Home / Romansa / Benih Papa Sahabatku / Bab 7. Icip-Icip

Share

Bab 7. Icip-Icip

Author: Syatizha
last update Last Updated: 2024-12-09 14:06:52

Hesti sangat terkejut mendengar kenyataan kalau Namira, anak yang dulu sempat dibiarkan tinggal di rumah Daniel sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, kini menjadi istri kedua mantan suaminya. Hesti berdiri, menggelengkan kepala. 

"Kalian berdua pasti bercanda. Papahmu bukan pedofil, Bian. Dia lelaki normal, gak mungkin nikahin gadis muda seperti Namira," tandas Hesti, menolak kenyataan yang diucapkan anak kandungnya. 

"Emang papah normal. Papah juga sangat selektif. Udahlah, jangan ngarepin papah lagi. Papah udah punya istri baru dan akan memiliki anak lagi dari rahim sahabatku," ujar Bianca sambil mengelus-elus perut Namira. Meski agak geli, Namira membiarkan sahabatnya melakukan apapun yang diinginkan. 

"Kalian ini, ada-ada aja. Oke, kalau gitu Mamah mau pergi dulu. Nanti malam Mamah akan pulang ke rumah, mau nemuin Papahmu."

"Enak aja! Jangan pulang ke rumah Papah. Kamu sama Papah udah gak ada hubungan apa-apa. Emang udah bosen gonta-ganti pasangan?"

"Jaga mulutmu, Bianca! Mamah ini Mamahmu! Ingat itu!"

"Aku ingat! Sangat ingat! Aku ingat kalau kamu adalah Mamahku! Tapi kamu yang lupa, kalau aku adalah anakmu!" 

Sebulir air mata lolos dari pelupuk mata Bianca. Namira terkejut, ia merangkul pundak Bianca agar tetap tenang. 

Hesti tak menanggapi, ia mengambil tas mahalnya lalu keluar ruangan tanpa berucapa sepatah kata pun. 

Bianca meluapkan tangisannya pada Namira. Hatinya sangat sedih. Lazimnya, hubungan seorang ibu dan anak kandung sangat dekat tetapi yang Bianca rasakan justru sebaliknya. Sejak kecil, ia tak pernah merasakan perhatian dan kepedulian yang diberikan seorang ibu kandung. Bahkan pada saat mengambil raport di sekolah pun, Daniel yang datang. Tidak pernah satu kali Hesti datang mengambil raport Bianca. Wanita itu benar-benar terlalu sibuk dengan dunianya. Ternyata, ibu seperti Hesti di dunia ini memang ada. Terkadang Bianca sering bertanya, apa benar ia lahir dari seorang wanita bernama Hesti? Kenapa tidak ada ikatan batin?

Pintu ruangan terbuka, seorang lelaki gagah meski usianya tak lagi muda masuk tergesa-gesa. 

"Bianca, apa tadi Mamahmu datang?" tanya Daniel langsung. Pada saat meeting, Daniel mendengar kabar kalau Hesti keluar dari ruangan pribadinya. 

"I-iya, Pah."

"Dia nyakitin kamu?" telisik Daniel memegang kedua bahu Bianca, menatapnya lekat.

"Enggak, Om. Tante Hesti gak nyakitin Bianca. Bia cuma sedih aja soalnya ...." Namira menggantung kalimat, menoleh, memandang anak sambungnya. 

"Soalnya apa?" tanya Daniel, memindahkan pandangan pada istrinya. 

"Udah, Pah. Aku gak apa-apa," sela Bianca menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya. 

"Papah udah selesai kan meetingnya? Aku pengen ke kampus sekarang," ujar Bianca mengambil tas dan buku-bukunya di sofa. Namira mengikuti langkah Bianca. Mengambil tas dan juga buku-buku. 

"Kamu yakin, baik-baik aja?" Daniel memastikan keadaan anak tersayangnya. Bianca menganggukkan kepala. 

Daniel mendekat, memeluk tubuh Bianca. 

"Papah tau, ada ucapan Hesti yang menyakiti hatimu, Bi. Tapi, kamu gak mau bilang sama Papah. Papah akan pastikan, dia gak akan bisa menemuin kamu lagi, oke? Udah, jangan nangis!"

Bianca mengangguk, menyeka air matanya lembut. Namira hanya terdiam, merasakan kesedihan yang dialami sahabatnya. 

Sepanjang jalan menuju kampus, tidak ada yang bicara. Semuanya bergelut dengan pikiran masing-masing. Biasanya Bianca yang heboh bercerita tetapi sekarang dia hanya diam, memandang keluar jendela. Sesekali Bianca menyeka lelehan air matanya. 

Sampai di kampus, Bianca turun lebih duu. Dia membiarkan Namira dan Daniel berdua di dalam mobil. 

"Sayang, sekarang kamu cerita sama Om. Apa yang dikatakan Hesti pada Bianca? Dia bilang apa?"

Sorot mata Daniel mengisyaratkan kecemasannya pada Bianca. Namira menggigi bibir bawah, ia tampak ragu. Tanpa aba-aba, Daniel meng3cup kedua pipi Namira, bibir dan keningnya. Seketika, raut wajah Namira berubah sumringah. 

"Om, agresif juga, ya? Aku kan jadi suka ...," kata Namira malu-malu, mengulum senyum, merunduk sambil melirik suaminya. 

"Kamu menggemaskan, cantik dan seksi."

"Masa?" Kedua pipi Namira berubah merona. 

"Sekarang, kamu cerita, apa yang dikatakan Hesti pada Bianca?"

Dengan lancar, Namira bercerita tentang ucapan Hesti dan Bianca. Daniel sangat fokus menyimak cerita istri mudanya. Semakin lama, Daniel semakin menyukai Namira. Gaya bicaranya, tertawanya dan senyumnya. Semua Daniel suka. 

"Apa reaksi dia waktu tau kamu istriku?"

"Kagetlah. Dia gak percaya gitu." Namira mengakhiri ceritanya. Daniel menghela napas panjang, melirik arloji, lima belas menit lagi jam sembilan. 

"Om, Ayang?"

"Hm?" Daniel menoleh, mengubah posisi duduk, lebih menghadap Namira. 

"Kalau Tante Hesti minta balikan lagi sama Om, Om mau?"

"Enggak," jawab Daniel cepat. 

"Yakin?" Namira memastikan lagi. Ia sangat takut kalau Daniel tergoda dan mau kembali berumah tangga dengan Hesti. 

"Sangat yakin. Kamu gak usah khawatir untuk itu justru yang aku khawatirkan itu Bianca. Om takut kalau dia dimanfaatkan Hesti. Contohnya sekarang. Hesti menggelapkan uang perusahaan atas nama rekening Bianca. Menurut Om, itu udah gila, terlalu nekat."

Namira melongo mendengar informasi yang baru saja disampaikan Daniel. Ia tak menyangka kalau masalah besar yang kemarin dihadapi suaminya adalah masalah Hesti. 

"Terus, sekarang gimana?"

"Rekeningnya udah dibekukan. Mungkin itu, yang jadi alasan Hesti pengen nemuin Om."

Namira mengalihkan pandangan ke depan. Mengingat kembali kedatangan Hesti ke kantor sang suami. Andai saja Hesti dan Daniel bertemu, apa yang akan terjadi?

"Om Ayang?"

"Iya?"

"Aku punya pantun."

"Pantun apa?"

"Ikan Hiu kegatelan, i love you ugal-ugalan," ungkap Namira. 

Daniel terkekeh, lalu meraih telapak tangan istrinya. Namira terkejut, tapi membiarkan Daniel mencium dan menj1lat ruas jari gadis itu.

"Om, kok digituin sih?" Ada perasaan aneh yang menyelimuti diri Namira. Darahnya mendadak terasa memanas. 

"Sayang, Om cinta kamu. Sayang kamu. Kalau ... mens-mu udah bersih, jangan ditunda lagi," ucap Daniel, mendekatkan wajahnya pada wajah Namira. 

"Idih, yang suka menunda itu siapa? Om kan? Hem, sekarang aja, giliran aku lagi mens, malah mau," gerutu Namira menghempaskan tangan suaminya. Ia mendekap kedua tangan di depan dada. 

"Ya maaf, Om yang salah. Sekarang icip-icip dulu boleh gak? Katanya kalau bagian atas gak apa-apa. Yang penting jangan memasukan. Boleh gak?" Meski malu, Daniel mengungkapkan keinginan yang dia rasakan saat ini. 

"Di sini?" tanya Namira, membeliakkan kedua mata. 

"Iya, Sayang. Itu juga kalau boleh."

Namira salah tingkah melihat sesuatu yang .... 

"Kalau ada yang lihat gimana, Om?" Namira takut-takut apalagi banyak mahasiswa yang berseliweran. 

"Enggak akan ada yang lihat. Kaca mobil Om aman. Kalau gak boleh gak apa-apa. Nanti aja di rumah. Ya udah, turun gih! Sebentar lagi kelasmu dimulai." Daniel mengalihkan pandangan, menarik napas panjang, berusaha menetralisir perasaannya. 

Namira jadi bingung, antara takut terlihat orang lain dan kasihan pada Daniel yang tampaknya kesulitan menahan. 

"Ya udah deh boleh. Tapi, di jok belakang. Cuma icip-icip yang atas doang kan, Om?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Icip² kaya nyobain masakan aja...
goodnovel comment avatar
cucu jeloolll
icip icip bjirr
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 407. Menutup Mata

    "Eh, ngapain kamu masih di sini? Pulang sana!" Axel tiba-tiba muncul. Mengusir adiknya yang tengah ngobrol asik dengan Gilang. "Apaan sih? main ngusir orang aja. Kakak juga enggak pulang. Kalau kamu pulang, aku pulang," tandas Alea bersidekap. Axel menggelengkan kepala sambil berujar, "Terserah!"Axel menghampiri Ferry yang tengah melayani salah satu pengunjung. Alea menelisik Axel yang berbincang serius dengan ayah kandung Rina. "Bang, Bang Gilang?""Hm?""Kak Axel jadian ya sama si Rina?" tanya Alea setengah berbisik. "Rina? Rina siapa?" telisik Gilang menatap lekat Alea yang tengah memerhatikan Axel dan Ferry. "Rina anaknya pak Ferry. Emang Abang enggak kenal?""Oohh ... kenal. Beberapa kali Rina datang ke sini. Kayaknya Axel enggak ada hubungan apa-apa sama Rina. Cuma temenan aja. Axel lebih sering cerita Cassandra dari pada Rina.""Ooohh ...." Terlihat Axel berjalan ke arah Alea. Gadis itu membalikkan badan, menghadap Gilang dan menyeruput kopi hingga tandas. Axel masuk ke

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 406. Lama, Bang

    "Ini kopinya gadis cantik."Giliran Gilang yang memuji Alea. Bibirnya menyunggingkan senyum melihat tingkah gadis SMA itu. "Mamacih Abang ganteng."Gilang terkekeh menggelengkan kepala. Memerhatikan Alea yang menyeruput kopi dengan hati-hati. "Manis enggak kopinya?" "Banget. Mirip sama yang bikinnya. Ma-nis!""Hahahaha ... bisa aja kamu, Lea. Ngomong-ngomong, tumben amat enggak pulang ke rumah dulu. Nanti kalau mama kamu tau, bisa dimarahin kamu!" kata Gilang mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau terlalu jauh bercanda dengan Alea. Baginya, Alea sudah dianggap selayak adik sendiri. Alea meletakkan secangkir kopi di hadapan, bibirnya mengerucut. "Sekarang aku lagi enggak betah tinggal di rumah, Bang. Enggak nyaman, enggak sebahagia dulu lagi."Keluhan Alea sama persis yang diceritakan Axel pada Gilang. Lelaki itu menghela napas berat, duduk di bangku minibar, dan menatap lekat gadis berseragam SMA . "Sabar ... mungkin ini jadi salah satu ujian buat kamu dan Axel.""Emang kak Axel

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 405. Bisa Jadi

    "Lea, aku mohon jangan marah. Kalau kamu enggak punya perasaan yang sama denganku, enggak apa-apa, Lea. Aku cuma ingin jujur aja. Apapun jawabanmu aku akan terima." Melihat reaksi Alea, Arfan secepatnya memberi penjelasan. Ia tak ingin gadis yang dicintainya itu menghindar ketika mendengar ungkapan hati. Namun, jika Arfan tidak mengungkapkan sekarang, dia tak bisa tenang. "Sorry, Fan. Aku enggak ada pikiran ke arah sana. Aku pengen fokus ke pendidikan dulu. Kalau kamu pengen sahabatan sama aku, ya enggak apa-apa. Tapi hanya sebatas itu. Enggak lebih." Setenang mungkin Alea memberi jawaban atas ungkapan hati Arfan. Lelaki itu menghela napas berat, Mengusap tengkuk, menganggukkan kepala. "Sorry," ucap Alea pelan. Arfan tersenyum, menganggukkan kepala. "Its, oke. Enggak apa-apa. Aku ngerti, Lea. Ya sudah aku cuma mau ngomong itu aja. Tapi, Lea .... ""Tapi apa?" "Kita masih bisa sahabatan 'kan?" Arfan meyakinkan. Meringis menunggu jawaban Alea. "Iya masih. Tapi hanya sekadar sahabat

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 404. Mengungkapkan

    Nida enggan menanggapi ucapan Bianca. Ia tak mau berdebat di depan orang banyak. Membiarkan Bianca dalam egonya. Haifa yang duduk di samping Nida, hanya menoleh sekilas. Kemudian, fokus kembali ke meeting selanjutnya. Haifa tahu perasaan Nida saat ini. Ia hanya berusaha menjaga harga diri dan wibawa Bianca di depan karyawan lain. Kasihan Nida, selalu saja mengalah pada wanita yang telah merawat dan membesarkan Axel dan Alea itu. Usai meeting, Nida sengaja tak langsung keluar ruangan. Ia ingin bicara empat mata dengan Bianca. Evan dan Haifa mengerti, kedua orang itu keluar membiarkan Nida dan Bianca berbicara. "Aku akan tetap membawa keluarga Pak Ferry," ucap Nida bersikeras mengajak keluarga itu ke Bandung. "Enggak bisa, Nida. Tadi udah aku putuskan. Kamu enggak boleh ----""Kaaak!" sela Nida kesal. Kalimat Bianca terpotong. Sorot mata Nida begitu menghujam Bianca. "Itu urusanku. Kakak jangan ikut campur! Yang penting, aku bisa kelola cabang perusahaan kita. Please lah, Kak. Jangan

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 403. Tidak diberi Izin

    "Bukan begitu, Mbak. Justru aku ngerasa gak enak hati kalau ikut pindah ke Bandung. Nanti malah ngerepotin Mbak," jelas Haifa tak ingin Nida salah paham. "Enggak ngerepotin, Haifa. Adanya kamu di sini, di dekat aku, sangat membantuku. Tapi aku juga belum ambil keputusan kapan pindahnya. Kamu kan tau, sekarang Mbak lagi proses sidang cerai. Mungkin kalau urusanku dengan mas Hanif udah selesai, barulah pindah ke Bandung. Menurutmu bagaimana?"Sengaja Nida meminta pendapat Haifa. Tujuannya agar Haifa merasa dibutuhkan. Nida yang duduk di balik kemudi menoleh sekilas. Melihat Haifa yang tampak berpikir. "Aku sih ikut apa kata Mbak saja. Tapi, baiknya memang setelah urusan perceraian Mbak dengan mas Hanif selesai, barulah kita pindah. Oh ya, Mbak. Nasib rumah tanggaku gimana? Aku juga ingin gugat cerai mas Rangga. Aku udah enggak mau berurusan dengan lelaki mokondo itu." Giliran Haifa yang meminta pendapat pada Nida. Haifa benar-benar ingin terlepas dari lelaki hidung belang macam Rangga

  • Benih Papa Sahabatku   Bab 402. Rencana Pindah

    Pagi hari di paviliun.Tina mengendap-endap masuk ke dalam kamar anak semata wayangnya. Ia berniat mengembalikan handphone Rina di laci meja rias. Kebetulan saat itu, Rina masih di dalam toilet. Setelah memasukkan handphone Rina ke dalam laci meja rias, Tina bergegas keluar kamar. Ia tak ingin kepergok putrinya. "Udah disimpan, Sayang?" Ferry bertanya ketika Tina ke ruang makan. Jam menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Masih pagi buta. Sebelumnya Tina sudah menyiapkan nsarapan untuk Nida, Haifa dan Rafasya. Setelah rapi, barulah menyiapkan sarapan untuk Rina dan Ferry. "Sudah, Mas," jawab Tina sambil menyendokkan nasi ke atas piring serta lauk pauk, lalu disodorkan ke depan sang suami. "Aku berharap, Rina enggak deket lagi dengan Axel. "Iya, Mas."Setelah itu, tak ada lagi yang bicara. Kedua orang tua Rina menyantap sarapan lebih dulu, tidak menunggu anaknya datang. Selang beberapa menit, suara Rina terdengar riang. "Ibu, Ayah, lihat ini!"Rina datang ke ruang makan,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status