Lima tahun kemudian.
Seorang wanita tersenyum, dia melambaikan kedua tangannya saat melihat seorang bocah yang tersenyum padanya. Dia meraih tubuh mungil bocah tersebut dan mencium pipi gembulnya. "Bunda."Naina tersenyum, dia menggenggam kedua tangan putrinya lalu masuk ke dalam mobilnya. Selama lima tahun ini dia hidup berdua dengan putri kecilnya di bandung menempati rumah Bi Rohya. Sedangkan Bi Rohya yang pada saat itu ingin ikut dengannya ia melarangnya karena ia takut keberadaannya di ketahui Andreas.
Lima tahun ini ia hidup tanpa sosok Andreas, ia sudah menerimanya dan kini ia memperjuangkan kebahagian putrinya yang ia beri nama Giselle Kayla Astra. Hari-harinya penuh dengan kebahagian. Giselle tumbuh menjadi sosok yang ceria. Putrinya pernah menanyakan keberadaan ayahnya dan ia hanya mengatakan jika ayahnya pergi bekerja yang jauh. Kini putrinya tidak menanyakan lagi keberadaan ayahnya.
"Bunda Gisel ikut ke toko ya?" Rengekan gadis kecil nan cantik itu membuat Naina tersenyum.
"Iya sayang," sahut Naina. Dia mendirikan sebuah toko roti kecil-kecilan untuk memenuhi kebutuhannya.
"Bunda setelah liburan sekolah ayo ke pantai." Ajaknya. Ia tidak sabar ingin ke pantai. "Atau ke kebun binatang saja." Imbuh Giselle. Setidaknya antara pantai dan kebun binatang harus ia datangi.
"Iya Sayang. Gimana sekolahnya tadi?" Tanya Naina. Ia harus memastikan setiap harinya anaknya yang sekolah, entah apa saja yang di lakukan. Ia takut anaknya di kucilkan atau di ejek.
Giselle pun menceritakan pengalamannya. Dia memiliki seorang teman laki-laki dan telah menjadi akrap.
Naina mengusap pucuk kepala Giselle. Ia senang Giselle tumbuh menjadi pribadi yang ceria. Ia bersyukur Giselle ada temannya.
Sedangkan di tempat lain.
Seorang pria memasukkan kedua tangannya di sakunya. Dia menatap gedung pencakar langit. Entah apa yang di pikirkannya membuat wajahnya murung. Ia merasa sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Selama lima tahun ini ia tidak tau keberadaan Naina. Ia pikir Naina akan kembali padanya namun dugaannya salah, wanita itu benar-benar menghilang dari pandangannya."Papa!" Teriak seorang anak kecil. Seorang anak berlari ke arahnya.
Pria itu memutar tubuhnya dan menangkap tubuh anak kecil tersebut. Dia mencium pipinya dengan gemas.
"Sayang kau sudah pulang?" Tanya Andreas. Dia menatap Amira yang tersenyum padanya.
Selama lima tahun ini dia menjalani pernikahannya dan mengadopsi seorang anak perempuan di panti asuhan. Ia memberikan kasih sayang yang berlimpah untuk putrinya.
"Sayang kau sudah makan siang? Bagaimana kalau kita makan di luar? Ayna pasti senang. Sejak tadi dia berceloteh pada ku meminta ku untuk makan di luar." Tutur Amira. Ia sangat bahagia dan ia tidak ingin kehilangan keluarga kecilhya.
"Baiklah, sesuai permintaan tuan putri." Sekalipun Ayna bukan anak kandungnya, sebisa mungkin ia memberikan kasih sayang berlimpah agar Ayna tidak kekurangan kasih sayang.
Amira menggenggam tangan Andreas sambil menggendong Ayna. Dia menuju ke sebuah restoran. Sejenak ia melihat punggung seseorang yang familiar. Ia menurunkan tubuh Ayna kamudian bergegas ke arah Naina.
"Naina." Andreas memegang bahunya. Jantungnya berdebar-debar, ada rasa senang di hatinya.
Wanita itu pun menoleh, semburat kekecewaan muncul di wajah Andreas. Ternyata bukan Naina yang ia cari."Maaf saya salah orang," ucap Andreas.
Amira dan Ayna menghampiri Andreas. Keduanya terlihat bingung.
"Siapa Sayang?" Tanya Amira. Dia tidak mengenali wanita itu.
"Aku pikir Naina," ucap Andreas menunduk dengan wajah sedih. Entah berapa lama ia harus menunggu.
Hati Amira berdenyut nyeri dan sakit, sekujur tubuhnya terasa pamas. Ia mengepalkan kedua tangannya. Sekalipun Naina menghilang, tapi namanya belum sepenuhnya hilang di hati Andreas. "Aku yakin suatu saat nanti kita bisa menemukan Naina. Sebaiknya kita makan siang, kasihan Ayna." Entah bagaimana caranya ia membuat Andreas melupakan Naina.
Andreas mengangguk, dia menggenggam tangan Ayna dan meninggalkan Amira.
Amira merasa geram, Andreas masih tak menyerah mencari keberadaan Naina. Ia berharap Andreas tidak menemukan Naina.
Selama ini ia selalu mendukungnya namun dalam hatinya tak sedikit pun ia mendukungnya. Ia sangat berharap Naina menghilang selama-lamanya. Ia tidak akan pernah membiarkan Naina dan Andreas bersatu.
Pada malam harinya.
Andreas membuka sebuah laci, di tatap foto wanita tersebut. Dia merabanya, ada senggenggam rindu ingin menyentuh pipinya. Rasanya sesuatu di hidupnya menghilang. Ia pikir Naina hanya bercanda dan akan kembali padanya. "Naina sebenarnya kau berada di mana? Ini sudah lima tahun dan aku tidak tau keberadaan mu." Ia berharap Naina baik-baik saja dan segera menemukannya.Naina menggunakan sebuah gaun berwarna hitam dengan taburan mutiara. Satu bahunya terlihat jelas dan rambutnya di gerai. Ia memolesi wajahnya dengan riasan tipis. Malam ini ia akan menghadiri pesta sebagai pasangan sementara Andreas. Tadinya ia tidak ingin ikut, tapi Giselle memaksanya ikut untuk menemaninya. "Hah, sudah."Naina tampil begitu memukau hingga Andreas tidak bisa mengkedipkan kedua matanya. Giselle pun tak kalah cantiknya, anak kecil itu begitu mirip dengan Naina. "Ayah." Sapa Giselle karena Ayahnya menatap bundanya begitu dalam hingga tak berkedip. "Issh, Giselle juga cantik."Andreas tertawa, ia melupakan suatu hal bahwa dua wanita bisa saja cemburu sekalipun memiliki hubungan darah. "Giselle yang tercantik.""Aku tau Ayah, sangat tau. Ayah hanya menyenangkan aku." Andreas mencium Giselle. Air matanya mengalir bahagia. Ia berharap waktu berpihak padanya. Keesokan harinya.Setelah mengetahui kabar bahwa Naina berada di Swiis bersama dengan Andreas. Kemarahan Amira se
Antonio merasa canggung dengan ucapan Naina padanya. Ia milirik Andreas, ia merasa kasihan pada Andreas. "Emm baiklah, aku memiliki urusan dengan mu.""Nanti malam aku akan menemui mu." Hari ini ia tidak memiliki waktu untuk menemani Antonio. Ia harus memiliki banyak waktu bersama dengan Giselle dan Naina. "Emm ... baiklah, aku pergi dulu." Andreas menggendong Giselle. Ia mencium pipinya bertubi-tubi. Rasa senang terpancar di wajahnya. "Sayang katanya mau jalan-jalan. Ayo Daddy akan membawa mu kemana pun yang kamu mau."Giselle mencium balik pipi Andreas. "Aku senang Ayah. Mari kita jalan-jalan." Andreas melangkah keluar dengan menggendong Giselle dan Naina mengekorinya. Para karyawan pun hanya melihat tingkah laku bos mereka. Mereka hanya tau bos mereka menikah dan tidak memiliki anak namun saat ini di hadapan mereka di suguhkan dengan kehadiran seorang anak dan Andreas memandnaginya dengan kasih sayang."Apa dia anak Tuan Andreas?" Tanya seorang karyawan wanita. Dia melihat betap
Naina menyuapi Giselle. Putrinya memintanya untuk di suapi, mungkin karena merindukan suapannya. “Sayang ingin nambah lagi?” Tanya Naina. Giselle memakan dengan banyak dan begitu lahap. “Suapan ibu memang sangat enak.”“Naina, Giselle.” Sapa Andreas. Dia membawa beberapa paper bag untuk Naina dan Giselle. “Sedang di suapi Bunda? Suapan Bunda pasti enak.”“Benar Ayah sangat enak. Giselle selalu ingin menambah.” Giselle mengelus perutnya. “Tapi sudah kenyang.”Andreas tertawa lebar, ia melihat Naina yang tertawa. Rasanya ia kembali seperti dulu. “Oh iya Sayang, Naina. Aku ingin mengajak kalian ke Swiss. Sekalian aku mau melihat-lihat perusahaan ku di sana.”Giselle merasa asing dengan namanya dan ia merasa Swiss negara yang indah. “Bunda apa aku bisa ikut kesana?” “Tentu saja Sayang. Kita bisa kesana.” Ia tidak akan pernah menolak keinginan Giselle karena baginya, putrinya sudah cukup melalui penderitaan. “Swiis? Aku sangat senang. Apa malam ini Ayah akan menginap di sini?”Andreas m
Andreas mengepalkan tangan kanannya, wajahnya terlihat gelisah. Selama ini ia yakin bahwa Giselle sudah menerimanya tanpa ada rasa curiga atau kesalahpahaman namun ternyata pikirannya salah. “Giselle maafkan Ayah. Ayah bersumpah bahwa Ayah menyayangi mu.”Giselle tersenyum tipis, ia sangat ragu dengan ucapan ayahnya tersebut. “Ayah, Giselle tidak percaya pada Ayah. Ayah selalu mengatakan hal yang sama, tapi tidak sesuai dengan perkataan Ayah. Giselle mau tidur, Giselle lelah.”BipGiselle memutuskan panggilannya tanpa menunggu Andreas. Ia yakin ayahnya pasti akan mengelak jika ia mengatakannya. Naina menoleh dan kembali ke arah Giselle dan memeluk Giselle. Ia benar-benar telah gagal menjadi ibu yang baik untuk Giselle. “Giselle maafkan Bunda yang tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk mu.”Naina mengusap air matanya. Ia sangat merasa bersalah pada Giselle. Giselle mengusap air mata Giselle. Semua yang terjadi bukan kesalahan ibunya. “Bunda tidak salah apa-apa. Kita akan bahag
"Papa jahat! Papa tidak sayang pada Ayna." Teriak Ayna kemudian berlari ke kamarnya untuk menemui Amira. Amira menatap Ayna. Ia masih memiliki harapan selama Ayna bersamanya. Ia bisa mengekang Andreas hanya membuat Ayna yang menentang Andreas. "Ayna kita di perlakukan seperti ini karena wanita itu." “Benar Ma.” Ayna begitu benci pada wanita itu yang telah merusak kebahagiannya. Suatu saat nanti ia akan membalasnya. “Ayna akan membuat Giselle merasakannya.”Amira memeluk Ayna. “Kita bisa menjalaninya Sayang. Kita pergi bukan berarti kita mengalah pada wanita itu. Rumah ini, rumah kita. Bukan kita yang pergi, tapi mereka.” “Amira aku sudah membelikan rumah untuk mu dan Ayna kau ingin ikut dengan Papa atau Mama?” Tanya Andreas. Amira tidak mungkin melepaskan Ayna karena anak ini adalah kuncinya. “Biar aku saja yang merawat Ayna.” Dengan begitu ia masih bisa mengekang Andreas. “Aku akan ikut dengan Mama, Pa.” Ayna mengangkat wajahnya. “Tapi Pa biarkan kami tinggal di sini. Sekalipun
"Apa?!" Amira melebarkan kedua matanya. Seakan kedua kedua bola matanya akan keluar. Detak jantungnya berdetak lebih cepat di iringi rasa panas, bahkan kedua telinganya mendengarkan detak jantungnya itu. "Ini tidak mungkin. Kita tidak bisa bercerai. Kau tidak bisa meninggalkan ku." Andreas menyilangkan kakinya, ia muak dengan kebohongan Amira. "Apa kamu pikir aku betah dengan semua kebohongan mu Amira?" Amira menggeram, ia berlutu di kaki Andreas. "Aku mohon Andreas jangan membuang ku. Kasihan Ayna, dia membutuhkan kehadiran kita. Aku sudah setuju membawa Naina ke sini. Kita bisa hidup bersama." Andreas mendekatkan wajahnya ke wajah Amira. "Setelah semua kejadian di masa lalu. Apa kamu pikir aku akan mempercayai mu Amira?" Ia menoleh ke arah lain. "Aku tidak tau apa yang akan kamu rencanakan kebelakangnya. Jadi aku tidak akan mengambil resiko." "Ayna tidak akan setuju Andreas." Ia berusaha menghancurkan kebekuan hati Andreas agar mencair begitu menyebut nama Ayna. "Aku men