Alya Putri tak pernah menyangka bahwa pekerjaannya di perusahaan bergengsi justru membawanya berhadapan dengan pria paling menyebalkan yang pernah ia temui Rafael Kurniawan, CEO muda yang terkenal kejam dan dingin. Sejak hari pertama, Alya sudah membuat kesan buruk di mata Rafael. Sikap santainya bertolak belakang dengan dunia bisnis yang penuh aturan ketat yang Rafael ciptakan. Pertengkaran kecil, adu argumen, dan ketegangan seolah menjadi makanan sehari-hari mereka. Namun, takdir seakan punya rencana lain. Sebuah proyek besar memaksa mereka bekerja lebih dekat dari sebelumnya. Di tengah tekanan dan ambisi, perlahan-lahan rasa benci itu berubah menjadi rasa peduli yang sulit dijelaskan. Di balik tatapan tajam Rafael, Alya mulai menemukan luka lama yang tersembunyi. Sementara Rafael pun tak mampu lagi mengabaikan pesona Alya yang tak pernah ia duga sebelumnya. Di dunia bisnis yang keras dan penuh persaingan, akankah cinta yang tumbuh tanpa rencana ini mampu bertahan? Atau justru mereka harus memilih antara karier dan perasaan yang tak bisa lagi dipungkiri?
Lihat lebih banyakHari itu langit Jakarta seolah ikut memperburuk suasana hati Alya Putri. Awan kelabu menggantung berat, udara terasa gerah, dan kemacetan membuatnya hampir gila. Dengan tergesa, ia berlari-lari kecil memasuki lobi gedung pencakar langit yang menjulang megah di tengah kota. Logo 'Kurniawan Corp' berkilau di atas pintu utama, seolah mengingatkannya: di tempat inilah nasibmu akan berubah.
"Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyum profesional. "Alya Putri. Saya... saya dijadwalkan interview dengan Pak Rafael Kurniawan," jawabnya, sedikit terengah karena berlari. Senyum resepsionis itu sedikit meredup, seperti refleks alami. Seolah nama itu saja sudah cukup membuat siapa pun gugup. Dengan cepat, wanita itu mengangguk dan memberi isyarat agar Alya mengikuti seorang staf ke lantai atas. Sepanjang perjalanan di lift, Alya merapikan rambutnya, menarik napas dalam-dalam, dan berusaha mengusir rasa gugup yang tiba-tiba melanda. Ia sudah mendengar banyak cerita tentang Rafael Kurniawan: CEO muda, pintar, sukses, sekaligus terkenal dengan reputasi dingin dan tak kenal ampun. "Biasa aja, Alya," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. "Dia juga manusia. Bukan setan." Begitu pintu lift terbuka, seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam langsung menyambut. Tatapannya tajam, langkahnya tegap. Alya nyaris ingin mundur selangkah. "Alya Putri?" tanyanya tanpa basa-basi. "Iya, Pak." "Ikuti saya." Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan mewah. Di ujung koridor, sebuah pintu besar dari kayu jati terbuka lebar, memperlihatkan ruangan kantor yang modern dan minimalis. Duduk di balik meja, dengan laptop terbuka dan ekspresi datar, adalah Rafael Kurniawan. Alya tertegun sesaat. Pria itu benar-benar seperti yang diceritakan orang-orang: berwajah tampan, rahang tegas, rambut hitam rapi, dan mata yang tajam seperti pisau. "Duduk," katanya, tanpa melihat langsung ke arah Alya. Dengan gugup, Alya menarik kursi dan duduk. Ia berusaha tersenyum sopan, tapi Rafael tetap saja sibuk menatap layar laptopnya. "Jadi," kata Rafael akhirnya, dengan nada datar. "Kamu terlambat tujuh menit." Deg. Alya menelan ludah. "Saya minta maaf, Pak. Tadi macet" "Alasan klasik." Rafael akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Alya langsung untuk pertama kalinya. Tatapannya tajam, seolah menelanjangi seluruh alasan yang coba disusun Alya dalam pikirannya. "Di dunia ini, waktu adalah uang. Dan orang yang membuang waktu, membuang uang. Saya benci itu." Suasana ruangan mendadak menegang. Alya membuka mulut untuk membela diri, tapi ia urungkan. Tidak, ia harus tetap tenang. "Kamu tahu kenapa saya bersedia menginterview kamu sendiri, Alya Putri?" tanya Rafael. Alya menggeleng pelan. "Karena saya ingin lihat langsung apakah kamu layak berada di sini. Atau hanya buang-buang waktu saya." Perut Alya terasa bergejolak. Ia mengepalkan tangannya diam-diam di atas pangkuan, berusaha keras mempertahankan senyumnya. "Baik, Pak. Jika saya diberi kesempatan, saya akan membuktikan bahwa saya tidak akan membuang waktu Anda," katanya dengan suara yang lebih tenang dari yang ia rasakan. Rafael menyipitkan mata, seolah menimbang-nimbang. Ia lalu melemparkan selembar kertas ke atas meja. "Ini proyek pertama kamu kalau diterima. Baca. Mulai pikirkan solusinya. Waktu kamu hanya dua hari." Alya meraih kertas itu. Proyek kompleks dengan detail yang membuat kepalanya langsung pening. Tanpa memberikan kesempatan berbicara lebih banyak, Rafael kembali menunduk ke laptopnya, mengabaikan Alya seolah ia sudah tidak ada di ruangan. "Kamu bisa keluar," katanya tanpa menoleh. Alya berdiri, membungkuk sedikit, dan melangkah keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia akhirnya berani menarik napas panjang. "Astaga," gumamnya. "CEO macam apa itu?" Di ujung koridor, staf yang mengantarnya tadi menahan senyum simpul. "Selamat datang di dunia Rafael Kurniawan, Mbak Alya." Dan saat itu, dalam hati, Alya bersumpah: kalau memang harus bekerja di bawah pria itu, maka ia tidak akan pernah membiarkan dirinya diinjak-injak. Ini baru permulaan. Tapi pertempuran batin antara benci dan rasa penasaran sudah mulai bergelora dalam dirinya tanpa ia sadari. Beberapa jam kemudian, Alya duduk di sebuah kafe kecil tak jauh dari gedung. Di depannya, secangkir kopi yang sudah dingin nyaris tak tersentuh. Ia menatap berkas proyek yang baru saja diberikan Rafael dengan pandangan nanar. "Kamu gila, Alya. Gila," gumamnya sambil memijat pelipis. Diagram, laporan keuangan, analisa pasar semuanya bercampur aduk dalam dokumen itu. Ia bahkan nyaris tidak tahu harus mulai dari mana. Teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rani. Rani: Gimana interviewnya? Diterima, kan? Alya mengetik cepat. Alya: Baru interview. Belum tahu. Tapi orangnya... OMG, Ran, kayak es batu hidup. Tak butuh waktu lama, balasan datang. Rani: Haha, sabar. CEO emang begitu kali. Yang penting kamu harus nunjukkin siapa Alya! Alya tersenyum kecil. Walaupun hatinya masih panas mengingat sikap dingin Rafael, semangatnya perlahan kembali. Ia tahu, menyerah bukan pilihan. Ia menutup berkas proyek itu, lalu menarik napas panjang. "Dua hari. Aku akan bikin kamu kagum, Pak CEO Sombong," katanya, menggenggam cangkir kopinya erat-erat. Mata Alya menyala dengan tekad baru. Malam itu, tanpa peduli rasa lelah, ia mulai merancang langkah pertamanya untuk menaklukkan proyek dan mungkin, tanpa ia sadari, menaklukkan hati seseorang yang bahkan belum tahu betapa hidupnya akan berubah.Alya menatap Rafael, yang kini membeku menatap layar ponselnya. Wajahnya mengeras, tapi di balik itu, matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alya lihat sebelumnya—takut.“Apa itu... ancaman?” tanya Alya pelan, seolah tak ingin percaya apa yang baru mereka lihat.Rafael mengangguk, lalu meletakkan ponsel di meja. “Nomor tak dikenal. Tapi mereka tahu gerak kita.”Alya menggigit bibir. “Berarti ini bukan cuma soal bisnis. Ini sudah personal.”Suasana di apartemen seketika berubah mencekam. Udara malam yang sejuk terasa menyesakkan. Alya berdiri, berjalan mondar-mandir. Ia mencoba berpikir jernih.“Kita harus amankan data-data penting. Semua dokumen buyback, pergerakan saham, bahkan email internal. Kalau mereka bisa mengakses informasi kita, mereka bisa sabotase dari dalam.”Rafael menyalakan laptopnya. “Aku akan hubungi tim IT. Kita harus audit semua server malam ini.”Sementara Rafael mengurus pengamanan digital, Alya menghubungi Dira. “Dira, aku butuh bantuannya lagi. Cek siapa
Tiga hari setelah keputusan dewan direksi yang mengeluarkan Clara dari jajaran eksekutif, Rafael memutuskan menggelar konferensi pers resmi. Bukan hanya untuk menjaga reputasi Kurniawan Corp, tapi juga demi menenangkan investor yang mulai gelisah.Konferensi digelar di ballroom hotel mewah di pusat Kuningan. Ruangan dipenuhi para wartawan, kamera siaran langsung, dan deretan pemegang saham yang ingin mendengar langsung dari sang CEO.Rafael berdiri di podium, jasnya rapi, wajahnya tenang meski sorotan kamera terasa menekan."Dengan berat hati, kami umumkan bahwa Clara Wibisono tidak lagi menjabat sebagai Direktur Operasional di Kurniawan Corp. Keputusan ini diambil setelah melalui pertimbangan matang oleh dewan direksi dan tim etika perusahaan."Suara kilatan kamera memenuhi ruangan."Namun kami menghormati hak beliau sebagai pemegang saham, dan sampai saat ini, beliau masih memegang 18% saham perusahaan. Kami berkomitmen menjaga integritas, profesionalisme, dan stabilitas perusahaan
Hari-hari setelah dikeluarkannya Clara dari posisi eksekutif Kurniawan Corp terasa seperti badai yang mereda—tenang di permukaan, tapi menyisakan jejak ketegangan. Alya Putri tahu betul, ini belum benar-benar selesai. Rafael duduk di ruangannya yang kini lebih lengang sejak kepergian Clara. Di hadapannya, tumpukan laporan akuisisi dan pemindahan otoritas masih belum semua ditandatangani. Meski Clara telah dicopot dari jabatan strategisnya, satu hal masih menjadi duri dalam daging: Saham. Clara masih memiliki 15% saham di Kurniawan Corp—warisan dari ayah Rafael yang dulu memercayainya lebih dari sekadar rekan bisnis. Dan selama saham itu belum berpindah tangan, Clara tetap memiliki suara. Meski kecil, cukup untuk menyulitkan jalannya rapat penting. Cukup untuk jadi ancaman tersembunyi. “Dia bisa sewaktu-waktu kembali, dan dengan cara yang tidak terduga,” ucap Alya pelan ketika mereka duduk berdampingan di ruang kerja Rafael malam itu, meninjau hasil rapat tahunan internal direksi.
Alya melangkah ke kantor dengan perasaan campur aduk. Promosi yang diberikan Rafael membuatnya merasa terhargai, tetapi sekaligus semakin terperangkap dalam intrik dunia korporat yang keras. Ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, apakah ini jalan yang tepat untuknya, ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan besar yang tak pernah ia pilih? Pagi itu, Alya duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Laporan tahunan, analisis pasar, dan proposal untuk klien yang akan datang. Semuanya menumpuk, dan di tengah kesibukan itu, ia menerima pesan dari Rafael. Rafael: “Alya, ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Bisa ke ruanganku siang ini?” Alya menatap layar ponselnya, ragu sejenak. Ada kecemasan yang menggelayuti hatinya. Apa yang ingin dibicarakan Rafael? Apakah ini tentang Clara, atau lebih lanjut tentang peran baru yang kini ia emban di Kurniawan Corp? Siang itu, setelah makan siang, Alya menuju ruang Rafael. Pintu yang biasanya terbuka
Hari-hari setelah pertemuannya dengan Clara terasa berbeda bagi Alya. Ia bukan lagi wanita yang hanya bertahan dalam senyap. Kali ini, ia akan menyusun strategi, bukan hanya untuk melindungi dirinya, tapi juga membalas semua yang selama ini diam-diam menjatuhkannya. Langkah pertama yang ia ambil adalah memperkuat dukungan dari dalam. Alya mulai mendekati beberapa kepala divisi yang selama ini bekerja sama dengannya—mereka yang diam-diam menghargai profesionalismenya. “Pak Arif, saya tahu audit mendadak ini bukan murni inisiatif perusahaan,” ujar Alya di ruang kopi bersama kepala divisi keuangan yang sudah senior itu. Arif hanya mengangguk pelan. “Kami tahu ini bukan soal data. Ini soal politik. Tapi saya akan bersaksi sesuai fakta, Nona Alya. Kamu orang yang bekerja paling bersih di ruangan ini.” Alya tersenyum kecil. Dukungan seperti ini adalah fondasi awal. Langkah berikutnya, ia menemui Lisa dan membicarakan sesuatu yang sudah ia rencanakan semalaman. “Aku butuh kamu bantu k
Langit Kuningan malam itu tidak lagi semendung sebelumnya, tapi hati Alya justru terasa lebih gelap. Tatapan Rafael, permintaan maafnya, bahkan pengakuan bahwa ia ingin menjadi lebih baik demi Alya semuanya begitu mengejutkan sekaligus membingungkan.Namun satu hal yang lebih mengganggunya adalah sosok Clara. Tatapan penuh kemarahan dari balik mobil yang tidak disadari Rafael, tapi begitu jelas terasa oleh Alya. Ia tahu, badai yang sesungguhnya baru akan dimulai.Keesokan paginya, suasana kantor tampak lebih tegang dari biasanya. Beberapa pegawai tampak membisikkan sesuatu, pandangan mereka sesekali mengarah pada Alya yang baru saja keluar dari lift.“Ada apa, ya?” tanya Alya pelan pada Lisa.Lisa menatap sekeliling sebelum mendekat dan berbisik, “Clara mengumpulkan bukti untuk menjatuhkanmu. Dia bilang kamu menyalahgunakan jabatan, dan... ada rumor tentang hubunganmu dengan Pak Rafael.”Alya menarik napas dalam. “Cepat juga dia bergerak.”Lisa menatapnya khawatir. “Kamu harus hati-ha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen