Perlahan Fortuner putih itu melaju menembus keramaian jalan. Menit demi menit berlalu, Tari maupun Yudha masih membisu.
Walau tahu kemungkinan penyebab gadis di sampingnya menangis, Yudha tetap bertanya, “Ada apa? Kenapa masih menangis?”
“Saya putus asa …,” lirih gadis itu menahan isak tangisnya. Namun, tidak dengan air matanya yang masih berderai.
“Apa dokter mengatakan kondisi anak itu semakin parah?” tanya Yudha yang tetap fokus mengemudi.
Tari tak berucap, bibirnya tetap terkatup. Namun, isakannya semakin menjadi seakan menjawab benar dugaan Yudha. Bayang-bayang bocah kecil yang terbaring ringkih dengan peralatan medis yang menopang hidupnya kembali membuat gadis itu meremas kerah kemejanya. Sesak di ulu hatinya kian bertambah.
Yudha meletakkan sapu tangannya di pangkuan Tari. Kemudian, perlahan pria itu menepikan mobil. Setelah menyetel musik dengan volume cukup keras, Yudha keluar dan bersandar di pintu mobilnya. Memilih memperhatikan keramaian jalan yang didominasi dengan pengendara roda dua.
Mendengar suara pintu mobil yang tertutup rapat, Tari menoleh. Dari balik kaca jendela mobil, ia melihat punggung Yudha. Pria itu sedang memberinya waktu untuk menangis sendiri.
Seketika tangis Tari tumpah. Gadis itu bahkan mengerang frustasi menarik rambutnya. Beban yang dihadapinya saat ini terasa begitu berat.
Gadis seusianya di luar sana mungkin sedang menikmati waktu bersantai bersama teman-temannya. Menjalani kuliah dan kehidupan kampus yang berwarna. Mencoba banyak hal baru dan memperkaya wawasan.
Sementara, dirinya terjebak dalam ketidakberdayaan sebagai anak yatim piatu. Kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa kedua orang tuanya sudah membawa separuh hidupnya. Sungguh, Tari rasanya ingin memohon seseorang meminjamkan bahunya sejenak.
Bunda Nilam dan adik-adik panti yang memberinya arti sebuah keluarga kembali terbayang. Wanita yang sudah dianggapnya sebagai orang tuanya itu selalu berusaha membuatnya tegar. Dirinyalah yang harus menjadi bahu tempat adik-adiknya bersandar.
Tari sadar, bahwa saat ini ia harus bersabar. Jika terus menangis, maka tak akan ada jalan keluar.
Yudha berbalik mendengar suara pintu mobilnya terbuka. Beranjak ke sisi lain, ia dapati Tari berjongkok di samping mobilnya. Gadis itu muntah dan masih terisak. Gegas Yudha mengambil air mineral di dalam mobil. Tanpa ragu dan jijik, ia memijat tengkuk gadis itu.
Merasa lebih baik, Tari mengangguk. Terlalu lama menangis membuat kepalanya sakit dan dan merasa mual. Dengan tangan gemetar ia menerima botol yang sudah terbuka tutup ulirnya.
“Kamu gadis terpilih untuk menghadapi ujian berat ini. Perasaan kamu mungkin sesak dan hancur karena ketidakberdayaan. Tapi percayalah, pada setiap masalah, Allah selalu menyiapkan penyelesaiannya. Dia sudah berkehendak dan kita hanya berusaha menjalaninya,” ucap Yudha sehingga menarik atensi Tari.
Gadis yang tampak rapuh itu menatap mata elang yang entah sejak kapan berubah sendu. “Kalau kamu merasa buntu dan lelah, jabat tangan saya,” ucap Yudha mengangguk pelan. “Kita sama-sama punya masalah.”
“Maksud Anda, Anda akan menyelesaikan masalah saya, sementara saya menyelesaikan masalah Anda?” Tari mengernyit bingung.
“Cerdas,” puji Yudha tersenyum sambil mengusap puncak kepala Tari.
###
Dalam ruangan seorang dokter spesialis kandungan, Yudha duduk sambil berkonsultasi. Sengaja datang disaat jam kerja dokter sekaligus teman sekolahnya itu berakhir. Ia tidak ingin menarik perhatian orang lain, termasuk staf rumah sakit.
“Kapan kamu mau membawa ibu surogasi pilihanmu, Yud? Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Prosedur bayi tabung itu tidak mudah. Kita juga harus memeriksa wanita lebih dulu untuk memastikan apakah dia sehat atau tidak. Jangan sampai kamu bawa wanita murahan yang hanya tergiur dengan bayaran,” ujar dokter spesialis kandungan itu.
“Aku tidak pernah salah dalam memilih, Ayana. Hanya saja, waktu yang tidak berpihak padaku. Aku yakin gadis itu masih segel. Tidak mungkin aku pilih wanita sembarangan untuk mengandung benih rahasiaku,” balas Yudha kembali membaca prosedur yang harus dijalankan.
Dibalik sikap tenangnya itu, Yudha sedang menyembunyikan keresahannya. Sejak tadi ia berdoa agar Tari menghubunginya. Berharap gadis itu berubah pikiran dan setuju dengan tawarannya.
Jika dalam 24 jam gadis itu tidak setuju, maka ia akan melakukannya dengan cara lain untuk memaksa gadis itu. Ia sedang dikejar waktu. Yudha sendiri yakin jika gadis itu yang paling tepat di antara beberapa nama yang pernah jadi kandidat ibu surogasi.
“Terserah kamu deh,” ucap Ayana menyerah. “Mau jalan-jalan, Yud?”
Pria tampan itu mengangkat pandangan lalu menggeleng singkat. Dalam hatinya Ayana mengerang frustasi. Penolakan Yudha bahkan tanpa basa-basi.
Pria yang duduk di hadapannya itu sama sekali tidak menyadari sinyal darinya selama ini. Sepertinya ia memang harus mengutarakan perasaannya lebih dulu. Ayana akan menunggu saat yang tepat agar bisa menggenggam hati pria itu dengan erat.
Yudha merogoh ponsel dan mengirim pesan pada Tari. Pikirnya, mungkin sebelum gadis itu pulang ke panti, ia bisa mengenalkan Tari pada Ayana. Yudha tidak tenang mengingat dirinya bisa dikirim bertugas kapan saja. Setidaknya, jika mereka sudah saling kenal, ia bisa tenang.
Sementara Ayana, semakin kesal karena Yudha kian cuek. Mendengar suara notifikasi pesan, Yudha kembali bersemangat membalas pesan. Yang lebih menyebalkan, pria itu tersenyum karena pesan yang entah siapa pengirimnya.
###
Mata Tari nyaris tak berkedip menerima nota pembayaran dari staf administrasi rumah sakit. Tiga adik pantinya kini bisa berobat tanpa memikirkan biaya pengobatan mereka lagi.
“Siapa yang sudah semurah hati ini, Nak?” tanya Bunda Nilam, pengurus Panti Asuhan Hikmah.
“Kapten Yudha, Bun.” Tari kembali menyelipkan kertas itu ke dalam map.
Ada kelegaan yang luar biasa di rasakan Tari. Namun, di sisi lain ia juga merasakan ketakutan yang menyiksa. Pria yang sejam lalu menggesek kartunya itu memintanya menyusul ke poli obgyn.
“Kenal di mana, Nak?” tanya Nilam.
Sejujurnya wanita paruh baya itu sadar jika, pasti ada alasan lain di balik lunasnya biaya operasi jantung itu. Uang ratusan juta tidak akan jatuh begitu saja dari langit.
“Dia putra kedua Tuan Giriandra, Bun. Putra dari pemilik Perusahaan AG Tekstil tempatku kerja,” jawab Tari tersenyum.
“Jadi sekarang dia sudah jadi kapten?” gumam Nilam turut tersenyum.
Tari mengernyit lalu bertanya, “Bunda kenal?”
Nilam mengangguk dan kembali tersenyum. “Dia dan kakaknya memang salah satu donatur tetap di panti kita. Tiap bulan dia kirim sejuta ke rekening bunda. Terkadang rekan-rekannya juga ada yang titip. Ingat dua laptop yang kamu pakai sama adek-adekmu? Kakaknya yang belikan, katanya anak sekolahan pasti butuh. Sementara televisi itu, adiknya yang belikan. Katanya gaji pertama adiknya saat naik pangkat,” tutur wanita itu.
Tari memang tidak tahu hal itu. Pada dasarnya, sebagian besar donatur tetap meminta identitasnya dirahasiakan. Setidaknya, ada ketulusan pria itu yang diketahui Tari sebelum akhirnya pamit dengan alasan masih harus mengurus sesuatu. Sekalian ia pamit pulang.
Dengan langkah yang terasa berat, Tari menyelusuri selasar rumah sakit. Hingga langkahnya berhenti di depan salah satu pintu ruangan poli obgyn. Ia sama sekali tidak tahu alasan Kapten Yudha mengajaknya ke tempat ini.
Tari mengetuk pintu sambil membaca nama dokter yang tersemat di atas pintu. Nama seorang wanita berprofesi sebagai dokter spesialis kandungan. Terdengar sahutan seorang wanita dari dalam.
Baru saja hendak menyentuh gagang pintu, tapi daun pintu itu justru terbuka lebih dulu. Lagi-lagi pria tampan itu yang berdiri di hadapan Tari. Kali ini dengan seulas senyum ramah yang tulus.
“Kedatangan kamu ke sini, akan saya anggap kamu setuju dengan permintaan saya. Apa pun yang ditanyakan dokter itu, setujui saja. Kita sama-sama dikejar waktu,” bisik Yudha menarik Tari masuk.
###
Yudha tersenyum puas mendengar penuturan Dokter Ayana. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Tari dinyatakan sehat untuk mengandung.“Selamat Yud, akhirnya kamu bisa merealisasikan harapanmu selama ini,” ucap dokter cantik itu mengulurkan tangan bergantian pada Yudha dan Tari.“Thanks,” balas Yudha singkat lalu menoleh pada Tari.“Tari, kamu mengerti apa saja yang saya jelaskan tadi, bukan?” tanyanya dengan seulas senyum. “Selama prosesnya bayi tabungnya berlangsung sampai kamu melahirkan, saya yang akan memantau kondisi kamu.”Tari mengangguk seraya berkata, “Iya, Dok. Saya mengerti dengan penjelasan Anda tentang proses inseminasi tadi.”“Syukurlah. Sudah lama teman saya ini menunggu calon yang tepat. Mulai sekarang, jaga kondisi kesehatan kamu,” sarannya ramah.“Kami pulang duluan,” pamit Yudha. Dokter kandungan itu hanya mengangguk kecil.Sementara Yudha dan Tari berjalan dengan tergesa menuju ke parkiran. “Buru-buru mau ke mana?” tanya Yudha yang merasa masih harus bicara denga
Deru napas wanita paruh baya itu semakin nyaring terdengar. Tangannya terkepal kuat sampai urat-urat di punggung tangannya mulai mencuat. Binar bahagia di matanya seketika berubah menjadi tatapan tajam yang menikam. Ruang keluarga yang biasanya dihiasi tawa, kini terasa mencekam. Tak ada suara, mereka memilih bungkam. Mereka baru saja mendengar penuturan Yudha yang ingin menikah pada akhir pekan. Tuturnya tenang, lugas dan tegas mengambil keputusan. Awalnya mereka senang dan tampak antusias saat Yudha menyinggung perihal pernikahan. Namun, saat Yudha menyebutkan nama gadis yang hendak dinikahinya, raut wajah mereka perlahan berubah. Papa dan adiknya tampak terkejut. Kakaknya tampak santai, sementara sang mama marah besar. “Mama tidak akan pernah sudi punya menantu seperti wanita itu, Yudha! Tidak akan pernah!” bentak Lusiana melotot. “Kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Rudi pada putra keduanya. Yudha mengangguk dengan tenang seperti biasanya. “Aku akan tetap menikah dengan Tari
“Kalau Yudha tetap nekat menikah tanpa resepsi, banyak yang akan membuat praduga. Saat ini kondisi perusahaan baru perlahan stabil pasca pandemi. Jika orang-orang mengira Yudha menikah karena skandal, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak berita dan gosip yang beredar. Hal itu akan berpengaruh pada kestabilan saham perusahaan. Kalau Mama sama Papa tidak merestui Yudha menikah dengan Tari, maka kita harus siap menjawab pertanyaan orang-orang, minimal awak media. Sementara anak ini, dia tidak akan peduli,” jelas Arbian menunjuk adik laki-lakinya.Yudha kembali mengedikkan bahu karena ucapan kakaknya benar adanya. Setidaknya ia sudah berbagi kabar dan tidak menikah diam-diam. “Kalau saham perusahaan anjlok, Mama sama Kayla siap-siap aja kembali miskin,” lanjut Yudha santai.“Yudha!!” jerit Lusiana yang rasanya ingin mencakar-cakar wajah putranya itu.“Memangnya Tari setuju menikah sama kamu?” tanya Rudi mencoba m
Setelah Kayla juga beranjak, tinggallah Rudi bersama Arbian. “Arbian, papa boleh tanya sesuatu?”Arbian meletakkan tabletnya dan fokus menatap papanya. Ia pun mengangguk hingga Rudi menghela napas panjang. “Papa ingin tahu tentang apa? Tentang pemecatan salah satu manajernya Papa atau penggantian salah satu founder?”Rudi menggeleng seraya berujar, “Papa ingin tanya soal Yudha. Apa kamu sengaja setuju dengan keinginan adikmu karena hasil pemeriksaan kesehatanmu?”Kini giliran Arbian yang menggeleng. “Bukan, Pa. Kemarin aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mereka berdua keluar dari Kafe Biru. Yudha yang tarik duluan tangannya Tari. Dia bahkan membukakan pintu mobil dan memasangkan seat belt. Apa pernah Papa melihat Yudha seperti itu? Untuk mama saja, yang jelas-jelas wanita yang sudah melahirkannya, Yudha tidak pernah seperti itu. Sama Kayla? Nggak juga, karena Yudha selalu berupaya agar Kayla mandiri
Tari memandang blanko di hadapannya. Ia harus mengisi data dirinya dan menyiapkan semua berkas yang dibutuhkan. Sampai saat ini Tari bahkan belum berbagi perihal tawaran pernikahan dari Kapten Yudha. Ibu Nilam masih harus fokus pada adik pantinya yang sedang dalam tahap persiapan operasi.Pria tampan dan mapan itu menegaskan jika mereka memang menjalin kontrak kerja sama. Namun, tidak dengan pernikahan. Akad sakral itu akan tetap berlangsung sekali seumur hidup Yudha. Berbeda dengan Tari nantinya. Jika kelak Tari tidak sanggup bertahan, maka ia boleh menggugat cerai pria itu.“Ya Allah, kenapa hidupku jadi serumit ini?” batin Tari menghela napas panjang. Selama ini Tari berpikir, hidupnya hanya berputar di panti dan bekerja.Menikah. Hamil. Melahirkan.Tiga hal itu akan ada dalam bayang-bayang hidup Tari dalam setahun kemudian. Berkali-kali ia membaca artikel tentang rumah tangga. Ada banyak pahit manis dalam hubungan sakral itu.Terleb
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Lusiana yang mendapati putra keduanya berdiri di depan pintu ruang kerja suaminya.Siang ini Lusiana sengaja datang membawa makan siang. Tujuannya tidak lain adalah untuk membujuk suaminya agar mendukung penolakannya terhadap keinginan Yudha. Akan tetapi, justru malah Rudi yang membujuknya agar menerima Tari.Yudha mencoba menekan emosi melihat wajah ketus mamanya. “Ini kantornya papaku. Sebagai putranya, tidak ada yang berhak melarang Yudha ke sini selain papa atau Mas Arbian yang menjabat sebagi CEO,” jawab Yudha dengan tenang. Berdebat dengan mamanya hanya menyisakan lelah.Lusiana menyunggingkan senyum sinis. “Mau minta papamu mengadakan resepsi buat kamu? Gajimu selama ini kamu buang ke mana?”Sindiran sang mama nyatanya membekas di hati. Yudha hampir saja lupa mamanya itu amat perhitungan. Apa-apa selalu saja diungkit.“Kalau Mama tidak mau mengadakan resepsi buat Yudha,
Raut bahagia Yudha surut kala mendapati mamanya ternayata sengaja menunggunya di lobi. Alasannya minta diantar pulang. Tetapi, Yudha yakin jika bukan itu alasan utamanya.Baru beberapa menit mobil melaju, Lusiana menyinggung perihal map yang tadi dimasukkan putranya ke dashboard. Sebenarnya tangannya gatal untuk membuka dashborad di hadapannya. Namun, ia tidak mau dianggap lancang dan kembali membuat putranya marah. Ia tidak ingin Yudha lebih berpihak pada Tari dan mengabaikan dirinya.“Apa kamu nggak punya pilihan calon istri lain? Kamu ingat kan, mama pernah bilang mau kenalin kamu sama seseorang?” Lusiana mencoba membuka obrolan dengan putranya.“Tidak ada, Ma. Kenapa Mama tidak mencoba mengenalkannya pada Mas Arbian?” Yudha memilih melihat keluar jendela saat mobilnya berhenti di persimpangan jalan.“Mama itu lagi bahas kamu, bukan Arbian.”“Dan aku menolak.”Lusiana tak m
Kerutan halus tercetak di dahi Yudha. Suara Ayana juga terdengar antusias. Yudha bisa menarik kesimpulan jika hal yang hendak diungkapkan gadis itu memang penting. Melirik jam tangannya, Yudha menghela napas panjang.“Maaf, sekarang tidak bisa. Aku harus kembali ke batalion,” sahut Yudha.“Apa aku susul saja ke sana?” tawar Alana penuh harap agar bisa kembali bertemu Yudha.“Voice note saja. Aku tidak ada waktu karena harus rapat dengan komandan,” saran Yudha menolak tawaran dokter kandungan itu.“Baiklah, setelah itu tolong kabari aku keputusanmu,” ujar Ayana yang akhirnya pasrah. Ia tidak ingin mengusik pekerjaan Yudha.Begitu sambungan telpon terputus, Yudha langsung menghubungi Tari. Ia meminta gadis itu bersiap-siap untuk melakukan foto studio dan membeli pakaian formal. Kali ini Yudha tidak menemani, melainkan memesankan mobil rental yang akan mengantar Tari ke tempat-tempat yang akan dituju. Tak lupa ia meminta Tari mengajak adik pantinya untuk menemaninya.“Apa kesulitan yang