Share

Benih Rahasia Kapten Yudha
Benih Rahasia Kapten Yudha
Penulis: Lisani

Part 1 Uang 300 Juta

“Kalau minta sumbangan itu, jangan sampai memeras donaturnya!” sindir seorang wanita paruh baya yang melemparkan segopok uang  ke pangkuan seorang gadis berambut sebahu.

Mata gadis itu berembun. Dengan tangan gemetar ia menyentuh dua bundel uang pecahan seratus ribu rupiah itu. Uang dengan nominal yang telah dijanjikan pemilik perusahaan tempat Tari bekerja sebagai cleaning service. Tanpa mampu ia bendung, tetesan bening itu jatuh satu persatu membasahi uang di pangkuannya.

Tari sama sekali tidak berniat memeras. Ia hanya sedang berusaha mengumpulkan uang sumbangan untuk biaya operasi jantung salah satu adik pantinya. Ia juga tidak meminta, tapi Tuan Giriandra, suami dari wanita di hadapannya itulah yang memintanya datang ke rumah mewah ini. Pria itu mendadak harus ke luar kota sehingga tidak sempat mampir ke panti.

Dengan bibir bergetar dan menelan getir, Tari berucap, “Te-terima kasih banyak, Nyonya.”

“Hem!” gumamnya duduk menyilang kaki.

Tari menelan saliva untuk kesekian kalinya sejak datang ke rumah ini. Setelah sejam lebih menerima caci maki, akhirnya istri atasannya itu memberikan uang yang dijanjikan.

“Lain kali jangan minta lagi! Kalau masih mau, cium kaki saya dulu!” tukasnya sebelum gadis yang bersimbah air mata itu beranjak dari sofa. 

Tari menatap alas kaki si Nyonya Besar. Sangat jauh berbeda dengan kakinya yang polos tak beralaskan apa pun. Saat datang tadi, ia diminta melepas alas kakinya agar tidak menapaki karpet mahal ruang tamu ini.

Mengingat kondisi adik pantinya yang semakin memburuk, Tari mengumpulkan keberanian. Ia menatap mata wanita judes yang duduk ongkang-ongkang kaki sambil membolak-balik tabloid di pangkuannya.

Menyadari jika sedang ditatap, wanita itu mendongak membalas tatapan gadis berbaju lusuh itu. “Kenapa?”

“Kalau Nyonya bersedia membiayai operasi jantung adik panti saya, saya bersedia mencium kaki Anda, Nyonya,” ucapnya lirih.

Bukannya merasa iba, wanita dengan bibir berpoles liptik merah itu beranjak dan tertawa terbahak-bahak. “Heh! Kamu pikir uang untuk operasi jantung itu sedikit? Mikir! Kamu kira uang yang kamu pegang sekarang itu daun yang habis disapu di halaman? Itu duit hasil keringat suami saya! Awas ya, sekali lagi saya dengar kamu minta sumbangan sama suami saya,” ucapnya menoyor kepala gadis itu. “Saya pastikan tidak akan ada lagi donasi untuk panti tempat kamu tinggal. Mengerti?!”

“I-iya, Nyonya,” sahut Tari terbata. Ia hanya sedang mencoba, mungkin saja wanita itu mau mengabulkannya.

“Mau saya kasih tahu caranya buat dapat uang banyak dan cepat?” bujuk wanita itu.

Tari menoleh dengan penuh harap. “Anda punya tawaran pekerjaan untuk saya, Nyonya?”

“Ada. Saya sarankan kamu jual diri. Wajah jelek kamu bisa ditutupi makeup. Tubuh kamu memang tidak sebagus model, tapi cukup berisi di sisi yang tepat. Pasti banyak yang mau bayar mahal untuk pelayanan gadis murahan seperti kamu,” ucap wanita itu dengan senyum mengejek.

Rasanya jantung Tari seperti ditusuk-tusuk. Kalimat-kalimat hinaan dari wanita itu seakan tak ada habisnya. Tari merasa ingin segera pergi dari hadapan nenek sihir yang satu ini.

Tari menggeleng pelan menghapus air matanya. Walau memaksakan diri, gadis itu berusaha menunjukkan senyum terbaiknya. Nominal 20 juta rupiah memang bukan nominal yang kecil. Maka, sebisa mungkin ia harus menahan sakit dari penghinaan ini.

Nominal di tangannya ini adalah gaji setengah tahun bagi Tari. Kalau saya tidak memikirkan sulitnya mengumpulkan rupiah dalam waktu singkat, mungkin ia akan mengembalikannya.

Itulah masalah besar Tari sekarang. Selain nominal yang sangat besar, dirinya juga tidak punya banyak waktu. Dokter menyarankan agar segera dilakukan operasi.

“Sana kamu pergi! Jangan pernah datang dan menginjakkan kaki di rumah ini lagi!” desis wanita itu menarik kasar lengan Tari dan mendorongnya keluar dari ruang tamunya. Tak lupa wanita itu menendang sepasang sandal jepit itu keluar.

Blam!!!

Disaat yang sama, Tari nyaris terjungkal jika saja seseorang tidak menahan lengannya. Tari menghela lega, hampir saja ia jatuh menggelinding di tangga teras rumah ini. Sepertinya bukan hanya terkilir, tapi kepalanya mungkin akan terluka.

“Maafkan sikap mama saya,” ucap seseorang.

Suara bariton itu terdengar tegas, tapi juga hangat disaat yang sama. Tari menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria berseragam loreng.

Tubuh tinggi tegapnya seperti tiang kokoh. Bahunya lebar dan lengannya kekar. Membuka kelopak matanya lebih lebar, Tari dapati wajah rupawan dengan rahang yang tegas, hidung bangir dan bibir yang mengulas senyum tipis. Kontras dengan sorot tatapnya yang tajam dan lengkung alisnya yang hitam pekat.

Mama.

Satu kata itu menyadarkan Tari sehingga refleks menarik lengannya. Jangan sampai wanita bermulut culas itu kembali muncul dan mencecarnya. Bukan tidak mungkin dirinya dituduh sebagai penggoda putranya.

“Maaf dan terima kasih,” ucap Tari berusaha berdiri sendiri dan membersihkan kedua telapak tangannya.

Tari kembali menjauh untuk mengambil sandalnya. Ia harus segera pulang memasak untuk makan malam adik-adik panti. Malam ini ia juga harus kerja paruh waktu di warung tenda.

“Anda butuh uang berapa?”

“Ha?” Tari kembali menoleh ke arah pria tampan dan gagah itu. Siapa pun akan setuju jika melihat wujud tentara yang satu ini.

“Bukannya Anda sedang mengumpulkan uang untuk sumbangan? Saya tanya, berapa banyak yang Anda butuh? Saya bisa kasih hari ini juga,” ucap pria yang di dadanya melekat sulaman nama Yudha.

Tari mengulas senyum tipis lalu bertanya, “Anda berniat menyumbang atau punya maksud tertentu?”

Pria itu maju selangkah. Lengannya tersilang di dada, menunduk lalu berbisik, “Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan juga, Nona.”

Tari memejamkan mata menahan kesal. Gadis itu masih sadar di mana kakinya berpijak. Ia belum meninggalkan rumah mewah ini.

“Saya butuh uang 250 juta, Tuan Muda,” jawab Tari mengulurkan map di tangannya.

Pria itu menerima dan mulai membacanya. Tari yakin dia bisa melihat proposal bantuan pembiayaan untuk tiga anak panti yang sedang sakit. Terutama anak yang butuh operasi jantung dalam waktu dekat.

Bola mata yang dibingkai alis tebal itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Dari jarak sedekat ini, Tari bisa mencium aroma kayu dan buah segar. Parfum mahal memang punya kelasnya sendiri.

Seketika Tari merasa minder. Tubuhnya mungkin bau keringat karena harus berlari dari gerbang perumahan ini. Tadi tidak ada ojek sama sekali di dekat gerbang, sementara istri atasannya mengharuskannya datang sebelum pukul dua siang. Wanita itu mengatakan ada janji penting. Kenyataannya, ia hanya sedang dipermainkan.

Pria berseragam loreng itu mengembalikan map hijau pada Tari seraya berkata, “Saya punya penawaran untuk Anda, Nona Andi Ayudia Batari.”

“Tidak, terima kasih, Tuan Muda,” tolak Tari menggeleng. Tari menduga pria itu akan memberikan ide yang sama seperti yang diutarakan mamanya tadi. “Saya permisi.”

Baru dua langkah Tari menuruni tangga teras, pria itu berkata, “Saya siapkan uang 300 juta. Bagaimana?”

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status