Share

7. Si Pembawa Masalah

Satu minggu terlewati, Mahes tidak pernah mau bilang Apa yang sebenarnya terjadi padanya. Sampai Junior nekat datang ke sekolah Mahes melaporkan ke gurunya bahwa mungkin saja ada kekerasan di sekolah yang menyebabkan Mahes trauma.

Guru memeriksa beberapa orang yang kenal dekat dengan Mahes satu per satu ditanyakan, apakahada di antara mereka yang melihat atau menjadi pelaku perundungan terhadap Mahes.

Sayangnya, tidak satu pun yang mengatakan mengetahui kejadian itu mereka cuma bilang kalau tiga hari setelah Mahes tidak masuk sekolah saat datang kembali wajahnya sudah kelihatan lebam dan juga dia jauh lebih diam dari biasanya.

Junior menunggu konfirmasi, dia hanya mendapat laporan bahwa tidak ada satu pun siswa di sekolah ini yang melakukan perisakan atau menyiksa Mahes seperti yang dituduhkan. Kalaupun ada, sudah pasti terekam CCTV ataupun seandainya dilakukan di luar sekolah, itu berarti di luar kendali para guru ataupun staf di sini. Yang jelas Junior sebagai keluarga harus memastikan dulu kenapa Mahes bisa mendapatkan luka penyiksaan seperti itu.

Laporan Junior membuat Mahes dipanggil guru BK untuk menghadap. Di ruangan konseling, Mahes mulai ditanya apa yang sebenarnya terjadi padanya.

"Kakak kamu bilang, kamu jadi korban perundungan. Apa benar itu, Mahes?"

Maheswari menjalin jemari, takut untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Asih pun orang yang selama ini membantunya juga sekarang diam itu berarti ada seseorang yang mengancamnya. Mahes takut kalau dia bicara selain dirinya yang nanti akan mendapatkan masalah kasih juga bisa kena batunya.

Susi, guru konseling yang mengajak bicara saat ini mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada muridnya itu.

"Mahes, kamu nggak perut aku untuk cerita ke Ibu. Ibu janji akan bantu kamu apapun masalahnya itu."

Mahes menitikkan air mata. Dia cuma menggeleng, terus berbohong Kalau tidak ada yang terjadi padanya. "Saya cuma kecelakaan kecil, Bu. Nggak ada yang nyakitin saya."

"Mahes, kamu nggak bohong sama ibu, 'kan?"

"Nggak." Sudah salat suara Mahes ketika dia menjawab.

"Kalau kamu nggak bohong, kenapa nangis?"

"Karena saya kangen dengan ibu saya," alasannya begitu. "Dulu dia jadi satu-satunya orang yang selalu tanya kenapa saya terluka atau sedih. Sekarang dia udah nggak ada. Makanya saya menangis."

Susi menggunakan cara paling halus untuk membujuk muridnya supaya mau bicara apa yang terjadi. Tapi, sepertinya tidak mendapatkan apa-apa karena Mahes tetap sama jawabannya. Tidak ada siapa pun yang menyakitinya.

*

Sorenya ketika pulang sekolah, Mahes  melamun sampai nyaris ditabrak kendaraan lewat. Untung ada temannya yang menolong.

Dalam keadaan kalut, dia akhirnya memilih tidak pulang ke rumah Sudibja melainkan menggunakan sisa uang saku yang ada untuk kembali ke kampungnya mengunjungi makam sang ibu. Pergi begitu saja tanpa tahu bahwa Junior khawatir menunggu di rumah.

"Pa, Mahes kok belum pulang?"

Amarta sedang senang karena pada akhirnya mereka bisa makan malam bersama tanpa ada orang asing yang mengganggu, tapi Junior malah membahas anak angkat yang tidak tahu diuntung itu. Membuatnya ingin marah.

"Kamu ngapain sih bahas dia bikin rusak suasana!"

"Kok, bikin rusak suasana sih, Ma?" Junior tidak terima tuduhan itu. "Mahes tinggal di sini, sudah diangkat anak sama papa. Itu berarti keluarga kita juga. Sudah lewat dari jam sekolah, dia belum sampai rumah apa kita bisa tenang-tenang di sini makan malam?"

"Ya, kalau dia belum pulang mungkin lagi main sama temannya. Dari tadi papa kamu juga telepon nggak diangkat, bukan?" Amarta tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. "Paling juga itu anak baru belajar gaul sampai lupa diri!"

"Ma!"

"Papa sudah suruh orang untuk cari Mahes!" Sudibja paling anti ada keributan di rumahnya. Dia di sini bersikap netral, menyayangi Mahes sebagai anak dan juga tidak mau membuat Amarta merasa dirinya tidak dianggap.

"Urusan Mahes manti kita bahas lagi. Sekarang kita makan malam dulu." Amarta tidak mau seleranya hilang karena membicarakan anak angkat itu.

"Aku nggak bisa makan!" Junior keluar dari meja makan mengambil kunci motor mencari Mahes.

Yugo menegang sendiri. Bagaimana kalau memang ada sesuatu yang buruk terjadi padanya?

"Aku bantu Junior cari Mahes."

"Yugo!" Amarta sempat terkejut. Biasanya si Sulung tersebut paling patuh, tidak pernah membantah kata-katanya, kenapa malam ini malah ikut-ikutan Junior?

"Aku bantu Junior dulu, Ma. Lagian kalau sampai ada apa apa dengan anak itu, kita juga ya bisa ketempuhan."

Amarta membanting sendok yang dia pegang. "Dari awal Mama nggak pernah setuju anak itu ada di rumah ini, kita bisa bantu dengan tetap menyekolahkan dan biarkan dia tinggal di panti asuhan atau kerabat yang lain, jangan di sini! Kelihatan jelas sekarang, dia kalau benar-benar bawa sial. Belum apa-apa, anak-anakku sudah jadi kacau begini karena mengurus dia!"

"Amarta, aku juga nggak pernah tahu kalau kamu sebusuk ini hatinya. Hanya menerima satu orang di rumah ini, bisa buat kamu marah besar begitu!"

"Aku menerima anak dari perempuan lain yang kamu bilang sahabat. Apa bisa aku percaya kalau itu cuma sahabat kamu?" tanya Amarta penuh kecurigaan.  "Yakin nggak ada cinta di antara kalian, sampai-sampai perempuan itu percaya banget untuk kamu jaga anaknya!"

"Karena dia tahu aku bisa diandalkan!"

"Terus, gimana dengan perasaanku?" Amarta serak suaranya. "Apa itu nggak penting sama sekali?"

"Kalau aku nggak mikirin perasaan kamu, dari awal aku nggak akan pernah bilang ke kamu." Sudibja sampai berurat ketika menjelaskan. "Dan ingat, Mahes bukan anakku dengan mendiang Saras. Kami memang sahabat dan aku adalah orang yang dipercayakan!"

"Kalau kamu nggak mau buat aku marah besar, mulai detik ini juga berhenti ngomongin yang macam-macam soal Mahes atau Saras!"

Amarta bungkam. Hatinya terluka, kebenciannya pada Mahes semakin besar. Kedatangannya membuat suasana di rumah ini kacau.

*

Sementara itu, Mahes  yang dicari ternyata sedang sendiri di rumah lamanya. Dia duduk di teras karena rumah tersebut dikunci. Dia yang bodoh main pergi ke makam ibunya tidak menghitung kalau uang ongkosnya tidak cukup untuk pulang.

Seandainya jalan kaki atau mencari tumpangan cukup rawan karena sudah malam. Kalau malam ini tidak ada cara untuk pulang, terpaksa dia akan tidur di teras rumah lamanya.

Mahes tidak menyesali kebodohan yang dilakukan hal ini setidaknya dia bisa cerita sedikit tentang apa yang terjadi. Dengan begitu, Mahes akan merasa bahwa ibunya ada di sisinya memberikan kekuatan agar dia tidak terus bersedih.

"Bagus, di sini rupanya kamu!"

Mahes kaget ada yang datang. Saat dilihat dia adalah ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status