Guru memeriksa beberapa orang yang kenal dekat dengan Mahes satu per satu ditanyakan, apakahada di antara mereka yang melihat atau menjadi pelaku perundungan terhadap Mahes.
Sayangnya, tidak satu pun yang mengatakan mengetahui kejadian itu mereka cuma bilang kalau tiga hari setelah Mahes tidak masuk sekolah saat datang kembali wajahnya sudah kelihatan lebam dan juga dia jauh lebih diam dari biasanya.
Junior menunggu konfirmasi, dia hanya mendapat laporan bahwa tidak ada satu pun siswa di sekolah ini yang melakukan perisakan atau menyiksa Mahes seperti yang dituduhkan. Kalaupun ada, sudah pasti terekam CCTV ataupun seandainya dilakukan di luar sekolah, itu berarti di luar kendali para guru ataupun staf di sini. Yang jelas Junior sebagai keluarga harus memastikan dulu kenapa Mahes bisa mendapatkan luka penyiksaan seperti itu.
Laporan Junior membuat Mahes dipanggil guru BK untuk menghadap. Di ruangan konseling, Mahes mulai ditanya apa yang sebenarnya terjadi padanya.
"Kakak kamu bilang, kamu jadi korban perundungan. Apa benar itu, Mahes?"
Maheswari menjalin jemari, takut untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Asih pun orang yang selama ini membantunya juga sekarang diam itu berarti ada seseorang yang mengancamnya. Mahes takut kalau dia bicara selain dirinya yang nanti akan mendapatkan masalah kasih juga bisa kena batunya.
Susi, guru konseling yang mengajak bicara saat ini mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada muridnya itu.
"Mahes, kamu nggak perut aku untuk cerita ke Ibu. Ibu janji akan bantu kamu apapun masalahnya itu."
Mahes menitikkan air mata. Dia cuma menggeleng, terus berbohong Kalau tidak ada yang terjadi padanya. "Saya cuma kecelakaan kecil, Bu. Nggak ada yang nyakitin saya."
"Mahes, kamu nggak bohong sama ibu, 'kan?"
"Nggak." Sudah salat suara Mahes ketika dia menjawab.
"Kalau kamu nggak bohong, kenapa nangis?"
"Karena saya kangen dengan ibu saya," alasannya begitu. "Dulu dia jadi satu-satunya orang yang selalu tanya kenapa saya terluka atau sedih. Sekarang dia udah nggak ada. Makanya saya menangis."
Susi menggunakan cara paling halus untuk membujuk muridnya supaya mau bicara apa yang terjadi. Tapi, sepertinya tidak mendapatkan apa-apa karena Mahes tetap sama jawabannya. Tidak ada siapa pun yang menyakitinya.
*
Sorenya ketika pulang sekolah, Mahes melamun sampai nyaris ditabrak kendaraan lewat. Untung ada temannya yang menolong.
Dalam keadaan kalut, dia akhirnya memilih tidak pulang ke rumah Sudibja melainkan menggunakan sisa uang saku yang ada untuk kembali ke kampungnya mengunjungi makam sang ibu. Pergi begitu saja tanpa tahu bahwa Junior khawatir menunggu di rumah.
"Pa, Mahes kok belum pulang?"
Amarta sedang senang karena pada akhirnya mereka bisa makan malam bersama tanpa ada orang asing yang mengganggu, tapi Junior malah membahas anak angkat yang tidak tahu diuntung itu. Membuatnya ingin marah.
"Kamu ngapain sih bahas dia bikin rusak suasana!"
"Kok, bikin rusak suasana sih, Ma?" Junior tidak terima tuduhan itu. "Mahes tinggal di sini, sudah diangkat anak sama papa. Itu berarti keluarga kita juga. Sudah lewat dari jam sekolah, dia belum sampai rumah apa kita bisa tenang-tenang di sini makan malam?"
"Ya, kalau dia belum pulang mungkin lagi main sama temannya. Dari tadi papa kamu juga telepon nggak diangkat, bukan?" Amarta tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. "Paling juga itu anak baru belajar gaul sampai lupa diri!"
"Ma!"
"Papa sudah suruh orang untuk cari Mahes!" Sudibja paling anti ada keributan di rumahnya. Dia di sini bersikap netral, menyayangi Mahes sebagai anak dan juga tidak mau membuat Amarta merasa dirinya tidak dianggap.
"Urusan Mahes manti kita bahas lagi. Sekarang kita makan malam dulu." Amarta tidak mau seleranya hilang karena membicarakan anak angkat itu.
"Aku nggak bisa makan!" Junior keluar dari meja makan mengambil kunci motor mencari Mahes.
Yugo menegang sendiri. Bagaimana kalau memang ada sesuatu yang buruk terjadi padanya?
"Aku bantu Junior cari Mahes."
"Yugo!" Amarta sempat terkejut. Biasanya si Sulung tersebut paling patuh, tidak pernah membantah kata-katanya, kenapa malam ini malah ikut-ikutan Junior?
"Aku bantu Junior dulu, Ma. Lagian kalau sampai ada apa apa dengan anak itu, kita juga ya bisa ketempuhan."
Amarta membanting sendok yang dia pegang. "Dari awal Mama nggak pernah setuju anak itu ada di rumah ini, kita bisa bantu dengan tetap menyekolahkan dan biarkan dia tinggal di panti asuhan atau kerabat yang lain, jangan di sini! Kelihatan jelas sekarang, dia kalau benar-benar bawa sial. Belum apa-apa, anak-anakku sudah jadi kacau begini karena mengurus dia!"
"Amarta, aku juga nggak pernah tahu kalau kamu sebusuk ini hatinya. Hanya menerima satu orang di rumah ini, bisa buat kamu marah besar begitu!"
"Aku menerima anak dari perempuan lain yang kamu bilang sahabat. Apa bisa aku percaya kalau itu cuma sahabat kamu?" tanya Amarta penuh kecurigaan. "Yakin nggak ada cinta di antara kalian, sampai-sampai perempuan itu percaya banget untuk kamu jaga anaknya!"
"Karena dia tahu aku bisa diandalkan!"
"Terus, gimana dengan perasaanku?" Amarta serak suaranya. "Apa itu nggak penting sama sekali?"
"Kalau aku nggak mikirin perasaan kamu, dari awal aku nggak akan pernah bilang ke kamu." Sudibja sampai berurat ketika menjelaskan. "Dan ingat, Mahes bukan anakku dengan mendiang Saras. Kami memang sahabat dan aku adalah orang yang dipercayakan!"
"Kalau kamu nggak mau buat aku marah besar, mulai detik ini juga berhenti ngomongin yang macam-macam soal Mahes atau Saras!"
Amarta bungkam. Hatinya terluka, kebenciannya pada Mahes semakin besar. Kedatangannya membuat suasana di rumah ini kacau.
*
Sementara itu, Mahes yang dicari ternyata sedang sendiri di rumah lamanya. Dia duduk di teras karena rumah tersebut dikunci. Dia yang bodoh main pergi ke makam ibunya tidak menghitung kalau uang ongkosnya tidak cukup untuk pulang.
Seandainya jalan kaki atau mencari tumpangan cukup rawan karena sudah malam. Kalau malam ini tidak ada cara untuk pulang, terpaksa dia akan tidur di teras rumah lamanya.
Mahes tidak menyesali kebodohan yang dilakukan hal ini setidaknya dia bisa cerita sedikit tentang apa yang terjadi. Dengan begitu, Mahes akan merasa bahwa ibunya ada di sisinya memberikan kekuatan agar dia tidak terus bersedih.
"Bagus, di sini rupanya kamu!"
Mahes kaget ada yang datang. Saat dilihat dia adalah ....
Angela yakin bahwa rencananya akan berjalan dengan sempurna. Dia telah merancang skenario yang cermat untuk memecah belah Yugo dan Andara, berharap bisa menghancurkan hubungan mereka. Tapi, realitas yang pahit harus dia hadapi. Angela gagal. Setelah segala usaha dan taktiknya, Angela harus mengakui bahwa dia tidak berhasil membuat Siena membenci Andara. Sebaliknya, Siena yang polos dan berhati baik, tetap menerima Andara dengan tangan terbuka. Siena, dengan kepolosannya, melihat Andara bukan sebagai musuh, tapi sebagai calon ibunya. Dia melihat kebaikan hati Andara dan cinta yang tulus dari Andara kepada ayahnya. Angela, yang selalu berusaha menanamkan keraguan dan kebencian pada hati Siena, harus menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa mengubah pandangan Siena terhadap Andara. **** Hari itu, kantor tampak lebih sibuk dari biasanya. Telepon berdering tanpa henti, mesin fotokopi berbunyi keras, dan suara keyboard yang dipukul oleh jari-jari cepat menciptakan simfoni yang khas di r
Yugo mempersiapkan dirinya untuk menjemput Andara. Mobilnya, yang berkilauan bersih dan rapi, terasa seperti ekstensi dari dirinya sendiri, siap untuk mengambil peran penting dalam hari ini. Dia memeriksa jam tangan dan tersenyum puas. Tepat waktu.Dia memacu mobilnya melalui jalanan yang biasa dia lalui, tetapi kali ini dengan suasana hati yang berbeda. Dia menikmati setiap putaran, setiap lampu lalu lintas, dan setiap detik dalam perjalanan ini. Tiba di rumah Andara, dia melihat sosok yang sudah dinantikan berdiri di depan rumah, menunggu.Yugo memarkir mobilnya dengan hati-hati dan turun. Dia menutup pintu mobil dan berjalan menuju Andara. Dia menatapnya, membiarkan matanya meresap ke dalam kecantikan Andara yang mempesona. Sebuah pujian meluncur dari bibirnya, "Kamu cantik hari ini."Andara tersenyum, pipinya sedikit memerah. Dia berterima kasih dan membalas pujian Yugo, "Makasih, Mas Yugo. Kamu juga tampak tampan." Ada rona bahagia di wajahnya yang membuat Yugo merasa berharga.Y
Keramaian kantor dipenuhi oleh suara keyboard yang berdenting dan bisikan-bisikan dari rekan-rekan kerja yang saling berkomunikasi. Di tengah kebisingan itu, Andara mendengar suara lembut namanya dipanggil melalui sistem interkom. Yugo meminta Andara untuk datang ke ruangannya, ada hal penting yang ingin dibicarakannya.Andara berjalan menuju ruangan Yugo dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Mungkinkah ada tugas tambahan yang harus dikerjakan? Atau mungkin ada proyek baru yang perlu dibahas? Namun, ketika dia membuka pintu ruangan Yugo, suasana yang ia temui tidak sesuai dengan apa yang ia perkirakan. Yugo, dengan serius, malah membicarakan soal kehidupan pribadi mereka."Umh, Siena ingin mengajakmu makan malam di rumah," kata Yugo tiba-tiba, tanpa adanya pembukaan pembicaraan.Andara tampak tercengang, merasa kikuk. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit bingung yang terpampang di wajahnya. "Kamu mau ajak aku makan malam?" tanyanya, dengan suara yan
Andara menatap Yugo dengan rasa penasaran yang mendalam. Matanya menyapu kontur wajah Yugo, mencari-cari sesuatu yang berbeda. Dia merasa ada yang tidak biasa tentang Yugo hari ini."Kamu kenapa?" tanya Yugo, mencoba meraba-raba apa yang mungkin terjadi.Andara menatap balik Yugo, matanya bersinar dengan semacam ketidaknyamanan yang sulit diartikulasikan. "Nggak kenapa-napa," jawabnya, seringai paksa menghiasi wajahnya.Yugo merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan Andara."Apa tempat ini kurang nyaman buatmu?" tanya Yugo, mencoba mencari tahu apa yang membuat Andara merasa tidak nyaman.Andara menatap sekeliling, memperhatikan suasana sekitar mereka. "Nyaman, kok, Pak," jawabnya, mencoba menenangkan Yugo. Sayangnya, dia menggunakan panggilan yang salah untuk kekasihnya itu hingga membuat dia memberengut.Sadar akan kesalahannya, Andara segera meralat panggilannya. "Oh, oke, akj nggak panggil 'Pak'. Aku akan panggil kamu Mas. Oke?" ujar Andara dengan nada yang lebih ringan, menco
Yugo hari ini mengantarkan Siena ke rumah Angela. Selain karena memang hari ini jatahnya untuk bersama ibunya, dia juga ada acara dengan Andara. Tidak enak kalau Siena diajak. Ini pasti akan membuat tidak nyaman baik antara Siena ataupun Andara."Aku titip Siena."Angela mendengkus. Yugo ini sungguh bersikap tidak pantas dengan berkata seperti itu pada sosok wanita yang merupakan ibu kandungnya Siena."Aku ini ibunya, kamu nggak perlu cemas." Angela merangkul pundak Siena, menunjukkan keakraban di antara mereka.Yugo merotasi mata. Angela itu bukan ibu yang bisa dipercaya. Buktinya saja, saat acara ulang tahun Siena, dia malah memilih untuk buru-buru pergi."Papa akan jemput nanti malam," ujar Yugo kepada Siena."Iya, Pa," jawab Siena dengan senyum manisnya. Yugo pergi meninggalkan rumah besar tersebut. Mobil hitamnya menghilang di belokan jalan, meninggalkan debu putih yang berterbangan di udara.Sementara itu, Angela mengajak Siena masuk ke dalam rumah dan menuju taman belakang yan
Hari ini adalah hari yang cukup sibuk bagi Yugo. Dia memiliki urusan di luar kantor yang harus diselesaikan. Untungnya, sekretarisnya, Irena, telah menyiapkan segalanya dengan baik. Dari jadwal pertemuan hingga dokumen-dokumen yang diperlukan. Sehingga, semua berjalan lancar dan tidak ada masalah yang muncul.Tapi, meski segala sesuatunya tampak berjalan baik-baik saja, Irena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ekspresi wajah Yugo tampak berbeda dari biasanya. Biasanya dia tampak tenang dan percaya diri tetapi hari ini ada kerutan di dahi dan matanya terlihat lelah seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang serius.Irena merasa curiga dan mulai bertanya-tanya dalam hati apakah dia telah melakukan kesalahan atau ada sesuatu yang belum ia selesaikan dengan baik sehingga membuat bosnya itu tampak gelisah. "Pak," tanyanya ketika mereka dalam perjalanan kembali ke kantor setelah menyelesaikan urusan di luar tadi. Suaranya dipenuhi kekhawatiran.Yugo menoleh padanya, tanpa menjawab langsung
Pagi itu, Yugo terlihat terenyum sendiri. Cahaya matahari pagi yang hangat menyinari wajahnya yang tampak bersemu. Dia duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya, matanya menatap jauh ke luar jendela.Sementara itu, Siena, putri kecil Yugo, sedang memperhatikan ayahnya dari ujung meja. Matanya yang bulat besar tampak penuh rasa penasaran dan bingung. "Papa kenapa?" tanya Siena dengan nada polos. Yugo menoleh dan melihat Siena dengan senyum lembut di wajahnya. "Papa nggak kenapa-napa," jawabnya sambil mengelus kepala Siena lembut. "Tapi aku lihat Papa senyum terus dari tadi," sahut Siena sambil mengerucutkan bibirnya, seolah tidak percaya dengan jawaban ayahnya. Yugo hanya tertawa mendengar perkataan putrinya tersebut. "Itu cuma perasaanmu," balas Yugo sambil kembali menyeruput kopinya.Namun dalam hati, Yugo merasa bahagia, senyumannya adalah refleksi dari perasaan bahagianya karena Andara telah membalas cintanya. Setelah menyelesaikan kopinya, Yugo bangkit dari kurs
Yugo tidak bisa mengelak dari pertanyaan yang diajukan oleh Andara. Dia merasa terjepit dan sadar bahwa kebenaran harus dihadapi. Dengan senang hati Yugo mengangguk sebagai tanggapan atas pertanyaan Andara."Kamu menyadarinya?" tanya Yugo dengan suara yang lemah.Andara mengiyakan. Dia telah menyadari kebenaran yang tersembunyi sejak awal melihat fitur-fitur wajah anak itu dan langsung tahu kemiripannya dengan Yugo. "Sejak awal saya bertemu dengannya, wajah anak itu terlihat familiar, dan saya langsung sadar bahwa itu adalah fitur-fitur wajah Bapak."Yugo menipiskan bibirnya. Dia tahu bahwa masa lalu kelamnya telah mempengaruhi kehidupan orang-orang di sekitarnya, termasuk putra yang tidak pernah mengetahui hubungan biologis mereka."Itu masa lalu, Pak," kata Andara dengan lembut. Dia ingin Yugo tahu, meskipun masa lalu kelam itu ada di sana, Andara ingin memastikan bahwa mereka bisa melanjutkan hidup dan menciptakan masa depan yang lebih baik.Yugo tersenyum hangat saat mendengar ka
Andara merasakan wajahnya memerah, panas oleh rasa malu yang menghampiri. Dia membungkukkan badan, meminta maaf pada Yugo."Maaf, Pak." Andara merasa benar-benar kikuk dan napasnya juga tidak beraturan."Andara!" Yugo sedikit menyentak karena dia tidak mau wanita itu merasa bersalah. Yugo memegang bahunya, mencoba membuat dia tenang. "Tenanglah," ujarnya pelan.Andara merasa seolah-olah oksigen di sekitarnya semakin habis. Rasa cemas dan takutnya membuatnya sulit bernapas secara normal.Yugo menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Dia berbahagia sekaligus mencoba mengerti dan simpati. Dia tahu betul bahwa Andara sedang mengalami tekanan emosional yang besar dan dia berusaha sebaik mungkin untuk menjadi penenang baginya."Jangan masuk dulu," ucap Yugo sambil bersandar di mobil, matanya menatap langit yang gelap. Ada sesuatu yang membuatnya terpesona dan terpikirkan. Andara merasa ragu, tapi dia memutuskan untuk mengikuti apa yang Yugo lakukan.Dia bergabung dengan Yugo, men