Home / Rumah Tangga / Benih Rahasia Kapten Yudha / Part 3 Dengan Satu Syarat

Share

Part 3 Dengan Satu Syarat

Author: Lisani
last update Huling Na-update: 2023-08-13 23:29:52

Yudha merebahkan tubuhnya di ranjang sembari membayangkan wajah kesal Tari. Gadis itu dengan berani mengarahkan telunjuk ke wajahnya. Sikapnya berbanding terbalik saat gadis itu dicecar oleh mamanya.

Siang tadi Yudha menyaksikan apa yang mamanya lakukan pada gadis itu. Sejujurnya ia sendiri heran mengapa wanita yang telah mengandung dan melahirkannya itu seperti manusia yang kehilangan hati nurani. Padahal, dulu kehidupan keluarga mereka juga jauh dari kata layak.

Masih teringat saat papanya kena PHK. Papanya memutuskan untuk membuka jasa jahit pakaian. Mamanya seringkali mengeluh karena mereka terkadang harus berhutang pada saudaranya. Kakaknya sendiri harus menunda kuliah dan bekerja untuk menabung uang kuliahnya sendiri. Sementara ia dan adiknya akan bertugas membersihkan rumah atau membantu mengemas pakaian pesanan.

Setelah papanya berhasil membuka usaha konveksi hingga membuka pabrik garmen, mamanya justru berubah sombong. Segala sesuatu selalu saja diukur dengan materi.

“Yudha … mama boleh masuk?” Lusiana mengetuk pintu kamar anak tengahnya.

Tanpa menjawab, Yudha beranjak membuka pintu kamar. Lusiana tersenyum dan menarik putranya duduk di ranjang. Yudha bisa menebak keinginan mamanya. Permintaan yang sama seperti tahun sebelumnya.

“Kalau mama mau bicara perjodohan, lupakan saja,” ucap Yudha sebelum mamanya bicara.

Wajah Lusiana yang tadinya berseri-seri, kini cemberut. Belum apa-apa, harapannya sudah dipatahkan. Namun, bukan Lusiana kalau pantang menyerah dengan keinginannya.

“Mama cuma minta kamu kenalan saja dulu. Siapa tahu kalian cocok? Dia seorang dokter, mama sebenarnya sudah cukup dekat dengannya sejak dua tahun ini. Mama merasa kalau dia pantas untuk jadi menantu keluarga kita,” bujuk Lusiana meremas punggung tangan putranya.

“Kenapa Mama tidak minta putra sulung dulu yang menikah? Masa Yudha langkahi?” ungkap Yudha menggeleng pelan. Meski usianya sudah 30 tahun, namun pernikahan belum ada dalam daftar keinginannya.

Lusiana menghela napas cukup panjang. “Bukannya mama tidak membujuk kakakmu. Mama sama papa itu sudah lelah. Apalagi setelah dia jujur kalau dia mandul. Gadis mana yang mau menikahi pria mandul? Kalaupun ada, keluarga gadis itu pasti menentang.”

Yudha membelalak karena baru tahu hal ini. “Mas Arbian mandul? Mama jangan bercanda, Mama harusnya pastikan dulu kebenarannya.”

“Sudah, mama sudah minta dia cek ke dokter. Hasil pemeriksaannya memang begitu. Kalaupun dia bisa punya anak, peluangnya kurang dari 10%. Jadi tolonglah Yud, mama sama papa itu sudah tua. Masa sampai sekarang kami belum punya cucu?” ungkap Lusiana merajuk.

Yudha memijat kepalanya. Adiknya sendiri baru tamat kuliah. Tidak mungkin mereka langsung memintanya menikah. Pantas saja mamanya bersikeras untuk menjodohkannya agar bisa segera menikah.

“Mama beneran mau cucu?” tanya Yudha menoleh menatap mamanya.

Lusiana mengangguk dengan senyum merekah. “Yudha akan kasih, tapi dengan satu syarat.”

“Apa, Nak? Buruan bilang sama mama.” Lusiana tampak tidak sabaran.

“Yudha pilih calon istri sendiri. Mama bisa mulai persiapan pernikahan dari sekarang. Dia gadis sederhana, bukan dari keluarga terpandang, tapi Yudha menyukainya. Kalau Mama tidak keberatan, Yudha akan mengajaknya menikah dalam waktu dekat. Kalau perlu, sebelum Yudha kembali ditugaskan. Bagaimana?” Lusiana terdiam tampak sedang menimbang tawaran putranya.

“Mama bicarakan saja dulu sama papa. Karena Mama tahu sendiri, aku bukan anak kecil lagi yang bisa dipaksa. Kalau Mama keberatan, silakan Mama tunggu putri bungsu Mama siap menikah dan kasih cucu,” lanjut Yudha lagi.

###

Suara lonceng kembali terdengar. Pertanda baru saja ada pengunjung baru yang masuk ke dalam kafe bernuansa biru itu. Yudha untuk kesekian kalinya menoleh. Sudah sejam lebih ia menunggu, tapi Tari tak kunjung muncul.

“Sepertinya gadis itu tidak tertarik dengan tawaranku. Di mana aku bisa dapat gadis baik-baik dan waras yang bisa diajak kerja sama?” batin Yudha melirik jam digital di pergelangan tangannya.

Baru saja menarik kunci mobilnya, Yudha kembali mendaratkan bokongnya di kursi. Gadis yang ditunggunya akhirnya muncul juga. Sudut bibir Yudha berkedut.

Salah satu dari tiga gadis yang jadi targetnya itu terengah. Wajahnya kusut masai dengan mata yang sembab. Tak perlu ditanya lagi, mungkin berjam-jam gadis itu menangis.

Tari mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ia tidak mendapati pria yang mengajaknya bertemu di tempat ini. Gadis itu kembali mengusap pipinya yang berderai air mata.

“Dia pasti sudah pulang. Harapan terakhirku sudah hilang. Apa yang harus kulakukan sekarang? Di mana aku bisa dapat uang 215 juta lagi dalam sehari?” batin Tari berbalik badan dan kembali keluar.

Gadis berambut pendek itu menatap sekelilingnya. Beberapa orang memperhatikannya dengan tatapan aneh. Tari menunduk memperhatikan pakaiannya yang kotor. Tadi karena berlari dan tersandung, celananya kena noda lumpur.

“Ya Allah, beri aku petunjuk,” batin gadis itu mendongak menatap langit yang masih mendung. Sisa air hujan pun masih membasahi bumi.

Grap!

Tari tersentak saat seseorang menggenggam tangan kanannya. “Walau terlambat, terima kasih karena sudah datang, Nona Tari.”

“A-apa Anda benar-benar bisa memberikan uang itu? Adik panti saya harus dioperasi secepatnya,” ucap Tari kembali menangis.

“Kita ke rumah sakit sekarang, setelah itu baru kita bicara,” ajak Yudha yang menarik Tari ke tempat mobilnya terparkir.

Tari menahan lengan Yudha. Menghalau ketakutannya, gadis itu perlahan mendongak menatap mata pria bertubuh tinggi tegap itu. “Dengan apa, saya harus membayar Anda?”

“Dengan satu syarat,” bisik Yudha.

Tari mengusap kasar wajahnya dan menyusutkan air mata. “Apa syaratnya?”

“Bayar dengan tubuhmu,” jawab Yudha santai sehingga membuat pegangan gadis itu di lengannya perlahan terlepas.

Sesaat, Tari merasakan dunia berhenti putar. Tiga kata yang baru saja dikatakan pria di hadapannya itu seakan menarik paksa jantung lepas dari rongganya.

“Jangan menarik kesimpulan sebelum saya menjelaskannya. Sebaiknya, kita ke rumah sakit dulu. Saya juga ingin menunjukkan sesuatu di sana,” ucap Yudha terdengar lembut, tapi tidak mengurangi rasa sakit di hati Tari.  

Tanpa keduanya sadari ada yang melihat kedekatan mereka berdua. Bahkan, sangat terkejut melihat Yudha membukakan pintu mobil untuk seorang gadis. Sesuatu yang selama ini tak pernah dilakukan pria itu.

###

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Benih Rahasia Kapten Yudha   Part 93 Kenangan Manis yang Pahit

    "Bang Rian, bisa mintol pinjem laptop, nggak? Aku lagi kena hukuman dari Kapten Galak. Disuruh nulis rangkuman latihan hari ini. Laptop aku dipinjam tanteku semalam," ucap Ken sembari merebahkan tubuh lelahnya di bangku panjang. Rian yang sore ini sedang membersihkan motornya, mengulurkan kunci lokernya pada Ken. "Ambil sendiri di loker, belum kelar cuci motornya." Ken mengangguk lesu. Yudha sudah memberinya tenggat waktu sampai pukul 21:00 malam. Daripada nanti ketiduran dan lupa mengerjakan, lebih baik Ken mengerjakannya sekarang. Bisa gawat kalau hukumannya dua kali lipat. Kala membuka loker Rian, senyum Rian merekah. Itu karena laptop gaming milik Rian adalah salah satu dari yang terbaik di antara rekan bintaranya. "Kado? Buat siapa? Apa jangan-jangan ... selama ini Bang Rian udah punya cewek?" batin Ken. Kening Ken mengernyit heran melihat sebuah kotak indah di bagian bawah. Penasaran, ia pun berjongkok dan membukanya. Seketika matanya membelalak melihat isinya adalah

  • Benih Rahasia Kapten Yudha   Part 92 Wanitaku

    "Di kampus swasta, Politeknik Nusa Atmajaya."Yudha mengernyit. "Bukannya itu kampus tempat Rian juga kuliah? Kamu kuliah jurusan apa?""D3 tata boga, Mas. Sebelum kita nikah, mas pernah tanya rencana aku kedepannya apa? Aku bilang mau dapat ilmu kuliner. Kepengen buka toko kue sendiri dan punya penghasilan stabil. Biar adik-adik pantiku, makanannya bisa terjamin," ungkap Tari apa adanya. Karena alasan itu juga ia berani menerima tawaran Yudha. Kalau memang mereka berdua bercerai, maka Tari bisa mendapat pesangon dan membuat toko kue. "Aku pikir-pikir dulu.""Jawaban bisa besok nggak, Mas?"Yudha mengernyit lalu kembali bertanya, "Kenapa harus buru-buru?""Soalnya, besok malam batas belanja mata kuliahnya, Mas," jawab Tari. Yudha kembali mengernyit. "Bukannya buat belanja mata kuliah, harus bayar SPP dulu?" Seingat Yudha aturannya seperti itu. Ia sendiri sudah pernah kuliah hingga bergelar magister teknik. Ia belum pikun. Tari menarik selimut sampai menutupi wajahnya. Ia sudah me

  • Benih Rahasia Kapten Yudha   Part 91 Demi Anak

    Tari masih sesegukan. Belakang ini ia memang semakin sensitif. Yudha mengecup pucuk kepala istrinya sambil terus mengusap punggungnya. Sesekali memijat pinggang Tari dengan lembut. Belakang ini, Yudha sering melihat Tari melakukannya. Seperti tadi saat Tari memasak, istrinya mengaduk sup dengan tangan kanan sembari memijat pinggang dengan tangan kirinya. "Aku bukannya nggak mau ngadu sama kamu, Mas. Tapi saat itu, kondisi kamu sendiri belum pulih. Dokter minta agar kau tidak dibebani dengan banyak pikiran. Akibatnya bisa fatal kalau kamu memaksakan diri untuk memikirkan hal berat," ungkap Tari yang sudah mulai tenang. Tari bisa merasakan anggukan kecil Yudha di atas kepalanya. Bergerak pelan mencari posisi nyaman. "Aku sendiri baru tahu kalau Sertu Rian ternyata melihat kejadian itu. Nggak sengaja aku dengar dia ngobrol sama Kayla di dapur. Sertu Rian tanya sama Kayla, kapan Kayla akan memberitahu Mas tentang kejadian itu. Mas Arbian juga katanya udah tahu, tapi tetap diam.

  • Benih Rahasia Kapten Yudha   Part 90 Paket Misterius

    "Mas kenapa teriak-teriak?" tanya Tari yang berada di teras dengan sebuah bungkusan paket di tangannya. "Siapa yang antar paketnya?" tanya Yudha mengernyit. Ia sama sekali tidak pernah memesan paket. "Paket kamu?" Tari menggeleng tapi namanya tertera sebagai pemilik paket. "Itu jelas nama kamu." "Tapi aku nggak pernah pesan, Mas." "Tidak pernah pesan? Sini biar aku yang buka!" ucap Yudha. Tari mengulurkan paket yang cukup berat itu. Saat Yudha membukanya, ada satu kotak vitamin ibu hamil yang berisi enam botol. Yudha tersentil, seingatnya belum pernah sekalipun ia membelikan Tari vitamin. Satu kotak lagi dibungkus rapi dengan gift box berwarna putih dan biru muda. Isinya selimut bedong bayi berwarna hijau muda, sepasang sepatu bayi berwarna putih coklat, kupluk rajut berwarna putih dengan sulaman hijau coklat. Di baliknya ada dua pasang baju bayi berwarna putih dengan gambar boneka berwarna biru dan satunya lagi baju bayi bermotif loreng. Ada juga boneka beruang putih yang

  • Benih Rahasia Kapten Yudha   Part 89 Beritahu Aku Alasannya

    Tari melepas dan menggantung mukenanya setelah mendengar suara mobil suaminya. Wanita hamil itu memijat pinggangnya lebih dulu sebelum beranjak. Belum sempat ia menarik handle pintu, Yudha sudah lebih dulu membuka pintu kamar. Melihat mata suaminya memerah, Tari mengernyit. "Mas kenapa?" tanya Tari menghampiri suaminya. "Maaf," ucap Yudha dengan mata kembali berkaca-kaca. Terbayang kembali bagaimana mamanya mendorong kepala Tari ke tembok. Bukannya merasa bersalah, mamanya malah mencaci maki istrinya. Parahnya, setelah melukai menantunya, tak sedikitpun ada rasa bersalah. Mamanya malah dengan tega meninggalkan Tari sendirian di sana dalam keadaan tidak dak sadarkan diri. Tari semakin heran karena bukannya menjawabnya, Yudha justru malah meminta maaf. "Maaf karena tidak tahu apa yang sudah kamu alami karena mama." Tari membelalak dan tubuhnya ikut membeku. "Apa Mas Yudha sudah melihat video yang direkam Sertu Rian?" batin Tari menggigit bibirnya. Matanya ikut berkaca-ka

  • Benih Rahasia Kapten Yudha   Part 88 Suami Payah

    "Lebih baik kamu lihat saja secara langsung. Papa sendiri malu karena terlambat mengetahuinya dan terlambat mengambil tindakan." Yudha mengernyit heran. Papanya baru tahu? Apakah kakak dan adiknya turut menyembunyikan hal itu dari papanya? "Terlalu banyak pertimbangan yang papa pikirkan. Tanpa papa ingin, keputusan papa pada akhirnya tetap menyakiti kamu," ungkap Rudi dengan suara serak. Yudha mengangguk pelan tapi tegas. Ia belum mengerti maksud ucapan papanya. Namun, ia memahami jika papanya sulit mengambil keputusan. Diraihnya ponsel Kayla dan memutar video yang sejak kemarin malam membuatnya sulit tidur dengan nyenyak. Tangan Yudha bergetar seiring fakta yang dilihatnya dalam video. Matanya berkaca-kaca dan meletakkan kembali ponsel adiknya di atas meja. Tanpa mengatakan apapun, Yudha beranjak. Tanpa pamit ia keluar begitu saja. Langkahnya cepat, tegas dan tak sanggup dicegah. Suara klakson mobilnya terdengar berkali-kali memekakkan telinga. Sudah tidak sabar ingin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status