Share

🖤 EPISODE 2

last update Huling Na-update: 2025-07-04 15:48:02

Suasana tenang itu buyar seketika oleh bunyi klik tumit sepatu di lantai marmer. Dari lorong, Tasya muncul. Lengannya terlipat di depan dada, wajahnya menyimpan ekspresi tajam.

“Aysha, aku ingin bicara dengan Rani sebentar,” katanya, nada suaranya dingin. Dengan satu gerakan tangan yang elegan namun tegas, ia mengusir kepala pelayan itu. Aysha hanya mengangguk patuh, lalu mundur keluar ruangan tanpa suara.

Tatapan Tasya menancap pada Rani, bibirnya melengkung membentuk senyum mengejek. Ia melangkah maju, tumit sepatunya berketuk pelan, mendekatkan jarak dengan sengaja.

“Jadi, adikku,” ucapnya dengan nada merendahkan. “Kuharap kau sudah mulai menyesuaikan diri. Tak ada gunanya jika suami tersayangku mengira keluarganya tidak sempurna.”

Rani mengangkat dagunya sedikit, meski hatinya bergetar. “Aku sedang berusaha belajar,” jawabnya pelan.

“Bagus.” Senyum Tasya melebar tipis. Ia condong mendekat, berbisik di telinga Rani, napasnya hangat menempel di kulit.

“Dan kalau suatu saat kau lupa menempatkan dirimu… aku punya cara untuk mengingatkannya.”

Ucapan itu menyalurkan rasa dingin ke tulang belakang Rani. Ia spontan mundur selangkah, menjauh dari kedekatan itu. Tasya justru terhibur, matanya berkilat geli melihat ketakutan adiknya.

“Tenanglah, adikku,” bisiknya mengejek. “Aku hanya peduli pada kebaikanmu.” Ia lalu berbalik, melangkah pergi, sebelum berhenti di ambang pintu. Menoleh sekilas, ia menambahkan dengan nada manis penuh ancaman:

“Oh, dan Rani? Pastikan kau sudah siap untuk makan malam pukul enam tepat. Dimas tidak suka orang yang terlambat.”

Belum sempat menenangkan diri, suara langkah berat terdengar dari serambi. Rani menoleh, melihat Dimas, ponsel menempel di telinganya, wajahnya serius. Ia berbicara singkat, lalu menutup panggilan dan menyelipkan ponsel ke saku.

Tatapannya segera jatuh pada Rani. Tajam. Menembus. Membuat darahnya berdesir.

“Rani,” sapanya datar sambil melangkah mendekat, gerakannya penuh perhitungan.

“Ya, Kak Dimas?” suara Rani nyaris tak terdengar, ia berusaha keras menahan pandangannya tetap bertemu mata pria itu.

“Tasya bilang kau mengalami sedikit kesulitan dengan aturan rumah,” ujarnya, nada suaranya netral tapi sarat ketidakpuasan.

Pipi Rani memanas, teringat insiden sebelumnya. “Maafkan aku,” ucapnya terbata. “Aku masih belajar… aku janji tidak akan terulang.”

Dimas menatapnya lama, pandangannya menekan hingga Rani nyaris goyah. “Pastikan memang tidak terjadi lagi,” katanya akhirnya, tenang namun mengancam. “Kami menuntut standar tertentu dari siapa pun yang tinggal di sini.”

Ia melangkah lebih dekat, begitu dekat hingga Rani bisa mencium colognenya, segar, maskulin, memabukkan. Suara Dimas merendah, nyaris seperti bisikan.

“Dan ingat, Rani. Tasya mungkin saudaramu, tapi di rumah ini… akulah yang membuat aturan.”

Rani menggigil, rasa takut dan sesuatu yang tak terdefinisi merayap bersamaan. Ia hanya mampu mengangguk, lidahnya kelu.

“Dimas,” panggil Tasya semanis madu, seolah tadi tak terjadi apa-apa. “Kebetulan, aku ingin membicarakan pesta makan malam nanti malam.”

Sekejap, ekspresi Dimas berubah. Ia berdiri tegak, profesional, menanggalkan setiap jejak keintiman barusan. “Tentu,” jawabnya datar. “Aku akan segera di ruang kerja.”

Tasya melirik Rani sekilas sebelum meraih lengan Dimas dengan posesif. “Ayo, sayang,” ujarnya manis, menggiring suaminya menjauh, meninggalkan Rani kembali sendirian dengan gejolak pikirannya.

Saat Rani berjalan-jalan di dalam rumah megah itu, ia tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

Tangannya otomatis menyusuri pagar marmer halus ketika ia menaiki tangga besar yang melengkung anggun ke atas. Di puncak tangga, ia berhenti sejenak, terpikat oleh sebuah vas cantik berisi bunga-bunga eksotis. Warna-warnanya yang cerah memberi kontras indah dengan nuansa netral koridor di sekitarnya.

Rani terus melangkah, matanya mengintip ke sebuah ruang baca yang dindingnya dipenuhi rak berisi buku-buku berjilid kulit, lengkap dengan kursi empuk yang seolah mengundang siapa pun untuk tenggelam dalam ketenangan. Tak jauh dari sana, ia menemukan ruang olahraga modern dengan peralatan lengkap, serta kamar mandi bergaya spa dengan bathtub besar dan pancuran hujan yang berjejer.

Perjalanannya membawanya ke sepasang pintu Prancis yang terbuka menuju teras luas. Dari sana, taman yang tertata rapi terbentang indah di depannya. Aroma bunga bermekaran bercampur dengan wangi rumput segar memenuhi udara. Hangatnya sinar matahari menyentuh kulitnya saat ia melangkah keluar.

Terlalu larut dalam pikirannya sendiri, Rani baru sadar ada seseorang ketika sebuah suara berat dengan logat asing menyapanya dari belakang.

“Sepertinya kamu asisten baru,” kata suara itu.

Rani berbalik. Seorang pria berdiri di sana, tampan dengan kulit kecokelatan dan rambut yang pucat karena matahari. Senyumnya ramah. Ia hanya mengenakan kaus ketat dan celana jeans pudar yang menonjolkan tubuh berototnya, sangat kontras dengan latar taman yang begitu tertata.

“A-aku Rani,” ucapnya terbata, merasakan pipinya panas karena kaget. “Maaf kalau aku mengganggu.”

Pria itu tertawa kecil, matanya menyipit hangat. “Tidak sama sekali,” jawabnya. “Aku Danish, tukang kebun di sini. Senang berkenalan denganmu, Rani.”

Ia mengulurkan tangan yang kasar karena kerja keras. Dengan sedikit ragu, Rani menyambutnya. Ada sensasi aneh, seolah percikan listrik mengalir ketika telapak mereka bersentuhan. Genggamannya kuat tapi tetap lembut.

“Senang bertemu juga,” gumam Rani, jantungnya berdegup kencang. Ia buru-buru menarik tangannya dan merapikan rambutnya yang jatuh ke wajah.

“Jadi, apa yang membawamu ke sini?” tanya Danish sambil bersandar santai pada pagar teras, kedua lengannya terlipat di dada. Otot lengannya tampak menegang samar di balik kausnya. Rani cepat-cepat mengalihkan pandangan, merasa wajahnya memanas lagi.

“Aku hanya berkeliling,” jawabnya canggung, merangkul dirinya sendiri. “Rumah ini begitu besar. Aku penasaran ingin melihat-lihat.”

Danish mengangguk mengerti. “Pasti butuh waktu untuk terbiasa, ya? Apakah ini pertama kalinya kamu bekerja untuk keluarga Satya?”

Rani terdiam sebentar, bimbang harus berkata apa tentang hubungannya dengan Tasya dan Dimas. “Kurang lebih begitu,” ucapnya singkat.

Danish menatapnya sejenak, seperti mencoba membaca lebih dari jawaban samar itu. Lalu ia melangkah sedikit lebih dekat.

“Kalau kamu butuh teman bicara atau sekadar bantuan untuk memahami tempat ini, aku ada di sini,” katanya pelan, tulus. “Memang aku ‘hanya’ tukang kebun, tapi percayalah, aku sudah sering melihat drama yang tersembunyi di balik tembok rumah semacam ini.”

Mata Rani melebar, kaget sekaligus tersentuh oleh ketajaman dan kebaikannya. “Terima kasih,” ujarnya lirih. “Aku benar-benar menghargainya.”

Danish tersenyum hangat, membuat garis halus di sudut matanya semakin terlihat. “Sama-sama. Dan hei, kalau kamu butuh udara segar dari dalam rumah, carilah aku di taman."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 66

    Elano bersandar santai di dinding kamar pribadi Tasya, tangannya dilipat di dada sambil memperhatikan Tasya yang berjalan gelisah bolak-balik. "Kamu terlalu memikirkan hal ini," katanya dengan suara tenang, sangat kontras dengan energi gelisah Tasya. Tasya berbalik menatapnya, matanya berkedip marah. "Terlalu banyak mikir? Bentaknya. "Pelacur kecil itu mencoba mencuri suamiku dari bawah hidungku, dan kamu bilang aku terlalu memikirkannya?" Elano mengangkat bahu santai, tidak terganggu oleh kemarahan Tasya. "Dia cuma seorang gadis," ujarnya datar. "Gadis naif dan bodoh yang nggak tahu tempatnya." "Dan bagaimana dengan Dimas?" Tasya menuntut, suaranya meninggi. "Dia yang menyemangatinya, memberi harapan bahwa mungkin ada sesuatu di antara mereka." Ekspresi Elano jadi gelap, senyum kejam menyungging di bibirnya. "Mungkin sudah saatnya mengingatkan Dimas tentang tugasnya," katanya lembut, melangkah dari dinding dan mendekati Tasya. "Mengingatkannya bahwa kesetiaannya ada di keluarga,

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 65

    Rani menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Aku nggak tahu apa yang kamu omongin, Tasya." Mata Tasya menyipit berbahaya saat Rani terus menyangkal. Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang mengancam. "Jangan bohong sama aku," desisnya. "Aku tahu ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Dimas." Darah Rani membeku saat mendengar nama Dimas, dan ia berusaha tetap tenang. "Itu nggak masuk akal," ucapnya, berusaha meyakinkan. "Dimas itu suami kamu. Kenapa aku harus ada hubungan sama dia?" Bibir Tasya menyunggingkan senyum sinis, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Rani. "Karena kamu itu cewek bodoh yang ngira bisa dapetin semuanya," ejeknya. "Kamu pikir aku nggak tahu soal tatapan-tatapan curi pandang itu? Percakapan bisik-bisik? Cara dia ngeliatin kamu pas aku nggak merhatiin?" "Dan kamu cemburu cuma karena dia ngeliatin aku? Aduh, bukan salahku kalau dia ngelakuin itu, kan kamu sendiri yang bawa aku ke rumah ini." Wajah Tasya memerah karena

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 64

    Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Rani. Ia merasa Tasya terus mengawasinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang membuatnya merinding. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para staf rumah tangga, percakapan yang tiba-tiba berhenti saat Rani masuk ke ruangan, tatapan curiga yang mengikutinya saat ia berjalan di lorong. Rani berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, dan fokus pada tugasnya dan hubungannya dengan Dimas. Namun, semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, karena setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari, menjauh dari suasana curiga dan tidak percaya yang mencekik itu. Suatu malam, saat Rani membantu Afqlah mengerjakan pekerjaan rumah di perpustakaan, ia melihat Tasya berdiri di ambang pintu, mengamati mereka dalam diam. Bulu kuduk Rani meremang saat merasakan tatapan Tasya yang dingin dan menusuk. Rani berusaha fokus pada soal matematika di hadapan Afqlah, tangannya sedikit gemetar saat meraih p

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 63

    "Apa yang mau kamu omongin?" tanya Rani hati-hati, berusaha menenangkan diri. Tasya menatap Rani dengan tajam, seolah bisa melihat menembus dirinya. "Aku perhatiin ada yang berubah dari kamu belakangan ini," ucapnya perlahan sambil duduk di kursinya dan meletakkan jari-jarinya di bawah dagu. Rani menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Berubah?" tanyanya, berharap suaranya terdengar acuh tak acuh. "Iya," lanjut Tasya sambil bersandar di kursinya. "Kamu kelihatan... beda. Lebih gelisah. Dan kamu jadi deket banget sama Afqlah." Rani merasakan keringat dingin di lehernya. Ia tahu ia harus berhati-hati agar Tasya tidak semakin curiga. "Aku... mungkin lagi banyak pikiran belakangan ini," aku Rani hati-hati. "Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirin kok... cuma stres karena harus menyesuaikan diri sama peran baru di sini," lanjut Rani sambil tersenyum kecil. "Dan Afqlah itu anak yang manis. Gampang banget sayang sama dia." Tasya menyipitkan matanya, menatap wajah Rani. "Sayang?" ulangny

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 62

    "Selamat pagi," sapa Rani sambil tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa hasratnya dan fokus pada tugasnya. Aysha mendongak dan membalas senyum Rani. "Pagi, Rani. Nyenyak tidurnya?" Rani mengangguk, mendekati Aysha. "Iya, makasih." Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Sebenarnya ada," jawab Aysha, menyodorkan semangkuk buah ke Rani, "Bisa tolong buat salad buah? Kayaknya enak kalau dimakan sama pancake." "Boleh," jawab Rani, mulai memotong stroberi dan pisang. Sambil bekerja, ia berusaha fokus pada tugasnya dan tidak memikirkan Dimas. Tapi itu sulit, sentuhan Dimas masih terasa di kulitnya, bisikannya terngiang di telinganya "Rani?" Suara Aysha membuyarkan lamunan Rani, dan Rani tersadar bahwa ia sedang menatap talenan tanpa memotong apa pun. "Ya?" jawabnya, memaksakan senyum. "Maaf, aku cuma... lagi banyak pikiran." Aysha menatap Rani dengan khawatir. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut. "Kamu kelihatan nggak fokus hari ini." "Aku b

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 61

    Pagi itu, Rani terbangun dengan rasa pegal di sekujur tubuhnya dan rasa ngilu di antara kedua kakinya, kenangan indah dari malam sebelumnya. Ia menggeliat malas, meringis kecil saat merasakan otot-ototnya tertarik. Di sampingnya, Dimas masih terlelap, tangannya melingkari pinggang Rani. Rani tersenyum lembut, mengamati wajah Dimas. Bahkan saat tidur, ia terlihat gagah dan berwibawa. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Dimas, Rani melepaskan diri dari pelukannya dan diam-diam pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan shower, merasakan kelegaan saat air hangat itu membasahi tubuhnya dan meredakan rasa pegal. Sambil mandi, pikiran Rani melayang ke pertemuan mereka semalam, tangan Dimas di kulitnya, bibirnya menjelajahi setiap inci tubuhnya, dan tubuhnya yang mengisi dirinya sepenuhnya. Ia merinding membayangkan semua itu. Tangan Rani menyentuh perutnya yang masih rata. Di bawah telapak tangannya, ia seolah bisa merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, hasil dari cin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status