Share

Makan Siang

Ivana sudah berkutat di dapur saat jam menunjukkan angka 6 pagi. Ia ingin mengalihkan pikirannya dengan memasak. 

Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ivana. Tanpa menoleh, Ivana yakin itu mamanya. Karena maid yang bertugas memasak memang diliburkan saat akhir pekan. Sebaliknya, tugas itu diambil alih Ivana atau mamanya. 

“Apa yang kamu lakukan, Van?” 

Ivana mematikan kompor setelah menyelesaikan masakan lalu menoleh. Windy berdiri tepat di belakangnya. Wanita paruh baya itu terlihat sudah segar, berbeda dengan Ivana yang masih ... Err ... belum mandi. 

“Aku memasak nasi goreng dan omelet telur kesukaan kak Renata,” jawab Ivana. 

Windy tersenyum teduh. Ia yakin putri bungsunya pasti merindukan sang kakak. Karena ia merasakan hal sama. “Kamu kangen kakak?”

“Iya, Ma. Apa kak Renata tidak akan pulang?” tanya Ivana dengan tatapan sendu. 

Masih dengan senyum menghiasi wajah cantik nan anggunnya, Windy menghampiri Ivana dan mengelus surai gadis itu. “Tidak boleh pesimis, kakak pasti pulang, sekarang mama bantu menyiapkan sarapan setelah itu kita habiskan nasi goreng dan omelet buatanmu.”

Rupanya afeksi yang diberikan Windy mampu mengembangkan senyum di wajah cantik Ivana, kedua sudut bibirnya terangkat dengan mata berbinar cantik. Ia mengangguk antusias mendengar penuturan Windy. 

“Ada apa ini?” tanya Yuda yang baru datang dari ambang pintu dapur. 

Baik Ivana maupun Windy hanya menjawab dengan senyuman. Toh Yuda pun tidak ambil pusing. Ia justru mulai sarapan dengan tenang. 

“kamu tidak Kuliah?” tanya Yuda setelah menyelesaikan sarapan. Matanya menelisik penampilan Ivana. 

“Ini akhir pekan, Pa. Tapi aku mau ke perpustakaan kota untuk mencari referensi sekaligus mengerjakan tugas kuliah.”

“Baiklah. Nanti sekalian makan siang di luar, soalnya Papa dan mama ada janji dengan keluarga Narendra. Pastikan kamu tidak bertemu mereka,” peringat Yuda dengan tegas. 

Ivana mengangguk patuh. “Aku ke kamar dulu Ma, Pa.”

Windy menatap tajam suaminya saat Ivana berlalu dari ruang makan. “Papa kenapa ngomong kayak begitu pada Vana!”

Yuda menghela nafas berat. “Memang harus begitu, kan? Kita tidak bisa membiarkan keluarga Narendra tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Lelaki paruh baya itu mencoba menenangkan istrinya. Ia tahu, kelemahan Windy adalah Ivana. Oleh karena itu, istrinya sempat menolak keras keputusan Yuda meminta Ivana menggantikan Renata. 

“Sudah, jangan cemberut begitu. Lebih baik Mama menemani Papa menonton TV,” bujuk Yuda pada Windy yang masih menampakkan wajah kesal. 

Sementara Ivana tengah bersiap pergi ke perpustakaan kota. Sekalian refreshing sejenak untuk melupakan masalah. 

“Huft, H-3. Semoga kak Renata pulang sebelum H-1, atau setidaknya pas pernikahan,” monolog Ivana. 

Ivana bergegas keluar kamar. Sampai di ruang keluarga, mata bulatnya menangkap pemandangan yang membuatnya jengah. Mama dan papanya tampak menonton TV sambil berpelukan. 

“Ma, Pa, Ivana berangkat dulu,” pamitnya. 

Windy yang sedang menyandarkan kepala di bahu lebar Yuda tersentak mendengar suara Ivana. Sementara Yuda tampak biasa saja.

“Eh! Mau berangkat sekarang?” tanya Windy. 

“Iya, Ma. Nanti kalau kesiangan takut macet.” 

Windy mengangguk setuju. “Ya sudah. Hati-hati di jalan, jangan pulang terlalu malam.”

***

“Ingat Levin, jangan memperlihatkan kalau kamu tidak setuju,” peringat mami Levin—Tania.

Lelaki berhidung mancung itu menatap jengah Tania. Sudah lebih dari 10 kali Tanja mengucapkan kalimat yang sama. Sampai rasanya Levin kenyang hanya dengan kalimat maminya.

“Kalian tenang saja, Levin tidak sebodoh itu untuk mengacaukan rencana kita,” ujar Levin dengan seringai di bibir.

“Mami hanya mengingatkan, ekspresi wajah kamu terlalu datar. Mami takut nanti—”

“Sudah, jangan diteruskan. Kita harus berangkat sekarang,” sela Jimmy—papi Levin. 

Mereka meninggalkan kediaman keluarga Narendra dan segera menuju tempat janji temu dengan keluarga Adhitama. Levin menatap malas kedua orang tuanya yang tampak bersemangat untuk bertemu tuan dan nyonya Adhitama. 

Padahal pernikahan Levin akan berlangsung 3 hari lagi. Seharusnya tidak perlu janji temu dengan dalih supaya lebih akrab. Levin tidak butuh pengakraban diri dengan keluarga calonnya. 

“Nanti kamu harus bersikap manis pada Renata. Mami belum pernah mendengar kabar percintaan Renata, jadi kamu harus bisa mengambil hatinya. Buatlah dia jatuh cinta sepenuhnya. Seharusnya, kamu membawa buket bunga atau apapun untuk Renata,” cecar Tania pada Levin, “Kamu mengerti, kan?” lanjutnya. 

Levin tidak peduli dengan ucapan maminya. Iris kelamnya fokus menatap jalanan ibu kota yang sedikit padat. Mentari yang bersinar cerah sangat berbanding terbalik dengan suasana hati Levin yang berselimut awan hitam. 

Jimmy membelokkan mobil di sebuah restoran bintang 5 yang menjadi tempat pertemuan. Ia memasuki restoran diikuti Levin dan Tania. 

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayan yang ada di meja kasir. 

“Ah, iya. Reservasi atas nama Yuda Adhitama,” sahut Jimmy cepat. 

“Tuan dan nyonya Adhitama telah menunggu di ruang VIP nomor 5” ujar pelayan itu dengan senyum ramah. 

Setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut, Levin dan orang tuanya segera menuju ruang VIP nomor 5. Mereka tidak ingin membuat Yuda dan keluarnya menunggu lebih lama. 

Jimmy dan Tania—lebih tepatnya hanya Tania—melangkah dengan semangat seperti akan mendapat jackpot. Sementara Levin menatap malas 2 orang di depannya dengan decakan di bibir. 

“Ekhem,” dehem Tania sebelum menggapai pintu nomor 5. Dengan gerakan pelan Tania membuka pintu tersebut seakan mudah hancur. 

“Selamat siang, Tuan dan Nyonya Adhitama. Maaf atas keterlambatan kami,” sapa Tania dengan senyum ramah. 

Yuda dan Windy mengalihkan atensi pada pintu ketika mendengar suara pintu dibuka disusul sapaan Tania. Mereka tersenyum maklum, segera mempersilakan mereka masuk dan duduk di tempat yang disediakan. 

“Tidak perlu meminta maaf, Mbak. Kita juga belum lama,” sahut Windy masih dengan senyum lebar, “Wah! Ini calon menantuku. Levin, kamu tambah ganteng saja,” lanjutnya. 

Levin tersenyum canggung. “Tante bisa saja.”

“Mama, kamu jangan panggil tante. Sebentar lagi kamu jadi anak kami juga,” ujar Windy. 

Sesuai dengan perkiraan Levin, makan siang dua keluarga itu hanya diisi pembahasan tentang pernikahan Levin dan Renata. Ia merasa jengah dan muak, tapi kemudian keningnya berkerut melihat ketidakhadiran Renata. 

“Maaf, Ma, Pa, kenapa Renata tidak ikut?” tanya Levin. Bukan sok perhatian, ia hanya merasa tidak adil. Seharusnya ia juga tidak ikut pertemuan keluarga berkedok makan siang ini. 

Windy merasa gugup mendengar pertanyaan Levin. Tangannya meremat kuat tangan Yuda di bawah meja untuk mengurangi kegugupan. 

“Renata sakit,” kata Yuda. Ia tahu Windy tidak mungkin sanggup menjawab pertanyaan yang cukup sensitif itu. 

“Astaga! Calon menantuku sakit? Setelah ini kita harus menjenguknya,” ujar Tania pada suami dan anaknya. 

‘Lebay,’ dengus Levin dalam hati. 

Yuda ikut panik, tidak mungkin ia membiarkan keluarga Narendra menjenguk Renata. Bahkan keberadaan putri sulungnya pun ia tak tahu. 

“Ehm, maaf sebelumnya, tapi Renata baru saja istirahat,” ujar Yuda hati-hati, takut menyinggung perasaan calon besannya. 

“Sayang sekali...” 

Sementara Ivana baru selesai makan siang sekalian merevisi tugas kuliah di sebuah restoran. Ia segera membereskan barang-barang di meja. Saat hendak melangkah keluar restoran, mata bulatnya membola saat melihat orang yang sangat ia kenal. Ia mematung di tempat, jantungnya berpacu sangat cepat. 

Sosok yang ditatap Ivana pun kaget saat matanya bertubrukan dengan mata gadis itu. Tapi, tak lama tatapan terkejutnya berubah menjadi tatapan memohon pada Ivana. Mau tidak mau gadis itu menahan diri untuk tidak menghampiri orang itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status