Share

Benih Terlarang Kakak Angkat
Benih Terlarang Kakak Angkat
Author: Yurriansan

1. Dikira Pembantu

"Selamat datang di rumah ini, Maheswari."

Sudibja memberi sambutan yang hangat padanya. Dia bahkan menyuruh para pelayan di rumah untuk membawakan tas dan juga barang-barang milik gadis itu ke kamarnya.

Maheswari mengikuti pelayan yang membawakan barang-barangnya, tetapi Sudibja meminta dia untuk meninggalkan saja.

"Biar itu Bi Asih yang urus. Kamu pasti capek, habis dari perjalanan jauh. Kita makan dulu sekalian saya mau kenalin kamu dengan anggota keluarga di rumah ini."

Maheswari--Mahes--masih banyak diam, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Gadis itu sendiri masih syok dan bingung bagaimana bia dia berada di sini.

Bermula dari wasiat ibunya yang bilang kalau suatu saat nanti perempuan itu tidak ada di dunia ini lagi, Mahes harus mengirimkan surat ibunya pada Sudibja. Hanya selang satu minggu setelah pemakaman, Mahes mengirimkan surat itu dan beberapa hari setelahnya, Mahes dijemput oleh pengusaha dermawan dan kaya raya ini untuk tinggal di rumahnya.

Gadis itu tidak pernah tahu apa isi surat ibunya, yang jelas saat Sudibja mengatakan bahwa ini yang diinginkan ibunya, Mahes setuju saja untuk ikut.

Gadis desa tinggal di kota, dengan kehidupan yang sangat kontras dengan kehidupan sebelumnya, tentu saja membuat sedikit bingung. Rumah yang ditempatinya sangat besar, apa mungkin dia akan jadi pembantu di sini?

Sudibja mengajak Mahes ke ruang makan, gadis berusia enam belas tahun tersebut diajak bekernalan dengan anggota keluarga di sana.

"Mahes, ini istriku. Namanya Amarta, kamu boleh panggil dia Ibu."

Amarta menatap sinis pada Mahes. "Aku nggak suka dipanggil ibu. Kalau kamu nggak ada perlu penting denganku, mending jangan menyapa!"

Maheswari jadi sungkan dengannya, sedangkan Sudibja menggeleng seakan tidak terima dengan sikap istrinya ini.

"Ini Yugo." Sudibja menunjuk pada laki-laki berusia 28 tahun yang saat ini sedang ditugaskan untuk mengelola perusahaan. "Anakku yang paling sulung. Dia jarang di rumah, khusus hari ini saja terpaksa pulang karena ada kamu."

Mahes mengulurkan tangan ingin bersalaman dengan Yugo. Tapi, laki-laki itu tetap setia melipat tangannya, tidak memedulikan. Dia malah mencebik.

"Papa suruh aku pulang cuma buat acara kenalan nggak penting begini?"

"Jangan pernah sebut apa yang Papa suruh ini nggak penting!" Sudibja membentak. Amarta yang berada di samping putranya mengusap pundak Yugo menyuruh agar anaknya diam tidak melanjutkan perdebatan.

Detik berikutnya Sudibja memikit pelipis. "Harusnya masih ada satu lagi anakku. Junior," jelas pria itu dengan nada kurang senang. "Dia si Bungsu yang paling sudah diatur. Umurnya sudah mau 20, tapi kalau kamu lihat kelakuannya nggak ada beda dengan anak TK, jangan kaget."

Gadis berkulit pucat dengan mata sendu itu akhirnyya bisa sedikit melengkungkan bibir ketika Sudibja membahas Junior.

"Pa, kita harus makan siang." Amarta berujar dingin, seakan sudah muak berkenalan dengan Maheswari.

Sudibja tampak jelas sedang berusaha untuk mengakrabkan mereka yang ada di ruang makan ini. Meski sikap Amarta dan Yugo dingin, dua terus membuat Mahes bisa nyaman.

"Ini Mahes, orang tuanya dulu teman akrab Papa. Bahkan, kalau bukan karena ibunya Mahes, Papa nggak mungkin bisa sampai di titik ini."

Amarta mendengkus. "Papa, sudahlah berhenti mengagungkan jasa orang yang nggak seberapa. Toh, anaknya juga sadar, kok, kalau orang tuanya cuma punya jasa kecil."

Mahes semakin tidak berani bicara. Di jamuan makan siang itu, dia tahu kalau keluarga ini tidak menyukainya.

*

Selesai makan siang, Sudibja menyuruh Asih untuk merngurus gadis kecil tersebut. Dengan senang hati Asih melakukannya Dia punya anak di kampung yang umurnya tidak jauh dengan Mahes, mengurus anak ini sama saja seperti mengurus anak sendiri.

"Bi Asih sudah lama kerja di sini?" Mahes baru selesai mandi, rambutnya yang basah sedang dihanduki Asih selanjutnya disisir dengan lembut.

"Bibi sudah lama kerja di sini, Non."

"Biasanya, kerjaan Bibi di sini apa?"

Asih menggumam sejenak sebelum menjelaskan. "Biasanya Bibi beresin rumah sama periksa di dapur stok makanan apa yang habis. Kalau kerjaan yang lain, ada yang pegang, Non."

Mahes tidak meraa dirinya diangkat sebagai anak di sini. Dia akan ebih tahu diri.

"Kalau gitu, besok saya bantuin Bibi kerja, ya?'

"Eh, jangan." Asih menepuk pelan bahu Mahes. "Kerjaan Bibi, itu urusan Bibi. Bibi di sini sudah ada gaji, Non."

"Tapi, aku nggak tahu harus ngerjain apa, Bi. Di rumah ini. Minimal kalau bantuin Bibi dulu, saya ada guna."

Asih terkekeh. "Non Mahes itu kata Pak Dibja mau diangkat anak, bukan jadi pembantu. Lagian, pembantu di rumah ini sudah ada banyak, Non. Kita beneran nggak perlu dibantu lagi."

"Tapi ...." Mahes masih mendebat Asih, "aku lihat istri dan juga anaknya Pak Sudibja nggak suka denganku, Bi. Aku takut tinggal di sini."

"Bu Amarta itu memang sedikit galak. Tapi, tetap Pak Dibja yang punya kuasa di rumah ini. Pokoknya selama Pak Dibja baik ke Non, nggak akan ada yang berani usik, Non."

"Kalau anaknya, Bi?"

"Den Yugo sudah punya rumah sendiri. Dia jarang ada di rumah ini. Nggak perlu khawatir."

Mahes mengangguk pelan. "Kalau Junior itu, Bi?"

"Itu anak yang paling sering buat masalah, tapi Bibi paling sayang dengan dia. Nanti kalau kamu ketemu Den Junior, pasti kesal sendiri. Tapi, jangan khawatir dia aslinya baik, kok."

Mahes tersenyum lega. Setidaknya setelah rasa duka yang masih tersisa karena ditinggal ibunya dan harus hidup sebatang kara, Mahes masih bisa menemukan orang yang baik hati padanya.

Asih merasa sudah selesai mengurus Mahes, dia menyarankan pada gadis itu untuk istirahat saja kalau tidak ada yang dikerjakan kemudian dia pergi.

Mahes yang sendiri di kamar memilih untuk menyusun barang-baragnya di nakas. Sudibja bilang dia tidak perlu menyimpan barang yang sudah kumuh, besok semua akan dibelikan yang baru.

Beberapa barang peninggalan ibunya tidak bisa dia tinggalkan walau sudah kumuh. Mahes menyusunnya di nakas. Selesainya, dia tidur karena kelelahan.

Beberapa jam kemudian, Mahes yang bosan di kamnar memilih keluar, siapa tahu bisa bantu Asih.

Kaki kurus gadis itu melangkah menuruni anak tangga, begitu berada di lantai bawah, dia mencari keberadaan pembantu yang baik tadi.

"Woi!" Suara laki-laki mengejutkannya hingga Mahes menoleh. "Ambilin gue minum, dong!"

"Aku?"

"Iya." Pemuda itu menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Ambilin air dingin, buruan gue haus!"

Mahes bukannya tidak mau ambilkan. Dia cuma bingung kulkasnya ada di mana.

"Astaga!" Pemuda itu kesal. "Lo pembantu baru ya, di rumah gue! Kulkas sama dapur aja nggak tahu."

"Aku bukan pembantu."

"Lah, terus siapa lo? Maling apa setan gentayangan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status