Share

🖤 EPISODE 2

last update Last Updated: 2025-07-04 15:48:02

“Dimas! Kamu di mana?"

Suara Tasya menggema dari dalam rumah. Tubuh Rani seketika menegang. Seluruh ketenangan yang tadi ia coba jaga runtuh begitu saja. Ia buru-buru mendorong pelampung, berenang menuju tangga, dan berkata pelanm

“Aku harus pergi. Mbak Tasya mungkin membutuhkanku.”

Ia naik ke tepi kolam, air menetes deras dari rambut dan kulitnya. Bergegas, ia meraih handuk lalu membalut tubuhnya.

Dimas mengangguk, meski ada bagian dalam dirinya yang ingin menahannya. Ingin memperpanjang percakapan langka itu. Tapi ia tahu, batas itu harus tetap dijaga. Bagaimanapun juga, Rani adik iparnya.

Saat Rani keluar dari kolam, air menetes pelan dari tubuhnya yang luwes. Dimas hanya bisa memperhatikan diam-diam, ketika kain bikini yang basah menempel sempurna pada setiap lekuk tubuhnya.

Kain yang basah menonjolkan lekuk tubuhnya secara halus, lengkungan payudaranya yang lembut, pinggangnya yang ramping, serta pinggulnya yang proporsional. Tatapan Dimas tertuju pada punggungnya saat ia meraih handuk dan membalutkan kain itu ke tubuhnya, menutupi pemandangan yang sempat terpampang di hadapan.

Dimas menggeleng pelan, berusaha menepis pikiran-pikiran yang tidak semestinya. Rani adalah adik dari istrinya. Ia tidak seharusnya memandangnya dengan cara seperti itu.

Namun, saat Rani bergegas kembali menuju rumah, mata Dimas secara refleks mengikuti langkahnya, menyerap setiap gerakan pinggul dan kilau rambut basah yang memantulkan cahaya sore. Ia memejamkan mata, mengutuk dirinya sendiri atas kelemahan kendali diri yang seharusnya ia jaga.

Tasya muncul di ambang pintu teras, menatap tajam ke arah Dimas. Pandangannya bergeser dari wajah suaminya yang tampak tegang, lalu mengikuti arah Rani yang tengah menjauh.

"Ada apa tadi?" tanyanya dengan nada datar namun menyiratkan kecurigaan. "Adikku mengganggumu?"

Dimas menggeleng, tangannya terangkat menyisir rambutnya dengan gugup.

“Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya melihatnya berenang dan ingin memastikan semuanya baik-baik saja.”

Rani menutup matanya rapat. Ucapan itu menusuk, meski ia sudah terbiasa. Ia tahu Tasya tidak benar-benar menyayanginya. Ada jarak yang tak pernah bisa ia hapus.

Ponsel Tasya bergetar, menandakan pesan masuk. Ia melirik ke layar dan seketika senyum licik terbit di wajahnya.

“Dimas, Sayang,” ucapnya sambil menoleh dengan nada menggoda. “Aku baru saja mendapat undangan dari seorang teman. Ia mengadakan pesta pribadi di sebuah klub eksklusif di pusat kota. Kau mau menemaniku malam ini?”

Dimas menaikkan alis, terkejut dengan ajakan mendadak tersebut. Ia tahu betul seperti apa teman-teman Tasya dan konsep mereka mengenai pesta pribadi.

“Aku tak yakin, Tasya,” jawabnya hati-hati. “Malam sudah cukup larut, dan aku ada rapat penting besok pagi.”

Tasya memasang wajah merajuk, melangkah mendekat, dan menyentuhkan jari telunjuknya ke dada Dimas.

“Oh, ayolah… Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan rutinitas. Kapan terakhir kali kita bersenang-senang berdua?”

Dimas tampak ragu, terjebak antara tanggung jawab dan godaan yang ditawarkan istrinya. Jari-jari Tasya perlahan menelusuri dadanya, tatapannya tak berpaling sedikit pun dari mata suaminya.

“Ini akan baik bagi kita,” bisiknya lembut, tubuhnya merapat. “Hanya kau dan aku. Tanpa beban pekerjaan, tanpa stres. Hanya kebersamaan… dan kesenangan.”

Tangannya merambat turun, menyentuh bagian tubuh Dimas yang mulai merespons sentuhan itu. Dimas menghela napas pelan, keteguhannya mulai goyah.

“Baiklah,” katanya akhirnya, suaranya terdengar berat. “Tapi kita pulang lebih awal. Dan kau harus janji tidak minum terlalu banyak.”

Tasya tersenyum puas, matanya bersinar penuh kemenangan.

“Sepakat!” serunya riang, mencium bibir suaminya sekilas lalu mundur beberapa langkah. “Aku akan bersiap."

Di dalam kamar, Rani duduk di tepi ranjang, menatap handuk yang masih melilit tubuhnya. Hatinya terasa penuh sesak. Barusan ia merasakan kehangatan dari seorang kakak ipar, sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia harapkan. Dan sekarang, ia kembali dihadapkan pada kenyataan: Dimas adalah suami Tasya.

Tangannya mengepal.

“Bodoh,” bisiknya pada diri sendiri. “Kau bodoh, Rani.”

Namun di balik kata-kata itu, ia tidak bisa memungkiri satu hal, tatapan Dimas, suara Dimas, bahkan sekadar perhatiannya... telah menorehkan sesuatu yang dalam di hatinya. Sesuatu yang tidak akan mudah dihapus

Setelah berganti pakaian, Rani membereskan ruang tamu yang dikelilingi kaca bening, menyapu tangga spiral, hingga merapikan koleksi buku di ruang kerja.

Namun, semakin lama ia berkeliling, semakin terasa ada yang aneh. Rumah itu… terlalu sempurna. Tidak ada debu, tidak ada kertas tercecer, bahkan bunga di vas selalu segar, seakan baru saja diganti.

Rani berbisik lirih,

“Siapa sebenarnya yang menyiapkan semua ini? Rasanya seperti… museum.”

Di dapur, Rahman—satpam senior—menyapanya singkat.

“Hati-hati kalau malam, Neng. Rumah ini… suka ada suara-suara.”

Rani tertegun. “Suara?”

Rahman buru-buru menunduk lalu pergi. “Ah, cuma angin.”

Begitu sendirian lagi, hawa ruangan mendadak dingin. Pandangan Rani jatuh pada sebuah foto besar di dinding, Dimas dan Tasya tersenyum, tapi ada sudut foto yang jelas-jelas digunting.

Jantungnya berdebar. Ada yang hilang. Ada yang sengaja disembunyikan.

Ia menatap foto itu lama, tangannya terulur ragu, jari-jarinya menyusuri tepi yang bergerigi.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Rani cepat-cepat mundur dan pura-pura membersihkan rak ketika Tasya masuk.

“Apa yang kamu lakukan, Rani?”

“A… aku cuma membersihkan debu, Mbak.”

Tasya menatapnya penuh curiga. “Hmm. Pastikan semua sudutnya benar-benar bersih.”

Ia lalu berjalan ke arah foto, menatapnya sejenak sebelum kembali pada Rani.

“Foto itu punya arti khusus. Dari hari pernikahan kami.”

Tasya berhenti, matanya menyipit seakan mengukur ekspresi Rani.

“Kamu pasti sadar ada sudut yang hilang. Memalukan, ya. Tapi… kadang memang lebih baik membiarkan kenangan tertentu terkubur di masa lalu.”

Rani menunduk pelan. “Aku mengerti, Mbak. Aku tidak akan menanyakannya lagi.”

Tasya tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya.

“Bagus. Sekarang, ayo bantu aku ke atas. Aku harus coba beberapa gaun untuk pesta malam ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 13

    Keesokan paginya, Rani bangun lebih awal. Sejak semalam pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang liontin itu. Ia pun memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Tasya. Saat masuk ke dapur, ia menemukan Tasya sedang duduk santai, menyeruput kopi sambil menggulir ponselnya.“Selamat pagi, Mbak Tasya. Boleh aku tanya sesuatu?” Rani membuka percakapan hati-hati.Tasya mendongak, wajahnya tampak agak jengkel. “Apa? Cepat saja, aku sibuk hari ini.”Rani sempat ragu, lalu mengeluarkan liontin yang ditemukannya. “aku menemukan ini tadi malam di tepi kolam renang. Mbak tahu ini milik siapa?”Mata Tasya sempat melebar sebelum kemudian menyipit curiga. “Kamu menemukannya di mana?”“Di tepi kolam renang,” jawab Rani pelan. “Ada inisial kita di sini… RP dan DES.”Tasya tiba-tiba meraih liontin itu dengan kasar. “Berikan padaku!”Rani terkejut oleh sikapnya yang mendadak agresif. “M-Mbak Tasya? Kenapa? Apa ini milik Mbak?”Tasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Bukan. Itu b

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 12

    Dimas mengambil ponsel dari Rani, rahangnya menegang saat menatap layar. "Ini semakin sering terjadi," jawabnya pelan, nada muram. "Tasya banyak berpesta akhir-akhir ini. Pulang terlambat, kadang bahkan tidak pulang sama sekali." Dia meletakkan ponsel di atas meja, kemudian mengusap rambutnya dengan frustrasi. "Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya berat karena kekhawatiran. "Dia tidak mau mendengarkanku. Dia… dia terus mendorongku menjauh." Rani menaruh tangan secara naluriah di lengan Dimas, memberi sentuhan yang menenangkan. "Maaf," gumamnya lembut. "Pasti sangat sulit bagimu." Dimas tampak mengalami sesuatu yang aneh di dadanya, kehangatan yang sepertinya sudah lama hilang darinya. Matanya menatap Rani benar-benar menatapnya dan Rani bisa merasakan kepedulian dan empati yang tulus di sorot matanya. Sesuatu yang begitu berbeda dari sikap dingin dan egois Tasya. Dimas mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengambil gelas dari tangan Rani yang gemetar.

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 11

    Pertanyaan itu menggantung, berat dan penuh makna yang tak terucap. Tatapan Dimas semakin dalam, lengannya menegang seolah takut melepaskan. "Baik?" ia mengulang, dengan senyum tipis yang getir. "Itu yang kamu pikir ini? Sekadar baik?" Ia menggeleng, lirih. "Tidak, Rani. Jauh dari sekadar baik." Tangannya terangkat, menyentuh wajahnya. Ibu jarinya menyapu pelan bibir bawahnya, membuat napas Rani tercekat. "Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya semakin rendah, nyaris berbisik. "Setiap kali aku melihatmu... rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Setiap senyummu, tawamu, semua tentangmu... membuatku gila." Dimas tampak menyadari ketegangan momen itu, lalu cepat-cepat menjauh sambil berdehem. "Ayo," katanya dengan nada kasar, berdiri sambil menawari tangannya pada Rani. "Mari kita hangatkan tubuhmu dengan sedikit makanan." Rani menggenggam tangannya, membiarkannya membantunya berdiri. Dia bersandar padanya, kaki yang berdenyut nyeri membuatnya bergantung

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 10

    Pagi itu cerah. Rani menyapu halaman dengan tenang, poni jatuh ke wajah hingga ia menggulung rambut memakai jepit plastik bening. Dimas yang hendak berangkat kerja terhenti di ambang pintu, menatapnya dengan sorot aneh, seolah pernah melihat gerakan itu sebelumnya. “Kau selalu rapi,” ucapnya singkat, suaranya dingin. Rani menoleh cepat, kaget mendengar suaranya. “Oh… maaf kalau aku menghalangi jalan Kak Dimas.” “Tidak.” Tatapan Dimas bertahan sedikit terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik menuju mobilnya. Rani mengikuti punggungnya dengan pandangan penuh tanya. Dadanya berdebar karena intensitas sorot mata itu. "Kenapa dia melihatku seperti itu? Seolah aku… lebih dari sekadar orang baru di rumah ini." Degup jantung Rani masih berderu saat bayangan Dimas menghilang. Kata-katanya terngiang, membuatnya yakin tatapan itu menyimpan sesuatu yang tak ia mengerti. Sambil menyapu, matanya jatuh pada jepit rambut plastik bening di tangannya, tiba-tiba terasa berat, seolah menyimpan

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 9

    Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut. “Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik ipark

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 8

    Dimas mendekat, mengambil pisau lain untuk memotong bawang di sebelahnya. Ruang di antara mereka terlalu sempit. Sesekali lengan pria itu menyentuh bahunya. Rani menahan napas. Lalu, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat sama-sama meraih piring kecil di meja. Waktu seolah berhenti. Pisau di tangan Dimas berhenti bergerak. Rani refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu justru membuat pisau menyayat ujung jarinya. Rani berbisik pelan, menahan perih. “Ah…” Setetes darah muncul di ujung jarinya. Dimas langsung meraih tangannya tanpa ragu. Genggamannya hangat, kuat, terlalu intim untuk dapur yang dingin itu. “Kau ceroboh. Jangan biarkan darahmu menodai meja ini,” katanya dingin tapi tegas. Kalimatnya terdengar keras, tapi caranya menekan luka dengan tisu justru sangat teliti. Rani menatap wajahnya, dingin dan serius, namun ada sesuatu di balik sorot mata itu… sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Rani buru-buru menarik tangannya kembali, berusaha menenangkan diri. Tapi ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status