Share

Benih Tanpa Cinta
Benih Tanpa Cinta
Author: Mia Futaba

Ada Bayi Di Perut Soraya

‘Apakah petting bisa menyebabkan kehamilan?’

Soraya mengetik pertanyaan itu di mesin pencari G****e. Sedetik kemudian, layar menampilkan hasil pencariannya. Matanya melotot dan tubuhnya tiba-tiba lemas saat membaca tulisan di mesin pencari.

Soraya gemetar, memandangi testpack di tangannya. Dua garis tergambar jelas di benda itu. Ia hamil, di usia 22 tahun, tepat setelah gadis itu mengajukan judul skripsi.

Gadis berkulit bersih itu merosot ke lantai kamar mandi. Kepalanya bertumpu di lutut, sementara tangannya sibuk meremas rambutnya yang panjang. Ia meracau pelan, mengutuk kebodohannya sendiri.

Bagaimana mungkin? Ia hanya melakukan petting, itu pun cuma satu kali dua bulan lalu. Bagaimana bisa ia hamil? Soraya yakin ia masih perawan. Tidak, bisa jadi alat tes kehamilan itu salah. Mungkin saja alat itu kadaluwarsa. Bisa saja, kan? Tapi, penjelasan di G****e yang barusan ia baca membuatnya ragu. Penyangkalan demi penyangkalan terus memantul di otaknya, membuatnya galau setengah mati.

Guru biologinya dulu mengatakan kalau kehamilan bisa terjadi karena sperma bertemu dengan sel telur lalu terjadilah pembuahan. Soraya pikir, hal itu hanya bisa terjadi kalau ada penetrasi. Sedangkan yang ia dan pacarnya lakukan hanya ... saling menempel? Gurunya tidak pernah menjelaskan bahwa sperma ternyata bisa berenang melewati selaput dara tanpa merusaknya.

Kepala Soraya hampir meledak karena terlalu banyak pertanyaan yang berjejalan di dalam sana. Ia masih tidak percaya dengan hasil tes di tangannya. Namun, ia lebih bingung dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah ini apa? Bagaimana kelanjutan kuliahnya? Mimpi-mimpinya? Bagaimana kalau orang lain tahu? Dan yang paling menakutkan, bagaimana cara menjelaskan pada orang tuanya akan hal ini?

Soraya telah merasakan keanehan pada tubuhnya sejak sebulan lalu. Ia merasa lebih mudah lelah dari pada biasanya. Perutnya selalu terasa kembung. Ia kadang-kadang mual, tapi tidak terlalu parah. Ia sempat curiga kalau ia hamil. Namun, hal itu terpatahkan. Soraya mendapatkan haid, meskipun lebih sedikit dan berlangsung hanya dua hari. Hingga kemudian, rasa mualnya semakin meningkat, apalagi jika ia mencium aroma nasi matang atau bumbu yang sedang ditumis. Ia bahkan tidak mau lagi mencium aroma bakso yang jadi makanan favoritnya sejak lama.

Pagi ini, Soraya memberanikan diri untuk memperjelas kekhawatirannya. Ia telah membeli testpack kemarin, sepulang kuliah. Ia menutupi wajahnya dengan masker dan memakai hoodie supaya tidak ada yang mengenalinya. Soraya tidak mau mengambil risiko dikenali oleh orang lain dan membuat orang itu berspekulasi. Walaupun tentu saja, gadis belia membeli testpack sebenarnya tidak terlalu aneh. Tatapan mata kasir minimarket juga mengatakan persepsinya tentang Soraya. Gadis muda yang nakal, itulah yang tersirat di sorot mata si kasir ketika melihat benda yang dibeli Soraya.

Soraya bangkit dan mengusap air mata di wajahnya. Dengan hati-hati, ia membungkus testpack menggunakan tisu dan mengantunginya. Sekarang bukan waktunya menangis. Ia bertekad mencari solusi untuk masalahnya secepat mungkin. Ia tahu benar ke mana ia harus pergi.

“Sora! Lama banget mandinya? Ayo cepat sarapan!” Teriakan Tanti, ibu Soraya, mengejutkan Soraya yang setengah melamun. Gadis itu bergegas ke kamar, mengganti baju, lalu bergabung dengan orang tuanya di meja makan.

“Hari ini sampai sore?” tanya ayah Soraya, Dedi, yang sudah sibuk menyendok nasi.

“Nggak tahu, Yah. Kayaknya , iya."

Soraya menelan ludah. Nasi yang mengepul itu kelihatan menggiurkan. Begitu pun sayur nangka dan peyek udang di meja. Ia sangat lapar. Nafsu makannya turun drastis beberapa hari terakhir. Ia hampir tidak makan dengan porsi yang normal. Namun, perpaduan aroma nasi dan sayur itu mengaduk-aduk perut Soraya. Gadis itu berusaha tenang dan tetap duduk di meja makan. Ia mengisi piringnya dengan tiga sendok makan nasi dan sesendok sayur. Soraya tak berani mengambil peyek karena takut tidak bisa menahan mual, padahal peyek udang adalah salah satu makanan favoritnya. Ia berusaha menelan makanannya sambil menjaga ekspresi wajah sewajar mungkin.

“Dikit banget makannya? Nggak usah diet-diet kayak artis Korea itu, lho! Kamu itu udah kurus, nggak perlu diet lagi. Sini, tambahin nasi sama sayurnya!” ucap ibunya yang dengan sigap menambahkan nasi ke piring Soraya.

Keringat mengalir di pelipis Soraya. Uap nasi di depan hidungnya seperti api yang membakar petasan, menciptakan ledakan di dada serta lambungnya. Ia bergegas berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.

“Kamu kenapa, Nak? Masuk angin, ya?” Ibu Soraya mengikuti putrinya setelah mendengar suara muntah Soraya. Tanti memijit pelan tengkuk dan mengusap punggung anak gadisnya. “Nggak usah berangkat dulu, Ra! Istirahat aja!"

Soraya hanya mengangguk. Ia punya banyak rencana hari ini, tapi tubuhnya tak mau diajak kerja sama. Ia sama sekali tidak punya tenaga, seolah-olah tulangnya berubah jadi lunak. Ia hanya ingin merebahkan diri di kasur. Tidur seharian terdengar menyenangkan.

“Mau ke dokter, Ra?” tanya ayah Soraya yang berdiri di dekat pintu kamar mandi dengan wajah cemas. “Ayo, Ayah anterin!” Kali ini tangan Dedi menggapai tubuh Soraya dan menuntunnya menuju kamar Soraya.

Soraya menggeleng pelan. “Nggak, Yah. Aku pengin tidur aja. Nanti juga sembuh,” tolak Soraya. Pergi ke dokter berarti membuka rahasianya saat ini juga. Tidak, ia belum siap menghadapi kemarahan orang tuanya.

Dedi menghela napas. “Kalau kamu merasa nggak kuat, bilang ibu atau ayah. Jangan ditahan!”

Soraya kembali mengangguk. Ia sudah berbaring di tempat tidurnya dan langsung meringkuk mendekap gulingnya erat. Ayahnya menutupi tubuh Soraya dengan selimut sebelum menutup pintu, bersiap berangkat kerja.

Tak lama, pintu kembali terbuka. Tanti masuk membawa segelas teh panas dan botol minyak kayu putih di tangan yang lain.

“Minum tehnya dulu! Mumpung masih panas.”

Soraya menurut. Ia duduk dan meneguk teh sedikit.

“Sini, ibu balurin minyak kayu putih! Biar anget badannya,” kata Tanti sambil membuka selimut.

Soraya pasrah saja. Ia benar-benar lemas. Sentuhan tangan ibunya membuatnya nyaman dan semakin mengantuk. Tak butuh waktu lama, ia pun tertidur.

Sikap orang tua Soraya memang sedikit berlebihan. Semenjak Wiliam, adik Soraya meninggal beberapa tahun lalu, perlakuan orang tuanya jadi semakin protektif. Kadang Soraya merasa seperti anak kecil yang selalu diatur dan diperhatikan, seolah dirinya adalah balita. Meski kadang Soraya muak dengan perlakuan orang tuanya, ia tetap bersyukur keluarganya kembali hangat, tidak seperti dulu, sebelum Wiliam divonis kanker paru-paru lalu meninggal.

Beberapa puluh menit kemudian, Soraya terbangun karena dering ponselnya. Ia melenguh, kepalanya pusing. Matanya menyipit demi melihat siapa yang meneleponnya. Frezia, atau yang sering dipanggil Zia, adalah salah satu sahabatnya di kampus.

“Lo nggak masuk, Ra? Kenapa?” todong Zia begitu Soraya mengangkat panggilan telepon.

“Gue sakit, Zi. Pusing banget, nih!”

“Yaah, meriang kali? Gue bete nggak ada lo. Ngobrol sama si Stela bikin darah tinggi. Lemot banget dia! Masa, ya, gue ngomongin Ferdi yang anak teknik, eh, si Stela ngiranya gue ngomongin Ferdi Sambo yang ada di berita itu. Kebangetan emang tuh bocah, keseringan ngemil Roiko!”

Soraya tertawa pelan. Duo Zia-Stela adalah sahabat paling seru yang pernah ia punya. Sewaktu ia di Bandung, ia juga punya beberapa teman dekat. Namun, kekonyolan Zia dan Stela benar-benar mencerahkan harinya setelah ia pindah ke Jakarta.

“Lo sakit apa, sih? Gue sama Stela kesitu, ya? Boleh, nggak?” Seperti biasa, Zia lebih sering menggabungkan beberapa pertanyaan dari pada bertanya satu demi satu. Cara bicaranya juga cepat sekali. Hal ini yang bikin Stela ketinggalan kalau sedang ngobrol dengan Zia. Maklum, Stela berasal dari Jawa Tengah, dan masih ada kekerabatan dengan keraton Solo sehingga pembawaannya serba halus. Ya ngomongnya, jalannya, gerakannya, semua serba slow motion.

“Emm, gue nggak apa-apa, kok, Zi. Cuma masuk angin aja. Besok aja kita ketemu di kampus. Oke?”

Terdengar suara dengusan napas Zia. “Ya udah, deh! See you tomorrow, Ra .... Cepet sembuh, ya!” Panggilan pun dimatikan.

Soraya mencoba kembali tidur. Pelipisnya masih berdenyut nyeri. Matanya terasa berat, begitu pula tubuhnya. Namun, bayangan tentang kehamilannya menghantui setiap menit sejak ia terjaga. Soraya mengusap perutnya yang masih rata. Benarkah ada bayi di perutnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status