“Besok sore setelah shalat Ashar, temui saya di Kafe Biru. Jangan sampai Anda menyesal,” ucapnya berlalu masuk ke dalam rumahnya.
Tari masih terpaku di tempat mencoba mencerna ucapan pria tadi. Tari ingat, dia adalah putra kedua Tuan Giriandra yang merupakan seorang perwira TNI AD. Terakhir kali ia melihat pria itu saat ulang tahun perusahaan beberapa tahun lalu.
“Apa benar dia mau menyiapkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?” gumam Tari mengernyit bingung. “Pasti ada maunya.”
Tari berjalan tergesa. Dengan lincah jemarinya mengutak-atik ponsel memesan ojek online. Pria paruh baya satpam rumah ini tampak meninggalkan kursinya dan hendak membuka pintu gerbang.
Ponsel yang diutak-atik itu tiba-tiba berdering. Pikirnya, itu mungkin driver yang mengkonfirmasi penjemputan. Namun, kening Tari berkerut menyadari jika panggilan telpon itu bukan dari aplikasi ojek online. Senyum Tari mengembang, menduga itu mungkin saja salah seorang calon donator.
“Halo? Selamat siang, ini dengan Tari. Maaf, saya sedang bicara dengan siapa?” sapa Tari santun.
“Calon donatur. Jangan lupa besok sore di Kafe Biru, Nona Tari. Simpan kontak saya agar Anda tahu kalau saya tidak bercanda,” sahut suara yang sama dengan suara yang beberapa saat lalu didengarnya.
Tari menatap layar ponselnya sejenak. Ia tidak sedang berhalusinasi. Panggilan telpon itu nyata.
“Hati-hati di jalan, Nona Tari. Jangan berjalan seperti orang linglung, nanti tersandung. Hati-hati dengan tas bawaan Anda, jangan disampir di bahu, sebaiknya ditaruh di depan,” sarannya sehingga membuat langkah Tari terhenti.
Tari berbalik ke arah pintu utama. Pintu itu masih tertutup rapat seperti tadi. “Di atas,” bisik suara itu.
Tari mendongak dan melihat pria berseragam loreng itu berdiri di balkon kamar. “Anda dapat nomor saya dari mana, Tuan Muda?”
“Dari dalam map yang Anda pegang, Nona. Ingatan saya cukup bagus. Bukan masalah besar jika harus menghapal deretan angka,” jawab Yudha mengulas senyum melihat wajah melongo gadis yang berdiri di bawah sana.
Klik!
Tari tersentak mendengar panggilan telpon itu diakhiri sepihak. Pria itu berbalik dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Tari akhirnya pamit pada satpam rumah itu karena ojeknya sudah tiba.
Sepanjang perjalanan Tari terngiang ucapan si Tuan Muda Berseragam Loreng. Tasnya juga dipeluk erat seperti saran pria itu. Tujuannya sekarang adalah ATM setor tunai di swalayan dekat panti. Ia tidak punya waktu mengantri di bank. Ada banyak pekerjaan di panti yang harus dikerjakannya.
###
Bersama dua anak panti, Tari menata hasil masakan sederhana yang dibuatnya. Ada tumis kangkung, oseng tempe bercampur daging ayam yang dicabik dan setoples kerupuk.
“Nanti, panggil adek-adek yang lain untuk bantu kalian cuci piring. Kakak mau berangkat kerja dulu. Nanti lantainya jangan lupa disapu juga ya, Dek,” pinta Tari pada kedua anak panti yang sudah duduk di bangku SMA itu.
Keduanya hanya mengangguk lalu keluar untuk memanggil adik-adik panti lain agar bersiap makan malam. Sementara Tari sendiri merapikan empat kantong kerupuk eceran yang sudah dikemasnya sore tadi. Keuntungannya lumayan untuk membeli dua rak telur ayam. Lima kantong kerupuk lainnya sudah dibawa ke warung terdekat dan sudah ditukar dengan sekarung beras.
Tari membuka kulkas dan memeriksa stok bumbu yang ada. Langkahnya berpindah ke jendela memperhatikan kebun sayur mereka. Kangkung, bayam, sawi hijau dan daun singkong masih ada. Begitu juga dengan cabai, tomat dan terung. Setidaknya mereka masih punya stok makanan untuk sepekan.
Setelah mendengar suara klakson ojek, Tari bergegas untuk berangkat kerja ke warung tenda. Di sana ia diberi gaji mingguan untuk bersih-bersih dan mencuci piring. Pemiliknya juga mengizinkannya menjual kerupuk sehingga Tari amat bersyukur dengan pekerjaannya yang satu ini.
Malam merambat dan warung tenda itu kian ramai. Mengusap peluh di dahi dengan lengannya, Tari tersenyum. Ada banyak tumpukan piring dan gelas yang harus dicucinya sebelum pulang.
“Semangat Tari, bereskan semua ini lalu pulang. Besok subuh kamu harus ke kantor AG Tekstil untuk bekerja,” gumamnya dan mulai bekerja dengan cekatan.
Sejam lebih berlalu dan pekerjaan Tari sudah beres. Setelah mencuci bersih tangannya, gadis itu melepas apron dan merapikannya. Di luar, samar-samar Tari mendengar suara ribut-ribut. Terdorong rasa penasaran, ia pun beranjak.
“Tolong jaga wanita Anda dengan baik. Beritahu juga agar dia tidak genit sama pria lain,” ucap seseorang yang suaranya tidak asing di telinga Tari.
“Eh, Mas, saya tidak genit ya!” sanggah wanita bertubuh semok dan berpakaian ketat itu menatap nyalang.
Pria yang di mata Tari hanya tampak punggungnya saja, mengakhiri kesibukan di ponselnya. Pria dengan balutan kaos Polo hitam itu lalu berkata, “Kalau tidak genit, kenapa dari tadi Anda menoleh dan minta kenalan sama saya? Kalau Anda memang menarik, dari tadi saya mungkin akan melirik. Kenyataannya, saya tahu mana wanita yang pantas dilirik dan harus diabaikan.”
“Dasar nggak tahu diuntung! Rugi kamu nolak saya! Macho tapi gay!” sindir wanita itu menggebrak meja. Wanita berambut pirang iti kesal, karena pria yang menarik perhatiannya sama sekali tidak menanggapinya.
“Maaf saya sama sekali tidak gay. Pria yang bersama saya tadi adalah rekan kerja saya. Saya ke sini sekalian jemput gadis yang pantas dilirik,” jawabnya lagi seraya mengulurkan selembar uang merah dan diberikan pada karyawan yang membawakan bungkusan pesanannya. “Kembaliannya disimpan saja, Dek.”
Wanita yang sudah kepalang malu itu menyugar rambut pirangnya. Bibir tebalnya yang dipoles lipstik merah terang sudah manyun saat pria yang mungkin kekasih atau supirnya itu membujuk agar segera menyudahi keributan. Tampak tak ada nyali di depan pria yang masih santai duduk di kursi plastik.
“Apa Nona Tari sudah selesai bekerja?” tanya pria itu mendongak pada karyawan tadi.
Tari yang sejak tadi diam menguping, kini membelalak mendengar namanya disebut. Belum lagi rekan-rekan kerjanya menoleh ke arahnya.
“Bagaimana bisa Pria Loreng itu tiba-tiba ada di sini?” batin Tari menelan saliva menyadari jika pria yang menyebut namanya malah berbalik menatapnya.
“Tari, ayo pulang! Saya jauh-jauh ke sini sengaja mau jemput dan antar kamu pulang,” ucap Yudha mengulas senyum tipis.
Wanita yang membuat keributan tadi kembali tertawa. Suara lengkingan tawanya terdengar mengejek. Lirikan matanya memindai penampilan Tari.
“Gadis kumal itu yang kau lirik? Levelku jauh di atasnya. Tidak kusangka pria tampan dan mapan sepertimu melirik gadis berwujud Upik Abu itu!” ledeknya tersenyum pongah.
“Kan Cinderella yang cantik dan baik hati memang sering diledek Upik Abu. Masih mending teman saya dibanding Anda. Cantik nggak, seksi juga nggak? Norak lagi! Jadi wanita itu jual mahal dikit, Tante. Jangan bikin malu karena buat onar di tempat orang lain. Kalau mau teriak-teriak, di sana tuh, ada jembatan gantung,” saran karyawan warung tenda yang membersihkan permukaan meja.
“Awas ya kalian!” teriak wanita itu pergi menghentakkan kakinya kesal.
Tari yang menyaksikan keributan itu dan namanya diseret-seret jadi ikutan kesal. “Jangan suka bertingkah sesuka hati Anda, Tuan Muda!” gumam Tari saat berlalu di samping pria itu.
“Pantesan aku ditolak, cowoknya Tari ternyata Kapten Yudha,” ucap karyawan yang menerima kembalian uang dari Yudha. Pemuda itu mengulum senyum jahil pada rekannya.
Tari yang melotot langsung menukas, “Maaf, orang ini bukan pacar saya!”
“Tidak perlu disembunyikan lagi, Tar. Udah paham kok, kenapa kami nembak nggak digubris. Ternyata ayangnya kamu levelnya beda,” sahut rekannya yang satu lagi.
Baru saja Tari hendak menanggapi, tapi pemilik warung tenda menyela. “Yang penting Kapten Ganteng yang macho ini nggak gay. Lain kali ajak timnya lagi ya, Mas.”
“Iya, Pak. Kami pamit dulu,” balas Yudha menarik tangan Tari keluar.
Di luar warung tenda, Tari menghempaskan tangannya. Matanya menyorot tajam sebagai aksi protesnya. Yudha tahu gadis itu marah, tapi ia sama sekali tidak bermaksud membuatnya kesal.
Sudah lama dirinya tidak datang ke sini. Terhitung mungkin setahun lalu sebelum dirinya bertugas. Tadinya ia pikir salah mengenali suara yang menyahuti panggilan beberapa karyawan. Untuk memastikan dugaannya, ia memilih tinggal dan memesan makan agar punya alasan untuk berlama-lama di dalam.
“Ayo, saya antar pulang!” Yudha menarik handle pintu mobilnya.
“Harusnya Anda meminta maaf lebih dulu, Tuan Muda!” tukas Tari mendorong pintu mobil sehingga kembali tertutup.
###
Yudha merebahkan tubuhnya di ranjang sembari membayangkan wajah kesal Tari. Gadis itu dengan berani mengarahkan telunjuk ke wajahnya. Sikapnya berbanding terbalik saat gadis itu dicecar oleh mamanya.Siang tadi Yudha menyaksikan apa yang mamanya lakukan pada gadis itu. Sejujurnya ia sendiri heran mengapa wanita yang telah mengandung dan melahirkannya itu seperti manusia yang kehilangan hati nurani. Padahal, dulu kehidupan keluarga mereka juga jauh dari kata layak.Masih teringat saat papanya kena PHK. Papanya memutuskan untuk membuka jasa jahit pakaian. Mamanya seringkali mengeluh karena mereka terkadang harus berhutang pada saudaranya. Kakaknya sendiri harus menunda kuliah dan bekerja untuk menabung uang kuliahnya sendiri. Sementara ia dan adiknya akan bertugas membersihkan rumah atau membantu mengemas pakaian pesanan.Setelah papanya berhasil membuka usaha konveksi hingga membuka pabrik garmen, mamanya justru berubah sombong. Segala sesuatu selalu saja diukur dengan materi.“Yudha …
Perlahan Fortuner putih itu melaju menembus keramaian jalan. Menit demi menit berlalu, Tari maupun Yudha masih membisu.Walau tahu kemungkinan penyebab gadis di sampingnya menangis, Yudha tetap bertanya, “Ada apa? Kenapa masih menangis?”“Saya putus asa …,” lirih gadis itu menahan isak tangisnya. Namun, tidak dengan air matanya yang masih berderai.“Apa dokter mengatakan kondisi anak itu semakin parah?” tanya Yudha yang tetap fokus mengemudi.Tari tak berucap, bibirnya tetap terkatup. Namun, isakannya semakin menjadi seakan menjawab benar dugaan Yudha. Bayang-bayang bocah kecil yang terbaring ringkih dengan peralatan medis yang menopang hidupnya kembali membuat gadis itu meremas kerah kemejanya. Sesak di ulu hatinya kian bertambah.Yudha meletakkan sapu tangannya di pangkuan Tari. Kemudian, perlahan pria itu menepikan mobil. Setelah menyetel musik dengan volume cukup keras, Yudha keluar dan bersandar di pintu mobilnya. Memilih memperhatikan keramaian jalan yang didominasi dengan penge
Yudha tersenyum puas mendengar penuturan Dokter Ayana. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Tari dinyatakan sehat untuk mengandung.“Selamat Yud, akhirnya kamu bisa merealisasikan harapanmu selama ini,” ucap dokter cantik itu mengulurkan tangan bergantian pada Yudha dan Tari.“Thanks,” balas Yudha singkat lalu menoleh pada Tari.“Tari, kamu mengerti apa saja yang saya jelaskan tadi, bukan?” tanyanya dengan seulas senyum. “Selama prosesnya bayi tabungnya berlangsung sampai kamu melahirkan, saya yang akan memantau kondisi kamu.”Tari mengangguk seraya berkata, “Iya, Dok. Saya mengerti dengan penjelasan Anda tentang proses inseminasi tadi.”“Syukurlah. Sudah lama teman saya ini menunggu calon yang tepat. Mulai sekarang, jaga kondisi kesehatan kamu,” sarannya ramah.“Kami pulang duluan,” pamit Yudha. Dokter kandungan itu hanya mengangguk kecil.Sementara Yudha dan Tari berjalan dengan tergesa menuju ke parkiran. “Buru-buru mau ke mana?” tanya Yudha yang merasa masih harus bicara denga
Deru napas wanita paruh baya itu semakin nyaring terdengar. Tangannya terkepal kuat sampai urat-urat di punggung tangannya mulai mencuat. Binar bahagia di matanya seketika berubah menjadi tatapan tajam yang menikam. Ruang keluarga yang biasanya dihiasi tawa, kini terasa mencekam. Tak ada suara, mereka memilih bungkam. Mereka baru saja mendengar penuturan Yudha yang ingin menikah pada akhir pekan. Tuturnya tenang, lugas dan tegas mengambil keputusan. Awalnya mereka senang dan tampak antusias saat Yudha menyinggung perihal pernikahan. Namun, saat Yudha menyebutkan nama gadis yang hendak dinikahinya, raut wajah mereka perlahan berubah. Papa dan adiknya tampak terkejut. Kakaknya tampak santai, sementara sang mama marah besar. “Mama tidak akan pernah sudi punya menantu seperti wanita itu, Yudha! Tidak akan pernah!” bentak Lusiana melotot. “Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Rudi pada putra keduanya. Yudha mengangguk dengan tenang seperti biasanya. “Aku akan tetap menikah dengan Tari
“Kalau Yudha tetap nekat menikah tanpa resepsi, banyak yang akan membuat praduga. Saat ini kondisi perusahaan baru perlahan stabil pasca pandemi. Jika orang-orang mengira Yudha menikah karena skandal, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak berita dan gosip yang beredar. Hal itu akan berpengaruh pada kestabilan saham perusahaan. Kalau Mama sama Papa tidak merestui Yudha menikah dengan Tari, maka kita harus siap menjawab pertanyaan orang-orang, minimal awak media. Sementara anak ini, dia tidak akan peduli,” jelas Arbian menunjuk adik laki-lakinya.Yudha kembali mengedikkan bahu karena ucapan kakaknya benar adanya. Setidaknya ia sudah berbagi kabar dan tidak menikah diam-diam. “Kalau saham perusahaan anjlok, Mama sama Kayla siap-siap aja kembali miskin,” lanjut Yudha santai.“Yudha!!” jerit Lusiana yang rasanya ingin mencakar-cakar wajah putranya itu.“Memangnya Tari setuju menikah sama kamu?” tanya Rudi mencoba m
Setelah Kayla juga beranjak, tinggallah Rudi bersama Arbian. “Arbian, papa boleh tanya sesuatu?”Arbian meletakkan tabletnya dan fokus menatap papanya. Ia pun mengangguk hingga Rudi menghela napas panjang. “Papa ingin tahu tentang apa? Tentang pemecatan salah satu manajernya Papa atau penggantian salah satu founder?”Rudi menggeleng seraya berujar, “Papa ingin tanya soal Yudha. Apa kamu sengaja setuju dengan keinginan adikmu karena hasil pemeriksaan kesehatanmu?”Kini giliran Arbian yang menggeleng. “Bukan, Pa. Kemarin aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mereka berdua keluar dari Kafe Biru. Yudha yang tarik duluan tangannya Tari. Dia bahkan membukakan pintu mobil dan memasangkan seat belt. Apa pernah Papa melihat Yudha seperti itu? Untuk mama saja, yang jelas-jelas wanita yang sudah melahirkannya, Yudha tidak pernah seperti itu. Sama Kayla? Nggak juga, karena Yudha selalu berupaya agar Kayla mandiri
Tari memandang blanko di hadapannya. Ia harus mengisi data dirinya dan menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan. Sampai saat ini Tari bahkan belum berbagi perihal tawaran pernikahan dari Kapten Yudha. Ibu Nilam masih harus fokus pada adik pantinya yang sedang dalam tahap persiapan operasi.Pria tampan dan mapan itu menegaskan jika mereka memang menjalin kontrak kerja sama. Namun, tidak dengan pernikahan. Akad sakral itu akan tetap berlangsung sekali seumur hidup Yudha. Berbeda dengan Tari nantinya. Jika kelak Tari tidak sanggup bertahan, maka ia boleh menggugat cerai pria itu.“Ya Allah, kenapa hidupku jadi serumit ini?” batin Tari menghela napas panjang. Selama ini Tari berpikir, hidupnya hanya berputar di panti dan bekerja.Menikah. Hamil. Melahirkan.Tiga hal itu akan ada dalam bayang-bayang hidup Tari dalam setahun kemudian. Berkali-kali ia membaca artikel tentang rumah tangga. Ada banyak pahit manis dalam hubungan sakral itu.Terleb
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Lusiana yang mendapati putra keduanya berdiri di depan pintu ruang kerja suaminya.Siang ini Lusiana sengaja datang membawa makan siang. Tujuannya tidak lain adalah untuk membujuk suaminya agar mendukung penolakannya terhadap keinginan Yudha. Akan tetapi, justru malah Rudi yang membujuknya agar menerima Tari.Yudha mencoba menekan emosi melihat wajah ketus mamanya. “Ini kantornya papaku. Sebagai putranya, tidak ada yang berhak melarang Yudha ke sini selain papa atau Mas Arbian yang menjabat sebagi CEO,” jawab Yudha dengan tenang. Berdebat dengan mamanya hanya menyisakan lelah.Lusiana menyunggingkan senyum sinis. “Mau minta papamu mengadakan resepsi buat kamu? Gajimu selama ini kamu buang ke mana?”Sindiran sang mama nyatanya membekas di hati. Yudha hampir saja lupa mamanya itu amat perhitungan. Apa-apa selalu saja diungkit.“Kalau Mama tidak mau mengadakan resepsi buat Yudha,