Sekilas aku masih mendengar suara kepanikan ayah serta Bunda. Merasa bahwa tubuh ini sedang digotong dan dibawa menjauh dari rumah. Mungkin kedua orang tuaku membawaku ke rumah sakit.
Ya Allah. Lindungi aku dan juga janin yang ada di dalam perut. Jangan ambil dia. Calon bayi ini sumber kekuatanku, walaupun tidak diakui oleh Mas Azis.
Beberapa menit setelah menempuh perjalanan, aku merasa tubuhku kembali diangkat, direbahkan diatas brankar karena aku yakin saat ini sudah berada di rumah sakit, sebab aku bisa mencium aroma khas obat-obatan.
***
Pelan-pelan membuka mata, merasa ngilu di punggung tangan sebelah kanan karena ada jarum yang menancap di pembuluh darah vena, berserta selang yang terhubung dengan cairan intravena yang menggantung di standar infus.
"Kamu sudah bangun, Ran?" Bunda mengulas senyum sembari membelai lembut kepalaku yang terbungkus hijab.
Wajah perempuan berusia empat puluh lima tahun itu terlihat sendu. Matanya basah serta memerah. Bunda pasti merasa sedih melihat kondisiku yang teramat lemah serta sering pingsan seperti ini. Sungguh aku tidak ingin menyusahkan siapa pun, akan tetapi keadaan diri yang tidak berdaya membuatku merasa lemah.
Mungkin pengaruh hormon atau karena terlalu sering memikirkan omongan para tetangga yang selalu memojokkan, juga kata-kata yang terlontar dari seluruh keluarga Mas Azis yang menyakitkan sehingga membuat aku menjadi stres dan mudah pingsan.
Tidak lama kemudian, seorang dokter masuk memeriksa keadaanku kembali. Dokter berhijab putih itu menyuruhku menarik nafas, menempelkan stetoskop di dada mendengarkan irama detak jantungku.
"Ibu tidak boleh terlalu banyak fikiran ya. Soalnya kalau ibunya stres, bisa mengganggu kesehatan janinya," terang bu dokter dengan intonasi sangat lembut. "Ini saja tadi hampir terjadi kontraksi serta perdarahan. Kalau Ibu mempunyai masalah, mending dibicarakan dengan keluarga atau suami Ibu," imbuhnya lagi, sedikit mencubit-cubit hati.
Ah, seandainya dokter tahu, kalau penyebab masalahnya justru dari suamiku sendiri, pasti dia tidak akan berkata seperti itu.
Bagaimana bisa aku berbagi dengan Mas Azis, sementara dia tidak mempercayaiku.
"Ya sudah, saya permisi dulu. Jangan banyak bergerak dulu ya, Bu...Ibu harus bed rest total," pesan dokter sambil mengulas senyum.
"Iya, dok. Terima kasih!" sahutku seraya mengangguk lemah.
"Kalau butuh sesuatu bilang sama Bunda saja, Ran." Wanita dengan wajah cantik meski usianya tidak muda itu duduk di sebelahku sambil menggenggam jemari ini.
Sedang Ayah. Sejak aku bangun dari pinsan beliau hanya duduk di sofa tanpa berkata apa-apa. Namun dari riak wajahnya, tergambar jelas kalau Ayah sedang menahan amarah.
Dalam keheningan ruang inapku, ponsel Ayah tiba-tiba berdering. Pria berusia lebih dari setengah abad tersebut segera beranjak lalu pergi setelah membisikkan sesuatu kepada Bunda. Mungkin ada urusan mendadak yang mengharuskan dia pergi.
***
#Azis
Duduk menyandar di sandaran kursi, menatap foto Rania yang masih terpajang di meja kerja. Aku masih penasaran, apakah benar dia hamil anakku, ataukah anak orang lain seperti yang dituduhkan oleh Ibu serta saudari-saudariku. Aku sungguh dilema dengan masalah yang mendera.
"Pagi-pagi udah melamun, Zis?" tegur Mbak Anita–rekan kerjaku.
"Mikirin istri saya, Mbak!" jawabku sembari menyesap teh yang disodorkan oleh office boy.
"Memangnya istri kamu kenapa. Sakit?" Mbak Anita menarik kursi dan duduk di sebrang meja.
"Dia lagi hamil, Mbak. Tapi entah hamil anak siapa!"
Dahi perempuan berhijab kuning itu berkerut-kerut sambil menatapku dengan mimik heran.
"Maksudnya istri kamu selingkuh?" tanyanya lagi, membuat dadaku kian memanas.
"Saya kurang tahu, Mbak. Tapi, kata bidan dia sudah hamil sepuluh minggu. Padahal kan Mbak Anita juga tahu, kalau aku dan dia baru menikah selama enam pekan!"
"Kok bisa?" Dia menautkan alis.
"Maka dari itu, Mbak. Saya juga heran."
"Selama nikah sama kamu, Rania pernah menstruasi nggak?"
Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala.
"Biasanya, kalau bidan itu ngitungnya bukan dari pertama kita bikin anak, Zis. Tapi bidan ngitungnya hari pertama haid terakhirnya. Aku saja dulu, nikah dua bulan kata bidan malah sudah hamil tiga bulan. Untung suami aku percaya sama aku dan langsung ngajak aku USG. Eh, ternyata aku baru hamil enam minggu. Biar nggak penasaran, sana ajak istri kamu periksa ke dokter spesialis kandungan. Karena yang paling akurat itu pemeriksaan menggunakan alat ultrasonografi!" terang Mbak Anita panjang lebar.
"Aku sudah ngajakin dia USG, Mbak. Tapi dia nggak mau!"
"Kenapa nggak mau?"
"Dia marah sama aku karena aku sudah mentalak juga mengusirnya!"
Mbak Anita menggelengkan kepala.
"Wajar kalau Rania marah, Zis. Jika aku jadi dia juga pasti bakalan marah banget. Sedih, sakit hati karena orang yang paling disayang malah tidak percaya sama dia. Lagian, kok otak kamu cetek banget sih. Kamu itu berpendidikan tinggi, tapi pikirannya dangkal. Primitif!" rutuk Mbak Anita sedikit mencubit hatiku.
"Saya emosi, Mbak. Merasa terzolimi karena saya fikir dia sudah selingkuh!" sanggahku, tidak mau disalahkan.
"Itulah pentingnya kita berbicara dengan kepala dingin. Sekolah tinggi-tinggi tapi kalau pemikirannya masih primitif begitu untuk apa. Percuma dong kamu sekolah tinggi-tinggi sampai ke luar kota tapi pemikiran kamu kaya orang tidak mengenyam bangku pendidikan!"
Mataku membulat sempurna mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Mbak Anita.
"Nggak usah tersinggung. Tapi diresapi omongan aku, Zis. Aku sudah punya anak tiga. Lebih berpengalaman tentang kehamilan juga masalah rumah tangga!" Wanita berusia tiga puluh sembilan tahun tersebut melenggang pergi meninggalkan meja kerjaku tanpa permisi.
Dengan perasaan kalut kuremas rambutku sambil terus membayangkan ketika Rania pergi dari rumah sambil menangis. Apalagi, saat itu ibu dan kedua saudariku melarangnya untuk membawa barang-barang yang sudah aku berikan. Ibu juga datang ke kediaman orang tua Rania untuk mengambil mahar pernikahan kami, memberi tahu tetangga kalau Rania sudah hamil sebelum kami menikah.
Gegabah. Terlalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa mencari bukti lebih kuat. Wajar saja kalau sekarang Rania marah dan tidak mau kembali. Aku sudah memfitnahnya, menuduhnya berzina bahkan hamil dari hasil perzinaan itu.
Ya Allah. Tolong tunjukkan kebenarannya. Aku masih sangat mencintai Rania dan menginginkan dia kembali.
***
Senja mulai menyapa. Sang surya telah kembali ke peraduan, digantikan oleh purnama dengan pendar jingga menambah sunyi hati yang merana.
Rania. Senyum manis nan menawah melengkung indah di bibir tipis wanita itu. Dia melambai, memanggilku untuk segera datang menghampiri.
"Sayang, aku rindu!" bisiknya syahdu, dengan suara lembut serta merdu.
Rania. Kekasih hatiku yang teramat aku cintai. Begitu besar cinta yang telah kamu tanamkan di dalam kalbu. Aku merindu, menginginkan kamu untuk kembali menemani hari-hari sepiku, membesar anak yang sudah tumbuh di rahim kamu, walaupun nantinya ternyata dia bukan anakku.
Ah, begitu pedih membayangkan kisah tragis rumah tangga kami. Masih adakah kesempatan untuk diriku menjadi pendamping hidup kamu, Rania.
Dengan langkah tergopoh aku keluar dari kamar, mendengar suara gaduh di halaman rumah. Sepertinya Ibu sedang kedatangan tamu. Tapi siapa? Kenapa mereka terdengar seperti sedang beradu mulut. Apa keluarga Rania datang dan marah kepada Ibu?
Alisku bertaut dengan mimik heran, sebab ternyata yang datang justru asisten bidan Hapsari yang kemarin memeriksa kandungan istriku. Dia terlihat sedang menangis karena sesekali ia mengusap air mata dengan punggung tangan.
Karena penasaran aku keluar, menanyakan ada masalah apa tiba-tiba dia datang sambil menangis di depan rumahku.
"Mas Azis, tolong bantu saya. Ayahnya Mbak Rania melaporkan saya ke kantor polisi dan akan memenjarakan saya, Mas!" ucap si bidan sambil memegangi tanganku.
Ayah melaporkan bidan Dona ke kantor polisi?
"Mas, tolong bilang ke Pak haji Zubair kalau saya tidak salah. Saya cuma bercanda waktu itu. Mbak Rania memang sedang hamil sepuluh minggu menurut hitungan bidan. Karena kami menghitung kehamilan dari hari pertama haid terakhir, bukan kapan pertama pasien melakukan hubungan suami istri!" Dia terus mencengkram lenganku sambil menatap mengiba.
"Sudahlah, Dona. Sekarang kamu keluar dari rumah saya. Masalah kamu dilaporkan ke polisi oleh bapaknya si Rania, itu bukan urusan kami. Saya sudah tidak ada urusan lagi dengan keluarga mereka!" usir Ibu sambil menarik kasar wanita berusia sekitar dua puluh dua tahun tersebut lalu segera menutup pintu.
"Kamu juga masuk, Azis!" titahnya seraya menatap tajam manik hitamku.
Apa sebenarnya Rania memang sedang mengandung anakku?
Ya Allah, berdosa sekali diri ini jika benar benih yang ada di rahim Rania adalah milikku. Bukan milik orang lain.
"Kamu mau kemana, Azis?" tanya Ibu ketika aku masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.
"Ke rumah Rania!" jawabku datar.
"Mau ngapain lagi?"
"Mau membawa Rania pulang ke rumah!"
"Ibu nggak setuju. Ibu tidak sudi punya menantu pezina!" Dia membuka paksa pintu mobilku, menarikku keluar melarangku untuk mendatangi Rania.
"Aku akan mengajak Rania ke dokter spesialis, Bu. Ingin memastikan benih siapa di rahim istriku!"
"Tidak perlu. Sudah terbukti kok kalau Rania hamil anak pria lain. Bukan anak kamu!" Dia tetap bersikeras untuk mencegahku pergi.
Maaf Ibu. Kali ini aku tidak bisa menuruti perintah Ibu. Aku ingin tetap mendatangi tempat tinggal istriku dan memintanya untuk kembali, apapun yang terjadi nanti.
Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari pekarangan rumah. Ibu tetap berusaha mengejar akan tetapi aku tidak perduli. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Rania, memohon kepada Ayah supaya kembali mengizinkan aku hidup bersama putrinya.
***
"Assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!
Mengucap salam sambil mengetuk pintu pagar.
Hening.
Tidak ada seorang pun yang keluar dari rumah itu. Kediaman orang tua Rania terlihat bergitu gelap serta sepi. Apa mereka sedang tidak ada di rumah?
Kalau Ayah dan Bunda pergi, berarti Rania sedang sendiri. Ini kesempatanku untuk masuk dan membawa paksa Rania pulang ke rumah.
"Mas Azis mau ngapain?" tanya seorang tetangga saat aku hendak memanjat pagar rumah mertuaku.
"Mau masuk. Memangnya mau ngapain. Inikan rumah mertua saya!" jawabku sambil menaiki pagar besi rumah tersebut.
"Percuma, Mas. Rumah ini sudah dua hari kosong. Mbak Rania masuk rumah sakit. Katanya dia keguguran!" terang Bu Mela–tetangga sebelah rumah Rania.
"Ternyata benar loh, Mas Azis. Kalau Mbak Rania itu lagi hamil anak Mas Azis. Kemarin Pak Haji menunjukkan foto hasil USG Mbak Rania kepada saya, dan kebetulan ternyata Rania memeriksakan kandungannya di tempat praktek dokter Kayla. Keponakannya Bu Angger. Aku nggak bisa bayangin perasaan Rania sekarang. Sudah di talak sama suami, diusir, sekarang harus kehilangan bayinya. Ya Allah, pasti sakit banget!" Dia mengedikkan bahu sambil melenggang pergi.
Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari kedua sudut netra.Ya Illahi Rabbi. Ternyata Rania benar-benar mengandung anakku, dan sekarang Engkau telah mengambil kembali amanah yang telah Kau berikan kepadaku.Ampuni aku ya Allah....Masuk ke dalam mobil, duduk bersandar sambil menangis meratapi kepergian calon anakku. "Ran, maafin Mas. Maafkan suamimu ini karena sudah tidak percaya sama kamu!" Menangis tersedu sambil mencengkram erat kemudi. Semua ini salahku. Rania kehilangan bayinya karena keegoisanku. Aku lembek, tidak berani membantah Ibu meskipun tahu Rania tidak bersalah. Kenapa juga kemarin harus mempercayai ucapan Fika dan Mbak Zalfa. Ya Allah. Harusnya aku lebih percaya kepada istriku. Aku seorang kepala rumah tangga, yang mengatur serta memutuskan segalanya. Bukan diatur juga menuruti semua perkataan Ibu juga saudariku. Aku kembali keluar dari mobil. Mengetuk pintu pagar rumah Mbak Mela, menanyakan di mana Rania di rawat. "Wah, kurang tahu ya, Mas. Soaln
"Sudah, Azis. Sekarang lebih baik kamu pulang. Kamu urus saja Ibu kamu. Jangan urusi hidup putri saya lagi!" usir Ayah dengan wajah memerah menahan amarah."Ayah, saya mohon!" Terus saja mengiba."Azis. Jangan buat saya bertambah marah!" Wajah Ayah kian memerah, dengan rahang mengeras dan gigi menggertak.Laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu lalu melangkah pergi meninggalkanku yang masih duduk terpekur di lantai depan rumahnya, tidak perduli dengan permohonan serta tangisanku. Mungkin hatinya sudah tertutup oleh rasa benci yang mengelusup ke dasar hatinya.Ponsel dalam genggamanku terus saja berdering. Mbak Zalfa memanggil. Aku mengabaikannya karena sedang merasa kesal kepada dia dan juga Ibu.Lunglai aku berjalan, masuk ke dalam mobil menyenderkan kepala sambil menangis.Ya Allah, Rania. Maafkan suamimu yang dulu tidak mau mempercayai kamu. J
Dua orang berseragam hitam-hitam keluar dari dalam rumah pria paruh baya itu dan menarik tubuh ini. Meninju perut dan rahangku hingga terasa nyeri hingga ke ulu hati."Jangan macam-macam sama bos saya!" ucap salah satu bodyguard lelaki tua tersebut.Lagi, dia mendaratkan tinju di perut hingga aku terbatuk dan hampir muntah."Bos saya sudah membayar Nona Fika mahal. Sudah booking perempuan itu untuk menemani dia selama satu minggu. Jadi, untuk saat ini Nona Fika masih menjadi haknya si bos. Kalau Anda mau berkencan dengan Nona Fika, Anda harus mengantri!"Booking?Apa selama ini adikku menjadi bookingan om-om?Ya Tuhan. Apa kata orang jika mereka tahu selama ini Rafika bekerja sebagai wanita penghibur.Sambil memegangi perut yang terasa sakit, kutarik Rafika masuk ke dalam mobil. Ibu harus tahu apa yang dilakukan oleh putri kesayangannya s
Mengetuk kamar Ibu, niat hati ingin menanyakan masalah uangku yang hilang. Bukannya menuduh Ibu, akan tetapi hanya dia yang biasa keluar masuk ke dalam kamarku."Bu!" Tok! Tok! Tok!Kuketuk sekali lagi. Namun, Ibu tidak juga menyahut. Apa iya jam segini dia sudah tidur? Sepertinya tidak mungkin. Sebab Ibu selalu tidur hingga larut malam. Pun dengan Mbak Zalfa. Mereka berdua selalu menonton acara televisi hingga tengah malam."Mbak Zalfa!" Menarik tangan kakakku ketika dia lewat dan seperti sengaja menghindar."Ada apa, Zis?" tanyanya dengan mimik aneh. Seperti maling ketahuan mencuri."Mbak lihat uang aku yang di laci nggak?" tanyaku tanpa basa-basi."Enggak. Mbak nggak tahu. Mbak juga nggak ngambil uang kamu yang sepuluh juta!"Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Zalfa. Dari mana dia tahu kalau uang yang hilang berjumlah se
Aku mengulas senyum menatap Rafika, walaupun gadis itu tidak membalas senyumanku. Tak apalah, sudah biasa dia cuek dan jutek. Apalagi sekarang, aku dan Mas Azis sedang memiliki masalah dan dia juga ikut menjadi pemicu retaknya rumah tangga kami."Sudah jangan diliatin terus. Habisin esnya. Setelah ini kita pulang." Kak Dimas mengusap lembut kepalaku, menarik hidung ini karena gemas. Sudah kebiasaan dia menarik-narik hidungku seperti itu.Ketika aku menoleh, Fika sepertinya sedang mengarahkan kamera kepadaku. Sebab, ada cahaya keperak-perakkan yang menyilaukan mata, seperti blitz kamera yang lupa dia matikan. Biarlah. Mungkin dia sengaja mengambil gambarku saat berdua dengan Kak Dimas. Dia pikir aku selingkuh, mungkin. Sebab ketika aku menikah, Kak Dimas tidak bisa menghadiri acaraku, karena saat itu dia masih berada di luar kota menjalankan tugas dari kantornya dan tidak bisa izin walaupun hanya sehari.Rafika beranjak d
"Nglamun terus!" Hamzah menepuk pelan pundakku, namun mampu membuat diri ini berjengit kagetAh, Rania. Gara-gara terus memikirkan kamu jadi sering tidak fokus. Banyak masalah yang tiba-tiba mendera membuat hidup ini tidak tenang."Mobil elo kayanya nggak bisa kelar hari ini. Mending elo tinggal saja, Zis. Elo pulang bawa motor gue. Soalnya kalau elo nunggu di sini takut kelamaan!" ucap pria bertubuh tegap itu memberi usul, dan segera kusetujui."Ya sudah. Kalau sudah kelar elo kasih kabar. Teleponnya tapi jangan ke nomer gue, ke nomer telepon rumah saja. Hape gue mokat.""Siap!" Dia mengacungkan jempolnya yang sudah berlumuran oli.Untung saja dulu setelah lulus sekolah menengah atas aku langsung kuliah. Tidak seperti Hamzah yang langsung terjun ke dunia otomotif, menjadi montir, membuka bengkel kecil-kecilan yang pendapatannya tidak seberapa.Se
Tanpa ampun Bu Sita menarik paksa Rafika ke jalanan. Hingga sela-sela jarinya dipenuhi rambut yang terbawa. Dengan membabi buta wanita berdadan rapi itu menampari pipi adikku, menghujaninya beberapa pukulan, tidak memperdulikan teriakan Rafika yang terus saja memohon ampunan."Takkan kuberi ampun kamu, wanita jal*ng. Perebut suami orang. Pela**r!" teriak Bu Sita histeris.Aku mencoba melerai. Akan tetapi justru tanganku ikut terkena cakaran, juga tendangan dari perempuan itu."Hentikan, Bu Sita. Ibu bisa dipidanakan karena kasus penganiayaan!" Pak RT yang baru saja datang berusaha ikut melerai."Saya tidak takut dipenjara. Kalau sampai dibui, dengan menjentikkan jari saya bisa langsung keluar!" icapnya angkuh.Beberapa orang tetangga akhirnya turun tangan. Menarik Rafika dari amukan Bu sita kemudian membawa gadis itu ke rumah Pak RT.Belum puas sampai disitu.
"Azis. Kamu itu bagaimana sih. Tahu adiknya pingsan bukannya perduli, malah asik-asikan mainan hape!" sungut Ibu seraya berkacak pinggang."Terus aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Meletakkan ponsel Rafika di atas meja sambil memijat pelipis. Pusing."Inisiatif panggil dokter, kek. Jangan cuma diam. Begitu saja kamu nggak paham, Zis. Telmi!" hardiknya lagi. Bertambah emosi."Nggak usah panggil dokter, Bu. Nanti Ibu tambah malu. Fika lagi hamil!""Kamu itu bener-bener, ya. Kalau ngomong sudah kaya orang nggak ada otak. Asal jeplak. Bagaimana bisa anak perawan hamil. Otak kamu sudah terkontaminasi racun kayanya. Kebanyakan mikirin Rania!" Wanita berdaster motif bunga-bunga itu menoyor kepalaku."Tolong sekali ini saja Ibu dengarkan aku, Bu. Fika itu pingsan karena sedang mengandung.""Memangnya kamu tahu dari mana kalau Fika sedang hamil, Zis? Janga