"Ikut ke mana, Mas?" tanyaku sambil menundukkan pandangan, tidak mau terpesona dengan ketampanan wajah Mas Azis.
Bunda duduk di teras, membiarkan kami bicara berdua, tidak mau mencampuri masalah rumah tangga anaknya.
"Ke dokter kandungan, Ran. Aku penasaran, ingin tahu apakah kamu benar-benar hamil setelah menikah denganku, ataukah...." Dia menggantung kalimat, akan tetapi aku faham dengan maksud perkataannya.
"Tidak perlu, Mas. Toh, kamu sudah tidak percaya sama aku. Kamu sudah tidak ada urusan lagi sama aku dan calon bayi aku. Kamu tidak usah repot-repot mengeluarkan uang untuk kami!" tolakku kesal.
"Ran, ayolah. Kamu jangan keras kepala. Aku masih suami kamu, loh. Jadi kamu harus menuruti ucapanku." Mas Azis menggengam jemariku.
"Kamu sudah mentalakku, Mas. Kamu juga sudah mengusir aku dari rumah. Kalau kamu masih punya hati serta perasaan, silakan pergi dari rumah ini. Aku tidak mau menambah beban masalah di hidupku. Aku ingin hidup tenang!" Menyingkirkan tangan Mas Azis, masuk ke dalam rumah tanpa lagi menoleh ke belakang.
Hatiku semakin sakit karena ternyata dia mengajakku ke dokter kandungan sebab masih meragukan kehamilanku. Aku pikir, dia membawaku cek kehamilan ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi karena ingin membuktikan kepada Ibu bahwa aku memang mengandung anaknya Mas Azis. Tapi ternyata, dia masih meragukan kesetiaanku.
Aku tidak mau kembali hidup dengan laki-laki yang sudah tidak mempercayaiku. Biarlah, akan kuurus anak ini sendiri. Sebab, belum tentu nanti Ibu mempercayai ucapan Mas Azis serta menerima aku dan janin ini. Aku yakin jika aku kembali kepada Mas Azis, sudah pasti akan menjadi bulan-bulanan mertua serta ipar-ipar.
"Azis mau ngapain, Ran?" tanya Bunda penasaran.
"Ngajakin ke obgyn, Bun. Tapi aku nggak mau!" jawabku sembari mengenyakkan bokong perlahan di kursi teras.
"Sudahlah, Ran. Nggak usah balikan lagi sama dia. Bunda nggak mau kamu terus disakiti oleh mertua dan adik ipar kamu. Kamu di sini saja sama Bunda. Nemenin Bunda biar nggak kesepian!" ucap Bunda sambil mengibaskan tangan.
"Iya, Bun."
***
"Eh, ada Rania. Kok ada di sini, bukannya Rania tinggal di rumah Bu Sulis setelah menikah?" tanya seorang tetangga, entah dia memang belum mendengar gosip yang beredar atau sekedar basa-basi.
Aku hanya tersenyum getir.
"Diakan diusir dari rumah mertuanya, Mbak Mela. Memangnya sampean nggak tahu?" Tante Susi menimpali, sambil menatap mencemooh ke arahku.
"Nggak nyangka, ya, Rania bisa hamil diluar nikah. Padahal dia kelihatan alim. Nggak pernah buka aurat. Tapi ternyata...." Bu Angger mengedikkan bahunya.
Ya Allah. Apa mereka tidak memikirkan perasaanku saat ini. Apa mereka malah sengaja, ingin menggores luka lebih dalam di hati ini?
"Mang, tolong hitung semua belanjaan saya!" Aku berujar dengan suara serak, manahan air mata yang sudah hampir tumpah ruah membasahi pipi.
Setelah tukang sayur menghitung belanjaan, gegas diriku menarik diri dari kerumunan ibu-ibu yang sedang berbelanja. Telingaku terasa panas mendengar ucapan mereka yang tanpa saringan apalagi memikirkan perasaan. Meskipun bunda menyuruhku menulikan telinga, akan tetapi aku hanya manusia biasa yang hatinya terbuat dari segumpal daging. Mudah terluka juga sakit.
Dengan kasar kuletakan sayur-mayur yang baru saja aku beli di atas meja.
Kepalaku terasa keliyengan. Pandangan berkunang-kunang, dan bumi tempatku berpijak seakan bergoyang. Aku juga merasa tubuhku seperti tenggelam ke dasar tanah. Gelap. Seperti tertimpa beban berat hingga aku merasa sulit sekali untuk bernafas.
"Ran, Rania. Bangun, Sayang!" Bunda menepuk pipiku pelan, mengusapkan minyak kayu putih di dekat hidung sampai aku merasa sangat mual.
Pelan-pelan membuka mata yang terasa berat, kembali menutupnya karena cahaya yang menyilaukan. Bunda tersenyum seraya mengucap hamdalah, sedang Ayah berdiri di samping tempat tidur sambil berkacak pinggang. Wajah pria berkumis tipis itu masih memerah menahan amarah yang tidak kunjung hilang.
"Pasti kamu pingsan gara-gara memikirkan laki-laki lembek itu?!" hardik Ayah. Meradang.
Aku hanya bisa menarik nafas panjang, melonggarkan dada yang masih terasa terimpit kemudian menghembuskannya perlahan. Aku tahu pasti Ayah merasa sangat kesal kepadaku dan juga Mas Azis. Setelah menikah bukannya meringankan beban orang tua, malah menambah beban mereka dengan segala permasalahanku.
Tanpa terasa buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari kedua sudut mataku.
"Kamu ngapain nangis. Cowok klemar-klemer kaya dia nggak perlu kamu tangisi. Pokoknya, Ayah nggak ikhlas kalau kamu sampai kembali sama dia. Mendingan kamu jadi janda dari pada harus hidup di bawah penekanan keluarga si Azis. Pendidikan doang yang tinggi. Tapi otaknya dangkal!" sungut Ayah.
"Astaghfirullah, Ayah. Istighfar. Jangan marah-marah melulu. Nanti Ayah sakit!" Bunda mengelus dada lelaki yang sudah menemani hidupnya selama dua puluh lima tahun itu.
"Kalau inget si Azis, hawanya pengen marah terus. Kalau saja tidak memikirkan kalian berdua, sudah Ayah penggal kepala anak itu. Sudah minta Rania secara baik-baik, menyuruh Rania menunggu selama bertahun-tahun. Sekarang, dia malah menududuh putriku berzina. Dasar nggak ada otak!" Ayah terlihat semakin marah.
Aku hanya bisa diam membisu. Merasa semakin terbebani dengan keadaan ini. Kalau saja bunuh diri tidak berdosa, mungkin aku akan mengakhiri hidup saat ini juga. Akan tetapi aku masih bisa berfikir waras, tidak mau menumpuk pundi-pundi dosa yang sudah menggunung.
***
"Gara-gara masalah Rania, Ayah jadi dijauhi orang-orang di pengajian. Heran, cepet banget beritanya kesebar. Hampir semua orang juga percaya kalau Rania hamil diluar nikah. Benar-benar mulutnya si Sulis. Sudah kaya ember bocor!" Tanpa sengaja aku mendengar Ayah sedang bekeluh kesah kepada Bunda. Aku sungguh merasa tidak enak hati kepada mereka, sebab harus menanggung malu karena fitnah yang dilontarkan kepadaku.
Dengan langkah gontai, aku berjalan ke kamar sambil berpegangan tembok. Tubuhku terasa lemas seperti tidak bertulang. Sakit di kepala juga tidak kunjung hilang semenjak aku tahu kalau diri ini sedang mengandung. Nikmat luar biasa.
Pelan-pelan kuhempaskan bobot di atas pembaringan, tidak memedulikan bunda yang terus saja memanggil, menyuruhku makan malam. Nafsu makanku benar-benar menurun. Membayangkan aroma nasi saja sudah mual, apalagi melihatnya. Merinding karena nasi yang ada di piring seperti bergerak-gerak.
"Ran, kasihan anak kamu, loh. Kalau kamu nggak mau makan, nanti anak kamu nggak dapat nutrisi!" Bunda berujar sambil mengusap rambutku.
"Aku nggak lapar, Bun. Perut aku enek banget. Kepala aku pusing, padahal sudah minum obat pengurang rasa mual sama vitamin dari dokter," keluhku sambil menenggelamkan tubuh ke dalam selimut.
"Bunda suapin ya, Ran?"
"Rania bukan anak kecil, Bun. Rania sudah mau punya anak. Masa makan saja masih disuapin."
Bunda tersenyum menatapku.
"Bagi Bunda, kamu tetap anak kecil. Kamu kesayangan Bunda. Harta paling berharga Bunda yang akan selalu Bunda jaga, walaupun nyawa Bunda sebagai taruhannya!"
Hatiku begitu terenyuh mendengar kalimat demi kalimat yang terucap dari mulut ibuku. Walaupun sudah membuatnya malu, akan tetapi rasa cinta di dalam hatinya tidak pernah berkurang sedikit pun.
"Astaghfirullahaladzim!!" pekikku sambil meringis menahan nyeri di perut bagian bawah. Rasanya seperti sedang ditusuk-tusuk. Sakit tak tertahankan.
"Kamu kenapa, Ran?!" teriak Bunda panik.
Lagi, aku merasa seperti tubuhku tenggelam ke dasar tanah. Gelap. Berat. Seperti ada yang sedang meremas-remas perutku.
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k