Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa
Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan
Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.
Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k
Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha