"Aku Maheswari, anak gadis dari sahabat Pak Sudibja yang tinggal di sini."
Setelah mendengar penjelasan dari Mahes, pemuda yang baru saja menyangka bahwa dia pembantu memegang kepala. "Astaga, jadi lo anak yang bakal tinggal di sini jadi adik angkat gue?"
Mahes tentu saja bingung dengan pernyataan barusan, apalagi dia tidak kenal dengan siapa orang yang sedang bicara dengannya saat ini.
"Kenalin!" Dia mengulurkan tangan. "Gue Junior. Anak bungsu di sini. Satu-satunya orang yang paling hidup bebas, nggak pernah terikat dengan apa pun."
"Oh, iya." Mahes merasa sungkan untuk menyambut uluran tersebut. Walaupun Asih bilang dia adalah anak yang sering ke mana-mana tidak jelas, dari kulitnya tetap terlihat berbeda. Dia bersih dan juga terlihat lembut, sementara Mahes hanyalah gadis kampung. Perempuan itu takut jika nanti bersentuhan, Junior akan merasa jijik dengannya. Sama yang seperti Yugo lakukan padanya kemarin.
Daripada sakit hati sendiri, lebih baik Mahes harus menyadari siapa dirinya. Dia hanya menyimpulkan senyum kemudian tanya, "Jadi, kulkas dan dapurnya ada di mana? Biar aku ambilin air minumnya."
"Nggak usah." Junior jalan sendiri. "Lo bukan pembantu di rumah ini. Sorry deh, kalau gue kira lo pembantu." Dia jalan sendiri mengambil minuman di sebuah kulkas--yang ukurannya sangat lebar dan tinggi melebihi badan junior.
Tadinya Junior kira setelah obrolan singkat mereka tadi Mahes langsung pergi. Ternyata, masih berada di tempatnya.
"Ngomong-ngomong." Laki-laki itu kembali bicara setelah menaruh gelas dan juga botol minum kembali ke tempatnya, "lo tidur di kamar yang mana?"
Mahes melihat ke atas. Hanya dengan bahasa tubuh begitu, Junior sudah paham.
"Oh, iya juga. Pantas dari dulu bokap gue sengaja ngerancang kamar di atas tuh ada lebih satu. Kayaknya dia sudah menduga deh bakal ada lo yang mau tinggal di sini."
"Oh iya," sambung Junior lagi, "gue turut berduka cita ya, soal keluarga lo. Jangan sedih-sedih terus, mungkin ini udah takdirnya. Gue bisa jadi teman yang baik kok, buat lo nanti. Kapan-kapan gue ajarin lo untuk lebih gaul di kota ini."
Mahes tertegun. Kalau lebih gaul yang dimaksud adalah hura-hura dan bersenang-senang di dunia malam seperti kebanyakan orang pada umumnya, dia tidak mau.
Mahes sudah janji pada mendiang ibunya bahwa ketika dia dapat kesempatan untuk tinggal di sini, hanya fokus untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan yang terbaik. Kemudian mengurus dirinya sendiri tanpa menyusahkan siapa pun.
Sayangnya perempuan yang pemalu itu tidak berani menjawab apa-apa. Dia hanya permisi untuk kembali ke kamarnya.
Junior menggeleng sendiri. "Itu anak kayaknya kena sindrom gagu. Dari tadi gue ajak ngomong kebanyakan diam."
Asyik dengan pikirannya membuat dia tidak menyadari kalau Asih sudah muncul di depannya.
"Ya ampun, Den Junior ke mana aja baru pulang?"
"Eh, Bi Asih yang cantik." Bisa saja Junior membujuk pembantunya. "Laper nih, masakin mie goreng kayak biasa, dong."
"Nggak bisa, ya." Asih mencubit perut Junior. "Ini sudah 3 hari nggak pulang, jangan-jangan udah makan macam-macam. Di rumah malah minta mie goreng."
"Bibi masakin sayur. Makan nasi sama sayur, Den. Biar sehat!" Urusan cerewet Asih melebihi Amarta.
"Junior nggak suka kalau makan sayur kayak begitu. Rasanya otot-otot yang ada dalam tubuh Junior ini malah jadi lembek semua."
"Kebalik, Den Junior." Asih sedikit kesal. "Justru karena kebanyakan makan mie, jadi gampang ada penyakit."
"Ya udah deh, biar adil gini aja. Masak mienya ditambahin sayuran sama makanan berprotein lain. Jadi imbang, 'kan?"
"Mie instan ada pengawetnya, Den."
"Yah, Bi. Tadi bilangnya kurang nutrisi kalau makan mie, masa sekarang sudah ditambahin nutrisi pakai alasan ada pengawet. Kalau tahu begini mending Junior nggak pulang, deh!"
Anak itu paling tahu bagaimana membujuk pembantunya yang sudah bekerja selama lebih dari 10 tahun supaya mau mengikuti apa yang dia pinta.
"Ya sudah, Bibi masakin mie. Tapi, jangan lupa makan nasi sama sayurnya juga.'
"Oke, beres!" Junior berniat untuk duduk di ruang santai sembari menunggu Asih menyiapkan makanan untuknya. Tapi, baru berbalik sudah dapat pelototan tajam dari Amarta.
"Bagus banget buat kamu, Junior, baru pulang sekarang!"
Junior mengangkat bahu. Inilah yang serba salah di rumahnya. Tidak pulang dicari, sekalinya pulang malah cuma dapat omelan.
"Junior bingung di rumah ini. sebenarnya kalau pulang diharapin atau enggak, sih?"
"Jun!" Amarta membentak "Mama setiap hari nungguin kamu pulang dan kamu nggak pernah ngertiin perasaan ini. Kemarin bahkan kamu sengaja nggak mau datang di pertemuan penting keluarga kita, Jun. Yang lain sudah pada berkumpul, Mama sampai malu sendiri karena kamu nggak pernah mau ikutan!"
Junior tidak terlalu menggubris. "Junior memang nggak suka dengan acara itu. Apa sih, kumpul-kumpul kayak gitu. Menunjukkan jabatan apa yang sudah dipegang. Norak."
"Kalau saudara-saudaraku yang lain bisa nyaman begitu, aku nggak suka."
"Kamu nggak bisa semaunya, Jun!"
"Ayolah, Ma. Ini negara merdeka aku sudah umur 20 itu berarti bukan lagi harus diasuh orang tua begini."
"Dua puluh tahun, tetap saja kamu tuh cuma anak-anak di mata Mama."
"Kalau dengan pola pikir begitu, kapan aku bisa dewasa dan kapan aku bisa menentukan pilihan sendiri?"
"Junior kamu enggak tahu apa yang kamu omongin sekarang. Lain kali jangan pernah mangkir dari pertemuan keluarga kita."
"Mama yang harusnya jangan berharap Junior bakalan datang ke acara pertemuan kayak gitu."
"Jun, kamu kalau pulang pasti bikin kepala Mama sakit!" Amarta memijit pangkal hidung menahan kemarahannya.
Asih yang masih ada di sana kemudian membujuk majikannya. "Ibu jangan marah-marah dulu, ya. Kasihan Den Junior baru pulang. Biar dia makan dulu, nanti coba Ibu ngobrol baik-baik."
Bukannya tenang, Amarta malah menunjuk Asih. "Ini juga gara-gara kamu yang terlalu manjain Junior! Lagian kamu tuh nggak sadar atau gimana sih, cuma pembantu di rumah ini berani dekat dengan anakku."
"Bi Asih nggak salah apa-apa, Ma. Junior memang lebih nyaman dengan dia."
Kata-kata dari anaknya tersebut membuat Amarta mengepal tangan hingga tidak bisa bicara apa-apa lalu memilih pergi. Asih jadi tidak enak sendiri. Amarta bisa pingsan kalau meladeninya. Malas berdebat perempuan itu meminta asih untuk segera buatkan minuman hangat untuknya. Dia mau bersantai, tanpa memikirkan soal Junior atau Mahes lagi.
"Den Junior lain kali kalau sama mamanya jangan terlalu keras begitu. Ibu itu sebenarnya khawatir dengan Den Junior. Hampir setiap malam dia nungguin pulang."
"Iya, tahu." Junior memegang bahu Asih. "Ya udah masak, Bi. buruan Nanti Junior keburu mati kelaparan." Urusan makan anak satu itu memang tidak pernah lupa.
Asih masak, Junior kira dia bisa lebih tenang sekarang. Ternyata, belum juga.
Yugo mengadang. "Tahu pulang juga kamu!"
"Apa sih, Bang. Udah deh, nggak usah cari masalah. Gue pulang atau nggak, itu nggak ada urusan dengan lo. Yang tanggung biaya hidup gue ini papa dan dia juga pernah protes, kok."
"Itu karena Papa terlalu lembek dengan kamu."
"Dan lo adalah anak kesayangan mama. Udah deh, itu yang paling adil. Lo terus cari perhatian ke mama, turutin apa yang dia mau dan bakalan dinobatkan sebagai anak yang paling berbakti. Biarin aja gue hidup dengan cara gue sendiri."
Junior melintasi kakaknya begitu saja, sudah penat berdiri dengan pembahasan yang tidak jelas.
"Kamu udah ketemu sama anak angkat papa?" Yugo masih ingin bicara.
"Udah, barusan."
"Menurut kamu, gimana dia di sini?"
"Nggak gimana-gimana. Gue cuma ketemu sebentar, nggak sempat ngobrol."Junior lanjut melangkah, dia duduk di sofa mengeluarkan ponselnya asyik bermain game. Beberapa menit kemudian Asih sudah selesai masak mie, dia bisa nikmati. Untungnya Yugo tidak mengusik ketenangannya kali ini.Tadinya Asih mau langsung pergi, tapi Junior malah memintanya untuk duduk. Berhubung Asih sadar kalau dia cuma pembantu, tidak mungkin duduk di kursi. Makanya hanya menempelkan bokong di lantai.Terpaksa Junior juga harus duduk di lantai supaya bisa lebih enak ngobrolnya."Den Junior ngapain ikut-ikutan duduk di bawah begini?""Ya habisnya kalau Bibi di bawah, Junior nunduk banget!" Junior menggunakan alasan tinggi badannya yang membuat dia tidak nyaman untuk bicara ketika Asih berada di bawah. Padahal, dia hanya bersikap lebih sopan pada pembantunya tersebut."Bi, cewek yang diangkat papa jadi anak itu emang orangnya diem kayak gitu, ya?""Den Junior ngapain tanya-tanya? Asih curiga. "Jangan iseng ya, Den.
Lenguhan wanita itu terdengar jelas."Ah, iya terus Sayang ...." Dengan rintihan tertahan dia meminta agar dipuaskan."Kamu nakal, ya. Hemh .....""Nggak nakal, Beb." Suaranya sangat menggoda, terdengar sensual. "Kamu yang bikin aku ketagihan.""Yugo nggak bisa, 'kan, bikin kamu begini?""CK! Ngapain bahas Yugo di saat aku lagi gini?" Dia terdengar kesal. "Yugo tuh lemah. Aku ajak dia masa nggak mau. Bilangnya nanti nunggu nikah aja. Ya, kali aku ajak enak nggak mau! Apa coba, namanya kalau dia bukan gay?""Ya, mana tahu dia laki-laki baik." Lelaki itu berujar tidak jelas karena dia mulai mencecapi leher jenjang sang wanita."Ya kalau dia nggak nafsu sama cewek, aku yang sengsara nanti kalau dijadiin istri dia. Lagian, dia nyebelin karena nurut banget ke mamanya yang kayak Mak Lampir itu!""Udah ah, nggak usah ngomong terus. Mending lanjut." Wanita yang telah polos tanpa apa pun melingkarkan tangan di leher lelaki yang berada di atasnya.Sang laki-laki pada akhirnya membuat wanita yan
Mahes hanya ingat dia dilecehkan berkali-kali hingga beberapa detik sebelum pingsan dia merasa ada sesuatu yang hangat masuk dalam tubuhnya.Pagi ini dia membuka mata dalam kondisi sudah berbaring di kamarnya, pakaian pun sudah diganti dengan yang lain. Apa, Yugo yang melakukannya untuk menghilangkan bukti?Asih, apa dia tahu apa yang terjadi antara Yugo dan Mahes semalam?"Mahes!" Junior pulang paginya ini sudah siang gadis itu belum juga keluar dari kamar. "Oi, bungsu pengganti gue, bangun, Kebo!"Mahes berbaring, seluruh tubuhnya terasa sakit apalagi hatinya. Kalau dia ceritakan apa yang terjadi, apa yang Yugo lakukan padanya apa ada orang yang akan percaya padanya?"Mahes, Kebo!" Junior masih memanggil. "Astaga lo kebo banget, deh. Ini udah jam tujuh belum bangun juga."Mahes menutup telinga, saat ini mendengar suara laki-laki siapa pun itu membuat dadanya seperti ditusuk ratusan jarum.Pintu dibuka, kebetulan tidak dikunci. Junior cuma bisa geleng-geleng lihat Mahes masih menutup
Mahes hanya ingat dia dilecehkan berkali-kali hingga beberapa detik sebelum pingsan dia merasa ada sesuatu yang hangat masuk dalam tubuhnya.Pagi ini dia membuka mata dalam kondisi sudah berbaring di kamarnya, pakaian pun sudah diganti dengan yang lain. Apa, Yugo yang melakukannya untuk menghilangkan bukti?Asih, apa dia tahu apa yang terjadi antara Yugo dan Mahes semalam?"Mahes!" Junior pulang paginya ini sudah siang gadis itu belum juga keluar dari kamar. "Oi, bungsu pengganti gue, bangun, Kebo!"Mahes berbaring, seluruh tubuhnya terasa sakit apalagi hatinya. Kalau dia ceritakan apa yang terjadi, apa yang Yugo lakukan padanya apa ada orang yang akan percaya padanya?"Mahes, Kebo!" Junior masih memanggil. "Astaga lo kebo banget, deh. Ini udah jam tujuh belum bangun juga."Mahes menutup telinga, saat ini mendengar suara laki-laki siapa pun itu membuat dadanya seperti ditusuk ratusan jarum.Pintu dibuka, kebetulan tidak dikunci. Junior cuma bisa geleng-geleng lihat Mahes masih menutup
Satu minggu terlewati, Mahes tidak pernah mau bilang Apa yang sebenarnya terjadi padanya. Sampai Junior nekat datang ke sekolah Mahes melaporkan ke gurunya bahwa mungkin saja ada kekerasan di sekolah yang menyebabkan Mahes trauma.Guru memeriksa beberapa orang yang kenal dekat dengan Mahes satu per satu ditanyakan, apakahada di antara mereka yang melihat atau menjadi pelaku perundungan terhadap Mahes.Sayangnya, tidak satu pun yang mengatakan mengetahui kejadian itu mereka cuma bilang kalau tiga hari setelah Mahes tidak masuk sekolah saat datang kembali wajahnya sudah kelihatan lebam dan juga dia jauh lebih diam dari biasanya.Junior menunggu konfirmasi, dia hanya mendapat laporan bahwa tidak ada satu pun siswa di sekolah ini yang melakukan perisakan atau menyiksa Mahes seperti yang dituduhkan. Kalaupun ada, sudah pasti terekam CCTV ataupun seandainya dilakukan di luar sekolah, itu berarti di luar kendali para guru ataupun staf di sini. Yang jelas Junior sebagai keluarga harus memasti
Junior orang yang acak. Dia biasa melakukan apa-apa tidak teratur. Untuk mencari Mahes yang belum pulang, dia mulai menyusuri dari sekolah sampai mencari teman sekolahnya yang mungkin tahu di mana gadis itu berada.Beda dengan Yugo. Dia yang sudah jauh lebih dewasa berusaha untuk tenang dulu memikirkan kemungkinan terbesar di mana Mahes saat ini.Yugo tentu menyimpan alamat Mahes karena sebelum gadis itu masuk ke rumah dia sudah membicarakan ini dengan Sudibja.Seseorang yang tidak punya siapa-siapa dan tidak tahu mau ke mana, ke mana lagi kalau bukan pulang ke rumah lamanya.Ya, benar saja ketika dia ke sana Mahes tengah duduk sendiri di teras rumah, wajahnya pucat dia mungkin kelaparan.Yugo memberikan jaketnya. Mahes merangkak mundur, urat-urat di wajahnya menegang."Kamu mikirin apa?" Yugo bertanya dingin. "Jangan kamu kira kalau aku akan mengulangi kecerobohan yang kemarin!"Mahes menutup dirinya. Perempuan itu jengkel sendiri karena dia tidak punya kekuatan untuk memaki atau men
Yugo mengambil alih situasi. Dia sudah menduga kalau memang Amarta akan marah besar padanya. Laki-laki itu memang tidak menyukai Mahes, tapi bukan berarti tidak punya hati nurani."Junior benar, Ma. Ini udah malam. Mama nggak perlu marahi dia sekarang.""Yugo, kamu kenapa sekarang ikut-ikutan adik dan papa kamu?"Yugo mengangkat bahu. Dia memeluk Amarta untuk berpamitan. "Aku capek, besok masih ada urusan.""Kamu mau pulang?""Hmh."Amarta mencebik. Dia pikir Mahes malam ini sangat beruntung karena baik Junior atau Yugo membelanya. Belum lagi Sudibja yang langsung menyuruh Mahes masuk dan istirahat.Yugo melintasi Junior."Tumben, lo bisa kompak dengan gue." Junior menyindir Yugo. Biasanya, apa pun yang dilakukan Junior akan bertolak belakang dengan pilihan Yugo. Itu sebabnya Amarta selalu menjadikan dia anak kebanggaan.Yugo menyipitkan mata. "Kamu nggak usah terlalu ikut campur dengan dia.""Lo nggak ada hak buat ngatur gue."Junior masuk menyusul Mahes. Menunggu sampai satu jam set
Mata Mahes terbuka perlahan, mengungkapkan lingkungan yang familiar; kamarnya. Namun, bukannya memberikan rasa nyaman, kesadaran ini justru membuatnya tersentak kaget. Dia duduk tegak di tempat tidur, merasa bingung dan linglung. "Lo sudah bangun?" suara Junior terdengar dari luar kamar. Dia mengintip melalui celah pintu, hati-hati memastikan tidak melanggar batas privasi Mahes. Meski dia adalah kakak angkat, tetap saja Mahes adalah perempuan dan Junior tahu betul dia tidak bisa sembarangan masuk ke kamarnya. Mahes belum merespon, dan itu cukup bagi Junior untuk menebak apa yang sedang dia pikirkan. Dengan ekspresi serius dan penuh kekhawatiran, Junior berdiri di ambang pintu, berusaha memberikan penjelasan yang masuk akal. "Lo jatuh ke kolam tadi, terus Bi Asih yang bantuin Lo ganti baju dan lainnya. Gue nggak lihat apa-apa, kok," kata Junior dengan nada meyakinkan. Dia berusaha menenangkan Mahes, meyakinkan gadis itu bahwa dia tidak melakukan apa-apa yang tidak pantas. "Suer!"