MasukCleo menoleh ketika salah satu pelayan mendekat sambil membawa sebuah benda di tangannya. Dia mengernyit pelan, lalu menerima benda itu, sebuah gantungan kunci berbentuk huruf C.“Nanti kalau orangnya balik, bilang barangnya ada di kasir."Pelayan itu mengangguk dan berlalu. Cleo kembali mengamati benda itu dengan lebih saksama, sebuah gantungan kunci yang tadi sempat terselip di bawah meja. Bentuknya sederhana, huruf C dari logam perak, sedikit tergores di salah satu sisinya.Jantung Cleo berdegup lebih kencang.Dia memegang gantungan kunci itu lebih dekat. Dari jarak sedekat itu, aroma parfum yang menempel begitu jelas. Hangat, maskulin, dengan sentuhan kayu dan citrus di akhirnya. Bau yang familiar.Napas Cleo tercekat. Bau itu sama seperti tujuh tahun lalu. Sama seperti aroma yang dulu sering melekat di jas, di kemeja, bahkan di kulit seseorang yang berusaha dia kubur dalam-dalam dari ingatannya.“C?” gumamnya lirih, menatap huruf itu seakan huruf tersebut menatap balik padanya.I
Chelsea tertegun. Wajahnya seketika pucat, matanya membelalak seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.“Apa, kamu bercanda, kan?”Devan menggeleng pelan. “Nggak.”Devan melangkah sedikit menjauh, bersandar di sisi meja, lalu melanjutkan dengan suara berat.“Tujuh tahun. Sudah tujuh tahun aku berusaha cinta sama kamu. Aku coba jadi suami yang baik, coba nerima semua keadaan ini, dan mencoba memaksa hatiku, tapi tetap aku gagal.”Chelsea menelan ludah, air mata mulai menggenang. “Kamu cuma capek, Dev. Semua pernikahan juga gitu.”“Bukan capek, tapi ini soal perasaan yang nggak pernah ada sejak awal. Aku nggak pernah benar-benar cinta sama kamu. Dan aku nggak mau terus hidup dalam kebohongan.”Chelsea menggeleng cepat, mendekat, suaranya meninggi. “Terus aku apa? Pengorbananku selama ini apa artinya buat kamu?”Devan menutup mata sesaat, lalu membukanya kembali. “Justru karena itu aku mau berhenti. Aku nggak mau terus menyakiti kamu dengan pura-pura. Kamu pantas dapat laki
Saat Devan masih duduk menemani Ramon, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Nama Chelsea muncul di layar.Devan melirik sekilas, lalu membalikkan ponsel itu tanpa mengangkatnya. Wajahnya kembali dia arahkan pada Ramon, mencoba tersenyum dan melanjutkan permainan kecil mereka, seolah tak terjadi apa-apa.Namun ponsel itu kembali bergetar. Kali ini lebih lama. Devan menghela napas pelan, lalu mengangkatnya dengan enggan.“Kenapa?” tanyanya singkat.Suara Chelsea terdengar dari seberang, sedikit terengah, bercampur nada menuntut.“Devan, aku udah di hotel tempat kamu menginap sekarang.”Seketika tubuh Devan menegang.“Kamu ngapain ke sini?”Suaranya turun, jelas terkejut.“Aku ke Denpasar nyusul kamu. Kita suami istri, Dev. Kamu nggak bisa terus menghindar,” jawab Chelsea, suaranya mulai bergetar.Devan memejamkan mata sejenak. Dadanya terasa berat, seolah seseorang menimpakan beban besar sekaligus. Dia menoleh ke arah Ramon yang sedang menatapnya polos, lalu berdiri tergesa.“Ramo
Devan yang tengah mengangkat cangkir kopinya sontak terhenti. Alisnya berkerut, tangannya membeku di udara. Suara itu, dia mengenalinya. Bukan sekadar karena panggilan yang unik, tapi karena nada ceria itu pernah singgah di telinganya.Devan menoleh cepat. Di dekat pintu cafe, berdiri seorang anak laki-laki kecil dengan tas sekolah masih menggantung di pundaknya. Wajahnya berseri, matanya berbinar begitu melihat Devan. Anak itu berlari kecil mendekat, tanpa ragu, tanpa canggung.“Om! Ketemu lagi!” katanya senang.Jantung Devan berdegup lebih kencang dari seharusnya. Dia bangkit setengah berdiri, menatap anak itu dengan campuran kaget dan tak percaya.“Kamu, Ramon, ya?”Anak itu mengangguk antusias. “Iya! Om inget?"Devan tersenyum tipis, meski di dadanya ada perasaan aneh yang perlahan merayap. Sebuah keterikatan yang tak masuk akal. Tatapannya kemudian bergeser ke arah pintu, refleks mencari sosok yang mendampingi Ramon.Namun yang masuk menyusul hanyalah seorang wanita muda. Devan m
Di dalam mobil, hujan turun tipis membasahi kaca depan. Cleo fokus menyetir, sementara Bu Dina duduk di kursi penumpang depan, sesekali menoleh ke belakang memastikan Ramon duduk manis di car seat-nya.“Tadi Ramon ketemu om tampan,” ucap bocah itu tiba-tiba, suaranya riang memecah keheningan.Cleo refleks berkata, “Om tampan?” tanyanya sambil tersenyum kecil, mengira itu hanya imajinasi khas anak-anak.“Iya, di restoran. Om-nya tinggi, terus mukanya serius, tapi baik. Ramon nabrak dia di toilet.”Bu Dina ikut melirik lewat spion. “Terus omnya marah nggak?”“Nggak. Om-nya nanya nama Ramon. Terus nanya Ramon sama siapa. Ramon bilang sama Mama sama Nenek.”Cleo terdiam sesaat. Ada perasaan aneh menyusup, entah kenapa dadanya terasa sedikit sesak.“Terus?” tanya Cleo.“Terus omnya kelihatan kaget. Abis itu omnya diem, kayak lagi mikir.”Bu Dina tersenyum. “Mungkin omnya suka sama Ramon.”Ramon terkekeh bangga. “Iya, Ramon pengen bilang, nanti ketemu lagi ya, Om. Tapi pas Ramon balik, omny
Sementara itu, Arga melangkah masuk ke cafe dengan langkah ringan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan, berharap menemukan sosok yang sejak beberapa hari terakhir tanpa sadar memenuhi pikirannya. Namun kursi di balik meja kasir kosong. Tak ada Cleo di sana.Raut wajah Arga sedikit berubah. Dia mendekati salah seorang pelayan yang tengah merapikan meja.“Maaf, Mbak. Bu Cleo nggak ada?” tanyanya sopan.Pelayan itu tersenyum ramah. “Bu Cleo nggak setiap hari ke cafe, Pak. Kadang beliau ngurus bisnis onlinenya juga. Mungkin hari ini lagi di studio live-nya, atau ambil stok barang.”Arga mengangguk pelan. “Oh, begitu.”Dia melirik jam di pergelangan tangannya, lalu kembali memandang ke arah kursi yang biasa ditempati Cleo. Ada rasa kecewa yang tak dia sangka sebelumnya. Sejenak Arga berdiri termangu, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar, memesan kopi.Hujan di luar masih menyisakan rintiknya. Arga menyeruput kopinya perlahan, pikirannya melayang pada sosok Cleo, perempuan dengan senyum







