Share

Pertemuan Sora dan Dias

Ponsel Soraya kembali berdenting. Kali ini, sebuah pesan W******p masuk. Dari Dias, cowok yang menjadi sumber utama masalahnya sekaligus pacarnya.

[Kamu bolos, Yang?]

Bolos mungkin bukan kata yang tepat untuk Soraya. Ia adalah gadis yang rajin dan tak pernah neko-neko di mata para dosen dan teman-temannya. Hanya saja, Dias lebih suka memakai kata bolos untuk menyatakan seseorang yang absen. Padahal, bolos itu berarti tidak masuk tanpa izin. Sedangkan, Soraya tentu saja sudah meminta izin.

[Aku sakit, jadi nggak masuk dulu.]

Soraya menimbang-nimbang apakah ia harus memberitahu Dias tentang apa yang sebenarnya terjadi sekarang? Namun detik berikutnya, ia merasa bahwa hal seperti itu tidak bisa dibicarakan lewat chat. Akan lebih baik kalau mereka bertemu dan bicara berdua. Toh dia belum sepenuhnya percaya kalau di perutnya sekarang ada janin betulan.

[Aku pengin ketemu, Yang. Kangen.]

Soraya tersenyum tipis membaca balasan Dias yang secepat kilat. Dulu, Soraya tak akan buang waktu untuk segera mengatakan kalau ia juga rindu dan ingin bertemu. Sayangnya, kali ini Soraya punya alasan lain untuk bertemu dari pada hanya sekedar kangen. Gadis itu tidak bisa membayangkan reaksi Dias saat tahu soal berita kehamilannya nanti. Perasaan takut mendominasi hati Soraya. Bagaimana kalau Dias tidak mau bertanggung jawab?

Dias memang selalu manis, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Dialah laki-laki pertama yang membuat hatinya berbunga.

Hari itu, hari pertama Soraya di SMA Nusa Bakti. Ia pindah di pertengahan semester satu kelas 12. Murid pindahan di tengah semester adalah sesuatu yang tak biasa. Itu sebabnya, Soraya mendapat banyak perhatian dari seluruh penghuni sekolah. Gadis itu merasa seperti hewan yang dipamerkan di kebun binatang. Semua orang memandangnya, bahkan di jam istirahat, murid-murid kelas lain banyak yang mengintipnya dari jendela. Soraya merasa risi, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Mau sembunyi di toilet pun, ia tidak berani. Ia takut malah bertemu lebih banyak orang lagi, lalu ditanya-tanya soal kepindahannya. Hal terakhir yang ingin dia bahas. Soraya hanya ingin kehidupan sekolah yang biasa, lebih bagus kalau tidak diperhatikan. Toh, tujuannya bersekolah hanyalah mendapatkan ijazah dan pergi kuliah.

“Hoi! Bubar! Nggak ada tontonan di sini! Hus! Hus!” Sebuah seruan yang cukup kencang mengalihkan lamunan Soraya yang menunduk sejak tadi. Di dekat pintu, ada cowok yang sedang mengusir anak-anak kepo dari kelas lain. “Kalau mau nongkrong di sini bayar!”

“Ih, resek, lo, Yas!” gerutu beberapa anak cewek yang sesekali melirik Soraya. Entah apa tujuan mereka begitu penasaran dengan Soraya. Kemungkinan, mereka ingin menilai penampilan Soraya, lalu memutuskan apakah mereka akan menjadikannya teman atau bahan bully-an.

Soraya sadar sepenuhnya bahwa dialah yang menjadi pusat keingintahuan orang-orang. Ia tidak menyangka akan mendapat atensi sebesar ini. Ia tak pernah ingin mencari musuh. Ia juga tak terlalu berselera mencari teman. Sekolah baginya hanya rutinitas wajib untuk mendapatkan tiket kebebasan.

“Norak banget, sih, lo pada! Nggak pernah lihat cewek cantik, apa? Bubar-bubar!”

Anak-anak yang masih berkerumun di dekat jendela berteriak 'hu' tak terima. Namun, akhirnya mereka pergi juga. Akan tetapi, perkataan Dias menimbulkan keributan yang lebih parah di dalam kelas.

“Ciee, Dias! PDKT-nya straight to the point banget!”

“Emang, ya, playboy kebanggaan kita ini jago banget ngerayu! S3 komunikasi spesialis rayuan gombal!”

“Nggak bisa lihat yang bening dikit, lo, Yas!”

Berbagai ejekan berbalut candaan bergemuruh di dalam kelas. Wajah Soraya memanas. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi situasi yang sedikit awkward itu. Kemudian, ia memilih membaca buku pelajarannya saja, walaupun pikirannya sama sekali tidak bisa menangkap apa yang terbaca oleh matanya.

“Sori, kita cuma bercanda. Gue Dias.” Tanpa Soraya duga, cowok bernama Dias itu tiba-tiba duduk di bangku sebelahnya. Dia tidak mengulurkan tangan seperti selayaknya orang yang mengajak berkenalan. Sebagai gantinya, ia menatap Soraya dengan senyum yang mampu meningkatkan kerja jantung Soraya dua kali lipat.

Cowok bernama Dias itu terlihat menarik dengan seragam yang tidak dimasukkan rapi ke dalam celana. Rambutnya sedikit panjang di bagian atas, menutupi keningnya dengan sempurna. Itulah sebabnya dia sering sekali mengusap rambutnya ke belakang, meskipun akhirnya rambut-rambut itu kembali jatuh di atas alisnya.

Soraya berusaha menetralkan rasa gugupnya sebelum menjawab, “Gue Soraya.”

Dias mengangguk. “Nggak usah takut. Anak-anak di kelas kita semua baik, kok. Cuma rada gesrek aja. Temen lo di Bandung rame juga, nggak?”

“Hampir mirip, kok.”

Soraya berusaha mengimbangi percakapan yang tidak diprediksi olehnya akan dilakukan oleh seorang anak laki-laki. Ia mengira, obrolan pertamanya di tempat ini akan ia lakukan dengan para gadis.

“Misi-misi! Gue mau lewat, ya!”

Seorang gadis dengan potongan rambut bob pendek lewat di antara Dias dan Soraya, kemudian duduk di kursi di belakang Soraya. Alisnya yang tebal mengingatkan Soraya pada ulat bulu.

“Hai! Gue Frezia. Panggil aja Zia. Lo, Soraya, kan? Panggilannya apa?” tanya Zia ramah. “Eh, Yas, sory ganggu PDKT lo, ya?” Zia gantian menoleh ke Dias sambil terkikik.

Dias ikut tertawa. “Iya, nih! sahut Dias. “Mana belum dapet nomer HP-nya!”

Zia mengerling penuh arti pada Soraya. “Jangan kemakan mulut manis playboy cap gajah terbang ini, deh! Bahaya!”

“Sialan, lo, Zi!” sergah Dias yang masih saja tertawa. “Oke, deh, gue pergi aja. Welcome to IPS-2, Ra!”

“Ceileh, gaya banget pakai welcome-welcome segala kayak keset ruang tamu! Sok iye, lo!”

Soraya mau tak mau tersenyum mendengar celotehan teman barunya. Baru ia sadari, ada seorang lagi yang ikut tertawa di bangku depannya. Suara tawanya lembut mendayu.

“Gue Stela. Salam kenal, Soraya ...,” sapa gadis manis berkulit sawo matang dan berambut panjang itu.

Begitulah awal pertemuan Soraya dengan Dias, Zia dan Stela. Kehidupan akhir masa SMA Soraya jadi lebih berwarna dengan adanya mereka bertiga. Bahkan mereka melanjutkan sekolah ke universitas yang sama. Soraya tak menduga, Dias akan memberi noda kelam dalam hidupnya. Noda yang tak akan mungkin hilang selamanya.

Lamunan Soraya tentang masa-masa awal kepindahannya dulu pecah saat ibunya masuk ke kamarnya. Wanita bertubuh gemuk itu duduk di ranjang dan memegang dahi Soraya untuk memeriksa suhu tubuh putrinya.

“Udah enakan, Ra?”

Soraya mengangguk sedikit. “Lumayan, Bu.”

Tangan Tanti bergerak mengelus kepala, lalu turun ke lengan Soraya. “Kita bisa ke dokter kalau kamu mau.”

“Nggak usah khawatir, Bu. Aku baik-baik aja, kok.” Aku cuma hamil, batin Soraya miris. Tentu saja dia tidak bisa mengatakan hal itu sekarang untuk meredam kekhawatiran ibunya. Soraya berharap, ia bisa menemukan solusi supaya ia tidak perlu mengatakan soal kehamilannya pada sang ibu. Ia harap, ada keajaiban, seperti testpack yang rusak atau apa pun.

Aborsi. Gagasan itu melintas cepat di benak Soraya. Tak dimungkiri, hal itu adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan masalahnya saat ini. Tapi, apakah ia sanggup membunuh janin di perutnya? Lagi-lagi Soraya berperang dengan pikirannya sendiri. Ia tak bisa memilih antara logika dan nurani. Baginya, jalan ke depan adalah jurang yang dalam serta mengerikan. Apa pun pilihan yang diambil, ia tetap akan terluka. Lantas, apakah melenyapkan janin yang baru berbentuk gumpalan darah adalah pilihan terbaik?

Dering ponselnya lagi-lagi terdengar. Dias menelepon. Soraya baru ingat ia belum membalas pesan darinya tadi.

“Halo, Yas?”

Soraya mengangkat telepon sambil melihat wajah ibunya. Gesturnya jelas kalau ia gelisah. Ia merasa tak enak pada ibunya.

Tanti menyadari bahwa yang menelepon adalah seorang lelaki, teman dekat Soraya. Ia sebenarnya tidak setuju putrinya memiliki kekasih. Hanya saja, ketidaksukaannya tidak pernah ia ungkapkan secara terang-terangan. Tanti hanya rutin memberi nasihat-nasihat tentang betapa membuang waktu pacaran itu, atau betapa berbahayanya jika terlalu dekat dengan lelaki. Ia memercayai putrinya. Ia yakin putrinya cukup pintar menjaga diri. Baginya, hubungan Soraya dengan Dias adalah cinta monyet yang akan pudar seiring berjalannya waktu.

“Aku di depan rumahmu, Yang! Bisa ketemu bentar?” kata Dias dari ujung telepon.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status