Home / Romansa / Benih Papa Sahabatku / Bab 6. Ibu Sambung

Share

Bab 6. Ibu Sambung

Author: Syatizha
last update Huling Na-update: 2024-12-09 14:06:07

"Ya elah, yang udah nikah, omongannya nikah mulu ... enggak gitu juga kali, Mih. Aku belum siap buat nikah muda. Pacaran juga kan aku masih bisa jaga diri."

"Halah, belum tentu. Setan yang ngegodain orang pacaran tuh lebih banyak."

"Idih, kayak yang pernah lihat setan aja!"

"Emang bener!"

Perdebatan antara ibu sambung dan anak sambung itu terus saja berlanjut. Mereka berbeda pandangan perihal pacaran dan pernikahan. Keduanya bersikukuh dengan pendapat masing-masing. 

"Menikah itu untuk seumur hidup, maunya kan satu kali aja nikahnya. Jadi harus benar-benar selektif cari calon suaminya. Kalau cuma, ya ... iseng-iseng doang atau cuma ngandelin cinta doang mah gampang. Tuh lihat, artis-artis yang pernikahannya mewah tetap aja ujungnya cerai." Bianca masih membela argumentasinya. 

"Nah itu. Padahal kan artis itu pacarannya lama. Tapi, tetap aja cerai! Ya kan? Ya kan?" 

Namira merasa di atas angin. Bianca terjebak ucapannya sendiri. Bibirnya manyun beberapa centi, garuk-garuk kepala yang tak gatal. 

"Iya sih."

"Nah kan? Makanya gak jaminan. Pacaran dulu bisa langgeng pernikahan. Intinya, kita harus tau makna pernikahan itu apa? Kalau cuma ngandelin cinta, susah bertahannya karena apa? Cinta itu sifatnya cuma sementara." 

Gaya Namira sudah seperti pakar cinta saja. Dia mengajari Bianca tentang hakikat cinta sebenarnya. Tentang pentingnya menjaga kepercayaan, saling mengerti dan saling menghargai pasangan. 

"Ya ampun, Mamih ... kamu tuh udah kayak ibu-ibu beneran deh! Level omongannya tuh udah tingkat umur 30 tahunan."

"Yeh, dibilangin malah ngeledek. Anak sambung durhaka!"

Bianca tertawa, merangkul pinggang Namira gemas. Sejak orang tuanya bercerai, Namira menjadi tempat berkeluh kesah Bianca. Sebelumnya memang Bianca tidak terlalu dekat dengan mamanya tetapi adanya Namira dalam kehidupannya, membuat Bianca mempunyai tempat cerita. Satu hal yang tak diduga Bianca ketika ia mengetahui kalau Namira diam-diam jatuh hati pada papanya. 

"Mamih, pulang dari kampus, kita beli cincin lagi, ya? Gak enak banget dilihatnya, udah nikah, jarimu masih kosong. Nih lihat!" Bianca mengangkat jari Namira. 

"Tapi, jari manisku lecet, Bi. Kamu sih, beliin cincin bisa kekecilan gitu?"

"Lah, kamu juga, kenapa diajak beli cincin gak mau? Malah nyuruh aku!"

"Waktu itu kan perutku lagi sakit. Ya kamu, harusnya kira-kira. Emang waktu beli gak diukur dulu apah?"

"Diukur!"

"Pake jarimu yang mana?"

"Kelingking," jawab Bianca nyengir kuda. 

"Heh, dasar! Iyalah kekecilan."

Bianca tertawa, mencubit gemas pipi ibu sambungnya. Perdebatan mereka tak pernah ada akhirnya jika tidak terdengar suara pintu diketuk. 

"Masuk!" serempak, dua gadis itu berteriak. Lalu, keduanya sama-sama tertawa, menertawakan kekompakan mereka. Gelak tawa keduanya terhenti, ketika Bianca melihat orang yang masuk ke dalam ruangan. 

"Tan ... Tante Hesti?" gumam Namira, tubuhnya menegang melihat wanita yang penampilannya seperti wanita sosialita. Hesti membuka kaca mata hitamnya. Tas bermerk yang menggantung di lengannya ia letakkan di atas meja. Wanita itu raut wajahnya begitu dingin. Dia hanya menoleh sekilas pada Bianca, seolah tak mengenal anak tunggalnya. 

"Hai, Bi, Hai Namira. Kabar kalian sepertinya baik-baik aja ya? Terutama kamu, Namira. Kelihatannya kamu sekarang tambah cantik setelah diadopsi Daniel? Kamu juga, Bi. Terlihat lebih dewasa dan ... cantik. Persis seperti Mamahnya," seloroh Hesti menatap Bianca dan Namira bergantian. 

"Enggak apa-apa sih, cantik kayak mamahnya. Asal jangan sifatnya aja kayak mamahnya. Amit-amit, nauzubillahiminzalik," timpal Bianca membuat senyum Hesti seketika hilang. 

"Bianca, Papahmu mana?"

Setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa, seorang ibu, seorang wanita yang telah melahirkannya, tak ada sedikitpun kerinduan yang terlihat dari kedua bola matanya. Bahkan, Bianca seperti bukan anak kandung Hesti. 

Namira menoleh pada sahabatnya yang menatap lekat wanita yang tengah duduk di kursi kerja papanya. 

"Mau apa, kamu nyariin papahku?" Suara Bianca terdengar sangat datar. Tidak ada kata 'Mamah' yang terucap dari bibir mungil itu. Namira terkejut, ia memegang lengan sahabat sekaligus anak sambungnya. 

Bibir Hesti menyunggingkan senyum sinis, ia berdiri, menghampiri Bianca yang duduk di sofa dan menyuruh Namira berdiri. Hesti duduk di tempat Namira, lalu berusaha meraih telapak tangan anak kandungnya namun dengan kasar, Bianca menghempaskan tangan Hesti. 

"Karena ada kamu, Bi. Walaupun Mamah dan Papahmu sudah bercerai, tapi kami punya kamu. Kamu yang menjadi penyambung hubungan kami." Perkataan Hesti membuat Bianca dan Namira terkejut. Mereka menatap Hesti sangat lekat. 

"Maksudmu apa? Hubungan apa? Berkali-kali kamu selingkuhin papahku sampai akhirnya papah sadar kalau kamu bukan istri yang harus dipertahankan. Setelah itu, kamu pergi keluar negeri. Lalu sekarang? Datang lagi dan menyebut hubungan kami? Apa maksudmu?" tantang Bianca tanpa rasa takut. Hesti masih bersikap tenang walaupun hatinya tersinggung. 

"Maksud Mamah, Mamah akan mengajak papahmu kembali berumah tangga supaya kamu bisa merasakan keutuhan sebuah keluarga. Bukan begitu, Bi?"

Bianca tersenyum miring, menggelengkan kepala. 

"Oh gak usah! Gak usah repot-repot mikirin aku supaya merasakan keutuhan sebuah keluarga? Gak usah ... aku udah terbiasa hanya dengan papah. Aku udah terbiasa, kemana-mana bersama papah. Tapi sekarang ... alhamdulillah, aku udah punya Mamih. Mamih yang selalu ada buatku. Mamih yang selalu mau mendengar keluh kesahku. Mamih yang mau menemaniku kemanapun aku pergi. Jadi, lebih baik kamu urungkan niat itu." Panjang lebar Bianca menjelaskan keinginan hatinya. Namira yang duduk di tempat Hesti sebelumnya hanya merunduk. Ia jadi takut memandang Hesti. Setelah ini, mantan istri suami Namira pasti bertanya, siapa mamih itu?

"Papahmu udah nikah lagi?" tanya Hesti dingin. Raut wajah yang sebelumnya tenang, kini berubah masam. Bianca menyandarkan tubuh, bersidekap, dan menatap lurus ke depan. 

"Udah dong. Secara Papahku kan ganteng, banyak duit, baik hati, setia, pasti banyak wanita yang maulah. Dari yang muda sampe yang seumuran Papah, banyak yang mau. Cuma perempuan bodoh yang menyia-nyiakan Papahku," sindir Bianca menoleh sekilas pada Hesti. 

Hesti menghela napas berat. Dia pikir, Daniel belum menikah lagi. Dia pikir, Daniel belum bisa melupakan cintanya. Dia pikir, Daniel masih mau menerimanya kembali. Ternyata terlambat. Bianca benar, Daniel memang lelaki yang setia dan baik hati.

"Kayaknya Daniel gak bakalan mau kalau menjadikanku istri kedua. Tapi, enggak ada salahnya kalau aku coba bicara," gumam Hesti dalam hati. 

"Begitu ya? Jadi, sekarang siapa istri baru Papahmu? Apa dia lebih cantik dari Mamah? Lebih muda dari Mamah? Atau jangan-jangan, lebih buruk dari Mamah? Secara kan, Papahmu itu orangnya lurus-lurus aja. Mamah bisa tebak, istri baru Papahmu pasti berasal dari kampung, ya? Yang kelihatan polos, gak ber-make-up dan norak. Iya?"

Hesti mengejek selera Daniel. 

Bianca dan Namira tidak terima. Keduanya membeliakkan mata mendengar ejekan yang keluar dari mulut Hesti. 

"Jangan sok tau! kamu pengen tau siapa istri baru Papahku?"

"Emangnya siapa?"

"Tuh, Namira Rashid. Gadis yang beberapa menit lalu kamu bilang semakin cantik." Hesti terkejut. Bianca berdiri, menghampiri Namira yang duduk di kursi. 

"Kenalin, ini ibu sambungku. Namanya Namira Rashid, usianya masih 19 tahun. Masih gadis, masih perawan. Dan dia yang beberapa menit lalu kamu katakan, semakin cantik. Gimana? Keren banget kan Papahku bisa dapetin istri yang jauh lebih segala-galanya dari istri pertamanya?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 407. Menutup Mata

    "Eh, ngapain kamu masih di sini? Pulang sana!" Axel tiba-tiba muncul. Mengusir adiknya yang tengah ngobrol asik dengan Gilang. "Apaan sih? main ngusir orang aja. Kakak juga enggak pulang. Kalau kamu pulang, aku pulang," tandas Alea bersidekap. Axel menggelengkan kepala sambil berujar, "Terserah!"Axel menghampiri Ferry yang tengah melayani salah satu pengunjung. Alea menelisik Axel yang berbincang serius dengan ayah kandung Rina. "Bang, Bang Gilang?""Hm?""Kak Axel jadian ya sama si Rina?" tanya Alea setengah berbisik. "Rina? Rina siapa?" telisik Gilang menatap lekat Alea yang tengah memerhatikan Axel dan Ferry. "Rina anaknya pak Ferry. Emang Abang enggak kenal?""Oohh ... kenal. Beberapa kali Rina datang ke sini. Kayaknya Axel enggak ada hubungan apa-apa sama Rina. Cuma temenan aja. Axel lebih sering cerita Cassandra dari pada Rina.""Ooohh ...." Terlihat Axel berjalan ke arah Alea. Gadis itu membalikkan badan, menghadap Gilang dan menyeruput kopi hingga tandas. Axel masuk ke

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 406. Lama, Bang

    "Ini kopinya gadis cantik."Giliran Gilang yang memuji Alea. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat tingkah gadis SMA itu. "Mamacih Abang ganteng."Gilang terkekeh menggelengkan kepala. Memerhatikan Alea yang menyeruput kopi dengan hati-hati. "Manis enggak kopinya?" "Banget. Mirip sama yang bikinnya. Ma-nis!""Hahahaha ... bisa aja kamu, Lea. Ngomong-ngomong, tumben amat enggak pulang ke rumah dulu. Nanti kalau mama kamu tau, bisa dimarahin kamu!" kata Gilang mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlalu jauh bercanda dengan Alea. Baginya, Alea sudah dianggap selayak adik sendiri. Alea meletakkan secangkir kopi di hadapan, bibirnya mengerucut. "Sekarang aku lagi enggak betah tinggal di rumah, Bang. Enggak nyaman, enggak sebahagia dulu lagi."Keluhan Alea sama persis yang diceritakan Axel pada Gilang. Lelaki itu menghela napas berat, duduk di bangku minibar, dan menatap lekat gadis berseragam SMA . "Sabar ... mungkin ini jadi salah satu ujian buat kamu dan Axel.""Emang kak Axel

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 405. Bisa Jadi

    "Lea, aku mohon jangan marah. Kalau kamu enggak punya perasaan yang sama denganku, enggak apa-apa, Lea. Aku cuma ingin jujur aja. Apapun jawabanmu aku akan terima." Melihat reaksi Alea, Arfan secepatnya memberi penjelasan. Ia tak ingin gadis yang dicintainya itu menghindar ketika mendengar ungkapan hati. Namun, jika Arfan tidak mengungkapkan sekarang, dia tak bisa tenang. "Sorry, Fan. Aku enggak ada pikiran ke arah sana. Aku pengen fokus ke pendidikan dulu. Kalau kamu pengen sahabatan sama aku, ya enggak apa-apa. Tapi hanya sebatas itu. Enggak lebih." Setenang mungkin Alea memberi jawaban atas ungkapan hati Arfan. Lelaki itu menghela napas berat, Mengusap tengkuk, menganggukkan kepala. "Sorry," ucap Alea pelan. Arfan tersenyum, menganggukkan kepala. "Its, oke. Enggak apa-apa. Aku ngerti, Lea. Ya sudah aku cuma mau ngomong itu aja. Tapi, Lea .... ""Tapi apa?" "Kita masih bisa sahabatan 'kan?" Arfan meyakinkan. Meringis menunggu jawaban Alea. "Iya masih. Tapi hanya sekadar sahabat

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 404. Mengungkapkan

    Nida enggan menanggapi ucapan Bianca. Ia tak mau berdebat di depan orang banyak. Membiarkan Bianca dalam egonya. Haifa yang duduk di samping Nida, hanya menoleh sekilas. Kemudian, fokus kembali ke meeting selanjutnya. Haifa tahu perasaan Nida saat ini. Ia hanya berusaha menjaga harga diri dan wibawa Bianca di depan karyawan lain. Kasihan Nida, selalu saja mengalah pada wanita yang telah merawat dan membesarkan Axel dan Alea itu. Usai meeting, Nida sengaja tak langsung keluar ruangan. Ia ingin bicara empat mata dengan Bianca. Evan dan Haifa mengerti, kedua orang itu keluar membiarkan Nida dan Bianca berbicara. "Aku akan tetap membawa keluarga Pak Ferry," ucap Nida bersikeras mengajak keluarga itu ke Bandung. "Enggak bisa, Nida. Tadi udah aku putuskan. Kamu enggak boleh ----""Kaaak!" sela Nida kesal. Kalimat Bianca terpotong. Sorot mata Nida begitu menghujam Bianca. "Itu urusanku. Kakak jangan ikut campur! Yang penting, aku bisa kelola cabang perusahaan kita. Please lah, Kak. Jangan

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 403. Tidak diberi Izin

    "Bukan begitu, Mbak. Justru aku ngerasa gak enak hati kalau ikut pindah ke Bandung. Nanti malah ngerepotin Mbak," jelas Haifa tak ingin Nida salah paham. "Enggak ngerepotin, Haifa. Adanya kamu di sini, di dekat aku, sangat membantuku. Tapi aku juga belum ambil keputusan kapan pindahnya. Kamu kan tau, sekarang Mbak lagi proses sidang cerai. Mungkin kalau urusanku dengan mas Hanif udah selesai, barulah pindah ke Bandung. Menurutmu bagaimana?"Sengaja Nida meminta pendapat Haifa. Tujuannya agar Haifa merasa dibutuhkan. Nida yang duduk di balik kemudi menoleh sekilas. Melihat Haifa yang tampak berpikir. "Aku sih ikut apa kata Mbak saja. Tapi, baiknya memang setelah urusan perceraian Mbak dengan mas Hanif selesai, barulah kita pindah. Oh ya, Mbak. Nasib rumah tanggaku gimana? Aku juga ingin gugat cerai mas Rangga. Aku udah enggak mau berurusan dengan lelaki mokondo itu." Giliran Haifa yang meminta pendapat pada Nida. Haifa benar-benar ingin terlepas dari lelaki hidung belang macam Rangga

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 402. Rencana Pindah

    Pagi hari di paviliun.Tina mengendap-endap masuk ke dalam kamar anak semata wayangnya. Ia berniat mengembalikan handphone Rina di laci meja rias. Kebetulan saat itu, Rina masih di dalam toilet. Setelah memasukkan handphone Rina ke dalam laci meja rias, Tina bergegas keluar kamar. Ia tak ingin kepergok putrinya. "Udah disimpan, Sayang?" Ferry bertanya ketika Tina ke ruang makan. Jam menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Masih pagi buta. Sebelumnya Tina sudah menyiapkan nsarapan untuk Nida, Haifa dan Rafasya. Setelah rapi, barulah menyiapkan sarapan untuk Rina dan Ferry. "Sudah, Mas," jawab Tina sambil menyendokkan nasi ke atas piring serta lauk pauk, lalu disodorkan ke depan sang suami. "Aku berharap, Rina enggak deket lagi dengan Axel. "Iya, Mas."Setelah itu, tak ada lagi yang bicara. Kedua orang tua Rina menyantap sarapan lebih dulu, tidak menunggu anaknya datang. Selang beberapa menit, suara Rina terdengar riang. "Ibu, Ayah, lihat ini!"Rina datang ke ruang makan,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status