Amerika, Pa?” tanya Dias tak percaya.“Ya. Tinggallah dengan kakakmu di sana. Belajar dengan benar dan jangan buat masalah lagi. Urusanmu di sini biar Papa yang selesaikan.”“Tapi, Pa ...,” protes Rosa tak setuju.“Sudahlah, Ma! Biar Papa yang atur,” sergah Arif dengan tatapan tajam. Ia sama sekali tidak ingin dibantah.Rosa jadi diam termenung, memikirkan janjinya pada ayah Soraya bahwa ia akan segera melamar Soraya. Namun, ia juga tahu kalau keputusan suaminya tidak dapat diganggu gugat. Ia kenal betul seberapa keras kepalanya Arif Rahman, apalagi ini menyangkut martabat keluarga. Silsilah keluarga Arif begitu hebat. Hampir semua kerabatnya mempunyai jabatan atau seorang profesional. Pantas jika Arif menomorsatukan kehormatan keluarganya yang berstatus sosial tinggi.“Papa harap, hal ini akan menjadi rahasia di antara kita. Papa akan menghapus jejak kecerobohanmu, asalkan kamu mau menurut. Paham?”Dias mengangguk pasrah. Ia begitu lega karena ia tidak akan terjebak dalam pernikahan
Dedi tidak tahu dosa apa yang pernah ia lakukan sehingga Tuhan menjatuhkan hukuman begini berat padanya. Di saat masa depan putrinya terancam suram, seolah belum cukup, ia juga resmi menjadi pengangguran. Karier yang dibangun selama puluhan tahun sirna dalam sekejap mata. Dedi sungguh tak mengerti dengan pemecatannya yang tiba-tiba. Selama ini ia telah bekerja dengan sangat baik. Meski statusnya hanyalah staf biasa, tetapi ia sering mendapatkan pujian karena kerja keras dan kedisiplinannya selama ini. Lantas kenapa? Apa yang salah?Tanpa ia sadari, mobil telah memasuki halaman rumahnya. Untunglah Dedi tidak mengalami kecelakaan walaupun ia menyetir setengah sadar. Bukan karena mengantuk atau mabuk, tapi karena Dedi menyetir sambil melamun. Ia menarik tuas rem sehingga mobil berhenti sepenuhnya. Ia sama sekali tak berniat untuk keluar dari mobil karena terlalu sibuk dengan pikirannya yang kacau balau.Cukup lama Dedi berdiam di dalam mobil dengan mesin masih menyala. Hal itu membuat Ta
Sepertinya , mereka ingin kita pindah.”Dedi memegang sebuah bata yang terbungkus kertas bertuliskan “Pezina kotor” di tangannya. Bata itu dilemparkan oleh seseorang jam 3 pagi, hingga membuat kaca jendela retak.Soraya memandang nanar pada bata di tangan ayahnya, kemudian menoleh ke jendela yang rusak. Entah bagaimana dia yakin jika ini adalah perbuatan ayah Dias. Setelah ayahnya menceritakan tentang pemecatannya yang di luar kewajaran, ia semakin yakin jika semua musibah yang menimpa mereka berhubungan dengan ayah Dias yang notabene adalah pejabat. Kuasa besar yang dimilikinya pasti ia manfaatkan dengan sangat baik. Soraya menjadi sangat marah karenanya.Tanti memeluk pundak Soraya dan mengusapnya halus. Ia pun memiliki pemikiran yang sama mengenai pelaku yang meneror mereka. Tanti hanya berusaha mendinginkan suasana. Ia tidak mau mengambil langkah yang keliru.“Kita kembali ke Bandung saja. Menurut ibu, kita bisa memulai hidup baru di sana. Gimana, Yah? Ayah bisa buka bisnis ayam p
Melepaskan cita-cita bukanlah sesuatu yang mudah bagi Soraya. Semua hal di hadapannya hanyalah bayangan samar. Masa-masa indah ketika kuliah serta berbagai rencana yang ia susun terasa bagai mimpi. Meski sulit, Soraya ingin mencoba berdamai dengan keadaannya saat ini. Bukan karena ia sudah ikhlas atau sudah memaafkan Dias, tapi karena ia tidak punya banyak pilihan. Soraya memblokir semua nomor teman-temannya, termasuk Zia dan Stella. Ia sudah berniat untuk melupakan segalanya dan memulai kehidupan baru tanpa harus dibayangi masa lalu. Ia sedikit merasa bersalah, karena pernah berjanji pada dua sahabatnya itu akan selalu menjaga silaturahmi.Keluarga Soraya pindah di suatu desa kecil di pinggiran Bandung. Tanti sengaja tidak memilih berdekatan dengan saudara-saudaranya di sana. Ia hanya ingin menjalani hidup dengan tenang dan bahagia. Meskipun hatinya masih sakit karena kehidupannya yang nyaman seolah dirampas paksa. Namun, Tanti bertekad untuk menjadi ibu yang tangguh untuk putrinya.
‘Apakah petting bisa menyebabkan kehamilan?’Soraya mengetik pertanyaan itu di mesin pencari Google. Sedetik kemudian, layar menampilkan hasil pencariannya. Matanya melotot dan tubuhnya tiba-tiba lemas saat membaca tulisan di mesin pencari. Soraya gemetar, memandangi testpack di tangannya. Dua garis tergambar jelas di benda itu. Ia hamil, di usia 22 tahun, tepat setelah gadis itu mengajukan judul skripsi.Gadis berkulit bersih itu merosot ke lantai kamar mandi. Kepalanya bertumpu di lutut, sementara tangannya sibuk meremas rambutnya yang panjang. Ia meracau pelan, mengutuk kebodohannya sendiri.Bagaimana mungkin? Ia hanya melakukan petting, itu pun cuma satu kali dua bulan lalu. Bagaimana bisa ia hamil? Soraya yakin ia masih perawan. Tidak, bisa jadi alat tes kehamilan itu salah. Mungkin saja alat itu kadaluwarsa. Bisa saja, kan? Tapi, penjelasan di Google yang barusan ia baca membuatnya ragu. Penyangkalan demi penyangkalan terus memantul di otaknya, membuatnya galau setengah mati.
Ponsel Soraya kembali berdenting. Kali ini, sebuah pesan WhatsApp masuk. Dari Dias, cowok yang menjadi sumber utama masalahnya sekaligus pacarnya.[Kamu bolos, Yang?]Bolos mungkin bukan kata yang tepat untuk Soraya. Ia adalah gadis yang rajin dan tak pernah neko-neko di mata para dosen dan teman-temannya. Hanya saja, Dias lebih suka memakai kata bolos untuk menyatakan seseorang yang absen. Padahal, bolos itu berarti tidak masuk tanpa izin. Sedangkan, Soraya tentu saja sudah meminta izin.[Aku sakit, jadi nggak masuk dulu.]Soraya menimbang-nimbang apakah ia harus memberitahu Dias tentang apa yang sebenarnya terjadi sekarang? Namun detik berikutnya, ia merasa bahwa hal seperti itu tidak bisa dibicarakan lewat chat. Akan lebih baik kalau mereka bertemu dan bicara berdua. Toh dia belum sepenuhnya percaya kalau di perutnya sekarang ada janin betulan.[Aku pengin ketemu, Yang. Kangen.]Soraya tersenyum tipis membaca balasan Dias yang secepat kilat. Dulu, Soraya tak akan buang waktu untuk
Soraya menyembunyikan kepanikannya karena Dias yang tiba-tiba saja datang ke rumah. Ia memang ingin bertemu dengan Dias, membahas masalah besar di antara mereka, tapi bukan di sini. Bukan di rumahnya, di saat ibunya duduk mengawasi.“Siang, Tante. Saya pengin jenguk Soraya. Katanya sakit ...,” sapa Dias sopan. Ia bahkan meletakkan seplastik jeruk di meja, bertingkah layaknya calon mantu yang ingin mengambil hati calon mertua.“Iya. Soraya agak demam, muntah-muntah juga. Masuk angin mungkin. Kamu nggak ke kampus?” jawab Tanti yang heran melihat Dias membawa tas punggung, tapi malah datang menemui Soraya.“Tadi udah ke kampus, kok, Tante. Cuma nggak ada kelas, jadi ke sini aja,” jawab Dias sambil nyengir lebar.Tanti mengangguk dan pamit ke dapur. Ia tidak merasa perlu khawatir meninggalkan putrinya berdua dengan laki-laki karena mereka berada di rumah. Pintu ruang tamu juga terbuka lebar. Putrinya masih dalam jangkauan.“Gimana? Udah mendingan?” Dias menggeser duduknya mendekati Soray
Pagi ini Soraya menguatkan diri untuk berangkat kuliah. Orang tuanya bisa-bisa menyeretnya ke dokter kalau ia tidak pergi sekolah lagi. Ia ingin mengulur waktu selama yang ia bisa. Soraya merasa ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Semalam, ia mencari tahu di internet tentang bagaimana cara mengatasi mual di trimester pertama kehamilan. Maka, ia memilih untuk sarapan dengan roti tawar dan selai juga teh hangat ketimbang nasi dan kawan-kawannya. Soraya juga menolak sarapan di meja makan dengan alasan ingin menikmati keindahan bunga-bunga di taman depan rumahnya. Padahal ia tidak tahan dengan bau nasi goreng buatan ibunya.“Aku berangkat, ya, Bu!” pamit Soraya pada Tanti. Ia mengambil tangan ibunya dan menciumnya sebelum memasuki mobil sang ayah. Tanti mengikutinya dan bersandar di jendela mobil yang terbuka.“Kalau nanti kerasa nggak enak badan lagi, telpon ibu, ya? Nanti ibu jemput.”Soraya mengangguk singkat. “Beres, Bu!” Tangannya lincah memasang sabuk pengaman. Ia