Ivana mengangguk, namun matanya menatap penuh tanya pada sang papa yang masih menelungkupkan kepala di atas meja dengan tumpuan satu lengan. Hal yang biasa Yuda lakukan saat pikirannya terganggu. Ivana yakin ada sesuatu yang tidak beres pada pertemuan orang tuanya dan keluarga Narendra. 

“Papa kenapa?” tanya Ivana hati-hati. Kini ia duduk di depan Yuda dengan tangan kanan terulur untuk mengelus lengan papanya. 

Tidak ada jawaban yang terlontar dari Windy maupun Yuda. Mereka masih sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Ada apa, sih?” tanya Ivana lagi. Gadis itu merasa gusar melihat orang tuanya yang hanya terdiam. 

Di otak Ivana muncul sebuah pemikiran yang ‘mungkin' menguntungkannya, yaitu orang tuanya jujur pada keluarga Narendra dan mereka membatalkan pernikahan. Jika itu benar, mungkin Ivana tidak akan segan mentraktir teman sekelasnya. 

“Papa hanya kepikiran sama pertanyaan keluarga Narendra,” jawab Windy. Ibu dua anak itu tidak tega melihat putri bungsunya kebingungan. “Oh, iya. Kata papa, kamu tadi ada di restoran yang sama,” lanjutnya dengan cepat. Ia tidak ingin Ivana bertanya lebih lanjut tentang pertemuan dengan keluarga Narendra. 

Ivana tahu, mamanya sedang mengalihkan pembicaraan. “Iya, kebetulan aku lagi ingin makan di sana sambil memeriksa tugas kuliah.”

“Jadi meminjam buku di perpustakaan kota?”

“Tidak, Ma. Tadi Ivana hanya menulis beberapa materi yang diperlukan untuk mengerjakan tugas. Setelah itu langsung ke restoran itu karena sudah lapar,” jawab Ivana dengan tawa renyah. 

“Kenapa tidak memilih restoran lain?” tanya Yuda tiba-tiba. Ia mengangkat kepala dan menatap tajam Ivana yang duduk di depannya, “Beruntung papa melihatmu, kalau tidak, kamu pasti menghampiri kami dan mengacaukan semuanya,” lanjutnya. 

Ivana tidak menyangka papanya akan berpikir sedangkal itu. Padahal, ia sudah menahan diri untuk tidak menghampiri, karena Ivana tahu lelaki paruh baya yang berdiri di sebelah papanya adalah tuan Narendra. 

“Ivana masih tahu batasan, Pa. Toh, tidak  kejadian juga, kan? Sebenarnya apa, sih, yang mengganggu pikiran Papa sampai seperti ini?” tanya Ivana sedikit jengah. 

Hal paling menyebalkan dalam diri Yuda ketika ada sesuatu yang mengganggu pikiran adalah menyalahkan orang lain. Dulu, Renata pernah menangis karena hampir dilecehkan teman Ivana ketika menjemput adiknya di sekolah. Yuda yang sudah kalap ikut menyalahkan Ivana yang hanya diam dan tidak berbuat sesuatu untuk menolong Renata. Padahal Ivana hanya seorang siswi SMA yang sama takutnya dengan Renata. 

Sekarang pun seperti itu. Ivana cukup sering makan di restoran tempat pertemuan keluarga Adhitama dan Narendra, tapi entah mengapa kini Yuda mempermasalahkan. 

“Seharusnya kamu mencari restoran lain.”

“Sudah, Pa. Jangan menambah pikiran dengan hal-hal yang tidak penting,” kata Windy. 

Ivana semakin yakin untuk menanyakan perihal pertemuan tadi siang, tidak peduli jika papanya marah. Sumpah, menyimpan rasa penasaran itu tidak enak. Dan Ivana bukan tipe orang yang jika penasaran akan diam, tidak sama sekali. 

“Ceritakan, Ada apa dengan pertemuan tadi siang? Kenapa Papa seperti ini?” tanya Ivana bertubi-tubi. 

Menceritakan pada Ivana sama saja dengan menambah pikiran gadis itu. Windy tidak ingin menambah beban pikiran putri bungsunya. Mungkin pertanyaan ‘Di mana Renata' terlihat sederhana. Namun, tidak jika Ivana yang mendapat pertanyaan. Dari semua anggota keluarga Adhitama, yang paling dekat dengan Renata adalah adiknya. Windy mengakui, kedekatannya dengan Renata kalah dengan Ivana. Jarak usia mereka yang hanya terpaut 4 tahun membuat keduanya seperti sahabat sekaligus saudara. 

“Keluarga Narendra menanyakan Renata,” jawab Yuda singkat. Tatapan tajamnya kini berubah sayu. 

“Jadi, Apa yang kalian katakan?” tanya Ivana, ‘Semoga mereka berkata jujur, sehingga aku tidak perlu menikah,’ lanjutnya dalam hati dengan bibir membentuk senyuman. 

“Tapi kami tidak mengatakan yang sebenarnya,” kata Yuda seakan tahu apa yang ada di pikiran Ivana. 

Senyum Ivana meluntur, ia baru saja merasakan angin harapan, tapi terpatahkan oleh ucapan papanya. “Seharusnya kalian jujur, dengan begitu pernikahan batal dan kita bisa fokus mencari kak Renata...” lirih Ivana. 

“Rupanya kamu masih berniat membatalkan pernikahan ini. Dengar Ivana, papa tidak akan pernah membatalkan pernikahan ini. Ada atau tidak adanya Renata tidak berpengaruh. Kamu seharusnya—”

“Apa kak Renata bukan anak Papa? Bukankah sebagai orang tua kalian harus memprioritaskan anak kalian?” sela Ivana dengan mencecar pertanyaan pada Yuda dan Windy. 

“Papa bukannya tidak memprioritaskan kalian, justru semua papa lakukan untuk kalian. Kamu mana paham dengan pemikiran orang tua. Tidak bisakah kamu berprasangka baik pada orang tua?” cecar Yuda pada putrinya yang kini sudah berkaca-kaca. 

Windy meradang melihat perdebatan dua orang yang ia sayangi. “Cukup! Ivana, kamu masuk kamar dan istirahat. Papa juga!” perintah Windy pada keduanya. 

Keharmonisan keluarga Adhitama berkurang sejak perginya Renata. Pemicu utamanya karena pernikahan gadis itu yang tinggal menghitung hari. Yuda yang tidak ingin harga diri keluarga jatuh memaksa Ivana menggantikan Renata.

Sementara Ivana gadis muda berprinsip yang masih ingin menjelajahi kehidupan sebelum menikah. Perdebatan demi perdebatan kerap menghiasi rumah mereka. Windy sebagai satu-satunya penengah saat hal itu terjadi. 

Ivana membanting dirinya di kasur begitu memasuki kamar. Tubuh dan pikirannya begitu lelah, apalagi perdebatan dengan papanya sangat menguras emosi. Mata bulat Ivana memanas, disusul air mata yang berlomba keluar membasahi pipi. 

Deringan ponsel dari atas nakas membuat Ivana sedikit tersentak. Ia melihat nama yang tertera di ponsel. Matanya membelalak saat membaca nama tersebut, ia menghapus air matanya dengan kasar. 

“Kak Renata!” pekiknya pada seseorang di seberang sana—Renata.

[Adik manis kakak, apa kabar?] Terdengar suara yang beberapa hari ini Ivana rindukan. 

“Kakak ke mana saja? Kapan pulang? Ivana kangen kakak.” Bukannya menjawab pertanyaan Renata, Ivana justru memberondong kakaknya dengan berbagai pertanyaan. 

Tawa renyah Renata mengalun indah. [Maaf adik manis, kakak pasti pulang, kok.]

“Pokoknya Kakak harus pulang sebelum pernikahan. Kalau tidak Ivana marah!” serunya. Ivana akan berubah manja jika dengan Renata. 

[Jangan, dong! Kakak usahakan, ya, Adik manis.]

“Memangnya Kakak rela adik manismu ini ha—” Ucapan Ivana terhenti saat panggilannya dengan Renata terputus. 

“Loh! Kok mati,” gumam Ivana sambil menatap layar ponsel yang menghitam.

Ivana menepuk pelan dahinya saat menyadari ponselnya kehabisan daya. Ia ingat, belum mengisi daya baterai sejak semalam. 

“Semoga kak Renata benar-benar pulang sebelum pernikahan,” monolognya penuh harap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status